Teori Universalisme Islam LANDASAN TEORI
“Dikatakan kepadanya Balqis: “Masuklah ke dalam istana”. Maka ketika dia Balqis melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapnya penutup kedua betisnya. Dia Sulaiman berkata
, “Sesungguhnya ini hanyalah lantai istana yang dilapisi kaca.” Dia Balqis berkata
: “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap
diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.
” Demikian halnya dengan Umat Nabi Isa AS
نوُيِراَوَحۡلٱ yang juga
menamakan diri mereka sebagai Muslim, padahal mereka hidup jauh sebelum zaman Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut terdapat pada QS al-
Imran ayat 52 yang berbunyi:
60
“Maka tatkala terasa oleh Isa kekafiran mereka,berkatalah dia:
“Siapakah yang akan menolongku pada Allah?” Menjawablah Hawariyy
un: “Kamilah penolong-penolong Allah dan kami beriman
kepada Allah dan kami naik saksi bahwa kami ini adalah menyerahkan diri
.”
Pada QS Ali-Imran ayat 67 disebutkan bahwa Nabi Ibrahim AS bukan Yahudi, bukan Nashrani, tetapi ia seorang Muslim.
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang
Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim, dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.
”
60
Hamka, Tafsir Al Azhar Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, h. 177.
Maka dari itu, kata muslim tidak diidentikan hanya milik agama Islam semata, namun sudah tercantum dalam al-Quran, bahwa sejak zaman
nabi sebelum nabi Muhammad, kata Muslim merujuk kepada orang-orang yang berserah diri kepada Allah SWT.
61
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI online,
universalisme adalah 1 aliran yg meliputi segala-galanya; 2 penerapan nilai dan norma secara umum.
62
Sedangkan Islam, sesuai penjelasan sebelum ini, adalah berserah diri. Dengan demikian, universalisme Islam
dapat diartikan sebagai suatu penerapan nilai dan norma ajaran Islam secara umum dan menyeluruh kepada semua manusia yang dimaksudkan
sebagai bentuk berserah diri kepada Allah SWT. Setiap hal mempunyai persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-
hal lainnya. Persamaan, paling kurang, dalam adanya hal-hal itu sendiri. Perbedaan, karena kalau tidak pasti tidak akan ada keragamaan yang dapat
diperbandingkan. Demikian juga halnya dengan agama-agama. Frithjof Schuon, dalam bukunya
The Transcendent Unity of Religions, menjelaskan tentang esoterisme dan eksoterisme agama.
Esoterisme adalah hal-hal yang boleh diketahui dan dilakukan beberapa orang saja dari suatu kelompok penganut paham tertentu hakikat atau
pada dasarnya. Sedangkan eksoterisme adalah hal-hal yang boleh diketahui dan dilakukan oleh semua anggota kelompok penganut suatu
paham tertentu bentuknya. Schuon mengemukakan bahwa semua agama
61
Hamka, Tafsir Al Azhar Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, Juz 1, edisi revisi, h. 272.
62
http:kbbi.web.iduniversalisme diakses pada 9 April 2014, pukul 22.20 WIB.
pada dasarnya sama atau hakikatnya esoteris sama, dan hanya berbeda dalam bentuknya saja eksoteris.
63
Menurut Huston Smith dalam pengantar buku Mencari Titik Temu
Agama Agama karya Frithjof Schuon, Schuon menarik garis pemisah antara esoterisme dan eksoterisme. Garis tersebut bukan membagi
perwujudan historis yang besar dari agama-agama secara vertikal; agama Hindu dari agama Buddha dari agama Kristen dari agama Islam, dan
seterusnya, melainkan, garis pemisah tadi bersifat horisontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai agama yang ditemui sepanjang
sejarah. Di atas garis itu terletak paham esoterisme, sedangkan di bawah garis itu terletak paham eksoterisme.
64
Bagi Schuon, hidup memiliki tingkatan-tingkatan, begitu juga dengan kesadaran kognitif manusia. Dari segi metafisik, hanya pada
Tuhanlah, yang berada pada tingkat tertinggi, terdapat titik temu berbagai agama, sedangkan di tingkat bawahnya, agama-agama tersebut saling
berbeda. Sehubungan dengan kenyataan metafisik, dari segi epistemologis, dapat pula dikatakan bahwa perbedaan agama yang satu dengan agama
yang lain juga mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi, sedangkan di tingkat bawahnya berbagai agama itu terpecah-belah.
65
63
Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama. Penerjemah Saafroedin Bahar
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-2, h. xi.
64
Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, h. xi.
65
Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, h. xi-xii.
Berikut gambar letak perbedaan esoterisme dan eksoterisme menurut Huston Smith merujuk karya Frithjof Schuon:
66
Gambar 2.2 Letak Esoterisme dan Eksoterisme menurut Huston Smith merujuk
karya Frithjof Schuon. Sumber Utama: Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of
Religions, Harper Torchbooks, Harper Row, Pubhlisers New York, Evanston, San Francisco, London, 1975.
Keterangan huruf: A. Agama Hindu
B. Agama Buddha C. Tradisi Cina
D. Agama Yahudi E. Agama Kristen
F. Agama Islam
Seperti halnya dua agama yang mendahuluinya, Islam lahir karena upaya langsung dari kehendak Ilahi. Kehendak Ilahi itulah yang menjadi
sumber monoteisme. Demikian pula Nabi Muhammad SAW harus
66
Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, h. xi.
mencerminkan hakikat kebenaran Messianis yang terkandung dalam monoteisme asli atau monoteisme Ibrahim sesuai dengan kemungkinan
khusus dan menurut cara perwujudan yang sesuai.
67
Keseimbangan antara dua aspek Ilahi, yaitu Keadilan dan Rahmat Allah, merupakan hakikat wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang dalam hal ini sama dengan wahyu yang diberikan kepada Nabi Ibrahim AS. Monoteisme yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim AS
mempunyai keseimbangan sempurna antara esoterisme dan eksoterisme. Pada Nabi Musa AS, eksoterisme menjadi agama dalam arti bahwa
eksoterisme itu memberi bentuk kepada agama tanpa mempengaruhi hakikatnya. Pada Nabi Isa AS sebaliknya, dan esoterismelah yang pada
gilirannya, menurut cara tertentu, menjadi agama. Pada Nabi Muhammad SAW, akhirnya, keseimbangan antara semula dipulihkan kembali, dan
siklus perkembangan agama monoteistis pun berakhir.
68
Mengutip Schuon dalam buku Mencari Titik Temu Agama Agama,
sudah seharusnya setiap agama merupakan suatu adaptasi dan adaptasi mengandung pengertian adanya pembatasan. Hanya Hakikat yang tak
terhingga, abadi, dan tanpa bentuklah yang secara absolut bersifat murni dan tidak dapat diubah, dan karena sifat-Nya yang Adikodrati harus
dinyatakan, baik melalui diluluhkannya bentuk-bentuk yang ada maupun melalui sinar-Nya yang dipancarkan melalui beragam bentuk tadi.
69
67
Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama Agama, h. 110.
68
Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama Agama, h. 111.
69
Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama Agama, h. 112-113.
Menurut Abdurahman Wahid dalam Universalisme Islam Dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam
ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama
fiqh, keimanan tauhid, etika akhlaq dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari
kemanusiaan al-insaniyyah.
70
Menurut Hilman Latief dalam Fight for
the Public Sphere: Liberal vis a vis Conservative Muslims Lessons from Indonesia, universalisme Islam adalah
‘doktrin normatif’ tentang fungsi Islam yang rahmat bagi semesta
rahmat li al- ‘âlamîn.
71
70
http:media.isnet.orgislamParamadinaKonteksUniversalisme.html diakses pada 26 Februari 2014, pukul 19.00 WIB.
71
http:psap.or.idjurnal.php?id=7 diunduh pada 18 Januari 2014 pukul 14.45 WIB.