Inhibiting Factors Level Sistem

Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang dalam kotbahnya meminta etnis Tionghoa untuk menjaga hubungan kasih dengan warga pribumi. “Jagalah hubungan baik dengan sesama manusia, terutama warga pribumi,” pintanya. Nuansa Tionghoa nampak dalam perayaan misa perayaan Imlek tersebut. Etnis Tionghoa yang menghadiri misa tersebut mengenakan busana khas mereka. Bahkan, ornamen dalam gereja pun bernuansa Tionghoa yang didominasi warna merah. Di depan gereja Katedral mulai terasa suasana Imlek dengan hiasan lampion-lampion. Gereja Katedral mengkhususkan misa III pada hari Minggu ini bagi etnis Tionghoa yang merayakan Imlek. Pastor Paroki Katedral Kupang, Romo Ambros Lajar membenarkan misa ke-III ini dikhususkan bagi etnik Tionghoa yang merayakan tahun baru Cina. “Ini merupakan tradisi etnis Tionghoa yang telah dimasukan dalam gereja Katolik,” katanya. Usai perayaan misa dilanjutkan pertunjukan dua Barongsai serta seekor naga atoin meto yang dimain etnis Tionghoa di depan gereja untuk merayakan Imlek. Pada saat bersamaan, etnis Tionghoa juga membagikan angpao bagi anak-anak yang menjadi rebutan. Jenis berita selanjutnya adalah karya ulasan atau uraian mengenai dinamika sosial-keagamaan yang berkaitan dengan kejadian atau fenomena yang sedang terjadi di masyarakat yang kemudian dianalisis dengan sumber rujukan menyandarkan pada petikan kitab suci. Contoh karya ulasan yang ditulis oleh citizen journalist HOKI pada subrubrik rohani: Waisak dan Keselarasan Alam Oleh : Ibn Ghifarie | 19-Mei-2011, 02:20:30 WIB KabarIndonesia - Harus diakui, banjir bandang dan tanah longsor yang mendera lima kecamatan di Garut Selatan; Cikelet, Pameungpeuk, Cisompet, Mekarmukti dan Cibalong dengan menelan korban jiwa 10 orang meninggal, 3 orang hilang, dan 6 orang luka-luka merupakan bukti nyata atas ulah lalim perbuatan manusia. Pasalnya, sikap serakah dan perilaku jahil yang tertanam dalam sanubari kita membuat alam murka sekaligus unjuk kekuatan. Betapa tidak, tibanya musim penghujan malah menjadi petaka yang tak bisa terelakkan karena kita seriang alpa mensyukuri segala pemberian anugerah dari Tuhan ini. Ironis memang. Karena prihatin terhadap tragedi banjir bandang dan tanah longsor, Daud Muhammad Komar, keturunan masyarakat adat Kampung Dukuh menuturkan, “Apalah artinya kami menjaga dan memelihara kelestarian Gunung Padukuhan, jika hutan di lokasi lainnya tidak dipedulikan, bahkan dirambah serta dialihfungsikan,“ tegasnya Garut News, 105 Rupaya, kearifan lokal untuk menjaga, melestarikan alam, hutan, lingkungan sekitar yang diwariskan secara turun-temurun tak dipegang. Malahan keberadaan Leuweung Sancang yang terkenal angker dengan mitos Prabu Siliwangi sebagai salah seorang Raja Sunda yang menonjol itu, ternyata tidak mempan untuk dijadikan penangkal pengrusakan, penggundulan, perampasan hutan yang dilakukan masyarakat. Haruskah upaya ngamumule alam di tanah Parahyangan ini hanya lestari pada legenda-legenda semata? Sejatinya, kehadiran Waisak 2555 BE yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2011 ini tidak hanya sekedar merayakan Tri Suci Waisak Puja kelahiran, pencapaian Penerangan Sempurna, dan parinirwana; meninggal dunia tapi harus memberikan keselarasan, keseimbangan, keharmonisan antara manusia dengan alam supaya lebih arif dan bijaksana. Berkah Waisak Umat Buddhis menyakini berkah terdalam dari adanya detik-detik Waisak 17 Mei 2011-Pukul 18.08.23 WIB adalah membersihkan hati, pikiran, menebar sikap welas asih untuk tetap mendorong sekaligus menjaga keselarasan, keharmonisan, kelestarian kehudupan, alam dan manusia. Menurut Parwati Soepangat, upaya melestarikan ini diperlukanlah; Pertama, mengikuti hukum universal supaya kehidupannya selaras dan tidak menyimpang dari hukum yang mengatur semesta dan isinya, yakni melalui jalan hukum karma sebab-akibat, hukum paticca samuppada sebab-musabab yang bergantungan, hukum anicca sementara, tidak kekal, berubah dan hukum majimma patipada keseimbangan, jalan tengah, tidak ikut yang ekstrim. Kedua, Keselarasan dari semua kehidupan manusia, alam, binatang, makhluk lain. Semuanya harus bersumber pada lima hukum yang mendasari kehidupan sebagaimana yang tertera dalam Dhammasangani; Utu Niyama hukum tentang energi, Bija Niyama hukum yang berkaitan dengan botani, Kamma Niyama hukum tentang sebab akibat, Cita Niyama hukum tentang bekerjanya pikiran, Dhamma Niyama hukum tentang segala apa yang tidak diatur keempat Niyama. Dengan membawa keselarasan dalam semesta pada aturan hukum yang berlaku, maka diharapkan segala macam musibah dapat dicegah. Ketiga, Tidak merusak atau menghancurkan kehidupan dan bantu kelestarian. Buddha mengajarkan pelestarian sebagaimana termaktum pada Brahmajala Sutta; Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan; Tidak membunuh makhluk, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang. Ia tidak melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk. Keempat, mengingkatkan tanggung jawab bersama dan mengurangi keserakahan.