Masyarakat Dan Geisha Pada Zaman Edo

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010.

2.4. Masyarakat Dan Geisha Pada Zaman Edo

Uraian mengenai kondisi masyarakat pada Zaman Edo dituliskan dalam bab ini karena pada Zaman Edo inilah sistem geisha mulai muncul dan mengalami perkembangan dalam dunia hiburan dan kebudayaan Jepang. Tujuan penulisan adalah untuk menguraikan secara umum dalam keadaan masyarakat yang seperti apa tempat muncul dan berkembangnya sistem geisha tersebut, yang meliputi bidang politik dan pemerintahan, ekonomi dan masyarakat serta sosial budaya. Zaman Edo 1603 – 1867 adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa. Disebut Zaman Edo karena pemerintah keshogunan Tokugawa waktu itu berpusat di kota Edo sekarang disebut Tokyo . Pemerintah Tokugawa berlangsung selama kira – kira 264 tahun. Zaman ini disebut juga sebagai zaman yang damai bagi Jepang karena tidak adanya serangan terhadap bakufu dan tidak adanya keributan yang disebabkan perang antar daimyo. Geisha menganggap diri mereka sebagai seniman sejati Cobb, 1997:23. ini menunjukkan bahwa geisha adalah lebih dari sebagai seorang peneliti dan pencipta seni bukan hanya sekedar bagian dari dirinya. Seorang geisha seninya mengandung di dalam dirinya sendiri, dan karena tubuhnya memiliki seni ini, hidupnya akan disimpan. Itulah kekuatan seni - keselamatan jiwa seseorang . Hal ini menunjukkan bahwa geisha adalah kampas dan pencipta seni daripada murni manifestasi dari itu; ia memberi seseorang pengalaman potensi untuk seni dan melalui pengalaman seni ini sifat keindahan sejati. Cobb,1997 : 100 . Gagasan tentang keindahan alami pada umumnya yang paling ampuh dalam apresiasi terhadap keindahan fisik: keindahan dirinya geisha serta penguasaan nya lagu, musik dan tarian. Hal ini juga menunjukkan aspek lain dari gaya hidup geisha; seni bukan hanya geisha ketertarikan atau kekhawatiran, Itu awalnya menggambarkan bentuk indah garis rambut di belakang Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. leher. Tetapi karena kita meletakkan makeup leher kita mirip dengan bentuk area genital, itu sekarang berarti geisha dengan area genital yang indah, sebuah tempat berjajar indah, yang juga telah mengembangkan dirinya gei derajat yang tinggi. Ini adalah kombinasi sempurna erotis keindahan dan pencapaian artistik yang tinggi. Ini adalah apa yang kita inginkan. Cobb, 1997 : 63 . Kutipan ini menunjukkan kesulitan mengukur geisha dalam satu kategori, mereka adalah seniman dan mereka juga wanita kuat yang diinginkan oleh laki-laki. Selama masa Tokugawa geisha diatur oleh “ Undang- Undang Kemewahan” yang membatasi secara ketat apa saja yang dapat mereka gunakan. Undang – Undang ini adalah satu usaha untuk memisahkan geisha dan pelacur, dimana pelacur memakai kimono yang berlapis – lapis dan hiasan rambut yang banyak sementara geisha mengenakan kimono yang lebih sederhana dan hiasaan rambut sedikit. Pada masa Meiji, kepopuleran geisha bukan saja mempengaruhi bidang politik dan sosial di Jepang, tetapi juga sangat mempengaruhi mode dan gaya masyarakat terbaru. Wanita – wanita di seluruh Jepang dengan cepat mengikuti mode pakaian yang digunakan geisha. Geisha bahkan yang pertama kali menggunakan beberapa pola kimono baru dan gaya dalam memakainya. Meski mode pakaian Barat masuk ke Jepang namun geisha tetap memutuskan untuk tetap “tradisional”, peran geisha dalam dunia mode telah menghilang, dimana sebelumnya geisha adalah pelopor mode kimono terbaru. Tak dipungkiri lagi geisha selalu mengembangkan hubungan yang akrab dengan tamu – tamunya dalam hal ini khususnya kaum pria, karena tamu – tamu para geisha pada umumnya laki – laki, mulai dari hubungan antar geisha dan pelanggannya sampai menjadi danna atau bahkan kekasih dari geisha tersebut. Pria Jepang biasanya mempunyai dua wanita dalam hidupnya yaitu istrinya dan Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010. kekasihnya. Hal ini dianggap normal bagi pria yang kaya dan berkuasa untuk memiliki hubungan dengan geisha. Keadaan tersebut didasari oleh kebiasaan bahwa hampir semua pernikahan di Jepang diatur oleh keluarga bukan karena keinginan sendiri. Kemudian kelak dalam kehidupannya nanti, mereka memisahkan apa yang menjadi hak istri dan apa yang menjadi kesenangan pribadinya Benedict, 1982 :192 . Hanya kaum pria dari kelas atas yang mampu mempunyai simpanan, tetapi kebanyakan pria pernah mengunjungi geisha atau pelacur. Orang Jepang juga memiliki kebiasaan tidak keluar rumah dengan istrinya atau keluarganya, kecuali pada hari libur pergi memancing atau piknik ke tempat rekreasi lain. Pada pertemuan – pertemuan resmi biasanya orang Jepang tidak membawa istri, Dikarenakan oleh pengaruh Barat, sekarang ini sudah mulai ada orang Jepang datang ke resepsi atau perjamuan dengan istrinya Rosidi, 1981 : 35 . Untuk menghormati tamu atau mengadakan pembicaraan penting, diadakan di restosan gaya Jepang atau tempat hiburan lain, juga tidak dengan istrinya. Disinilah muncul peran geisha didalam restoran yang bergaya Jepang, yakni menggantikan peran istri untuk menghibur dan melayani tamu-tamunya, sementara mereka makan dan berbicara Rosidi, 1981 : 76 . Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy Thomas Hoobler, 2010.