Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Siswi Mts Ciwandan Kota Cilegon Tahun 2014

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA PADA SISWI MTS CIWANDAN

CILEGON-BANTEN TAHUN 2015

SKRIPSI

Disusun oleh Eka Pratiwi 109101000050

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN KEDOKTERAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH 2016


(2)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Agustus 2015

Eka pratiwi, NIM : 109101000050

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Siswi Mts Ciwandan Kota Cilegon Tahun 2014

Xviii + 192 halaman, 32 tabel, 2 bagan, 2 lampiran

ABSTRAK

Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Remaja putri termasuk golongan yang rawan menderita anemia karena mengalami menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbungan. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada siswi MTs Ciwandan Kota Cilegon. Rancangan penelitian cross sectional. Jumlah sampel 123 orang dipilih secara Cluster Samplingdari seluruh siswi MTs Ciwandan. Data asupan gizi diperoleh dengan food record, frekuensi makan diperoleh dengan FFQ, Sosial ekonomi, pola menstruasi dan konsumsi Tablet Fe melalui kuesioner terstruktur dan kadar hemoglobin dengan metode finger prick menggunakan HB meter. Data dianalisis secara Univariat dan Bivariat dengan Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan sosial ekonomi [pengetahuan (p=0,002), uang jajan (p=0,008), pendidikan orangtua (p=0,006), dan pendapatan orang tua (p=0,000)], pola menstruasi (p=0,000), Kebiasaan Makan [asupan gizi {asupan energi (p=0,001), asupan protein (p=0,000), asupan Vitamin C (p=0,000), asupan Fe


(3)

(p=0,011)} dan frekuensi makan {frekuensi makan dalam sehari (p=0,000), frekuensi makan sumber heme (p=0,000), frekuensi makan sumber non heme (p=0,000), frekuensi makan penghambat absorbs zat besi (p=0,000), frekuensi makan peningkat absorbsi zat besi (p=0,000). Tidak terdapat hubungan pola konsumsi Tablet Besi (p=0,339).


(4)

STATE ISLAMIC UNIBERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICAL AND HEALTH SCIENES

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Thesis, Agustus 2015

Eka Pratiwi, NIM: 109101000050

Factors Associated with Anemia Female Student in MTs Ciwandan Cilegon Town 2014

Xviii + 192 pages, 32 tables, 2 drawings, 2 attachment

ABSTRACT

Anemia is one oh nutritional problems, which needs to be highly concerned. Adolescent girls are included to a group which is suspectible to anemia because of their mothly menstruation and growth periods. Purpose of the study to determine factors associated with anemia female student in MTs Ciwandan Cilegon Town. The design of study was cross sectional. The amount of the sample was 123 people selected by cluster sampling of the all female student MTs Ciwandan. Nutrient intake data obtained with food record, frequency of eating data obtained with FFQ, socioeconomic, menstrual patterns, iron tablet consumtion through structured questionnaires and levels hemoglobin by finger prick method. Data were analyzed with univariate and bivariate Chi square. The results showed relationship of sosioeconomic [knowledge (p=0,002), allowance (p=0,008), parent education (p=0,006), dan parent revenue (p=0,000)], menstrual pattern (p=0,000), eating habit


(5)

(p=0,000), Fe intake (p=0,011)} dan frequency of eating {frequency of eating within a day (p=0,000), frequency of eating heme sources (p=0,000), frequency of eating non heme sources (p=0,000), frequency of eating resistor absorption iron(p=0,000), frequency of eating enhancer absorption iron (p=0,000). There is no relationship of iron tablet consumtion pattern (p=0,339).


(6)

(7)

(8)

BIODATA PENULIS

Nama : EKA PRATIWI

Tempat/Tanggal Lahir : Cilegon/27 Agustus 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Telp/HP : 085945497998

Alamat : jl.ir. Sutami ling. Cimerak Kota Cilegon Provinsi Banten

Email :Akhwat_nies@yahoo.com

Pendidikan

Tahun 1997-2002 : SDN 1 CILEGON Tahun 2002-2005 : SMPN 2 Cilegon

Tahun 2005-2008 : SMAN 2 Krakatau Steel Cilegon Tahun 2008-2015 : Mahasiswi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Alloh SWT, berkat hidayah, rahmat dan inayah-Nya yang tak terhingga yang telah melimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang dilaksanakan di Kota Cilegon.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyrakat Peminatan Gizi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga Kepada pihak-pihak terkait yang telah banyak membimbing dan banyak membantu terselesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada :

1. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS dan Bapak DR. Drs. M. Farid Hamzens, M.Si, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan dan saran yang sangat bermanfaat.

2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Febrianti, SP, M.Si dan Ibu Febriana, SKM, M.Si, selaku penguji yang telah meluangkan waktunya dan telah memberikan saran, masukan dan kritik dalam ujian skripsi ini.

3. Seluruh staf dosen FKIK, untuk ilmu dan juga bimbingan yang telah diberikan selama mengikuti pendidikan di FKIK.

4. Bapak Kepala Sekolah MTs Ciwandan yang telah memberikan ijin untuk dilaksanakannya penelitian ini dan seluruh staf pengajar yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.


(10)

5. Keluargaku tercinta, Orangtuaku, Saudara-saudaraku, Anak-anaku tersayang Hisyam dan Ibrahim, serta suamiku tercinta Yudan Suhara yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan baik tenaga, moril dan material serta doa yang tiada hentinya selama ini.

6. Teman-teman satu angkatan Gizi angkatan 2009 dan teman satu pembimbing akademik yang telah saling mendukung, memotivasi dan member semangat. 7. Seluruh responden dalam penelitian ini yang berperan sebagai sumber analisis

dalam penyusunan skripsi ini.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan laporan ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi peminatan Gizi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Ciputat, Januari 2016


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK .. i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI . viii

DAFTAR TABEL .... .. xviii

DAFTAR BAGAN xxii

BAB I PENDAHULUAN . 1

1.1 Latar Belakang .. 1

1.2 Rumusan Masalah . 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 9

1.4 Tujuan Penelitian .. 10

1.5 Manfaat Penelitian 11

1.6 Ruang Lingkup Penelitian 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja . 13

2.1.1 Pengertian Remaja 13

2.2 Anemia

2.2.1 Pengertian Anemia 15

2.2.2 Tanda-tanda Anemia . 15


(12)

2.2.4 Penyebab Anemia . 20

2.2.5 Jenis-jenis Anemia 21

2.2.6 Etiologi Anemia 24

2.2.7 Patofisiologi Anemia . 25

2.3 Anemia Gizi Besi (AGB) . 27

2.3.1 Pengertian Anemia Gizi Besi 27

2.3.2 Standar Penentu Anemia Gizi Besi .. 27

2.4 Hemoglobin (Hb) 28

2.4.1 Pengertian Hemoglobin .. 28

2.4.2 Fungsi Hemoglobin 22

2.4.3 Batas Nilai Kadar Hemoglobin ... 29

2.4.4 Cara Pengukuran Kadar Hemoglobin .. 30

2.5 Zat Besi .. 33

2.5.1 Pengertian Zat Besi . 33

2.5.2 Zat Besi dalam Tubuh . 34

2.5.3 Fungsi Zat Besi .. 35

2.5.4 Metabolisme Zat Besi .. 35

2.5.5 Kebutuhan Zat Besi . 36

2.6 Fasilitator Absorpsi Zat Besi 40


(13)

2.8 Metode Penilaian Konsumsi Gizi 41 2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada Remaja Putri 42

2.7.1 Sosial Ekonomi ... 43

2.7.1.1 Pengetahuan .. 43

2.7.1.2 Pendidikan 44

2.7.1.3 Pekerjaan .. 46

2.7.1.4 Pendapatan 46

2.7.1.5 Uang Jajan . 48

2.7.2 Status Gizi . 49

2.7.3 Kehilangan Darah .. .. 50

2.7.3.1 Pola Menstruasi .. . 50

2.7.3.2 Penyakit Infeksi 52

2.7.4 Kebiasaan Makanan .. 53

2.7.4.1 Kebiasaan Makan pada Remaja 54

2.7.4.2 Asupan Gizi .. 55

a) Zat Gizi . 55

b) Vitamin C 59

c) Energi .. 60

d) Protein . 61


(14)

2.7.4.3.1 Frekuensi Makan Sehari . 63 2.7.4.3.2 Frekuensi Makan Sumber Heme 64 2.7.4.3.3 Frekuensi Makan Sumber non Heme . 65 2.7.4.3.4 Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe 66 2.7.4.3.5 Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe 66

2.8 Kerangka Teori . 69

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL . 70

3.1 Kerangka Konsep 70

3.2 Definisi Operasional .. 71

3.3 Hipotesis Penelitian 78

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 79

4.1 Rancangan Penelitian 80

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian . 80

4.3 Populasi dan Sampel . 80

4.3.1 Populasi . 80

4.3.2 Sampel 80

4.4 Pengumpulan Data 82

4.5 Pengolahan dan Analisis Data .. 82

4.5.1 Instrumen Penelitian .. 82


(15)

4.5.2.1 Analisis Univariat .. 84

4.5.2.2 Analisis Bivariat . 84

BAB V HASIL . 86

5.1 Profil Madrasah Tsanawiyah Ciwandan . 86

5.1.1 Motto, Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah Ciwandan . 68

5.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data . 88

5.3 Karakteristik Responden 89

5.4 Analisis Univariat . 89

5.4.1 Anemia pada Siswi MTs Ciwandan 90

5.4.2 Sosial Ekonomi . 90

5.4.2.1 Pengetahuan 90

5.4.2.2 Uang Jajan .. 91

5.4.2.3 Pendapatan Orangtua .. 92

5.4.2.4 Pendidikan Orangtua .. 92

5.4.3 Pola Menstruasi . 93

5.4.5 Kebiasaan Makan 94

5.4.5.1 Asupan Zat Gizi .. 94

5.4.5.1.1 Asupan Energi . 94

5.4.5.1.2 Asupan Protein 95


(16)

5.4.5.1.4 Asupan Fe 96

5.4.5.2 Frekuensi Makan .. 97

5.4.5.2.1 Frekuensi Makan Sehari-hari 97

5.4.5.2.2 Frekuensi Makan Sumber Heme .. 97

5.4.5.2.3 Frekuensi Makan Sumber non Heme .. 98

5.4.5.2.4 Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe 99 5.4.5.2.5 Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe ... 100

5.5 Analisis Bivariat 100

5.5.1 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia pada Siswi Mts Ciwandan 101 5.5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan ... 101 5.5.1.2 Hubungan antara Uang Jajan Siswi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan 102

5.5.1.3 Hubungan antara Pendapatan Siswi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan 103

5.5.1.4 Hubungan antara Pendidikan Siswi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan 104

5.5.2 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan 105


(17)

MTs Ciwandan . 106 5.5.3.1 Hubungan antara Asupan Zat Gizi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan .. . 106

5.5.3.1.1 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan .. 106

5.5.3.1.2 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan . 107

5.5.4.1.3 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan . 108

5.5.4.1.4 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan . 109

5.5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan .. 110

5.5.3.2.1 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia

pada Siswi MTs Ciwandan .. . 110

5.5.3.2.2 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia

pada Siswi MTs Ciwandan ... 111

5.5.3.2.3 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Non Heme

dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan . 112 5.5.3.2.4 Hubungan antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe


(18)

dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan .. 114 5.5.3.2.5 Hubungan antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe

dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan 115

BAB VI PEMBAHASAN .. 116

6.1 Keterbatasan Penelitian 116

6.2 Status Anemia Gizi Besi Siswi MTs Ciwandan 117 6.3 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia Pada Siswi

Mts Ciwandan .. . 123

6.3.1 Hubungan Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan ... . 126

6.3.2 Hubungan Uang Jajan Siswi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan .. 132

6.3.3 Hubungan Pendapatan Siswi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan . 136

6.3.4 Hubungan Pendidikan Siswi dengan Anemia pada Siswi

MTs Ciwandan 141

6.4 Hubungan Pola Menstruasi dengan Anemia Pada Siswi

MTs Ciwandan .. 145

6.6 Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia Pada Siswi


(19)

6.6.1 Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Anemia Pada Siswi

MTs Ciwandan 149

6.6.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Anemia Pada Siswi

MTs Ciwandan ... 150

6.6.1.2 Hubungan Asupan Protein dengan Anemia Pada Siswi

MTs Ciwandan ... 154

6.6.1.3 Hubungan Asupan Vitamin C dengan Anemia Pada Siswi

MTs Ciwandan .. 158

6.6.1.4 Hubungan Asupan Fe dengan Anemia Pada Siswi

MTs Ciwandan 162

6.6.2 Hubungan Frekuensi Makan dengan Anemia Pada Siswi

MTs Ciwandan . .. 166

6.6.2.1 Hubungan Frekuensi Makan dalam Sehari-hari dengan Anemia

Pada Siswi MTs Ciwandan . 166

6.6.2.2 Hubungan Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia

Pada Siswi MTs Ciwandan .. 170

6.6.2.3 Hubungan Frekuensi Makan Sumber non Heme dengan Anemia

Pada Siswi MTs Ciwandan 173

6.6.2.4 Hubungan Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan Anemia


(20)

6.6.2.5 Hubungan Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia

Pada Siswi MTs Ciwandan 180

BAB VII PENUTUP .. . 185

7.1 Kesimpulan .. . 185

7.2 Saran .. 187

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

2.1 Standar Penentu Anemia Gizi Besi 28

2.2 Kadar Hemoglobin Normal . 30

2.3 Kebutuhan Zat Besi .. 37

2.4 Angka Kecukupan Zat Besi yang dianjurkan (perhari) 38

2.5 Kandungan Zat Besi dalam Bahan Makanan 56

3.1 Definisi Operasional 71

5.1 Distribusi Frekuensi Anemia Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 90

5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 90

5.3 Distribusi Frekuensi Uang Saku Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 91

5.4 Distribusi Frekuensi Pendapatan Orangtua Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 .. 92

5.5 Distribusi Frekuensi Pendidikan Oraangtua Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 .. 92

5.6 Distribusi Frekuensi Pola Menstruasi Siswi MTs Ciwandan


(22)

5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Energi Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 94

5.8 Distribusi Frekuensi Asupan Protein Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 95

5.9 Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin C Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 .. 95

5.10 Distribusi Frekuensi Asupan Fe Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 96

5.11 Distribusi Frekuensi Makan dalam Sehari-hari Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 .. 97

5.12 Distribusi Frekuensi Makan Sumber Heme Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 97

5.13 Distribusi Frekuensi Makan Sumber non Heme Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 98

5.14 Distribusi Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 99

5.15 Distribusi Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan

Cilegon-BantenTahun 2014 .. 100

5.16 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs

Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 101

5.17 Hubungan antara Uang Saku Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs

Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 102


(23)

5.19 Hubungan antara Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Sisiwi MTs

Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 104

5.20 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Sisiwi MTs

Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 105

5.21 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan

Cilegon-Banten Tahun 2014 106

5.22 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan

Cilegon-Banten Tahun 2014 . 107

5.23 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Sisiwi MTs

Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 108

5.24 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan

Cilegon-Banten Tahun 2014 . 109

5.25 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 110 5.26 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia pada

Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 .. 111 5.27 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber non Heme dengan Anemia pada

Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 112 5.28 Hubungan antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan Anemia

pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 113 5.29 Hubungan antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia


(24)

DAFTAR BAGAN

Nomor Bagan Halaman

2.1 Kerangka Teori . 69


(25)

BAB I

PENDAHULUAN

`

1.1 Latar Belakang

Anemia adalah keadaan di mana terjadi penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) yang ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit (red cell count).Sintesis hemoglobin memerlukan ketersediaan besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Protein berperan dalam pengangkutan besi ke sumsum tulang untuk membentuk molekul hemoglobin yang baru (Gallagher, 2008)

Anemia yang terjadi pada remaja putri merupakan risiko terjadinya gangguan fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada saat kehamilan nantinya (Sediaoetama, 1992).Menurut Yip (1998) status zat besi harus diperbaiki pada saat sebelum hamil yaitu sejak remaja sehingga keadaan anemia pada saat kehamilan dapat dikurangi.

Remaja merupakan tahap di mana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Remaja dalam masyarakat dikenal dengan berbagai istilah yang menunjukkan kelompok umur yang tidak termasuk kanak-kanak tetapi bukan pula dewasa (Yusuf, 2011).


(26)

Remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makan dan banyak pantangan terhadap makanan.Selain itu adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi (Sediaoetama, 2003).Remaja putri juga memerlukan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi untuk pertumbuhannya. Kecukupan gizi sangat diperlukan remaja sampai usia lanjut.

Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita anemia.Oleh karena itu, sasaran program penanggulangan anemia gizi telah dikembangkan yaitu mencapai remaja putri SMP, SMA, dan sederajat, serta wanita di luar sekolah sebagai upaya strategis dalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi.Walaupun begitu, prevalensi anemia di kalangan remaja putri masih tergolong dalam kategori tinggi.Hal ini mengindikasikan anemia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia (Poltekes Depkes, 2010).

Remaja putri memiliki risiko sepuluh kali lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan dengan remaja putra.Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbuhan sehingga membutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak.Selain itu, ketidakseimbangan asupan zat gizi juga menjadi penyebab anemia pada remaja.Remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk tubuh, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makanan dan banyak pantangan terhadap makanan (National Anemia Action Council, 2011).Bila asupan makanan kurang maka cadangan besi banyak yang


(27)

dibongkar.Keadaan seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia (Agus, 2004).

Menurut WHO, Prevalensi anemia dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat dikatgorikan sebagai berikut: bukan masalah kesehatan masyarakat jika <5%, masalah kesehan masyarakat tingkat ringan jika 5-19,9%, masalah kesehatan tingkat sedang jika 20-39,9%, dan merupakan masalah kesehatan tingkat berat jika 40% (Depkes, 2003). Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Lebih dari setengah penduduk dunia usia pra sekolah dan wanita hamil berada di Negara-negara yang mengalami anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat tingkat berat dengan presentase sebesar 56,3% dan 57,5%. Sedang presentase wanita tidak hamil yang mengalami anemia sebesar 29,6% (McLean, 2007). Anemia pada umumnya terjadi di seluruh dunia, terutama Negara berkembang (developing countries) dan pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45% wanita di Negara berkembang dan 13% di Negara maju (Fatmah dalam FKM UI, 2009).

Kasus anemia di Indonesia terdapat 19,7% perempuan, 13,1% laki-laki dan 9,8% anak yang mengalami anemia. Sebanyak 60,2% dari anemia tersebut adalah anemia mikrositik hipokrom (sel yang kecil dengan jumlah hemoglobin yang sedikit dalam sel), yang paling banyak disebabkan oleh anemia defisiensi besi (Riskesdas 2007).Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010 yaitu sementara lebihdari 10 % anak usia sekolah di Indonesia mengalami anemia (Riskesdas, 2010).


(28)

Prevalensi anemia di kota Cilegon pada remaja putri di wilayah puskesmas sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13 tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri usia 14-17 tahun menderita anemia sebesar 76,69%(337 orang) (Dinkes kota Cilegon, 2012).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan MTs Negeri Ciwandan pada bulan Mei tahun 2014 dengan melakukan pengukuran kadar Hb menggunakan alat Hb meter Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri kelas 8 adalah sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut termasuk kedalam masalah kesehatan tingkat ringan.

Anemia defisiensi besi lebih cenderung berlangsung di negara berkembang, dibandingkan dengan negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang (Arisman, 2010).

Di Indonesia terdapat empat masalah gizi remaja yang utama yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI), dan Kurang Vitamin A (KVA). Anemia gizi merupakan masalah gizi yang paling utama di Indonesia, yang disebabkan karena kekurangan zat besi.Anemia gizi dapat disebabkan karena kekurangan zat gizi yang berperan


(29)

dalam pembentukan hemoglobin yaitu besi, protein, Vitamin C, Piridoksin, Vitamin E (Almatsier, 2002).

Menurut USAID (2003) diketahui bahwa terjadinya anemia disebabkan oleh beberapa faktor.Penyebab utama dapat dikategorikan dengan kategori rendah, kekurangan, atau produksi sel darah merah yang abnormal; pemecahan sel darah merah yang berlebihan; dan hilangnya sel darah merah secara berlebihan.Penyebab yang berkaitan dengan kurang gizi, dihubungkan pada asupan makanan, kualitas makanan, sanitasi dan perilaku kesehatan; kondisi lingkungan sekitar; akses kepada pelayanan kesehatan; dan kemiskinan.Penyebab yang penting juga disesuaikan dengan daerah.

Remaja yang lebih sering mengalami anemia adalah remaja putri, hal ini di sebabkan remaja putri dalam usia reproduksi setiap harinya memerlukan zat gizi tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan remaja putra karena remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya (Arisman, 2004). Selain itu, telah diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakankonsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi.Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia.

Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan


(30)

darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (Arumsari, 2008). Hal ini diperparah dengan pola konsumsi remaja putri yang terkadang melakukan diet pengurusan badan sehingga semakin sedikit zat besi yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Latar Belakang dan tradisi kebiasaan makan berhubungan dengan lingkungan hidup, tingkat kehidupan serta pendidikan seseorang. Tidak sedikit remaja putri yang melakukan suatu upaya menghilangkan kebiasaan makan pagi atau siangnya untuk mengurangi berat badannya, sedangkan makan yang bernilai gizi seperti telur, susu dan sayuran sedapat mungkin tidak dimakan. Akibatnya mereka mengalami kekurangan beberapa zat gizi makanan terutama zat kapur dan besi. (Suhardjo, 1989).

Kejadian anemia tidak terlepas dari masalah kesehatan lainnya, bahkan dampaknya dinilai sebagai masalah yang sangat serius terhadap kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kejadian anemia pada anak-anak dapat berdampak pada menurunnya kemampuan dan konsentrasi belajar, menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasaan otak, meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya tahan tubuh menurun. Dampak anemia pada wanita dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit dan menurunkan produktivitas kerja. Kadar hemoglobin dengan produktivitas kerja menunjukkan adanya korelasi yang positif, hal ini berarti semakin rendah kadar Hb, maka produktivitas kerja subjek semakin menurun (Widyastuti, 2008)


(31)

kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.

Dari data tersebut menggambarkan bahwa masalah anemia khususnya pada remaja putri masih cukup tinggi.Anemia juga sampai saat ini masih merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi tingginya angka kematian ibu di Indonesia, maka upaya pencegahannya adalah mengetahui sejak dini apakah seseorang menderita anemia dan segera mengupayakan langkah-langkah penanggulangan anemia.

Tingginya prevalensi dan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadi anemia pada remaja putri melatarbelakangi penulis untuk mengetahui gambaran prevalensi dan hubungan sosial-ekonimi,pola menstruasi serta kebiasaan makan terhadap kejadian anemia pada remaja putri di MTs Ciwandan tahun 2015.

1.2 Rumusan Masalah

Kejadian anemia yang banyak diderita oleh banyak wanita pada umumnya dan remaja putri pada remaja putri pada khususnya adalah diakibatkan oleh faktor tidak langsung yaitusosial ekonomi dan faktor langsung seperti pola menstruasi


(32)

(frekuensi haid dan lama haid) dan kebiasaan makan (asupan zat gizi, frekuensi makan, kebiasaan minum teh).Remaja putri yang menderita anemia, akan mudah mengalami infeksi, kebugaran/kesegaran tubuh berkurang dan semangat belajar serta prestasi menurun, sehingga ketika akan menjadi calon seorang ibu, mereka berada dalam keadaan resiko tinggi. Pertumbuhan yang pesat pada remaja memiliki zat besi dalam jumlah yang tidak mencukupi, akan mengalami kondisi sakit yang berulang dengan frekuensi sering.

Prevalensi anemia di kota Cilegon pada remaja putri di wilayah puskesmas sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13 tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri usia 14-17 tahun menderita anemia sebesar 76,69% (337 orang).Berdasarkan Studi pendahuluan yang dilakukan MTs Negeri Ciwandan pada bulan Mei tahun 2014 dengan melakukan pengukuran kadar Hb menggunakan alat Hb meter Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri kelas 8 adalah sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut termasuk kedalam masalah kesehatan tingkat ringan.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran prevalensi dan hubungan sosial ekonomi, pola menstruasi dan kebiasaan makan dengan kejadian anemia pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015.


(33)

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan tahun 2015?

2. Bagaimana gambaran sosial ekonomi (pengetahuan, uang jajan, pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015? 3. Bagaimana gambaran pola menstruasi pada siswi di MTs Ciwandan tahun

2015?

4. Bagaimana gambaran Kebiasaan Makan (asupan gizi dan fekuensi makan)siswidi MTsCiwandan tahun 2015?

5. Bagaimana hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) dengan kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun 2015?

6. Bagaimana hubungan pola menstruasi dengan kejadian anemia pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015?

7. Bagaimana hubungan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan) dengan kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun 2015?


(34)

1.4 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dengan anemia pada siswi diMTs Ciwandan tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran sosial ekonomi (pengetahuan, uang jajan, pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan tahun 2015.

b. Untuk mengetahui gambaran pola menstruasi padasiswidi MTs Ciwandan tahun 2015.

c. Untuk mengetahui gambaran Kebiasaan makan (asupan makan dan frekuensi makan) pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015.

d. Untuk mengetahui hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) dengan anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun 2015.

e. Untuk mengetahui hubungan antara pola menstruasi dengan anemia pada siswi di MTs Ciwandan Tahun 2015.

f. Untuk mengetahui hubungan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan)dengan anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun 2015.


(35)

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi MTs Ciwandan

Untuk dijadikan bahan informasi tentang pentingnya mengkonsumsi asupan zat gzi untuk memenuhi zat besi dalam tubuh serta efek kejadian anemia terhadap prestasi belajar di sekolah sebagai bahan untuk mengembangkan kegiatan kesehatan sekolah dan perbaikan kesehatan. 2. Bagi Puskesmas Citangkil

Untuk dijadikan bahan informasi dan dasar untuk mengembangkan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan di sekolah-sekolah khususnya Madrasah Tsanawiyah Ciwandan.

3. Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman penulis tentang manfaat asupan zat gizi yang dapat mencegah dari defisiensi zat besi serta sebagai sarana pembelajaran melakukan penelitian ilmiah sekaligus mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat di bangku perkuliahan dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penilitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan metode cross sectional study, karena selain mendeskriskipkan juga menganalisa hubungan antara variable independen sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu), pola menstruasi,


(36)

dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan) dengan variable dependen anemia pada remaja putri.

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa umur, kadar Hb, sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu), pola menstruasi, dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan) dan data sekunder berupa jumlah siswi putrid di MTs Ciwandan dan Profil MTS Ciwandan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015


(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja

2.1.1 Pengertian Remaja

Menurut Kartono (1990) masa remaja adalah masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa latinadolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa .Istilahadolescence(dalam bahasa Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999).

Batasan usia remaja diungkapkan oleh beberapa ahli, diantaranya oleh Monks, dkk (1999) yang membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga tahap, yaitu :

1) Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada rentang usia ini remaja mengalami pertumbuhan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi, namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya (Kartono, 1990). 2) Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan, namun sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Pada rentang usia ini mulai timbul


(38)

kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot. Pada masa ini remaja mulai menemukan diri sendiri atau jati dirinya (Kartono, 1990).

3) Masa remaja akhir (18-21 tahun)

Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri, dengan itikad baik dan keberanian.Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditentukannya (Kartono, 1990).

Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (groe spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15% dari tinggi badan dan 50% dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan pengeluaran energi. Masa tulang meningkat sebesar 45% dan remodelingtulang terjadi: jaringan lunak, organ-organ dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena


(39)

adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio, 2000)

2.2 Anemia

2.2.1 Pengertian Anemia

Anemia adalah tingkat kekurangan zat besi yang paling berat dan terjadi bila konsumsi hemogobin jauh dibawah ambang batas yang ditentukan. Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dalam darahnya kurang dari 12gr%. Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin dibawah 11gr% pada trimester I dan trimester II (Muryanti, 2006)

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari nilai normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Gejala yaitu lemah, lesu, letih, mudah mengantuk, napas pendek, nafsu makan berkurang, bibir tampak pucat, susah buang air besar, denyut jantung meningkat dan kadang-kadang pusing.Pengertian lain anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume sel pada sel darah merah (hematokrit) per 100ml darah (Adriaansz,2008)

2.2.2 Tanda-tanda anemia

Menurut Kurniawan, dkk (2002), tanda-tanda Anemia meliputi: a) Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L)


(40)

c) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat.

Menurut Handayani dan Haribowo (2008), gejala anemia dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu sebagai berikut:

1) Gejala Umum anemia

Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah:

a) Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.

b) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mataberkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.

c) Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun. d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit


(41)

Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai berikut:

a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.

b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue) c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.

d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi.

3) Gejala Akibat Penyakit Dasar

Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia.Gejala ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.

2.2.3 Dampak Anemia

Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks. Menurut Ros & Horton (1998), Anemia Gizi Besi berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan buruknya


(42)

persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.

Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh.Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA.Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi.Disamping itu, sel darah putih yang menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya akibat defisiensi besi (Almatsier, 2001).

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat kaitannya dengan penurunan kemampuan motorik (dampak fisik).Dilihat dari dampak fisik, anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi pengolahan (metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk menyesuaikan dengan berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi produksi energi. Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila


(43)

Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita anemia gizi besi akan menurunkan produktivitas kerja. Menurunnya produktivitas kerja, selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin darah, juga disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim mengandung besi, dimana besi sebagai kofaktor enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme energi tersebut (Almatsier,2001)

Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi besi akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan kemampuan belajar, dan pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar. Menurut Lozzoff dan Youdim (1988) dalam Almatsier (2001), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara defisiensi besi dengan fungsi otak.Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter (penghantar syaraf).Akibatnya, kepekaan reseptor syaraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh juga menurun (Lozzoff & Youdim,1988 dalam Almatsier,2001)


(44)

2.2.4 Penyebab Anemia

Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung.Faktor penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah, kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan.Di dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut mioglobin di dalam sel-sel otot.

Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (DepKes.RI, 1998 dalam Hulu, 2004). Menurut Almatsier (2001), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang


(45)

mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.

Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor penyebab tidak langsung, yang meliputi praktek pemberian makanan yang kurang baik, komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan kesehatan yang rendah, terdapatnya zat penghambat absorbsi,serta keadaan sosial ekonomi masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian,1992). Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain.

2.2.5 Jenis-jenis Anemia

Menurut Herawati (2009), Pembagian jenis-jenis anemia berdasarkan faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:

1) Anemia karena defisiensi besi

Anemia defisiensi besi ialah anemia yang disebabkan oleh cadangan besi tubuh berkurang.Keadaan ini ditandai dengan saturasi transferin menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang (Wirawan, 1995). Menurut Walmsley et al. secara berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width


(46)

(RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume(MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin (Walmsley, 1999).

Diatasi dengan pemberian suplemen dan mengkonsumsi makanan yang kaya zat besi, contohnya: daging sapi atau kambing, buncis, sereal yang diperkaya besi dan kacang-kacangan.

2) Anemia karena defisiensi vitamin B12 dan Asam Folat

Kekurangan kedua vitamin ini menyebabkan sumsum tulang memproduksi sel darah merah yang berukuran sangat besar.Bagaimanapun ukuran sel bukan tolak ukur pada kemampuannya dalam membawa lebih banyak oksigen.Anemia jenis ini dapat diatasi dengan pemberian injeksi vitamin B12. Sedangkan kekurangan folat bias diatasi dengan pemberian suplemen folat. Sumber makanan yang mengandung vitamin B12 dan folat adalah daging dan produk olahan susu.

3) Anemia karena penyakit kronik

Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1 2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan endokrin.Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar patogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3 abnormalitas utama: (1) ketahanan hidup eritrosit


(47)

sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun, gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi (Lee, 1993).Tidak ada pengobatan spesifik untuk anemia jenis ini. Dokter akan berusaha mengatasi penyakit yang mendasarinya. Jika kondisinya sangat parah diperlukan transfuse darah

4) Anemia Aplastik

Organ penting dalam pembentukan sel darah merah adalah sumsum tulang.Fungsinya memproduksi semua jenis sel darah, mulai sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (keeping darah).Seandainya organ tersebut gagal dalam menjalankan fungsinya, maka mengakibatkan anemia aplastik.Angka kematian disebabkan anemia aplastik sangat tinggi.Biasanya kematian disebabkan infeksi dan pendarahan. Pada tipe berat ini penderita bias sembuh jika dilakukan transplantasi sumsum tulang dan harus menggunakan obat-obatan penekan sistem kekebalan (immunosupressan) seumur hidup. Pada jenis yang tidak parah, kombinasi immunosupressan (steroid) dan siklosporin. Pada anemia aplastik, transfusi darah memang membantu, namun sifatnya simptomatik artinya hanya mengatasi gejala saja, akan tetapi anemia tetap berulang.

5) Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam


(48)

sumsum tulang, limpa dan hati dapat mengetahuinya kemudian berusaha untuk merusaknya.Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum waktunya (hemolisis) sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan sel darah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik. Ada juga obat-obatan yang merangsang terjadinya anemia ini, seperti obat tuberculosisyaitu rifampisin (antibiotic golongan koinolin) yang mempunyai antibody menmpel di sel darah merah meluruh (lisis)

6) Anemia bulan sabit (sicle cell anemia)

Anemia tipe ini merupakan anemia yang diturunkan (herediter).Permasalahannya terdapat pada sel darah merah.Pada kondisi normal bentuk sel darah merah fleksibel dan bulat, sedangkan pada penderita sicle cell anemia sel darah terbentuk sickle (sabit). Bentuk yang ireguler ini akan mati premature, mengakibatkan kondisi kekurangan sel darah merah yang kronik. Kasus ini terutama terjadi pada ras Afrika dan Arab.

2.2.6 Etiologi Anemia

1) Tahap pertama, meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai berdasarkan penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai konsekuensi fisiologis yang buruk, namun keadaan ini menggambarkan


(49)

untuk jangka waktu lama. Sehingga dapat terjadi defisiensi besi yang berat.

2) Tahap kedua, ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan ini terjadi penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan protoporfirin eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin serum.

3) Tahap ketiga, defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena defisiensi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl (vijayaraghavan, 2004).

2.2.7 Patofisiologi Anemia

Berdasarkan patogenesisnya, anemia digolongkan dalam 3 kelompok (Wintrobe at all, 1999) yaitu:

1) Anemia karena kehilangan darah

Anemia karena kehilangan darah akibat perdarahan yaitu terlalu banyaknya sesl-sel darah merah yang hilang dari tubuh seseorang, akibat dari kecelakaan dimana perdarahan mendadak dan banyak jumlahnya, yang disebut perdarahan ekternal.Perdarahan dapat pula disebabkan karena racun, obat-obatan atau racun binatang yang menyebabkan penekanan terhadap pembuatan sel-sel darah merah.Selain itu ada pula perdarahan kronis yang terjadi sedikit demi sedikit tetapi terus menerus.Perdarahan ini disebabkan oleh kanker pada saluran pencernaan, peptic ulser, wasir yang dapat menyebabkan anemia.


(50)

2) Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah

Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah dapat terjadi karena bibit penyakit atau parasit yang masuk kedalam tubuh, seperti malaria atau cacing tambang, hal ini dapat menyebabkan anemia hemolitik.Bila sel-sel darah merah rusak dalam tubuh, zat besi yang ada di dalam tidak hilang tetapi dapat digunakan kembali untuk membentuk sel-sel darah merah yang baru dan pemberian zat besi pada anemia jenis ini kurang bermaanfaat.Sedangkan asam folat dirusak dan tidak dapat digunakan lagi oleh karena itu pemberian asam folat sangat diperlukan untuk pengobatan anemia hemolitik ini.

3) Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah

Sumsum tulang mengganti sel darah yang tua dengan sel darah merah yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang hilang, sehingga jumlah sel darah merah yang dipertahankan selalu cukup banyak di dalam darah, dan untuk mempertahakannya diperlukan cukup banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia zar gizi dalam jumlah yang cukup akan terjadi gangguan pembentukan sel darah merah baru. Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah, dapat timbul karena, kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat, asam pantotenat, vitamin B12, protein kobalt, dan tiamin, yang kekurangannya biasa disebut anemia gizi. Selain itu juga kekurangan eritrosit, infiltrasi sum-sum tulang, kelainan endokrin dan penyakit


(51)

2.3 Anemia Gizi Besi

2.3.1 Pengertian Anemia Gizi Besi

Anemia gizi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006). Anemia gizi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).

2.3.2 Standar Penentu Anemia Gizi Besi

Untuk mendeteksi keadaan anemia seseorang, parameter yang biasa dan telah digunakan secara luas adalah hemoglobin (Hb), karena pada umumnya tujuan dari berbagai penelitian adalah menetapkan prevalensi anemia dan bukan prevalensi kurang besi.Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan hemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa, dkk., 2002).


(52)

Tabel 2.1

Standar Penentu Anemia Gizi Besi

Kelompok Umur Hb dalam darah (g/dl) 6bulan- 5tahun

6-18 tahun Wanita dewasa Wanita hamil Laki-laki dewasa

<11 <12 <12 <11 <13

Sumber: Sukirman (1999/2000) dalam (Yayuk Farida dkk,2004: 22)

2.4 Hemoglobin

2.4.1 Pengertian Hemoglobin

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah.Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Pearce, 2009).

Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan conjugated protein. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka protoperphyrin dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah karena Fe ini.Eryt Hb berikatan dengan karbondioksida menjadi karboxy hemoglobindan warnanya merah tua.Darah arteri mengandung oksigen dan darah vena mengandung karbondioksida (Depkes RI dalam Widayanti, 2008).


(53)

Menurut William, Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk bulat yang terdiri dari 4 subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida.Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi.Polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin (Shinta, 2005).

2.4.2 Fungsi Hemoglobin

Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot.Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari saluran pencernaan (Soekirman, 2000).

Hemoglobin merupakan komponen yang amat penting dalam mempertahankan keutuhan sistem sirkulasi tubuh.Fungsi utamanya adalah dalam mengatur pertukaran O2 dan CO2 dalam jaringan tubuh yaitu mengambil O2 dari paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan tubuh untuk digunakan sebagai bahan bakar serta membawa CO2 dari jaringan tubuh hasil metabolisme ke paru untuk dibuang.Hemoglobin juga turut berfungsi dalam mempertahankan bentuk normal sel darah merah (Hoffbrand, 2006).


(54)

2.4.3 Batas Nilai Kadar Hemoglobin (Hb)

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Depkes RI, 1996). Anemia menurut World Health Organization (WHO) yang dikutip Stuart Gillespie (1996) diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar haemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan normal untuk kelompok yang bersangkutan. WHO telah menggolongkan penetapan kadar normal hemoglobin dalam berbagai kelompok seperti di bawah ini:

Tabel 2.2

Kadar Hemoglobin Normal

Usia Hemaglobin (g/dl)

Anak 6 bulan-5 tahun Anak 5 tahun-18 tahun Wanita dewasa

11 12 12-14 Sumber: Arisman, 2004

2.4.4 Cara Pengukuran Kadar Hemoglobin

Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan bermacam-macam cara. Cara yang banyak dipakai dalam laboratorium klinik ialah cara


(55)

fotoelektrik dan kalorimetrik visual dan yang banyak digunakan di lapangan penelitian ialah hemoglobinometer digital (WHO, 2001 dalam Raptauli 2012).

Metode pengukuran kadar hemoglobin yang paling sering digunakan di laboratorium dan paling sederhana adalah metode Sahli. Cara yang cukup teliti dan dianjurkan oleh International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) adalah cara sian-methemoglobin. Pada metode ini, hemoglobin dioksidasi olehkalium ferrosianidamenjadi methemoglobinyang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk sian-methemoglobin yang berwarna merah.Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Penentuan Hb dengan cara ini memerlukan spektrofotometer yang harga dan biaya pemeliharannya mahal, maka cara ini belum dapat dipakai secaraluas di Indonesia. Mengingat bahwa membawa spektrofotometer dapat menyebabkan kerusakan pada alatnya. Metode ini baik untuk dipakai dalam pemeriksaan kadar Hb di laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika digunakan untuk survei lapangan (Supariasa, dkk., 2002).

Cara fotoelektrik atau sianmethemoglobin dilakukan dengan prinsip untuk mengubah hemoglobin darah menjadi sianmethemoglobin dalam larutan yang berisi kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang dipakai pada cara ini mengubah hemoglobin, oksihemoglobin, methemoglobin dan


(56)

karboksihemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Kadar hemoglobin ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan absorbansi standard sianmethemoglobin. Kelebihan dari metode ini adalah cara ini sangat bagus untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan kadar hemoglobin dengan teliti karena standar sianmethemoglobinyang ditanggung kadarnya bersifat stabil. Kesalahan cara ini dapat mencapai kira-kira 2%. Kelemahan dari cara ini adalah kekeruhan dalam suatu sampel darah dapat mengganggu pembacaan dalam fotokalorimeter dan menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari sebenarnya contohnya pada keadaan leukositosis dan lipemia (Wijayanti, 2005).

Cara pengukuran hemoglobin yang berikutnya adalah cara kalorimetrik visual atau sahli. Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi asam hematin dengan menggunakan larutan HCl, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standar dalam alat itu. Di Indonesia cara sahli masih banyak digunakan di laboratorium-laboratorium kecil yang tidak mempunyai fotokalorimeter. Tetapi, cara ini tidak begitu dianjurkan karena bukanlah cara yang teliti dan hanya berlandaskan pengukuran secara visual dan kesalahan cara ini adalah kira-kira 10% (Wijayanti, 2005).

Hemoglobinometer digital merupakan metode kuantitatif yang terpercaya dalam mengukur konsentrasi hemoglobin di lapangan penelitian


(57)

strip yang digunakan. Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah ferrosianida. Reaksi tindak balas akan menghasilkan arus elektrik dan jumlah elektrik yang dihasilkan adalah bertindak balas langsung dengan konsentrasi haemoglobin. Hemoglobinometer digital merupakan alat yang mudah di bawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena teknik untuk pengambilan sampel darah yang mudah dan pengukuran kadar hemoglobin tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi dan presisi yang tinggi berbanding metode laboratorium yang standar.Alat ini juga stabil dan tahan lasak walaupun digunakan dalam jangka masa yang lama (Hamill, 2010)

2.5 Zat Besi

2.5.1 Pengertian Zat Besi

Zat besi merupakan microelemen yang esensial bagi tubuh.Zat ini terutama diperlukan dalam hemopobesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb) (Achmad Djaeni, 2000).

Zat besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin, ketika tubuh kekurangan zat besi (Fe), produksi hemoglobin akan menurun. Penurunan hemoglobin sebetulnya akan terjadi jika cadangan zat besi (Fe) dalam tubuh sudah benar-benar habis. Kurangnya zat besi (Fe) dalam tubuh pada ibu hamil atau orang dewasa disebabkan karena perdarahan menahun, atau berulang-ulang yang bisa dari semua bagian tubuh.Faktor resiko defisiensi zat besi (Fe) pada wanita karena cadangan besi dalam tubuh lebih sedikit


(58)

sedangkan kebutuhannya lebih tinggi antara 1-2 mg zat besi secara normal (Muryanti, 2006).

2.5.2 Zat besi dalam tubuh

Salah satu mikronutrien essensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang merupakan mineral mikro paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan, namun banyak penduduk di dunia termasuk Indonesia yang mengalami; kekurangan besi (Almatsier,2002).

Jumlah zat besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 gr tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di dalam tubuh terdapat dalam haemoglobin sebanyak 1,5-3,0 gr dan sisa lainnya terdapat di dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan protein yang disebut transferin yaitu sebanyak 3-4 gr. Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu status esensial dan bukan esensial. Disebut esensial karena tidak dapat dipakai untuk pembentukan Hb maupun keperluan lainnya (Soeparman, 1990).

Sedangkan menurut Guyton dan Hall (1997) Jumlah total besi dalam tubuh rata-rata 4-5 gram, lebih kurang 65 persennya dijumpai dalam bentuk hemoglobin. Sekitar 4 persennya dalam bentuk mioglobin, 1 persen dalam bentuk macam-macam senyawa heme yang meningkatkan oksidasi intraseluler, 0,1 persen bergabung dengan protein transferin dalam plasma


(59)

darah dan 15-30 persen terutama disimpan dalam sistem retikuloendotelial dan sel parenkim hati, khususnya dalam bentuk feritin.

2.5.3 Fungsi zat besi

Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, zat ini terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb) (Moehji, 1995).

Seorang ibu yang dalam masa kehamilannya telah menderita kekurangan zat besi tidak dapat memberi cadangan zat besi kepada bayinya dalam jumlah yang cukup untuk beberapa bulan pertama. Meskipun bayi itu mendapat air susu dari ibunya, tetapi susu bukanlah bahan makanan yang banyak mengandung zat besi karena itu diperlukan zat besi untuk mencegah anak menderita anemia (Arifin, 2000).

2.5.4 Metabolisme zat besi

Besi yang ada pada bahan makanan adalah besi elemen.Hanya Fe++ ini yang diabsorbsi usus halus. Untuk mengatur masuknya besi dalam tubuh maka tubuh memiliki suatu cara yang tepat guna. Besi hanya dapat masuk ke dalam mukosa apabila ia dapat bersenyawa dengan apoferritin. Jumlah apoferritin yang ada dalam mukosa usus tergantung pada kadar besi tubuh. Bila besi dalam tubuh sudah cukup maka semua apoferritin yang ada dalam mukosa usus terikat oleh Fe menjadi Ferritin. Dengan demikian tidak ada lagi apoferitin yang bebas sehingga tidak ada besi yang dapat masuk ke


(60)

dalam mukosa. Besi yang ada dalam mukosa usus hanya dapat masuk ke dalam darah bila ia berikatan dengan -globulin yang ada dalam plasma. Gabungan Fe dengan -globulin disebut ferritin.

Apabila semua -globulin dalam plasma sudah terikat Fe (menjadi feritin) maka Fe++ yang terdapat dalam mukosa usus tidak dapat masuk ke dalam plasma dan turut lepas ke dalam lumen usus sel mukosa usus lepas dan diganti dengan sel baru.Hanya Fe++ yang terdapat dalam transferrin dapat digunakan dalam eritropoesis, karena sel eritoblas dalam sumsum tulang hanya memiliki reseptor untuk ferritin.

Kelebihan besi yang tidak digunakan disimpan dalam stroma sumsum tulang sebagai ferritin.Besi yang terikat pada -globulin selain berasal dari mukosa usus juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua masuk ke dalam jaringan limpa untuk kemudian terikat pada -globulin (menjadi transferin) dan kemudian ikut aliran darah ke sum-sum tulang untuk digunakan eritoblas membentuk hemoglobin. Hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh, oleh karena itu apabila terjadi kekurangan hemoglobin mengakibatkan anemi sehingga aktivitas tubuh terutama daya berpikir akan menurun (Kuntarti, 2009).

2.5.5 Kebutuhan zat besi

Kebutuhan zat besi yang diserap berbeda-beda antara individu, umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis.secara umum,kebutuhan zat besi yang diserap


(61)

Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Besi

Umur / Jenis Kelamin Mg

0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun Laki-laki 10-12 tahun 13-15 16-18 19->80 Wanita 10-12 tahun 13-15 16-18 19-29 30-49 50->80 -7 8 9 10 13 19 15 13 20 26 26 26 26 12 Sumber: AKG (2013)


(62)

Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang dewasa apabila dihitung bedasarkan kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun dan anak yang berumur 6-16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya dengan laki-laki dewasa. Anak-anak sejak bayi sampai remaja memerlukan zat besi untuk pertumbuhan dan meningkatkan massa sela darah serta mengganti sel darah yang hilang (Soemantri, 2005).

Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui tinja, air kencing dan kulit.Jumlah zat besi yang hilang sangat bervariasi untuk setiap orang. Pada orang yang mempunyai simpanan zat besi tinggi,maka zat besi yang dikelurkan dari tubuh juga tinggi, sebaliknya orang-orang yang anemia jumlah zat besi yang dikeluarkan tubuh adalah rendah. Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan maka kebutuhan zat besi diperlukan untuk pertumbuhan jaringan tubuh (DeMaeyer, 1995). Kecukupan zat besi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari ditunjukkan pada tabel 2.4

Tabel 2.4 Angka Kecukupan Zat Besi yang dianjurkan (perhari)

Golongan Umur Berat

Badan (kg) Tinggi Badan (cm) Konsumsi Zat Besi (mg) 0-6 bulan 7-12 bulan 1-3 tahun 5,5 8,5 12 60 71 90 3 5 8


(63)

4-6 tahun 7-9 tahun Pria 10-12 tahun 13-15 tahun 16-19 tahun 20-45 tahun 46-59 tahun 60 tahun Wanita 10-12 tahun 13-15 tahun 16-19 tahun 20-45 tahun 46-59 tahun 60 tahun Hamil/menyusui 0-6 bulan 7-12 bulan 18 24 30 45 56 62 62 62 35 46 50 54 54 54 110 120 135 150 160 165 165 165 140 153 154 156 156 154 9 10 14 17 13 13 13 14 19 25 26 14 14 +20 +2 +2


(64)

2.6 Fasilitator Absorbsi Zat Besi

Fasilitator absorpsi zat besi yang paling terkenal adalah asam askorbat (vitamin C) yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi non heme secara signifikan. Jadi, buah kiwi, jambu biji, dan jeruk merupakan produk pangan nabati yang meningkatkan absorpsi besi. Faktor-faktor yang ada di dalam daging juga memudahkan absorpsi besinon heme(vijayaraghavan, 2004).

2.7 Penghambat Absorbsi Zat Besi

Penghambat zat besi meliputi kalsium fosfat, bekatul, asam fitat, dan polifenol. Asam fitat banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan merupakan faktor utama yang bertanggung jawab atas buruknya ketersediaan hayati zat besi dalam jenis makanan ini. Karena serat pangan sendiri tidak menghambat absorpsi besi, efek penghambat pada bekatul semata-mata disebabkan oleh keberadaan asam fitat. Perendaman, fermentasi, dan perkecambahan biji-bijian yang menjadi produk pangan akan memperbaiki absorpsi dengan mengaktifkan enzim fitase untuk menguraikan asam fitat.

Polifenol (asam fenolat, flavonoid, dan produk polimerisasi) terdapat dalam teh, kopi, dan anggur merah. Tanin yang terdapat dalam teh hitam merupakan jenis penghambat paling paten dari semua inhibitor di atas. Kalsium yang dikonsumsi dalam produk susu seperti susu atau keju juga dapat menghambat absorpsi besi. Namun demikian, komponen lainnya, terutama fasilitator absorpsi besi dan khususnya santapan yang kompleks, dapat


(65)

mengimbangi efek penghambat pada polifenol dan kalsium (vijayaraghavan, 2004).

2.8 Metode Penilaian Konsumsi Gizi

Menurut Cameron and Van Staveren dalam Herviani (2004) FFQ (Food Frequency Questionnaire) merupakan metode/cara food frekuensi biasanya kualitatif mengggambarkan frekuensi konsumsi per hari, minggu atau bulan. Metode food frekuensi yang telah dimodifikasi dengan memperkirakan atau astimasi URT dalam gram dan cara memasak dapat dikatakan dengan metode yang kuantitatif (FFQ semi kuantitatif).

Pada FFQ semi kuantitatif skor zat gizi yang terdapat disetiap subjek dihitung dengan cara mengalikan frekuensi relatif setiap jenis makanan yang dikonsumsi yang diperoleh dari data komposisi yang tepat (Van Steveren at al, 19986 dalam Gibson, 2000)

Kelebihan metode food frekuensi antara lain: relatif murah, sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak memerlukan latihan khusus dan dapat membantu menjelaskan hubungan penyakit dan kebiasaan makan. Kekurangan metode food frekuensi antara lain: tidak dapat menghitung intake zat gizi, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, membuat pewawancara bosan dan responden harus jujur serta memiliki motivasi tinggi (Supriasa, 2002).


(66)

2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada Remaja Putri Menurut Junadi (1995), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu :

1. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi dan infeksi penyakit. Kurangnya zat besi dalam tubuh disebabkan karena kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup, namun bioavailabilitas rendah, serta makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorpsi besi. Infeksi penyakit yang umumnya memperbesar resiko anemia adalah cacing dan malaria.

2. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian keluarga terhadap wanita, aktifitas wanita tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu dan anak wanita tidak menjadi prioritas.

3. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain rendahnya pendidikan, rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi geografis yang sulit. Menurut Depkes (2003), penyebab anemia pada remaja putri dan wanita adalah :

a. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja putri dan wanita tinggi, dibanding makanan hewani sehingga kebutuhan Fe tidak terpenuhi.

b. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena ingin langsing dan mempertahankan berat badannya.


(67)

2.7.1 Sosial Ekonomi 2.7.1.1 Pengetahuan

Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa hubungan konsep pengetahuan, sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat dipisahkan. Adanya pengetahuan baru akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya, kemudian akan mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan. Menurut Engel et al. (1994) faktor internal yang menjadi ciri perbedaan individu yaitu pengetahuan dan sikap yang akan mempengaruhi perilaku.

Notoatmodjo (1997) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan resultan dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut sebagian besar dari penglihatan dan pendengaran. Pengukuran atau penilaian pengetahuan pada umumnya dilakukan melalui tes atau wawancara dengan alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden.

Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut didalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan.Tingkat pengetahuan gizi seseorang dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan (Irawati, 1992).


(68)

Kelompok remaja masih berada pada proses belajar sehingga lebih mudah menyerap pengetahuan sebagai bekal di masa datang (Saraswati, 1997). Penelitian Dadin (2006) dalam Yasmin (2012) menguatkan teori diatas, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri dengan pengetahuan gizi rendah memiliki resiko 2,86 kali menderita anemia dibandingkan dengan remaja putri yang pengetahuan gizinya baik.

2.7.1.2 Pendidikan

Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah (Permaesih, 2005).

Tingkat pendidikan ibu terutama dapat menentukan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam menentukan makanan keluarga. Peranan ibu biasanya paling banyak berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan anak, karena ibulah yang mempersiapkan makanan mulai mengatur


(69)

makanan. Pendidikan dan pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap kualitas hidangan yang disajikan, pengetahuan gizi berkembang secara bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makanan.Semakin tinggi pengetahuan gizi ibu, maka makin positif sikap ibu terhadap kualitas gizi makanan, sehingga makin baik asupan gizi keluarga (Suhardjo, 1989).

Menurut Sariningrum (1990), ada dua kemungkinan hubungan tingkat pendidikan orangtua dengan makanan dalam keluarga, yaitu:

a. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung maupun tidak langsungmenentukan kondisi ekonomi rumah tangga, yang pada akhirnya sangat mempengaruhi konsumsi keluarga

b. Pendidikan istri, di samping merupakan modal utama dalam menunjangperekonomian keluarga juga berperan dalam penyusunan pola makan keluarga.

Achmad Djaeni (1996) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga, juga berperan dalam menyusun makanan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan rendah dikhawatirkan akan lebih sulit menerima informasi kesehatan khususnya bidang gizi, sehingga tidak dapat menambah pengetahuan dan tidak mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal diharapkan semakin tinggi pula tingkat pendidikan kesehatannya, karena tingkat


(70)

pendidikan kesehatan merupakanbentuk intervensi terutama terhadap faktor perilaku kesehatan.

Berdasarkan penelitian Yamin (2010) menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan anemia pada remaja putri dengan nilai OR = 1,945, artinya siswi dengan pendidikan ibu rendah memiliki peluang 5,758 kali untuk menderita anemia dibandingkan dengan pendidikan ibu tinggi.

2.7.1.3 Pekerjaan

Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu juga lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam dan di luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi makanan dalam keluarganya (Khumaidi, 1989). (Kunanto 1992 dalam Maulina 2001) mengemukakan bahwa orangtua dengan mata pencaharian tetap, sekalipun rendah jumlahnya tetapi setidaknya memberikan jaminan sosial keluarga yang lebih aman jika dibandingkan dengan pekerjaan tidak tetap dengan penghasilan tidak tetap.

2.7.1.4 Pendapatan

Menurut Soekirman (1993) pola konsumsi pangan secara makro berhubungan dengan hukum ekonomi, semakin mengingat pendapatan keluarga maka semakin beraneka ragam pola konsumsinya. Suhardjo (1989)


(71)

merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Apabila penghasilan meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk yang bermutu akan meningkat juga. Menurut Berg (1985) jumlah pengeluaran orangtua yang mungkin diketahui secara pasti oleh anak dicerminkan melalui uang saku yang diberikan oleh orangtuanya.

Keluarga yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanan apabila anggota keluarganya kecil. Keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga besar apabila persediaan pangan cukup belum tentu dapat mencegah gangguan gizi karena dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anggota keluarga berkurang (Harper dkk, 1986).Selanjutnya Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai pengaruh pada belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Nilai absolut belanja pangan perkapita menurun sejalan dengan ukuran ekonomi yang ada. Pendapatan per kapita menurun dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.

Yayuk Farida, dkk (2004) yang menyatakan bahwa perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli, yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan


(72)

tubuh akan zat gizi, salah satunya tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat besi, sehingga dapat berdampak timbulnya kejadian anemia.

Sedangkan Gunatmaningsih (2007), berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian anemia di SMA Negeri 1 Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes (p= 0,035). Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri dengan tingkat pendapatan keluarga yang rendah memiliki risiko 1,707 kali lebih besar untuk mengalami kejadian anemia.

2.7.1.5 Uang Jajan

Uang saku adalah uang yang diberikan oleh orang tua dengan perencanaan uang tersebut digunakan seperti untuk transportasi atau tabungan anak. Sedangkan uang jajan adalah uang yang diberikan kepada anak untuk membeli jajanan berupa makanan dan minuman selama berada di luar rumah. Penting untuk memperhatikan jumlah uang saku anak-anak, karena sebagian besar jajanan yang dijual bebasdi sekitar sekolah adalah makanan dan minuman yang tidak layak untuk dikonsumsi. Jajanan tersebut biasanya mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan anak nantinya (Elly, 2009)

Berdasarkan penelitian Barokah (2010) dan Amrihati (2002), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara uang jajan dengan kejadian anemia, dengan nilai (p<0,05). Diketahui bahwa remaja putri dengan


(73)

uang jajan rendah memiliki resiko anemia 3 kali lebih besar dibanding dengan remaja putri dengan uang jajan tinggi/ cukup (Barokah, 2010). Sedangkan pada penelitian Amrihati (2002), diketahui bahwa remaja putri dengan uang jajan rendah memiliki resiko anemia 6 kali lebih besar dibanding dengan remaja putri dengan uang jajan tinggi/cukup.

2.7.2 Status Gizi

Status gizi merupakan cerminan kecukupan konsumsi zat gizi masa-masa sebelumnya yang berarti bahwa status gizi saat ini merupakan hasil kumulasi konsumsi makanan sebelumnya (Enoch, 1988). Salah satu pengukuran antropometri untuk mengetahui keadaan gizi adalah dengan mengukur berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu hasil pembagian BB dalam kg dengan kuadrat TB dalam satuan m2 (BB/TB2). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa dkk, 2002).

Menurut Thompson (2007) dalam Arumsari (2008), status gizi mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi Hemoglobin, artinya semakin buruk status gizi seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya. Berdasarkan penelitian Permaesih (2005), ditemukan hubungan yang bermakna antara IMT anemia, yang mana remaja putri dengan IMT tergolong kurus memiliki resiko 1,4 kali menderita anemia dibandingkan remaja putri dengan IMT normal.


(1)

Chi-Square Tests

V D

A .

2-

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 54.379a 1 .000

Continuity Correctionb 51.042 1 .000

Likelihood Ratio 53.271 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 53.937 1 .000

N of Valid Casesb 123

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,96. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

frek_mkn_smber_heme (baik / tidak baik)

38.942 11.647 130.206 For cohort anemia =

normal 6.247 2.506 15.575

For cohort anemia =

Anemia .160 .095 .271

N of Valid Cases 123

Frekuensi Makan sumber non Heme * anemia Crosstab

anemia

Total normal Anemia

frek_mkn_smber_nonH eme

Baik Count 84 0 84

% within

frek_mkn_smber_nonH eme

100.0% .0% 100.0%

tidak baik Count 1 38 39

% within

frek_mkn_smber_nonH eme

2.6% 97.4% 100.0%


(2)

Crosstab

T

A

!"_nonH eme

Baik Count 84 0 84

% within

frek_mkn_smber_nonH eme

100.0% .0% 100.0%

tidak baik Count 1 38 39

% within

frek_mkn_smber_nonH eme

2.6% 97.4% 100.0%

Total Count 85 38 123

% within

frek_mkn_smber_nonH eme

69.1% 30.9% 100.0%

Chi-Square Tests Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 1.184E2a 1 .000

Continuity Correctionb 113.916 1 .000 Likelihood Ratio 142.789 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 117.473 1 .000

N of Valid Casesb 123

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,05. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper For cohort anemia =

normal 39.000 5.634 269.949


(3)

Frekuensi Makan Peningkat Fe * anemia Crosstab

#$%& ' #

T() #* $( +& #* A$%& ' #

,+%-.&-$./$ '$0-#)

F%

1#'- C(2$) 82 0 82

% 3 ') 4 '$

,+%-.&-$./$ '$0-#)F%

100.0% .0% 100.0%

) '5 #-1#'- C(2$) 3 38 41

% 3 ') 4 '$

,+%-.&-$./$ '$0-#)F%

7.3% 92.7% 100.0%

T()#* C(2$) 85 38 123

% 3 ') 4 '$

,+%-.&-$./$ '$0-#)F%

69.1% 30.9% 100.0%

Chi-Square Tests

V#*2% D

,

A67&/89'0. :

2-6'5%5;

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 1.100E2a 1 .000

Continuity Correctionb 105.678 1 .000 Likelihood Ratio 130.625 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 109.082 1 .000

N of Valid Casesb 123

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,67. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper For cohort anemia =

normal 13.667 4.598 40.624


(4)

Frekuensi makan penghambat Fe* anemia

Crosstab

<=>? @ <

TAB <C =A D? <C A=>? @ <

ED>FG?F=GH=IJ<?K<B

F>

K<@F CAL=B 72 12 84

% M @BJ@=

ED>FG?F=GH=IJ<?K<BF >

85.7% 14.3% 100.0%

B @N <FK<@F CAL=B 13 26 39

% M @BJ@=

ED>FG?F=GH=IJ<?K<BF >

33.3% 66.7% 100.0%

TAB<C CAL=B 85 38 123

% M @BJ@=

ED>FG?F=GH=IJ<?K<BF >

69.1% 30.9% 100.0%

Chi-Square Tests

V<CL> DE

AOP?HQR@I. S2-O@N>NT

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 34.229a 1 .000

Continuity Correctionb 31.819 1 .000

Likelihood Ratio 33.542 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear

Association 33.951 1 .000

N of Valid Casesb 123

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,05. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

Risk Estimate

VUV WX

95% CYZ[\] XZ ^X

IZ _X `aUV

LY bX` UccX`

O]]deU _ \Y[Y `

[ `XfghfZgcZijUhkU_F XlkU \fm_ \]UfkU \fn

12.000 4.861 29.625

FY `^YjY`_UZ Xh\U = ZY `hUV

2.571 1.636 4.042

FY `^YjY`_UZ Xh\U =

AZ Xh\U

.214 .121 .378


(6)