81
penulisnya dalam suatu teks, dapat juga dikatakan sebagai premis umum atau gagasan inti dan ringkasan utama sebuah teks. Dalam tulisan Alex
Sobur yang mengutip Keraf, mengatakan bahwa tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui penulisannya.
1
Tema dan topik dikatan demikian karena sifatnya menunjukan konsep dominan, sentral dan paling penting dari suatu teks. Dalam naskah
Demonstran, penulis menemukan beberapa tema besar yang mengandung kritik sosial kepemimpinan, diantaranya adalah:
a. Kritik sosial kepemimpinan.
Asumsi ini dapat ditemukan pada adegan pertama pertunjukan. Di dalam naskah ketika Sabar, Alun dan Satpam berkumpul di kredo
pasar, Sabar yang memulai percakapan dengan muatan dialognya menceritakan keluh kesah rakyat yang sangat mengidamkan sosok
pemimpin yang mampu menaungi rakyat kecil dan mampu menerima dan mengakomodir aspirasi mereka. Seperti dalam kutipan dialognya :
“..Zaman ini Zaman panik. Orang orang jadi serakah dan gampang curiga. Sebagian besar kita, kena penyakit jiwa dan janji-janji bohong simpang siur di langit.
Isu lebih digemari disbanding pidato dan humor menemukan tuahnya disbanding penderitaan. Yang tidak pro langsung dianggap kontra. Usul dan pendapat sering
dianggap kritikan. Tapi anehnya, si pengkritik sering tidak tahan kritikan.
Zaman ini Zaman bingung. Yang kecewa berkeliaran dimana-mana. Pegangan amat rapuh. Tuhan teralu jauh dan nabi-nabi palsu tersebut pengikut. Orang-orang kaya
berkuasa dengan uangnya. Mereka sanggup membeli hati nurani para pejuang. Ekonomi dan teknologi jadi tujuan utama. Pendidikan sangat mahal dan kesenian
kadang ada tapi sia-sia, malah lebih dianggap hiburan. Inilah kredo orang bingung di zaman panik. Dilantunkan ketika bumi gonjang
ganjing dan sepertinya langit akan segera menimpa kepala. Inilah Kredo orang panik di zaman bingung.” babak 1
1
Drs . Alex Sobur, M. Si, Analisis Teks Media Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, cet. Ke-4, h. 75.
82
Tema kepemimpinan yang terdapat pada dialog ini umumnya menjelaskan secara implisit bagaimana seharusnya menjadi pemimpin
yang ideal, sesuai dengan syarat-sayarat yang perlu dimiliki oleh pemimpin. Bentuk sesungguhnya dalam proses kepemimpinan adalah
mengarahkan atau menjadi role model. Persoalan utama dari pemikiran Sabar mengenai dialog yang disampaikannya adalah, mengapa begitu
sulitnya untuk membedakan mana pemimpin yang baik dan benar-benar baik. Sabar men-Generalisir bahwa hampir semua pemimpin meng-obral
tema kesederhanaan dan kerakyatan. Seperti yang sudah terjadi bahwa rakyat dijadikan sebagai agen suara ketika pemilu berlangsung menjadi
lahan emas untuk digali simpati dan empatinya kemudian menjadi kambing hitam di setiap implikasi kegagalan dalam kepemimpinannya.
Seharusnya Pemimpin Negara dan pemerintah harus membentuk suatu sistem yang solid dalam proses memperoleh kepercayaan dan
paradigma positif dari masyarakat yang dipimpin. Soliditas tidak ditentukan secara kuantitatif angka seberapa banyak anggota yang
bergabung melainkan secara kualitas kualitatif pada masing-masing anggotanya. Ini bisa menajadi sebuah arti penting yang menjadikan
pemimpin sebagai role model yang isnpiratif. Gagasan tersebut didasari dari pengamatan peneliti pada proses pemilu 2014 baik pada saat
pemilihan Legislatif maupun pemilihan Presiden. Dalam babak pertama ini Sabar sebagai lakon yang sentral semakin
terlihat keresahaannya mengenai kritik sosisal, menjadikan tema krisis kepemimpinan pada babak ini semakin nampak, dengan didukung oleh
stimulus yang diberikan oleh Alun dalam dialognya, yaitu:
83
“SABAR : Ini zaman serba tidak sabar. Zaman serba melompat. Inilah
zaman putus asa. Zaman antara tidur dan banggun. Zaman serba menunduk karna terlalu sering melihat hp. Ini zaman
cermin pecah. ALUN
: Dimuliakanlah namamu ya kemunafikan TERIAK Pemimpi-i-i-nn
SABAR : Jadi bersembunyi dimana kamu? Keadilan?
ALUN : Kursi.
SABAR : Ketika mentalitas abdi Negara ditanyakan kembali dan
korupsi merajalela, apa kamu peduli? ALUN
: Komisi. SABAR
: Ketika utang dibikin macet dan para penghutang Negara itu jadi isu nasional yang tidak menasional, apa komentar
kamu?”Babak 1.
Ditengah situasi seperti sekarang ini, nampaknya ketegasan pemimpin dalam mengambil keputusan adalah problematika bangsa yang
harus segera dituntaskan. Cukup bisa dipahami bahwa penggalan dialog diatas menggambarkan bahwa mentalitas abdi Negara pemimpin masih
patut dipertanyakan. Memberikan keadilan hanya kepada golongan tertentu yang memiliki kekuasaan poliitik sedangkan hukum adalah milik
orang-orang yang rela berbuat kriminal lantaran untuk bertahan hidup dari himpitan ekonomi. Dalam dialog tersebut seharusnya menjadi cermin
bahwa masyarakat butuh sosok inspirasional leader. Perlu dicatat bahwa kritik sosial kepemimpinan dalam tatanan
sistem demokrasi belakangan ini memberikan sebuah jawaban bahwa seharusnya masyarakat dapat secara bebas mengkritisi proses
perjalanannya baik dalam wujud demonstrasi, tulisan pada media cetak maupun online. Untuk memberikan alasan mengapa dan apa yang menjadi
masalah. Pusat perhatian analisa temantik pada dialog ini adalah gaya kepemimpinan yang sudah menyimpang dari tatanan demokrasi. Salah
84
satunya yang berkaitan dengan dialog Sabar, minusnya nilai kepemimpinan pada pemerintahan saat ini yaitu menyangkut tidak
meratanya persamaan hak dalam segala bidang, kemerdekaan yang tidak menyeluruh merupakan implikasi ke tidak tegasan sebuah Leader dalam
menjalankan keputusan. Dalam
mengambil keputusan,
pemimpin juga
harus memperhitungkan seberapa sering dia harus berhubungan dengan rakyat,
tidak selalu membedakan hubungan antara masayarakat politik dan masyarakat publik. Keterkaitan masyarakat publik dalam proses policy
decide sangat berdampak pada prososes jalannya sistem pemerintahan yang demokratif.
Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaanya dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mencapai
achievement yang memuaskan, dalam berbagai situasi para pemimpin
dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau pemanfaatan kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi bawahan dan rakyat. Ada
beberapa hal penting yang harus dimiliki oleh seorag pemimpin, yaitu integritas,
responsibilitas, knowledge,
komitmen, kepercayaan
confidence dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain melalu komunikasi communication.
Sabar dan Alun pada babak pertama ini, dalam dialognya dapat dilihat bahwa mereka ibarat memposisikan diri sebagai cawan air yang
telah penuh ter-isi oleh tetesan air hitam yang meluber. Tema pada babak ini tidak menjabarkan sebuah tunutan terhadap pemimpin, tetapi tentang
85
bagaimana seharusnya moral pemimpin yang mau memperjuangkan nilai dan kepentingan masyarakat luas. Bukan mengkebiri dan membatasi
kebebasan berdemokrasi. Hal lain yang juga dapat dilihat pada babak pertama ini adalah
mengenai kecendurungan abused of power oleh pemimpin sebagai “Immamah dan Khalifah”. Pemimpin seharusnya dapat diartikan juga
sebagai perisai bagi rakyat, yang akan melindungi rakyat dari berbagai ancaman. Dialog Sabar mengemukakan kontradiksi terhadap realitas yang
sedang terjadi sekarang ini, yaitu:
“SABAR : Ketika buruh-buruh diperlakukan lebih buruk dari kuda, dan
para TKW kita dilecehkan seksualnya, apa tindakan kamu? ALUN
: Kita hilang.. SABAR
: Ketika hakim-hakim malah adu tinju, artis-artis berebutan jadi politikus. Mengapa kamu tidak bertindak dan melulu
hanya pidato, pidato dan pidato? ALUN
: TERIAK Pemimpi-i-i-nn SABAR
: Ketika kebebasan dikebiri, demokrasi dikekang dan kreatifitas dibendung, ketika partai-partai enggan berbeda
suara karena ada imbalanya dan wakil-wakil rakyat besar gajinya tapi gentar berfikir untuk rakyat, siapa masih sanggup
membela rakyat? ALUN
: MENJAJAKAN Opini obral, seribu tiga SABAR
: Ketika sebuah sistem digelar agar masa depan rakyat berubah menjadi robot yang dikekang dan patuh, masih beranikah kita
punya nurani? ”Babak 1.
Dalam konteks kritik sosial kali ini dapat mengacu pada dialog Sabar yang pertama yaitu sebuah tema perjuangan kelas dimana ideologi
kelas ditentukan oleh kedudukan dan kepentingan. Buruh, TKW dan pemilik modal sama-sama sedang memeperjuang kelas, bedanya hanya
kepentingan dan wewenang kedua kelas ini sangat kontradiktif. Buruh dan
86
TKW adalah kelas yang hak nya dirampas oleh kelas pemilik modal atau alat produksi yang besar. Hal ini retan sekali terjadi belakangan ini karena
sistem kepemimpinan yang mudah di-intervensi asing dengan mengatas namakan pembangunan.
Kemudian pada dialog Sabar berikutnya adalah mengenai mentalitas pemimpin dan para calon pemimpin. Peneliti disini tidaklah
mencoba untuk membentangkan rincian dari pertikaian tersebut. Meskipun memang dapat dikatakan bahwa pertikaian yang ada pada
dialog tersebut semata hanya soal politk seseorang untuk memperoleh kedudukan. Namun kritik yang ingin disampaikan adalah merujuk pada
kecenderungan seorang pemimpin yang dalam menyelesaikan masalah selalu hanya mengedepankan dialog dan mufakat tanpa adanya tindakan
tegas dan punishment untuk pelanggar. Begitu juga pada dialog berikutnya yang disampaikan Sabar
menyangkut kebebasan berdemokrasi. Kini tanpa disadari kita memang hidup di era semua individu menginginkan kebebasan. Menurut peneliti
justru pengebirian kebebasan dan pembatasan demokrasi tidak hanya terjadi pada masa orde baru. Kini di era pasca reformasi justru makna
tersebut menjadi anti klimaks. Beberapa dampaknya yaitu, tensi per-politikan yang semakin
memanas karna banyak menyalah artikan sebuah makna dari demokrasi, kebebasan berpendapat yang sudah tidak beretika dapat dilihat dari nafsu
para pejabat yg ngotot ingin pendapatnya didengar saat sidang di gedung DPR, kemudian demonstrasi mahasiswa yang seharusnya menjadi sarana
87
penyampaian aspirasi justru malah menggangu stabilitas keamanan dan kenyamanan masyarakat dan yang terakhir adalah meningkatnya
kerusuhan di masyarakat. Itu semua karena pemimpin dan para pemerintah masih belum mampu menjalankan undang-undang dengan
sebagai mana mestinya. Digambarkan pula pada dialog berikutnya keresahan dan gundah
sang Sabar, bagaimana dia takut untuk menatap masa depan yang seolah- olah sudah tau nantinya akan berakhir seperti apa, seakan-akan semua
sudah di-setting sedemikian rupa agar rakyat menjadi boneka mainan bagi para pemimpin. Karena pemimpin searusnya berada pada posisi yang
menentukan perjalanan pengikutnya rakyat. Apabila rakyat memiliki pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pembangkitan daya
juang maka dapat dipastikan rakyat akan mencapai titik keberhasilan. Dalam pandangan islam mengenai hal tersebut sangat sekali jelas
digambarkan melalu firman Allah dalam Al-Quran Qs. 17 : 16:
“dan jika kami berkehendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah kaum elit dan
konglomerat di negeri itu untuk menaati Allah, akan tetapi mereka melakukan kedurhakan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya
perkataan ketentuan kami, kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya.”
Tentu jika melirik pada presepktif islami tentang sebuah kepemimpinan, ayat tersebut ada korelasinya dengan dialog sabar pada
hampir keseluruhan babak pertama. Dari proses hingga implikasi tertera
88
pada ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam memilih peimpin diharapkan masyarakat mempunyai calon pilihan yang kredibel, mengenali
pemimpinya dengan baik supaya tidak lagi memilih pemimpin seperti memilih kucing dalam karung. Barangkali salah satu caranya adalah
sosialisai mengenai arah tujuan kepemimpinan yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Dengan lebih ringkas Sabar menjelaskan sebuah pergeseran drastis mengenai makna kepemimpinan, dapat dikatakan bahwa setiap manusia
mempunyai jurang pemisah masing-masing antara kemauan ideologi dan realitas kehidupan. Hal itu seharusnya menjadi tempat seorang
pemimpin untuk memposisikan diri sebagai penyambung lidah akyat, penyambung harapan rakyat dan penyambung asa rakyat. Agar dapat
meyakinkan bahwa harapan perubahan menuju arah kebaikan itu masih ada.
Kemudian dalam Al’Quran bagaimana kita seharunya memilih pemimpin dijelaskan melalui firman Allah pada Q. S Ibrahim 14:4 :
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana”
89
Disini dapat peneliti kaitkan dengan pemimpinan yang mampu memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Lalu pada
Q. S. At-Taubah 9:128:
“sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaumu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi
kamu, sangat penyantun dan penyayang bagi kaum mukmin.”
Dalam ayat tersebut, jika dikaitkan dengan dialog Sabar pada babak pertama adalah mengenai sikap pemimpin juga harusnya bisa
mampu memahamu Bahasa penderitaan rakyatnya dan mengerti kesusahan mereka. Karena pertanggung jawaban atas pemilihan seorang
mimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya berikut juga implikasinya.
Digambarkan pula bahwa pemimpin adalah bukan mengenai kedudukan dan soal posisi strategis untuk memegang kendali atas orang
banyak. Pandangan tersebut yang mengakibatkan banyak orang justru mengejar menjadi pemimpin dengan menghalalkan segala cara, seperti
pada proses pemilu presiden 2014 yang banyak ditemukan fakta kampanye hitam dan kampanye negatif. Parahnya isu yang diangkat
banyak yang menyangkut soal SARA. Bisa dibayangkan mentalias pemimpin yang seperti itu nantinya akan berujung seperti apa.
Tentang dialog lain pada naskah ini yang menyangkut kritik sosial dan kepemimpinan ada pada babak ke 5 yaitu dialog yang terjadi di
malam hari saat Jiran, Niken dan Wiluta bersama-sama datang ke rumah
90
Topan untuk mengajak kembali turun kejalan, Mereka bertiga adalah akktifis senior anak buah Topan. Pada bagian adegan ini Niken
mengajukan pertanyaan kepada topan, yaitu:
“NIKEN :Alat musyawarah itu selalu satu arah. Dari penguasa. Dan
mufakat adalah perintah. Rakyat tidak diberi hak untuk bermusyawarah, mereka hanya wajib menjalankan perintah.
Siapa berani melawan arah penguasa dan perintah pejabat? Rakyat?” Babak 5.
Babak tersebut memaparkan sebuah kekecewaan Niken terhadap ceriminan gaya kepemimpinan yang tidak demokratif. Padahal, selama
pemimpin masih dalam jaring-jaring demokrasi yang transparan dan kembali pada filosofi demokrasi “dari rakyat untuk rakyat” tatanan sosial
akan menjalankan mekanismenya dengan baik. Bukan memberikan kebijakan-kebijakan yang justru membelenggu kebebasan rakyat. Jika
terus demikian, tidak mengherankan jika kemudian proses demokrasi harus dibayar dengan banyak demonstrasi yang kadang cenderung
berujung kerusuhan. Pada dialog diatas, ter-gambarkan pula sebuah hegemoni penguasa
pemimpin dalam menentukan sebuah kebijakan tanpa kompromi namun selalu sarat dengan birokrasi yang rumit, peneliti beranggapan bahwa
birokrasi adalah bentuk keterasingan rakyat, karena birokrasi dijadikan sebuah perantara antara rakyat dengan kebutuhannya. Ketika rakyat sudah
dipengaruhi oleh birokrasi maka rakyat sudah tidak saling menghargai melainkan saling memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Pada babak ke lima ini, Topan digambarkan adalah seseorang mantan aktifis yang sudah pensiun dari aktifitasnya sebagai seorang
91
demonstran dan kini menjadi seorang pedagang juga pengusaha yang sangat sukses, jadi ajakan ketiga mantan anak buahnya agar mau kembali
kejalan menimpin mereka kembali dalam bentuk demonstrasi selalu ditolak dengan alasan-alasan yang cukup realistis untuk ukuran seorang
pengusaha. Namun penolakan topan kepada Jiran, Niken dan Wiluta dianggapnya sebagai bentuk penghianatan.
Topan menganggap demonstrasi sudah bukan jamannya lagi untuk memberikan alasan kepada pemimpin supaya mau mendengarkan aspirasi
mereka, meng-atas nama kan “demonstrasi adalah perjuangan rakyat untuk
mendapatkan kembali haknya” menurut Topan itu adalah slogan yang semu, tidak menemukan arah pasti, gagasan yang justru masih dapat
diperdebatkan. Kemudian ketiga mantan anak buahnya tersebut menganggap jika Topan sebagai pemimpin sudah tidak lagi dapat
memberikan arah karena telah terlalu lama asik bersama pengusaha menghitung laba.
Seperti yang dikutip dalam naskah demonstran, percakapan antara Topan dengan Jiran, Niken dan Wiluta pada babak ke-lima:
“TOPAN :Tidak bisa, maaf. Saya sudah tua. Saya tidak sanggup lagi jadi
Robin Hood. Apa yang pernah saya lakukan, dulu, dan apa yang kalian lakukan sekarang ini, itu permainan anak muda.
Saya? Lihat, perut sudah gendut, nafas ngos-ngosan, mata tidak awas lagi. Saya sudah sejarah. Kekuatan saya habis.
NIKEN :Jadi, Abang tidak mau turun lagi kejalan memimpin kami?
WILUTA :Apa abang kuatir, kedudukan dan kekayaan abang bisa
terganggu? Hidup abang sekarang memang sudah enak. Padahal ini semua hasil dari perjuangan abang, dulu, sebagai
demonstran, masa lupa? TOPAN
: Tenanglah sedikit… jangan paksa saya.
92
NIKEN :Lalu kemana lagi kami harus pergi? Kami tidak punya
pemimpin, kami hanya punya semangat. Kami bergerak kurang teratur. Kami ingin diatur oleh tokoh yang mampu
menghadapi apa saja. Tokoh yang selalu ada di barisan paling depan, tokoh yang dikenal sebagai Sang Topan. Abang.
WILUTA :Semua bekas aktifis tidak mau memimpin kami.
NKEN :Mereka bilang, hanya buang-buang energi, sia-sia. Ini
gerakan yang mereka anggap, sudah tidak ada gunanya. WILUTA
:Hanya abang harapan kami. TOPAN
:Ya, maaf saja, kalian juga sudah terlalu tua. Tidak mungkin lagi. WILUTA
:Maksudnya, kamu tidak bisa? Inilah saatnya, Abang.. TOPAN
: Maaf…
NIKEN :Tidak sangka, sekarang abang sudah jadi penakut.
TOPAN :Saya berhak memilih untuk bilang tidak atau ya. Sekarang,
saya atur jalan hidup saya sendiri. Saya sudah finish…
NIKEN :Egois. Hanya nasib sendiri, yang abang pertimbangkan.
Abang tahu Negara makin berengsek. Tapi abang diam saja. Jujur juga, saya menyesal ketemu abang sekarang. Pandangan
saya tentang abang hancur berantakan. TOPAN
:Apa boleh buat. Itu 20 ta hun yang lalu… zaman berubah.
NIKEN : Minggu lalu abang bicara di koran, abang selalu siap jika
terpaksa harus turun ke jalan lagi. Sekarang ini waktunya. TOPAN
:Niken, pengusaha harus butuh publikasi. Masa kamu tidak paham? Saya pengusaha. Itu bagian dari strategi. Tapi jika
kenyataan yang harus dihadapi diduga akan sangat pahit, kita harus cepat-cepat menghindar. Ketika korupsi tidak bisa
dilawan lagi, kita…. NIKEN
:Lari? Betul. TOPAN
:Realitas harus dihadapi dengan realistis. Pengusaha tak pernah bermimpi, dia menghitung untung rugi.
WILUTA :Demi keuntungan pribadi.
TOPAN :Demi usaha agar tetap bisa survive. Kepala harus tetap
dingin. Zaman spontanitas otot dan emosi, sudah lewat. Sekarang zaman otak dan strategi. Pikiran. Akal. Hitungan
langah adalah uang. Waktu, sangat berharga. WILUTA
:Ah, jadi kami sudah merampok waktu berharga abang. TOPAN
:Wiluta, Niken, maaf, saya betul-betul tidak bisa ikut. Kondisi tidak memungkinkan. Saya bukan aktivis lagi.
93
JIRAN :Abang tidak perlu lagi turun lagi ke jalan, sebab kami tidak
punya uang untuk membeli payung kalau abang kepanasan. Abang cukup mengatur strategi dan konsep pergerakan. Abang
akan lebih banyak duduk di markas saja. Katakanlah, kalau gerakan demonstrasi itu bisa diibaratkan PT, maka abang
adalah dirut nya. Kami semua, karyawan operasionalnya. Abang tidak perlu repot membersihkan got, cukup abang
pertintahkan, kami yang akan bekerja. Sayangnya, bekerja di PT Demonstrasi tidak ada gaji.” babak 5.
Dari cuplikan dialog pada babak ke-lima di atas, dari jawaban- jawaban yang dilontarkan oleh mantan anak buahnya, maka dapat peneliti
katakana bahwa musuh besar dari idealisme adalah harta. Sejauh ini dalam dinamika demokrasi mungkin banyak pengusaha yang justru turut
ikut andil dalam bursa pencalonan presiden pemimpin. Namun, dibalik penyalonannya
terdapat kecenderungan
yang mengarah
kepada kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentingan
masyarakat luas, konsistensinya dengan tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat masih dipertanyakan.
Sementara itu, demonstrasi yang dijalankan oleh ketiga mantan anak buahnya Jiran, Niken dan Wiluta bukan sebagai kekuatan pendobrak
atas ke-laliman penguasa dan pemerintah. Sebab fungsinya hanyalah sebagai penguat tuntutan. Walaupun pada era reformasi, ini adalah cara
jitu saat itu untuk meruntuhkan rezim akan tetapi kerusuhan bukan menjadi role model dalam merubah sistem dengan cara yang singkat atau
revolusi, terlalu beresiko dan tidak ada jaminan untuk perubahan menuju arah yang lebih baik.
94
Kemudian masih di dalam rumah Topan, ketiga anak buahnya terus mendesak agar sang pemimpinnya mau kembali lagi ikut turun ke-jalan.
Upaya yang dilakukan Jiran, Niken dan Wiluta saat itu berakhir sia-sia. Topan masih menganggap tujuan mereka kurang jelas dan ter-arah,
sepertinya pengetahuan Topan sebagai seorang pemimpin kala itu dijadikan senjata untuk menolak ajakan dengan jawaban yg realistis.
Lebih terkesan sebagai seorang pemimpin yang mencari dalih, alasan dan mengelak ketika diajak untuk berbuat sesuatu demi orang banyak
masyarakat. Seperti dalam cuplikan dialog pada babak ke-lima yaitu
percakapan antara Topan dan Jiran:
TOPAN :Siapa rakyat? Siapa mereka itu? Apa kalian benar-benar tahu
apa yang mereka inginkan? Bilang sama saya Siapa Rakyat? BILANG
NIKEN :
Rakyat adalah… TOPAN
:Ya siapa mereka? NIKEN
: Rakyat adalah…
TOPAN :Kalian tidak tahu siapa rakyat. Bagaimana bisa berjuang kalau
kalian tidak tahu untuk apa? Untuk siapa? Yang kalian rasa, belum tentu dirasakan oleh semua orang. Kalian rakyat,
mereka yang digusur juga rakyat, orang miskin dan orang kaya itu
– rakyat, saya rakyat, bahkan para pejabat juga rakyat. Tapi siapa rakyat sejati, itu yang harus kalian cari. Kalian terlalu
percaya unjuk rasa itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Padahal seringkali sebaliknya.
JIRAN :Interogasi? Indoktrinisasi? Intimidasi? Kami mendatangi
gedung DPR bersama para petani yang resah karena sawah mereka akan dibikin jadi apartemen dan padang golf. Kami
ingin bertanya, mengapa ada rencana macam itu. Dan mengapa ganti rugi yang ditawarkan sangat rendah. Semeter
tanah, dihargai sama dengan sekilo ubi kayu. Tapi, orag-orang desa itu dihadang dengan kekerasan. Dan abang tahu, tidak
95
satu koran pun yang berani memuat beritanya. Dan abang pasti bisa menduga mengapa justru pers ketakutan. Derita petani itu
menjadi sangat penting. NIKEN
:Untuk apa cerita, Jiran. Dia sudah tidak punya kuping lagi. JIRAN
:Kami percaya, unjuk rasa adalah salah satu cara agar tuntutan diperhatikan. Lalu, biarakan kebenaran menentukan jalannya.
WILUTA :Jalan kebenaran selalu kasar, terlalu banyak rambu-rambunya.
TOPAN :Terlalu banyak kebenaran, sulit memilih mana yang paling asli.
NIKEN :Lagi-lagi wejangan . Dalih. Dalih
TOPAN :hanya emosi, kalian hanya mengikuti emosi. Unjuk rasa jika
dijalankan dengan emosi, hasilnya bisa jadi cuman anarki. JIRAN
:Emosi? Mengapa abang rela buka kedok? Betul. Abang sudah jadi tumpul. Kemana perginya solidaritas abang yang dulu
terkenal sangat kental itu? HILANG? HILANG? HILANG? NIKEN
: Jiran… sudah. Cukup JIRAN
:Siapa yang menentukan harga-harga? Siapa yang menipu dan menghisap darah? Pabrik-pabrik siapa yang seenaknya berak
limbah tanpa ada sangsinya? WILUTA
: Jiran JIRAN
:Siapa yang giat menimbun kekayaan tapi dapat tepuk tangan meriah setiap kali mereka mengguntung pita pembukaan
acara-acara sosial? Jenis presiden macam apa yang ada sekarang ini? Masa dia
marah sama mentri, terus ngomong di televisi? Supaya rakyat mendengar? Tidak ada yang mendengar. Bahkan mentrinya
sendiri berlagak seperti tidak tahu menahu. Rakyat capek mendengarkan itu. Di Zaman dulu, bahkan ada seorang
presiden memanggil mentri itu ke rumah, lalu dimarahi. Kalau mentrinya tidak setuju, ya saya pecat. Di zaman
presiden pertama, malah ada diskusi, karena mentrinya pinter- pinter.
NIKEN :Jiran, untuk apa memberi tahu dia lagi?
WILUTA :Siapa sudi mendengar pengulangan? Tapi itulah kenyatan.
JIRAN :TIDAK PEDULI
Mereka bilang, sedang memerangi kebodohan dan kemiskinan, padahal mereka justru sedang menyebarkan
kedua penyakit itu. Kami, adalah orang-orang konyol yang sering diejek seperti
itu. Padahal kami Cuma mengingatkan masih banyak
96
persoalanyang belum
diselesaikan. Kita
wajib menyelesaikannya.
Hingga beberapa cuplikan dialog di atas terdapat banyak pesan kritik sosial terhadap kepemimpinan. Dapat peneliti katakan jika kejadian-
kejadian yang digambarkan diatas dapat diasumsikan bahwa kritik sosial adalah sebagai pemantik dari awal sebuah perubahan.
b. Kritik dan Perubahan Sosial