Kebiasaan Makan Pada Remaja Asupan Gizi

54 makanan. Harper dkk 1986 menyatakan bahwa sehubungan dengan pangan yang biasanya dipandang pantas untuk dimakan, banyak dijumpai pola pantangan, tahayul dan larangan pada beragam kebudayaan dan daerah yang berlainan.

2.7.4.1 Kebiasaan Makan Pada Remaja

Kebiasaan makan yang kurang pada remaja berawal pada kebiasaan makan keluarga yang tidak baik yang sudah tertanam sejak kecil dan akan terus terjadi pada usia remaja. Kondisi tersebut mengakibatkan remaja makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan zat-zat gizi dan dampak tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan. Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu dapat menyebabkan kebutuhan gizi tidak terpenuhi. Keadaan ini berkaitan dengan mode yang tengah marak di kalangan remaja seperti makanan siap saji dan mie instan.Usia remaja merupakan usia yang sangat mudah terpengaruh oleh teman pergaulan dan media masa terutama iklan yang menarik perhatian remaja tentang makanan yang baru dan harga yang terjangkau Moehji, 2003. Menurut Nurjannah 2001, menyatakan bahwa kebiasaan makan remaja dipengaruhi oleh kebiasaan makan teman-temannya, dan disamping itu remaja cenderung lebih mudah menerima sesuatu jenis makanan yang relatif baru karena pada masa remaja ini mereka lebih senang untuk mencoba sesuatu yang baru selesai dengan perkembangan kepribadiannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Lund dan Burk 1969 yang dikutip oleh Suhardjo 1989 55 bahwa ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukkan kebiasaan makan keluarga yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Survei yang dilakukan Hurlock 1997 menunjukkan remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis dan golongan pastry serta permen. Sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin A dan vitamin C tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan besi, kalsium, vitamin C, vitamin A, dan sebagainya.

2.7.4.2 Asupan Gizi

a Zat Besi Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan. Kandungan zat besi dalam makanan berbeda-beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan zat besi adalah makanan yang berasal dari hewani seperti ikan, daging, hati dan ayam. Makanan nabati seperti sayuran hijau tua walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus Depkes RI, 1998:14. Rendahnya asupan zat besi ke dalam tubuh yang berasal dari konsumsi zat besi dari makanan sehari-hari merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia Mary E. Beck, 2000:197. Asupan zat besi kedalam tubuh remaja putri dipengaruhi: Konsumsi zat besi dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme 40 dan besi non hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi dalam 56 makanan.Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau, kacang-kacangan, kentang, dan serelia serta beberapa jenis buah-buahan. Sedangkan besi hem hampir semua terdapat dalam makanan hewani antara lain daging, ikan, ayam, hati, dan organ-organ lain Almatsier, 2001 Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasaldari hewan maupun tumbuhan.Macam bahan makanan yang mengandung zat besi dapat dilihat pada tabel 2.5.Hati dan daging adalah bahan makanan yang paling banyak mengandung zat besi.Dari bahan makanan jenis tumbuh-tumbuhan maka kacang-kacangan seperti kedelai, kacang pajang, buncis serta sayuran hijau daun mengandung banyak zat besi.Sumber zat besi paling utama dan paling baik adalah pada makanan hewani, seperti daging,ayam, ikan dan makanan hasil olahan darah. 57 Tabel 2.5 Kandungan Zat Besi dalam Bahan Makanan Bahan Makanan Zat Besi mg100g Hati Daging Ikan Telur Ayam Kacang-Kacangan Tepung Gandum Sayuran Hijau Daun Umbi-Umbian Buah-buahan Beras Susu Sapi Perah 6-14 2-4,2 0,5-1 2-3 1,9-14 1,5-7 0,4-18 0,3-2 0,2-4 0,5-0,8 1-0,4 Sumber: Wirakusumah 1998 Terdapat 3 kategori pola menu makanan, yaitu rendah tingkat penyerapan zat besi 5 , sedang tingkat penyerapan zat besi 10 , dan tinggi tingkat penyerapan zat besi 15 .Pola makanan yang hanya terdiri dari sumber karbohidrat, seperti nasi dan umbi-umbian atau kacang-kacangan tergolong pola menu makanan rendah. Pola menu ini sangat jarang atau sedikit sekali mengandung daging, ikan dan sumber vitamin C. Terdapat lebih banyak bahan makanan yang mengandung zat penghambat absorbsi besi, seperti fitat,serat,tanin dan fosfat dalam menu makanan ini. Biasanya menu seperti ini 58 dikonsumsi oleh keluarga-keluarga berpenghasilan rendah yang tidak mampu mengusahakan bahan makanan hewani. Pola makanan yang sedang, sumber zat besinya juga berasal dari golongan sumber karbohidrat, seperti nasi atau umbi-umbian, tetapi dilengkapi dengan daging,ikan atau ayam walaupun dalam jumlah sedikit. Penambahan sumber makanan hewani ke dalam menu makanan rendah dapat meningkatkan penyerapan zat besi sehingga pola menu menjadi tinggi. Makanan yang mengadung penyerapan zat besi tinggi biasanya merupakan menu makanan yang beragam dan cukup sumber vitamin C. Walaupun tinggi penyerapan zat besinya, menu ini dapat menjadi sedang jika terlalu banyak dan secara rutin mengkonsumsi bahan makanan sebagai penghambat penyerapan zat besi seperti teh atau kopi. Pola menu seperti ini biasanya dikonsumsi oleh keluarga yang mampu mengusahakan bahan makanan hewani dan sumber vitamin C yang cukup Wirakusumah,1998. Sumber zat besi yang baik lainnya adalah telur,serealia, kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran hijau dan buah-buahan. Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dinamakan juga ketersediaan biologik bioavailability. Pada umumnya besi di dalam daging, ayam dan ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi, besi dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran,terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah. Sebaiknya diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari, yang terdiri atas campuran 59 sumber besi berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan serta sumber zat gizi lain yang dapat membantu absorpsi. Menu makanan di Indonesia sebaiknya terdiri atas nasi, dagingayamikan, kacang-kacangan, serta sayuran dan buah- buahan yang kaya akan vitamin C yang dapat membantupenyerapan zat besi dalam tubuh Wirakusumah,1998. Berdasarkan penelitian Arifin 2013 yang menunjukkan bahwa asupan Fe mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia pada murid sekolah dasar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara p=0,000. b Vitamin C Zat gizi yang telah dikenal luas sangat berperanan dalam meningkatkan absorpsi zar besi adalah Vitamin C Husaini, 1989; Almatsier, 2001. Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi non hem sampai empat kali lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi.Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukardimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan.Vitamin C pada umumnya hanya terdapat pada pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya, gandaria, dan tomat Almatsier, 2001. Beberapa penelitian membuktikan pengaruh konsumsi vitamin C terhadap kejadian anemia, yaitu pada tahun 2001, Safyanti menemukan remaja putri yang konsumsi Vitamin C kurang dari 100 AKG memiliki resiko 3,5 kali lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan remaja 60 putri yang mengkonsumsi vitamin C 100 AKG. Satyaningsih 2007 dan Kwatrin 2007 juga menemukan hal yang sama, yaitu resiko mengalami anemia lebih tinggi 4 kali pada remaja putri yang konsumsi Vitamin C kurang dari AKG. c Energi Krummel 1996, menyatakan bahwa energi merupakan zat gizi utama, jika asupan energi tidak terpenuhi sesuai kebutuhan maka kebutuhan akan zat gizi lainnya seperti protein, vitamin, mineral juga sulit terpenuhi. Menurut Khumaidi 1989 untuk menilai kecukupan konsumsi pangan adalah dengan menilai kecukupan konsumsi energi dan protein. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein sudah terpenuhi dan dikonsumsi dari beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya biasanya juga akan terpenuhi. Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi lainnya dan begitu pula dengan penyerapan dan metabolisme zat gizi saling terkait antara satu zat gizi dengan zat gizi lainnya.Rendahnya asupan energi dan protein dapat menimbulkan masalah kurang energi dan protein KEP.KEP dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Penyakit infeksi yang sering terjadi padapenderita kurang gizi adalah penyakit saluran pernafasan dan saluran pencernaan, penyakit ini dapat mengakibatkan gangguan dalam penyerapan zat gizi makanan, salah satunya Fe, bila terdapat 61 gangguan penyerapan Fe, maka akan terdapat kemungkinan terjadinya Anemia. Menurut Wirakusumah 1999 kekurangan konsumsi energi dapat menyebabkan anemia, hal ini terjadi karena pemecahan protein tidak lagi ditujukan untuk pembentukan sel darah merah dengan sendirinya menjadi kurang. Pemecahan protein untuk energi dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam tubuh. Pengaruh asupan energi terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam beberapa penelitian, yang mana remaja putri dengan asupan energi 100 AKG memiliki resiko mengalami anemia 3,13 Lestari, 1996, 3,2 Safyanti, 2002, 6,962 Kwatrin, 2007, 5,066 Satyaningsih, 2007 kali lebih tinggi dibandingkan remaja putri yang konsumsi energinya cukup. d Protein Protein dalam darah mempunyai mekanisme yang spesifik sebagai carrier bagi transportasi zat besi pada sel mukosa. Protein itu disebut transferring yang disintesa di dalam hati dan transferin akan membawa zat besi dalam darah untuk digunakan pada sintesa hemoglobin. Dengan berkurangnya asupan protein dalam makanan, sintesa transferring akan terganggu sehingga kadar dalam darah akan turun. Rendahnya kadar transferring dapat menyebabkan transportasi zat besi tidak dapat berjalan dengan baik, akibatnya kadar Hb akan menurun Hallberg, 1988. 62 Bridges 2008 dalam Yasmin 2012 menyatakan bahwa protein juga mempunyai peranan penting dalam transportasi zat besi dalam tubuh. Kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi terlambat sehingga akan terjadi defisiensi zat besi, disamping itu makanan yang tinggi protein terutama berasal dari daging, ikan dan unggas juga banyak mengandung zat besi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri yang asupan proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup atau memenuhi AKG. Safyanti 2002 mendapatkan hasil bahwa remaja putri yang asupan proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih 5,3 kali terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup, begitu juga dengan penelitian Dadin 2006 dalam Yasmin 2012 mendapatkan hubungan bermakna antara asupan protein dengan kejadian anemia dengan OR 5,06, penelitian Satyaningsih 2007 dan Kwatrin 2007 juga mendapatkan hubungan signifikan antara asupan protein dan anemia dengan masing-masing nilai OR nilai OR 4,255 dan 4,380.

2.7.4.3 Frekuensi Makan