besarnya minimal 0,5 dan maksimal 1 dari penghasilan per rumah tangga per bulannya.
Bertolak dari temuan tersebut dan juga pedoman yang diberikan oleh Ditjen Cipta Karya Departemen PU, maka b
ila semua rumah tangga mampu membayar retribusi sampah sebesar angka tersebut di atas, maka dapat dikatakan pengelolaan
sampah akan dapat berjalan secara “Self Financing” mampu membiayai sendiri. Sebaliknya bila
tingkat kemampuan membayar masyarakat terhadap pengutipan retribusi sampah lebih rendah dari jumlah tarif yang telah ditetapkan, maka mungkin
akan timbul keengganan untuk membayarnya karena mereka harus mengalihkan sebahagian dana yang telah dialokasikan untuk keperluan lainnya di luar pembayaran
retribusi sampah. Akibatnya, hasil pengutipan retribusi sampah akan dapat mengalami penurunan. Sebaliknya, bila tingkat kemampuan membayar masyarakat
terhadap retribusi sampah melebihi tarif yang ditetapkan, maka kerelaan masyarakat untuk membayarnya akan muncul dan dapatlah diharapkan tingginya hasil pengutipan
retribusi sampah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemampuan membayar masyarakat atas pengutipan retribusi sampah akan
mempengaruhi hasil pengutipan retribusi sampah yang dilakukan Dinas Kebersihan Kota Medan.
2.1.6. Kemauan Membayar
Kemauan membayar merupakan suatu nilai di mana seseorang rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang atau
Universitas Sumatera Utara
jasa Widaningrum, 2007. Definisi ini sejalan dengan definisi Wechel Kimberly dalam Widjonarko 2007: 25, yaitu sebagai jumlah uang yang bersedia dibayarkan
oleh individu untuk mendapatkan suatu barang atau jasa layanan. Sementara secara khusus untuk jasa pelayanan sampah, Santosa, Darsono dan Syafrudin 2010: 4
memberikan definisi kemauan membayar atau yang biasa disebut dengan willingnes to pay sebagai kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang
diperolehnya atau besaran rupiah rata-rata yang masyarakat mau mengeluarkannya sebagai pembayaran atas satu unit pelayanan sampah yang dinikmatinya.
Sebahagian anggota masyarakat ada yang beranggapan bahwa pengelolaan sampah hanyalah merupakan tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat hanya
berperan sebagai pihak yang dilayani, dan tidak perlu memberikan kontribusi apapun, termasuk melakukan pembayaran uang retribusi sampah. Dana yang diperlukan untuk
membiayai penanganan sampah seharusnya sudah tersedia dalam anggaran pemerintah, sehingga penanganan selanjutnya adalah menjadi tanggung jawab
pemerintah. Pada kelompok masyarakat yang seperti ini tingkat kemauan mereka untuk membayar retribusi sampah adalah sangat rendah, karena mereka merasa
bahwa kegiatan pengelolaan sampah merupakan kegiatan wajib pemerintah yang tidak perlu dibayar. Padahal peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah
adalah amat diperlukan sekali, bukan hanya partisipasi dalam kegiatan pengelolaan sampah dan lingkungan, misalnya dengan mengadakan sendiri tempat penyediaan
sampah seperti tong sampah, meletakkan sampah yang diproduksinya secara teratur
Universitas Sumatera Utara
di lokasi yang mudah dijangkau oleh petugas pengutipan sampah, menjaga agar sampah tidak berserakan dan masuk ke dalam parit, tetapi juga seharusnya ikut dalam
menanggulangi biaya pengelolaan sampah dengan membayar retribusi sampah. Hal ini sejalan dengan pendapat Wibisono dalam Alfiandra 2009: 41 bahwa partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Partisipasi langsung adalah keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan
masyarakat, mulai dari gagasan, perumusan kebijakan hingga pelaksanaan operasional program. Sedang partisipasi tidak langsung adalah berupa keterlibatan
dalam masalah keuangan, pemikiran dan material. Dengan demikian masyarakat seharusnya membayar retribusi sampah sebagai bentuk keikutsertaan atau partisipasi
dalam pengeloaan sampah dan juga sebagai bentuk pembayaran kewajiban atas
pelayanan yang telah diterimanya.
Faktor kemauan membayar ini didasarkan atas Teori Nilai Guna Utility Theory. Teori yang merupakan salah satu dari teori ekonomi ini umumnya dipakai untuk
menerangkan dan juga memprediksi bagaimana perilaku individu disebut konsumen dalam memilih barang-barang yang akan dibeli dan dikonsumsinya Sukirno, 2005: 169.
Teori ini kemudian berkaitan dengan teori kepuasan marginal, yang menyatakan bahwa konsumen akan meneruskan pembeliannya terhadap suatu produk untuk jangka waktu
yang lama karena telah mendapatkan kepuasan dari produk yang sama yang telah
dikonsumsi. Terdapat beberapa asumsi yang melandasi teori ini, yaitu: 1 bahwa
konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya sesuai batas kemampuan
Universitas Sumatera Utara
keuangannya; 2 bahwa individu mengetahui tentang beberapa alternatif sumber untuk memuaskan kebutuhannya; 3 bahwa individu selalu bertindak rasional. Konsumen akan
menggunakan pendapatannya untuk memperoleh kepuasan maksimum dari barang yang akan dikonsumsinya dan tercermin dari besaran harga berdasarkan kemauan membayar
willingness to pay terhadap barang tersebut. Dalam penelitiannya mengenai air bersih, McIntosh 2003 menyebutkan bahwa kemauan membayar seseorang dalam skala rumah
tangga domestik tergantung dari pendapatan rumah tangga, jumlah konsumsi air, besaran tarif dan adanya sumber air bersih alternatif. Hal ini tentu juga berlaku untuk
pelayanan jasa persampahan, di mana kemauan membayar akan tergantung kepada beberapa faktor, seperti pendapatan, jumlah sampah yang dihasilkan, besaran tarif, dan
juga alternatif pelayanan. Pada saat ini, alternatif pelayanan untuk pengelolaan sampah tidak ada, karena kegiatan pengelolaan sampah bukanlah merupakan satu bentuk bisnis
jasa yang menguntungkan.
Kemauan membayar seseorang tentu tidak akan dapat tumbuh dengan sendirinya, melainkan akan timbul karena adanya beberapa faktor tertentu. Jakobson,
et al, dalam Vitianingsih 2002: 15 berpendapat bahwa konsepsi willingness to pay WTP atau kemauan membayar sangat bergantung pada preferensi dan kesadaran
awareness individu berkaitan dengan manfaat atas penggunaan suatu barang. Preferensi dapat timbul karena adanya pelayanan yang memuaskan, sementara
kesadaran akan timbul dengan adanya upaya penyadaran oleh pemerintah dengan melakukan berbagai sosialisasi mengenai pentingnya penjagaan lingkungan dan
keikutsertaan semua lapisan masyarakat di dalamnya. Penelitian Widaningrum 2007
Universitas Sumatera Utara
mengenai tingkat kemampuan dan kemauan membayar terhadap rumah susun menemukan bahwa kemauan membayar masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yaitu penghasilan total keluarga dan jasa pelayanan yang diterimanya untuk masyarakat berpenghasilan menengah rendah, sementara tingkat kemauan membayar
masyarakat berpenghasilan menengah sedang dan tinggi, ditentukan oleh faktor jasa pelayanan yang diterimanya dan penghasilan total keluarga.
Pada studi yang dilakukan oleh Ruijgrok dan Nillesen 2000, disimpulkan bahwa responden yang mengerti barang lingkungan yang ditawarkan memiliki nilai
kemauan membayar lebih tinggi daripada yang tidak mengerti barang lingkungan yang ditawarkan. Menurut Justine 1996, nilai kemauan membayar pada pengelolaan
sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pelayanan, persepsi masyarakat terhadap nilai manfaat dari pelayanan itu, dan penghasilan keluarga untuk
daerah yang masyarakatnya berpenghasilan rendah. Sedangkan pada studi yang dilakukan oleh Permana 2005, dikatakan ada hubungan antara nilai kemauan
membayar dengan jumlah produksi sampah yang dihasilkan oleh responden. Selain itu, beliau menemukan pula faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kemauan
membayar yang terdiri dari 1 persepsi responden terhadap permasalahan pengelolaan sampah, 2 persepsi responden terhadap tingkat pelayanan sampah di
lingkungannya, 3 persepsi responden terhadap Willingness to Accept, 4 persepsi responden terhadap peningkatan pengelolaan sampah, dan 5 jumlah produksi
sampah yang dihasilkan oleh responden, artinya semakin banyak produksi sampah
Universitas Sumatera Utara
maka semakin besar kesediaan untuk membayarnya. Nur As’adah, et al 2010 menemukan dalam penelitiannya bahwa kemauan masyarakat dalam membayar tarif
retribusi sampah memberi pengaruh terhadap efektifitas penarikan tarif retribusi sampah, artinya bila kemauan membayar retribusi sampah tinggi, tentu penerimaan
hasil pengutipan retribusi sampah akan mengalami kenaikan pula. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa tinggi rendahnya kemauan pelanggan untuk membayar
retribusi akan berpengaruh terhadap hasil pengutipan retribusi sampah. Penelitian yang dilakukan oleh Salequzzaman, Sqadiqul dan Mostafa 2000,
Nur As’adah, Supirin dan Syafrudin 2010, begitu juga Santosa, Darsono dan Syafrudin 2010 telah menemukan bahwa kinerja operasional pengelola sampah atau
tingkat pelayanan pengelolaan sampah sangat mempengaruhi kemauan willingness to pay masyarakat dalam membayar tarif retribusi sampah. Kemauan membayar ini
akhirnya juga akan sangat mempengaruhi jumlah penerimaan retribusi sampah.
2.2 Review Penelitian Terdahulu Theoretical Maping