62
Bridges 2008 dalam Yasmin 2012 menyatakan bahwa protein juga mempunyai peranan penting dalam transportasi zat besi dalam tubuh.
Kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi terlambat sehingga akan terjadi defisiensi zat besi, disamping itu makanan yang tinggi
protein terutama berasal dari daging, ikan dan unggas juga banyak mengandung zat besi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri yang asupan proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia
dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup atau memenuhi AKG. Safyanti 2002 mendapatkan hasil bahwa remaja putri yang asupan
proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih 5,3 kali terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup, begitu juga dengan
penelitian Dadin 2006 dalam Yasmin 2012 mendapatkan hubungan bermakna antara asupan protein dengan kejadian anemia dengan OR 5,06,
penelitian Satyaningsih 2007 dan Kwatrin 2007 juga mendapatkan hubungan signifikan antara asupan protein dan anemia dengan masing-masing
nilai OR nilai OR 4,255 dan 4,380.
2.7.4.3 Frekuensi Makan
Frekuensi konsumsi makanan dapat menggambarkan berapa banyak makanan yang dikonsumsi seseorang. Menurut Hui 1985, sebagian besar
remaja melewatkan satu atau lebih waktu makan yaitu sarapan. Sarapan adalah waktu makan yang paling banyak dilewatkan, disusul oleh oleh makan
63
siang. Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang malas untuk sarapan, antara lain mereka sedang dalam keadaan terburu-buru, menghemat
waktu, tidak lapar, menjaga berat badan dan tidak tersedianya makanan yang akan dimakan. Melewatkan waktu makan dapat menyebabkan penurunan
konsumsi energi, protein, dan zat gizi lain Brown et al. 2005.
2.7.4.3.1 Frekuensi Makan Dalam Sehari Frekuensi makan yang ideal adalah 3 kali dalam sehari. Sebagaimana
menurut beberapa kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari. Orang dewasa dengan pola makan yang teratur mempunyai kecenderungan
lebih langsing dan sehat dibanding orang yang makan secara tidak teratur skipping meal Niklas, Tom, Karen Gerald 2001 dalam Phujiyanti, 2004.
Pada umumnya remaja mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik. Beberapa remaja khususnya remaja putri sering mengkonsumsi makanan
dalam jumlah yang tidak seimbang dibandingkan dengan kebutuhannya karena takut kegemukan. Kebiasaan makan remaja rata-rata tidak lebih dari
tiga kali sehari dan disebut makan bukan hanya dalam konteks mengkonsumsi makanan pokok saja tetapi makanan ringan juga
dikategorikan sebagai makan Suhardjo, 1989. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa remaja putri dengan frekuensi makan 3 kali sehari memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri
dengan frekuensi makan 3 kali sehari. Raptauli 2012 mendapatkan hasil bahwa remaja putri dengan frekuensi makan 3 kali sehari mempunyai
64
peluang 1,729 kali untuk menderita anemia dibanding dengan remaja putri yang frekuensi makannya 3 kali sehari.
2.7.4.3.2 Frekuensi Makan Sumber Heme Berdasarkan jenis ketersediaan zat besi di dalam bahan makanan,
dikenal dua jenis yaitu besi heme dan non heme. Zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani zat besi heme mempunyai tingkat absorpsi 20-30 ,
besi heme lebih mudah diserap dan penyerapannya tidak tergantung dengan zat makanan lainnya Brooker 2001 menjelaskan besi heme yaitu besi yang
berasal dari hemoglobin dan mioglobin yang hanya terdapat dalam bahan makanan hewani seperti daging, ikan dan unggas. Bioavailabiltas besi heme
ini sangat tinggi yaitu 20- 30 atau lebih dapat diabsorpsi. Derajat absorpsi besi heme ini hampir tidak dipengaruhi oleh susunan menu atau diet makanan,
dan hanya sedikit dipengaruhi oleh status besi orang yang mengkonsumsinya. Besi non hem terdapat pada makanan nabati seperti sayur dan buah-buahan.
Bioavailabilitas non hem iron dipengaruhi oleh keberadaan senyawa inhibitor phythate, tannin, dll. Sementara menurut Almatsier 2001 mengatakan
bahwa pangan sumber zat besi yang berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas, telur dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi.
Pada penelitian Purnama, 2001 dalam Husnah 2014 pada siswi SMA 2 Semarang ditemukan hasil setiap peningkatan persen asupan zat besi sebesar
1 akan meningkatkan kadar hemoglobin 0,001 gdl dengan p= 0,014, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kadar Hb dengan konsumsi Fe.
65
2.7.3.2.3 Frekuensi Makan Sumber Non Heme Besi non heme merupakan sumber utama zat besi dalam makanan dan
terdapat dalam semua jenis sayuran hijau, seperti kentang, kacang-kacangan dan sebagian dalam makanan hewani.Penyerapan sumber non heme juga
dipengaruhi adanya MPF factor meat, poultry and fish yaitu, apabila makanan sumber herwani dikonsumsi bersama-sama sumber nabati, maka
absorpsi Fe dari makanan tersebut meningkat dari 2,3 menjadi 8. Karena asam amino yang dilepas selama makanan dicerna akan berubah bentuk
chelete. Pangan hewani umumnya mengandung heme iron yang lebih mudah diserap oleh usus yaitu, berkisar antara 7-22, sedangkan pangan
nabati banyak mengandung non heme iron yang lebih sulit untuk diserap yaitu berkisar antara 1-6 Guthrie, 1989. Absorpsi sumber non heme sangat
dipengaruhi oleh faktor peningkat penyerapan Fe Qomariah, 2006. Zat besi yang berasal dari makanan belum tentu menjamin ketersediaan zat besi yang
memadai karena jumlah zat besi yang diabsorpsi sangat dipengaruhi oleh jenis makanan sumber zat besi dan ada atau tidaknya zat penghambat maupun yang
meningkatkan absorpsi besi dalam makanan Muhilal, 1993 dalam Amaliah, 2002.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shatha S. Al-
Sharbatti 2003, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi sumber non heme dengan kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri
dengan konsumsi sumber non heme rendah lebih beresiko 1,231 kali menderita anemia.
66
2.7.4.3.4 Frekuensi Makan Sumber Peningkat Penyerapan Zat Besi Fe Vitamin C merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan tubuh
untuk pembentukan sel-sel darah merah. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi
bila diperlukan. Adanya vitamin C dalam makanan yang dikonsumsi akan memberikan suasana asam sehingga memudahkan reduksi zat besi ferri
menjadi ferro yang lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat besi dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C Adriani dan
Wirjatmadi, 2012. Berdasarkanhasil penelitian Hulu 2004 yang menunjukkan bahwa
contoh yang tidak anemia jarang mengkonsumsi buah-buahan dibandingkan contoh anemia.Hasil penelitianArumsari 2007 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara konsumsi buah-buahan sumber vitamin C dengan kejadian pada remaja putri, semakin jarang pepaya dikonsumsi maka
kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena walaupun pepaya kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat
besi, namun apabila pepaya dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau tanin maka
pengaruh akhirnya dapat negatif.
2.7.4.3.5 Frekuensi Makan Sumber Penghambat Penyerapan Zat Besi Fe Bahan makanan penunjang kebutuhan zat besi adalah daging, ayam, ikan,
bahan makanan dari laut dan vitamin C. Sedangkan zat-zat yang menghambat
67
adalah teh, kopi. Diperkirakan zat besi yang dapat diabsorpsi oleh tubuh dari makanan antara 1-40 Guthrie 1989 dalam Qomariah, 2006.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja suka minum-minuman ringan soft drink, teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan
dengan mereka minum susu. Survei yang dilakukan National Center for Health Statistics NCHS menyimpulkan bahwa 60 dari remaja Amerika
usia 12 tahun ke atas mengurangi diet mereka. Pengurangan jumlah makanan serta konsumsi remaja yang tidak terkontrol tentu saja akan menyebabkan
ketidakseimbangan zat gizi dalam tubuh termasuk besi. Adanya kebiasaan minum tehkopi pada masyarakat Indonesia memiliki pengaruh absorbsi besi.
Linder 1992 menyatakan bahwa tanin yang terdapat dalam teh dan daun- daun sayuran tertentu dapat menurunkan absorbsi besi. Ditambahkan oleh
Guthrie 1989 bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam sesudah makan akan menurunkan absorbsi besi sampai 40 untuk kopi dan 85 untuk teh, karena
terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh. Menurut Muhilal 1998 penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan
banyaknya besi yang diserap turun sampai 2, sedangkan penyerapan besi tanpa penghambatan teh sekitar 12. Menurut Morck, et al 1983 minum teh
paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap sel darah terhadap zat besi 64 persen. Pengurangan daya serap akibat teh ini
lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh konsumsi segelas kopi usai makan. Kopi, mengurangi daya serap hanya 39 persen.Pada teh,
pengurangan daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin.Selain
68
mengandung tanin, teh juga mengandung beberapa zat, antara lain kafein, polifenol, albumin, dan vitamin.Tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat
besi dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron, misalnya padi-padian, sayur-mayur, dan kacang-kacangan. Remaja putri yang memiliki
kebiasaan minum tehkopi 1 gelashari memiliki resiko 2,023 menderita anemia dibandingkan dengan remaja putri yang mengkonsumsi teh 1
gelashari Satyaningsih, 2007. Selain teh dan kopi, cara konsumsi buah dan sayur dengan benar juga
menjadi faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi. Asam fitat dan asam oksalat yang terkandung dalam sayuran akan mengikat zat besi, sehingga
mengurangi penyerapan zat besi. Karena hal inilah, bayam meski tinggi kandungan zat besinya bukan merupakan sumber zat besi yang baik. Oleh
karena itu, jika hendak mengonsumsi bayam dan sayuran lain, sebaiknya disertai dengan mengonsumsi buah-buahan yang tinggi kandungan vitamin C
nya. Seperti jambu biji, jeruk, nanas. Namun lebih dianjurkan untuk meminumnya dalam bentuk jus. Sebab jika dalam bentuk buah segar, yang
kandungan seratnya masih tinggi, juga akan menghambat penyerapan zat besi Murbawani, 2006. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amaliah 2002
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola konsumsi sumber penghambat penyerapan Fe dengan status anemia remaja putri. Dari
58 responden yang mengalami anemia ada 22 23.2 yang mengkonsumsi teh lebih dari 7 kali per minggu.
69
2.9 Kerangka Teori Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Husaini 1989, Junadi 1985, Permaesih 2005, Wirakusumah 1998
Sosial Ekonomi
Pengetahuan
Pendapatan ayahibu
Pendidikan ayahibu
Uang Saku Siswa
Kehilangan Darah Pendarahan
Penyakit Infeksi
Cacing dan Malaria
Pola Haid
Kebiasaan Makan:
Asupan Zat Gizi
Frekuensi Makan ANEMIA
REMAJA PUTRI Pola Konsumsi
Tablet Tambah Darah TTD