Sejarah Geisha TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. Hal ini tidak bermaksud untuk mengatakan geisha tidak eksotis. Wanita- wanita ini bahkan lebih misterius daripada yang mereka bayangkan sendiri – di Jepang dan di luar Jepang, walaupun untuk alasan yang berbeda. Orang-orang Barat beranggapan bahwa geisha pastilah ahli dalam hal kepatuhan di negara seperti Jepang di mana wanita-wanita biasa harus mengedepankan urusan pria.

2.2. Sejarah Geisha

Geisha “seniman” dalam bahasa jepang adalah seniman atau penghibur tradisional entertainer . Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak. Sejarah geisha dimulai dari awal pemerintahan Tokugawa, di mana Jepang memasuki masa damai dan tidak begitu disibukkan lagi dengan masalah-masalah perang. Seorang calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat selagi usia dini. Berlatih alat musik petik shamizen yang membuat calon geisha harus merendam jarinya di air es. Berlatih alat musik lainnya juga seperti tetabuhan kecil hingga taiko. Berlatih seni tari yang menjadi kunci kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan atas umumnya adalah penari, tari Topeng Noh yang sering dimainkan oleh geisha dihadirkan bagi masyarakat kelas atas berbeda segmennya dengan pertunjukkan Kabuki yang lebih disukai rakyat jelata. Geisha juga harus berlatih seni upacara minum teh, yang pada masa medieval dianggap sama pentingnya dengan seni perang. Dan berbagai latihan berat lain yang harus dijalani. Dan latihan itu masih terus dijalanisetiap geisha hingga akhir karirnya. Seorang calon geisha sedari awal menginjakkan kakinya ke rumah barunya , sudah memiliki hutang awal sebesar biaya yang dikeluarkan pemilik Okiya untuk membelinya. Sungguh Ironis. Hutang itu terus bertambah, Karena biaya pendidikan geisha, biaya perawatan kecantikan, biaya dokter Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. yang ditalangi oleh Okiya, nyatanya dibebankan balik sebagai hutang geisha. Geisha dengan level standar akan terus terikat hingga akhir hayatnya, berbeda dengan geisha sukses yang dapat menebus kembali kebebasannya sebelum mencapai usia 20 tahunan. Syarat menjadi geisha sukses umumnya memiliki kakak angkat yang merupakan geisha senior sukses pula , sehingga dapat mengatrol popularitas si geisha magang. Sementara geisha senior yang sukses juga tidak mau sembarangan menerima adik angkat, karena menyangkut nama baik pula. Tetapi memiliki adik angkat yang sukses akan berarti keberuntungan pula bagi yang dirinya, seniornya dan okiya-nya, karena mereka sekian persen pendapatan si geisha muda tersebut. Selain itu geisha muda juga harus melelang keperawanan kepada penawar tertinggi, pendapatan dari lelang yang sukses itu dapat menebus sebagian hutang geisha muda tersebut. Setelah itu mereka harus mencari danna“suami” sekaya mungkin, agar dapat membiayai biaya hidup geisha yang tinggi, dan juga membayari sebagian hutang-hutang geisha tersebut terhadap majikan mereka. Geisha yang sukses dalam suatu okiya akan diadopsi oleh nyonya mereka, dan menggunakan nama “keluarga” dari nyonya tersebut dan mewarisi segala kekayaan seisi rumah tersebut. Lalu meneruskan tradisi geisha. Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. 2.3.Perkembangan Geisha di Jepang Sistem geisha muncul di sekitar pertengahan Zaman Edo 1600-1868 geisha yang pertama-tama adalah laki-laki juga di sebut dengan hõkan atau taikomochi, jadi wanita yang pertama menjadi geisha disebut onna geisha geisha wanita. Secara berangsur-angsur jenis hiburan ini menjadi pekerjaan wanita dimana sebutan “geisha” kemudian digunakan untuk menyebut geisha wanita dan otoko geishageisha pria digunakan untuk menyebut geisha yang laki-laki. Pemakaian istilah geisha pertama kali tercata pada tahun 1751 di Kyoto dan tahun 1762 di Edo sekarang Tokyo. Kemunculan geisha pria yang pertama kali adalah juga sekitar tahun 1600 an. Mereka memasuki pestaa-pesta yang diadakan para y jo pelacur dan tamu-tamunya dan menghiibur di sana. Geisha pria inilah yang sebenarnya pertama kali disebut dengan geisha. Mereka juga disebut dengan hõkan atau pembawa gendang kecil tradisional jepang taiko-mochi. Dengan lincah dan bersemangat mereka membuat para y jo dan tamu-tamunya tertawa dengan melontarkan lelucon-lelucon yang berbau porno. Selain bertindak sebagai pelawak dan musisi, para geisha pria ini menjadi teman menghibur yang baik dan serba bisa dalam pesta-pesta. Pada tahun 1751, para pelanggan di tempat pelacuran shimabara di kejutkan oleh penampilan seorang wanita pembawa gendang onna taiko-mochi muncul di pesta mereka. Wanita-wanita ini dikenal sebagai geiko, istilah ini masih digunakan di Kyoto sebagai ganti geisha. Beberapa tahun kemudian, di Edo, penghibur wanita yang mirip dengan itu bermunculan. Mereka disebut dengan onna geisha, atau geisha wanita. Pada tahun 1780, geisha wanita telah melebihi jumlah geisha pria, orang-orang kemudian mulai menyebut otoko geisha untuk menyebut geisha pria. Pada tahun 1800, seorang geisha, dan tidak tergantikan lagi, pastilah seorang wanita. Dalby, 2005:58. Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. Pada tahun-tahun 1700-an profesi geisha dihubungkan dengan tempat-tempat pelacuran yang mendapat izin dari pemerintah atau y kaku. Ada berbagai jenis dari pelacur y jo di tempat ini, tetapi geisha adalah sebuah kelompok yang terpisah yang dipanggil untuk menghibur pelacur dan tanu-tamunya dengan menyanyi dan menari. Dengan tegas dikatakan bahwa geisha tidak diperbolehkan untuk bersaing dengan pelacur yang menyediakan pelayanan seksual, walaupun perbedaan diantara keduanya semakin lama semakin tak jelas. Pemerintah juga berusaha untuk membatasi kemewahan pakaian geisha, dan dengan sengaja sering sekali yang direkrut sebagai geisha adalah wanita-wanita yang sederhana atau lebih tua. Selain dari geisha yang berhubungan dengan tempat-tempat pelacuran, juga ada jenis geisha yang tidak terikat di tempat pelacuran yang mempunyai tempat sendiri. Tempat-tempat geishaokabasho ini lambat laun menjadi pustaka kebudayaan kota yang bersifat duniawi, dan geisha-geisha tersebut sering kali menjadi pelopor mode terbaru. Di Kyoto hanamachi kelas atas bernama gion yang merupaka distrik geisha yang pertama, dan di Tokyo distrik geisha yang terkenal adalah fukagawa, Yanagibashi dan Akasaka. Kebanyakan dari sastra, musik dan seni grafis dari zaman ini mengambil inspirasi dari geisha, yang sering digambarkan dengan tamu-tamu mereka di rumah- rumah minum teh atau perahu kecil beratap yakata-bune yang berada di sepanjang sungai-sungai di Edo Tokyo. Mulai dari akhir Zaman Edo sampai sekarng ini, geisha telah mempunyai hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar propinsi yang merupakan pendukung Restorasi Meizi pada tahun 1868 menemukan bahwa rumah- rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi pertemuan-pertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencana-rencana Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. politiki mereka yang disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan bersenang-senang yang bertujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah keshogunan terhadap kegiatan mereka. Bersama dengan berdirinya pemerintahan Meiji di Tokyo, beberapa dari pemimpin – pemimpin baru ini tetap berhubungan dengan para geisha, baik yang dari Yoshiwara Edo ataupun dari tempat lain, bahkan ada yang keemudian menikahi geisha yang setia kepada mereka Dalby, 2000:64. Sejak itu, bagaimanapun juga, pada akhirnya geisha di Tokyolah yang kemudian paling banyak terlibat dengan para politisi, disebabkan karena pusat pemerintahan yang baru telah dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo, sebagai pusat pemerintahan Meiji. Setiap golongan dari pemerintahan mempunyai distrik yang digemarinya, dimana, seringkali dengan dilatarbelakangi acara minum-minum sake dan suasana yang santai, ternyata merupakan tempat menyelesaikan negosiasi politik, sehingga jatuh bangunnya kesuksesan sebuah hanamachi distrik geisha terkadang tergantung dari golongan politik berkuasa mana yang melindunginya. Demi kelangsungan profesinya para geisha merasa berkewajiban untuk merahasiakan pembicaraan yang didengarnya selama pertemuan politik tersebut. Akibatnya rahasia – rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya. Kendati demikian, demi keamanan rahasia politiknya, para lawan politik mereka tidak mempergunakan geisha yang sama Kondansha, 1983:15. Pada awal abad ke-17, tersebar pelacuran lelaki dan perempuan di seluruh bandar-bandar seperti Kyoto, Edo dan Osaka. Untuk mengatasi masalah ini, diperintahkan oleh Tokugawa Hidetada pemerintah Keshogunan Tokugawa mengatur pelacuran ke daerah bandar yang telah ditetapkan. Daerah-daerah ini ialah Shimabara bagi Kyoto 1640, Shinmachi bagi Osaka 1624–1644 dan Yoshiwara bagi Edo 1617. Alasan utama dibuatnya bandar-bandar tanpa malam ini ialah percobaan oleh Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin kaya-ray a ch nin orang bandar agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat. Yoshiwara dibina di dalam bandar Edo, terletak berdekatan dengan apa yang dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi, bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang. Pada tahun 1656, disebabkan keperluan terhadap ruang kerana perkembangan bandar itu, pemerintahan mengambil keputusan untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan perancangan-perancangan dibuat untuk memindahkan daerah tersebut ke lokasinya sekarang di utara Asakusa di pinggir bandar tersebut. Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran Meireki 1657 ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara Yoshiwara baru, lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara Yoshiwara asal akhirnya perkataan shin dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai Yoshiwara. Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh Jepang pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun. Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur kelas atasan yang berpangkat tinggi. Apabila seorang gadis itu cukup tua dan berkesempatan menyelesaikan latihannya, dia sendiri dapat menjadi gundik dan berusaha untuk naik pangkat. Gadis-gadis itu kerap kali mempunyai kontrak dengan rumah pelacuran untuk 5 atau 10 tahun saja, tetapi hutang yang besar selalu mengikat mereka di rumah pelacuran seumur hidup mereka. Terdapat sedikit cara bagi gadis itu Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. untuk mebebaskan diri daripada ikatan rumah pelacuran yang disebabkan kerena semua hutangnya. Satu jalan keluar daripada Yoshiwara adalah dengan seorang lelaki kaya membeli kontraknya dari rumah pelacuran dan menyimpannya sebagai perempuan simpanan. Cara lain ialah sekiranya dia mampu membayar untuk kebebasan dirinya sendiri dengan melunasi semua hutang piutang terhadap rumah pelacuran. Bagaimana pun, perkara ini amat jarang berlaku. Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi-bahagikan secara ketat di Yoshiwara. Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang cukup layak dilayani setaraf dengan samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan untuk memasuki kawasan Yoshiwara, bagaimana pun mereka kerap kali berbuat demikian. Mereka hanya dikehendaki meninggalkan senjata mereka di pintu masuk pekan tersebut. Juga ditetapkan oleh undang-undang, pemilik rumah pelacuran hanya dibenarkan bermalam selama sehari dan semalam pada satu-satu waktu. Yoshiwara juga menjadi kawasan komersial yang sangat terkenal. Fesyen- fesyen di pekan tersebut sering kali berubah, menciptakan permintaan besar terhadap golongan pedagang dan artis. Secara tradisi, pelacur-pelacur diperbolehkan memakai hanya jubah biru yang ringkas, tetapi masalah ini jarang sekali diberlakukan. Pelacur- pelacur berpangkat tinggi sering kali berpakaian menurut fesyen yang lagi trend pada waktu itu, dengan kimono sutera yang berwarna-warni dan terang serta hiasan kepala yang mahal dan halus buatannya. Fesyen amat penting di Yoshiwara sehinggakan ia sering kali menentukan trend fesyen bagi seluruh Jepang. Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923. Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran Jepang pada tahun 1958 setelah Perang Dunia Kedua. Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. Edo kini dikenali sebagai bandarnya Tokyo dan pelacuran merupakan masalah yang menyalahi undang-undang, walaupun masalah yang sepatutnya salah ini diperjelas dengan istilah yang lebih tegas sebagai contoh, kata pelacuran bagi beberapa hal tidak meliput i perjanjian peribadi yang dicapai antara seorang wanita dan lelaki di rumah pelacuran. Kawasan yang dikenali sebagai Yoshiwara, berhampiran stesen Minowa pada Hibiya Line, kini dikenali sebagai Senzoku Yon- ch -me dan masih mempergunakan sejumlah besar soapland dan façades lain bagi yang membutuhkan seks. Pada awal tahun 1940-an pertunjukan geisha dilarang untuk umum dan kebanyakan wanita dipaksakan untuk bekerja di pabrik-pabrik untuk upaya perang. Pada akhir tahun 1970-an jumlah geisha hanya sekitar 17.000 orang, dan sekarang hanya ada kurang dari 1000 orang. Geisha masa kini juga belajar bahasa Inggris dan terkadang dipanggil untuk berpartisipasi untuk acara-acara khusus, baik itu di jepang maupun untuk tujuan Internasional. Salah satu alasan penurunan jumlah ini adalah karena munculnya hostes – hostes bar- bar bergaya Barat. Banyak orang Jepang modern tidak mengenal lagi tata cara pertunjukan geisha dan merasa bahwa gadis-gadis bar lebih menyenangkan, praktis dan tarifnya murah. Dari sudut pandang wanita sendiri, adalah lebih mudah untuk menjadi seorang hostes dari pada geisha karena tidak membutuhkan pelatihan yang lama, disiplin yang tinggi, dan biaya untuk membeli kimono. Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010.

2.4. Masyarakat Dan Geisha Pada Zaman Edo