Setting Dalam Novel “The Demon in The Tea House”

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. science fiction atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya fakta ilmu pengetahuan. Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “The Demon in The Tea House”, yang merupakan objek penelitian ini, ke dalam novel historis karena terkait oleh fakta – fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.

2.6.2 Setting Dalam Novel “The Demon in The Tea House”

Setting atau latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan Abrams dalam Nugiyantoro, 1995 : 216 . Unsur – unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu: 1. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat – tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Dalam novel “The Demon in The Tea House” mengambil latar tempat di kawasan yang dikenal dengan dunia terapung tepatnya di kota Yoshiwara. 2. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubunggkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan Thomas Hoobler Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. mereka mengambil setting pada masa kekuasaan rezim tokugawa tepatnya pada abad -18. 3. Latar Sosial Latar sosial menyaran kepada hal – hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun non fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat – istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Demikian juga dalam novel “The Demon in The Tea House” terdapat ruang lingkup, tempat, dan waktu sebagai waana para tokoh – tokohnya mengalami berbagai pengalaman kehidupannya. Peristiwa – peristiwa yang terdapat dalam novel “The Demon in The Tea House” terutama terjadi di dua tempat, yakni di Edo, dan Yoshiwara. Sekitar tiga abad yang lalu, kota terbesar di dunia adalah Edo, ibu kota militer Jepang. disana, dalam kastil batu raksasa, hidup Shogun Yoshimune, keluarga Tokugawa kedelapan yang memerintah Jepang. Shogun pertama dari Tokugawa, Ieyasu, menempati puncak kekuasaan setelah mengalahkan musuh – musuhnya dalam peperangan. Para penerus Ieyasu menyadari ancaaman pada kekuasaan mereka jika membiarkan saingan – saingan menjadi terlalu kuat. untuk itu Yoshiwara dibina di dalam bandar Edo, Alasan utama dibuatnya bandar-bandar tanpa malam ini ialah percobaan oleh keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin kaya- raya ch nin orang bandar agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat. terletak berdekatan dengan apa yang dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi, Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang. Pada tahun 1656, disebabkan keperluan terhadap ruang kerana perkembangan bandar itu, pemerintahan mengambil keputusan untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan perancangan-perancangan dibuat untuk memindahkan daerah tersebut ke lokasinya sekarang di utara Asakusa di pinggir bandar tersebut. Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh Jepang pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun. Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur kelas atasan yang berpangkat tinggi. Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi- bahagikan secara ketat di Yoshiwara. Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang cukup layak dilayani setaraf dengan samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan untuk memasuki kawasan Yoshiwara. Orang Edo sangat takut pada api, melebihi ketakutan pada sepasukan samurai. Karena api datang tanpa peringatan, sering kali ketika kota sedang terlelap, dan menyebar lebih cepat dari pada kesatria berkuda. Edo sangat padat, dan banyak rumah dibangun dengan terburu – buru. Rumah – rumah mereka sangat rapuh, terbuat dari kayu tipis dengan jendela kertas. Sekali api berkobar tidak terkendali, ia bisa melahap satu baris rumah dalam sekejap. Hal ini berlaku di seluruh Jepang sehingga kawasan Yoshiwara ini pun tak luput dari kebakaran. Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran Meireki 1657 ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. Yoshiwara baru, lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara Yoshiwara asal akhirnya perkataan shin dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai Yoshiwara. Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923. Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran Jepang pada tahun 1958 setelah Perang Dunia Kedua. Geisha pada dasarnya, hanyalah penghibur. Mereka hanya belajar bagaimana memuaskan pelanggan. Seorang geisha yang berusaha membunuh geisha lain akan bisa dengan mudah dikenali, Ia pastinya tidak punya peluang kerja di Yoshiwara. Orang – orang di Edo masih tetap membicarakan betapa menakutkannya Great Furisode Fire api besar menggulung . Geisha tidak suka jika kedai tidak memperlihatkan kelas tinggi. Bagi seorang geisha menjadi geisha itu merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan uang yang banyak. hal ini berlaku di Yoshiwara kehidupan yang sangat sulit sehingga mengharuskan mereka menerima takdir untuk menjadi geisha. Bagi seorang geisha kecantikan merupakan hal yang paling penting dalam menarik perhatian pelanggan. untuk itu bagian leher perempuan adalah kunci mengukur kecantikan perempuan sehingga tak dapat dipungkiri lagi persaiangan kerap saja terjadi antara sesama geisha. untuk menjadi geisha, satu – satunya cara ialah dengan membiarkan seseorang mengangkat kita menjadi adik perempuan mereka. Diceritakan Umae mungkin adalah geisha yang paling terkenal di Edo. tak ada yang tahu berapa umurnya sekarang, karena riasan yang dipakainya sangat rapi dan memungkinkannya bisa menjelma menjadi berbagai umur. Ia lebih dikenal karena kemampuannya menghibur. Menjadi adik kecil umae berarti menjadi muridnya. Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. karena Umae merupakan geisha yang paling dihormati. Para geisha harus menghibur lelaki. itulah yang mereka lakukan. Meski mereka tidak bersama laki – laki, mereka tetap harus mempercantik diri atau meningkatkan kemapuan menyanyi dan menari.

2.7. Sosiologi Sastra