Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan

110

5.5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan

5.5.3.2.1 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari denganAnemia pada Siswi MTs Ciwandan

Tabel 5.25 Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 Frekuensi Makan dalam Sehari Total OR Cl 95 Pvalue Anemia Normal N N N 24.208 114.019- 5.140 Tidak Baik 14 87,5 2 12,5 16 100 0,000 Baik 24 22,4 83 77,6 107 100 Total 38 30,8 85 69,1 123 100 Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sehari dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki frekuensi makan sehari tidak baik lebih banyak 14 responden 87,5 daripada siswi yang memiliki frekuensi makan sehari baik sebanyak 24 responden 22,4. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan sehari dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR=24,20895 Cl 114.019-5.140. Artinya responden dengan frekuensi makan 111 sehari tidak baik memiliki peluang 24,208 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden dengan frekuensi makan sehari yang baik.

5.5.3.2.2 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan

Tabel 5.26 Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 Frekuensi Makan Sumber Heme Anemia Total OR Cl 95 Pvalue Anemia Normal N n N 38.942 130.206- 11.647 Tidak Baik 25 86,2 4 13,8 29 100 0,000 Baik 13 13,8 81 86,2 94 100 Total 38 30,8 85 69,1 123 100 Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber heme dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki frekuensi makan sumber heme tidak baik lebih banyak 25 responden 86,2 daripada siswi yang memiliki sumber heme baik sebanyak 13 responden 13,8. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan sumber heme dengan kejadian anemia remaja putri. Berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh OR= 38,94295 Cl 130.206-11.647. Artinya responden 112 dengan frekuensi makan sumber heme tidak baik memiliki peluang 24,208 kali untuk menderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan responden dengan frekuensi makan sumber heme baik.

5.5.3.2.3 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Non Heme dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan

Tabel 5.27 Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Sumber Non Heme dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 Frekuensi Makan Sumber Non Heme Kejadian Anemia Total OR Pvalue Anemia Normal N n N 39.000 269.949- 5.634 Tidak Baik 38 97,4 1 2,6 39 100 0,000 Baik 84 100 84 100 Total 38 30,8 85 69,1 123 100 Total 38 Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber non heme dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki frekuensi makan non heme tidak baik lebih banyak 38 responden 97,8 daripada siswi yang memiliki frekuensi makan sumber non heme baik sebanyak 0 responden 0. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan sumber non heme dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai OR 113 sebesar 39.000 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan sumber non heme yang kurang memiliki resiko anemia 39 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan frekuensi makan sumber non heme baik. 5.5.3.2.4 Hubungan antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dalam Sehari dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Tabel 5.28 Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe Kejadian Anemia Total OR Cl 95 Pvalue Anemia Normal N n N 13.667 40.624- 4.598 Rendah 38 92,7 3 7,3 41 100 0,000 Tinggi 82 82 100 Total 38 30,8 85 69,1 123 100 Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki frekuensi makan peningkat Fe rendah lebih banyak 38 responden 92,7 daripada siswi yang memiliki peningkat Fe tinggi sebanyak 0 responden 0. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan peningkat absorpsi Fe dengan kejadian anemia remaja putri. Nilai 114 OR sebesar 13.667 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan peningkat absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 13 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan frekuensi makan sumber peningkat Fe tinggi. 5.5.3.2.5 Hubungan antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Tabel 5.29 Tabulasi Silang Antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe Kejadian Anemia Total OR Cl 95 Pvalue Anemia Normal N n N 12.000 29.625-4.861 Rendah 26 66,7 13 33,3 39 100 0,000 Tinggi 12 14,3 72 85,7 84 100 Total 38 30,8 85 69,1 123 100 Total 38 Berdasarkan hasil analisis hubungan antara frekuensi makan sumber penghambat absorpsi Fe dengan kejadian anemia diperoleh bahwa kasus anemia terjadi pada siswi yang memiliki frekuensi makan penghambat Fe rendah lebih banyak 12 responden 14,3 daripada siswi yang memiliki frekuensi makan penghambat Fe sebanyak 26 responden 66,7. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan penghambat absorpsi Fe dengan kejadian 115 anemia remaja putri. Nilai OR sebesar 12 yang artinya adalah siswi dengan frekuensi makan penghambat absorpsi Fe yang rendah memiliki resiko anemia 12 kali lebih besar dibandingkan siswi dengan frekuensi makan sumber penghambat absorpsi Fe tinggi. 116 BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian