46
Penelitian ini mengukur nilai 13 parameter kualitas air. Selain itu, satu parameter fisik lapangan yang berpengaruh terhadap keberadaan pesut mahakam
yakni kedalaman Kreb 2004, juga diukur. Kedalaman sungai dan lima parameter kualitas air diukur langsung di lapangan, sementara delapan parameter
lainnya dianalisis di laboratorium. Analisis sampel air dalam penelitian ini dilakukan di Laboratorium Air PusrehutPPHT Universitas Mulawarman.
Analisis Data 1.
Analisis Kualitas Air
Tidak semua parameter kualitas air dapat langsung diukur di lapangan. Sebagian diantaranya harus dianalisis terlebih dahulu di laboratorium kualitas air.
Untuk parameter kualitas air di atas, peneliti tidak melakukan sendiri analisisnya, tetapi menyerahkannya pada laboratorium Air PusrehutPPHT Universitas
Mulawarman.
2. Analisis Deskriptif
Hasil pengukuran lapangan dan analisis laboratorium parameter kualitas air akan dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada peraturan perundangan
yang sudah ditetapkan. Peraturan perundangan yang menjadi acuan adalah yang umum dikenal dengan standarbaku mutu kualitas air. Baik buruknya kualitas
perairan yang menjadi habitat pesut akan ditentukan dengan apakah air Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya memenuhi baku mutu atau tidak. Dalam
peraturan yang menyangkut baku mutu kualitas air, dikenal adanya klasifikasi berdasarkan peruntukannya, misalnya untuk bahan baku air minum perikanan atau
pertanian. Penelitian ini mengambil standar baku mutu untuk perikanan karena ini menyangkut kelayakan perairan untuk mendukung kehidupan ikan yang
merupakan pakan utama dari pesut mahakam.
3. Analisis Statistik
Secara deskriptif semua parametervariabel habitat yang diukur dan dianalisis akan dibandingkan. Hasil pengamatan dari seluruh variabel antara
keempat lokasi pengamatan diperbandingkan Uji statistik akan dilakukan untuk membuktikan ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan dari variabel-variabel
yang menjadi indikator kondisi habitat diantara lokasi-lokasi pengamatan. Perbandingan variabel antar lokasi pengamatan berdasarkan kondisi ketinggian
air juga akan dilakukan. Uji statistik yang digunakan dalam analisis ini adalah uji beda dua nilai tengah Student t-test dan uji kesamaan dua ragam F-test.
Analisis regresi berganda digunakan untuk menentukan variabel habitat yang paling berpengaruh terhadap keberadaan pesut. Analisis regresi akan dilakukan
terhadap hubungan masing-masing variabel keberadaan pesut frekuensi, durasi dan jumlah individu dengan seluruh variabel habitat. Kolinearitas akan
diperhitungkan untuk memperoleh variabel habitat yang paling berpengaruh dan tidak berkorelasi antara satu dengan lainnya. Untuk melakukan uji statistik
tersebut digunakan program komputer IBM SPSS Statistics 20.
47
Hasil Nilai Penting Habitat
Nilai penting habitat bagi pesut ditunjukkan oleh tingkat kehadiran satwa ini di lokasi-lokasi yang dianggap sebagai habitatnya. Bukan sekedar hadir, tetapi
kehadiran tersebut terjadi dalam frekuensi yang tinggi, jangka waktu yang lama durasi dan jumlah yang banyak. Semakin tinggi frekuensi, durasi dan jumlah
individu yang hadir di suatu habitat, mengindikasikan nilai penting habitat tersebut semakin tinggi pula.
Tabel 5.2. Kehadiran Pesut yang Terekam melalui Land-base Observation selama 5 Hari Bertutut-turut pada Masing-masing Periode Ketinggian Air
Lokasi Frekuensi
Durasi jam
Rata-rata jumlah pesuthari ekor
Air Rendah
Air Sedang
Jumlah Air
Rendah Air
Sedang Jumlah
Air Rendah
Air Sedang
Muara Kaman 24
23 47
81,84 102,33
184,17
9,8 12
Pela 28
17 45
90,75 64,43
155,18
11,8 7,8
Muara Muntai 6
4 10
50,55 31
81,55
4,8 3,6
Muara Pahu 1
1 3,75
3,75
0,6
Minta 1
1 2,5
2,5
0,6
Sebulu Tenggarong
Keterangan:
Total dari waktu jam yang dihabiskan setiap kelompok di satu tempat dalam satu hari
Tabel 5.2 menunjukkan adanya perbedaan nilai penting di antara lokasi- lokasi yang dianggap sebagai habitat pesut jika dilihat dari ketiga parameter yang
diukur. Perbedaan mencolok terlihat antara tiga daerah yakni Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai dengan empat daerah lainnya. Hal yang menarik adalah
lokasi Muara Pahu yang selama ini dikenal sebagai daerah sebaran utama pesut mahakam ternyata menunjukkan hasil yang rendah untuk ketiga parameter yang
diukur.
Dua daerah yakni Muara Kaman dan Pela menunjukkan kesamaan dalam rata-rata jumlah pesut yang tercatat setiap hari t = -0,355; df = 18; p 0,05.
Sementara kedua daerah tersebut masing-masing menunjukkan perbedaan dengan Muara Muntai untuk parameter yang sama. Hasil analisis juga memperlihatkan
bahwa: 1 tidak ada perbedaan rata-rata frekuensi kemunculan pesut setiap harinya antara Muara Kaman dan Pela t = 0,229; df = 18; p 0,05, serta 2 tidak
ada perbedaan rata-rata durasi waktu yang dihabiskan setiap kelompok pesut setiap harinya baik di Muara Kaman dan Pela t = 1,269; df = 64; p 0,05.
Tetapi Muara Kaman dan Pela, masing-masing memiliki perbedaan rata-rata durasi waktu dengan Muara Muntai p 0,05. Artinya, kelompok pesut di Muara
48
Muntai menghabiskan waktu yang lebih lama jika berada di daerah tersebut dibandingkan apabila berada di Muara Kaman atau Pela.
Potensi Mangsa
Upaya penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insanggillnet pada 7 lokasi di S. Mahakam memberikan hasil sebagaimana Gambar 5.2. Berdasarkan
rata-rata jumlah ikan yang tertangkap per hari pada kedua level air, daerah Pela, Muara Kaman dan Muara Muntai yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari Muara Pahu dan Minta yang berada di Kabupaten Kutai Barat. Demikian pula dengan berat rata-rata hasil tangkapan
ikan per hari, daerah Pela, Muara Kaman dan Muara Muntai memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan Muara Pahu dan Minta.
Gambar 5.2. Perbandingan Hasil Tangkapan Ikan di 7 Lokasi pada Level Air Rendah dan Air Sedang. Gambar atas menunjukkan jumlah
individu ikan yang tertangkap ekor dan gambar bawah menunjukkan berat kg ikan yang tertangkap
Namun demikian, uji Mann-Whitney Uji U menunjukkan hampir tidak ada perbedaan yang signifikan di antara empat lokasi dengan nilai tertinggi Muara
Kaman, Pela, Muara Muntai dan Muara Pahu, baik untuk jumlah maupun berat tangkapan ikan Tabel 5.3. Satu-satunya perbedaan yang signifikan adalah pada
jumlah tangkapan ikan per hari antara Pela dan Muara Pahu p 0,05. Perbedaan juga terjadi antara jumlah ikan ekor hasil tangkapan di musim level
air rendah dan air sedang t = -2.084; p 0,05.
49
Tabel 5.3. Tingkat signifikansi Hasil Uji Mann-Whitney untuk Rata-rata Jumlah ikan dan berat hasil tangkapan per hari dari 4 lokasi penangkapan
Lokasi Muara
Kaman Pela
Muara Muntai
Muara Pahu Muara Kaman
- 0,878
0,328 0,195
Pela 0,798
- 0,065
0,038 Muara Muntai
0,161 0,130
- 0,505
Muara Pahu 0,083
0,083 0,505
- Keterangan:
tingkat signifikansi untuk jumlah ikan yang tertangkap per hari tingkat signifikansi untuk berat ikan yang tertangkap per hari.
Walaupun dalam penelitian ini Muara Pahu tercatat sebagai tempat yang
menghasilkan tangkapan ikan yang lebih sedikit dibandingkan Pela, Muara Kaman dan Muara Muntai, tetapi secara musiman daerah ini masih mengalami
periode-periode kelimpahan ikan yang tinggi. Pada periode semacam itu masyarakat nelayan di Muara Pahu dan sekitarnya secara serentak dan bersama-
sama menangkap ikan yang sedang melimpah. Berdasarkan pengakuan masyarakat, periode semacam itu kini berlangsung dalam waktu yang semakin
singkat. Jika sebelumnya periode melimpahnya ikan bisa berlangsung berminggu- minggu, belakangan ini waktunnya hanya sekitar seminggu. Pada umumnya,
menurut masyarakat, melimpahnya ikan terjadi ketika air mulai surut setelah terjadinya periode air sedangtinggi. Air surut tersebut membawa ikan-ikan dari
rawa-rawa dan danau di sekitar Muara Pahu keluar ke S. Kedang Rantau dan kemudian ke S. Mahakam. Satu-satunya catatan perjumpaan pesut selama
penelitian di Muara Pahu terjadi pada kondisi semacam ini.
Kondisi Lalu Lintas Perairan
Berbagai macam alat transportasi melintasi S. Mahakam dan anak-anak sungainya setiap hari. Alat transportasi yang paling umum dan merupakan
andalan masyarakat adalah perahu motor kecil bermesin tempel yang secara lokal dinamakan ces. Ces mendominasi lalu lintas sungaiperairan di daerah hulu S
Mahakam. Selain ces, dalam kategori perahu motor kecil dengan mesin 40 hp, juga terdapat perahu penyeberangan untuk sepeda motor. Secara keseluruhan
frekuensi lalu lintas perahu kecilces di S. Mahakam adalah 33,6 unitjam SD = 20.5 unitjam.
Pela adalah daerah yang memiliki frekuensi tertinggi untuk kategori cesperahu kecil yakni 54,5 unitjam SD = 13,5 unitper jam [Tabel 5.4]. Uji t
dua rata-rata antara Pela dengan masing-masing daerah menunjukkan bahwa semua kombinasi tersebut memiliki nilai p 0,005. Hal itu berarti frekuensi lalu-
lintas ces di Pela berbeda secara signifikan dengan ke enam daerah lainnya.
Tenggarong tercatat sebagai daerah yang memiliki frekuensi tertinggi kedua 43,3 unitjam; SD = 9,1 setelah Pela untuk kategori perahu kecilces. Tidak
seperti Pela, dan juga daerah-daerah lain di wilayah hulu S. Mahakam, jenis alat
50
transportasi yang mendominasi perairan Tenggarong bukan ces tetapi perahu penyeberangan untuk sepeda motor. Kepadatan lalu lintas perahu penyeberangan
sepeda motor yang tinggi di Tenggarong ini ada hubungannya dengan runtuhnya Jembatan Tenggarong yang menyebabkan semakin maraknya usaha jasa
penyeberangan. Latar belakang itu juga yang menyebabkan frekuensi rata-rata lalu lintas perahukapal bermesin dalam 40 hp di Tenggarong adalah yang
paling tinggi 70,3 unitjam; SD = 22,8. Kepadatanfrekuensi itu jauh di atas daerah lain di bagian hulu S. Mahakam seperti Muara Pahu, Muara Kaman dan
Muara Muntai Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Kepadatanfrekuensi lalu lintas sungaiperairan di S. Mahakam
Lokasi n
F R E K U E N S I unitjam perahu
kecilces mesin tempel
40 hp perahu mesin
dalam 40 hp
Speedboat Tugboat +
tongkang kapal Keseluruhan tipe
Muara Pahu 100 37,3 ± 13,5
1,8 ± 1,6 1,7 ± 1,3
2,8 ± 2,3 43,6 ± 13,9
Minta 102 18,3 ± 5,8
0,8 ± 0,9 0,6 ± 0,7
1,2 ± 1,1 20,9 ± 6,0
Muara Muntai 110 37,7 ± 28,4
1,5 ± 1,3 1,0 ± 1,0
1,4 ± 1,0 41,3 ± 29,0
Pela 100 54,5 ± 13,5
0,9 ± 0,9 2,1 ± 1,5
0,0 ± 0,0 56,0 ± 13,9
Muara Kaman 110 33,0 ± 11,0
1,5 ± 1,3 0,5 ± 0,9
1,4 ± 1,2 36,3 ± 11,5
Sebulu 72
5,2 ± 2,1 1,8 ± 1,2
0,4 ± 0,6 1,1 ± 1,1
8,7 ± 2,9 Tenggarong
72 43,3 ± 9,1
70,3 ± 22,8 0,4 ± 0,6
2,6 ± 1,2 115,0 ± 31,1
Keseluruhan 676 33,6 ± 20,5
8,7 ± 22,5 1,0 ± 1,2
1,5 ± 1,6 44,4 ± 33,3
Kategori speedboat yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk perahu-
perahu yang secara desain serupa dengan ces tetapi menggunakan mesin yang lazim digunakan pada speed boat. Speedboat umumnya digunakan untuk
transportasi cepat dari daerah-daerah di hulu S. Mahakam menuju Kotabangun di mana terdapat sarana prasarana transportasi darat yang memadai untuk
mencapai bagian yang lebih hilir dari S. Mahakam seperti Samarinda. Oleh sebab itu, kepadatanfrekuensi yang tinggi dari lalu lintas speedboat terdapat di daerah-
daerah hulu yang lebih jauh dari Muara Kaman Muara Kaman terletak di hilir Kotabangun. Kepadatanfrekuensi speedboat tertinggi terjadi di Pela 2,1
unitjam; SD = 1,5 unitjam. Pela merupakan jalur lintas transportasi dari berbagai daerah di D. Semayang dan D. Melintang serta jalur pintas dari hulu S.
Belayan. Secara keseluruhan kepadatanfrekuensi lalu lintas speedboat di S. Mahakam adalah 1 unitjam.
Alur S. Mahakam juga berfungsi sebagai jalur transportasi kapal-kapal besar pengangkut suplai bahan bakar, hasil tambang batubara, alat-alat berat, hasil hutan
kayu dan sebagainya. Secara keseluruhan, di S. Mahakam rata-rata kepadatanfrekuensi lalu lintas jenis alat transportasi ini adalah 1,5 unitjam.
Kepadatan tertinggi terdapat di Muara Pahu yakni 2,8 unitjam 2,3 unitjam dan yang berikutnya adalah di Tenggarong yakni 2,6 unitjam SD =1.2 unitjam.
51
Kepadatan di kedua daerah ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan daerah-daerah lainnya p 0,05. Perbedaan kepadatan yang sangat mencolok
terjadi antara semua daerah dengan Pela karena S. Pela tidak dilayari oleh kapal- kapal besar.
Kualitas Perairan
Pengukuran di 9 daerah di S. Mahakam termasuk anak-anak sungai dan danaunya mencatat adanya variasi rata-rata kedalaman sungai sebagaimana
terlihat dalam Lampiran 1. Wilayah hulu mulai dari Muara Pahu sampai Long Hubung memiliki rata-rata kedalaman yang yang lebih kecil dibandingkan dengan
wilayah di hilirnya. Secara khusus, ternyata daerah Muara Pahu umumnya mempunyai perbedaan rata-rata kedalaman yang signifikan p 0,05 dengan dae-
rah-daerah di bagian hilirnya. Kondisi ini disebabkan daerah Muara Pahu terdiri atas anak-anak sungai yang relatif dangkal, khususnya saat musim kemarau.
Kedalaman S. Mahakam antara level air rendah dan air sedang berbeda secara signifikan p 0,05. Selisih kedalaman antara dua level air tersebut ber-
variasi di setiap wilayah. Di wilayah hulu yang terdiri atas Minta, Muara Pahu, Tering dan Long Hubung, rata-rata selisih kedalaman antara dua level air adalah
5,7 ± 0,5 m. Di wilayah tengah yang terdiri atas Muara Muntai, Pela dan Muara Kaman, rata-rata selisih kedalaman lebih kecil yakni 3,3 ± 0,4 m. Selisih
kedalaman yang terendah terdapat di Sebulu dan Tenggarong yakni rata-rata 1,6 ± 0.1 m. Masing-masing wilayah tersebut memiliki perbedaan rata-rata kedalaman
yang signifikan p 0,05 dengan yang lainnya.
Temperatur air S. Mahakam berkisar antara 26,7
o
C hingga 29,7
o
C. Temperatur terendah tercatat di Long Hubung. Muara Kaman adalah daerah yang
memiliki temperatur air rata-rata tertinggi 29,7 ± 1,2
o
C dan berbeda secara signifikan hampir dengan semua daerah lain di bagian hulunya kecuali Muara
Muntai. Perbedaan yang signifikan t = 5,764; df = 68; p 0,05 juga terlihat antara temperatur air pada saat level air rendah dan air sedang.
Pada saat level air rendah, kekeruhan di alur utama S. Mahakam 39 ± 21 NTU lebih rendah dibandingkan saat level air sedang 80,1 ± 38,6 NTU. Nilai
tersebut berbeda secara signifikan. Namun demikian nilai kekeruhan di seluruh lokasi pengambilan contoh termasuk anak-anak sungai maupun danau antara
level air rendah dan air sedang tidak berbeda secara signifikan t = -0,649; df = 68; p 0,05. Kondisi ini dipengaruhi tingkat kekeruhan yang tinggi di anak-anak
sungai dan danau saat level air rendah. Pada saat level air sedang, ketika debit air S. Mahakam dan beberapa anak sungai utama tinggi, kekeruhan di alur-alur
sungai tersebut meningkat. Namun demikian, pada saat yang sama kekeruhan di D. Semayang, S. Pela, S. Kedang Rantau dan S. Sabintulung rendah. Kombinasi
seperti ini pada akhirnya menyebabkan secara keseluruhan tidak ada perbedaan kekeruhan di semua lokasi pengambilan contoh antara level air rendah dan air
sedang.
Kekeruhan disebabkan oleh keberadaan bahan organik atau anorganik yang tersuspensi dan terlarut. Penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa semakin tinggi kekeruhan maka nilai TSS Total Suspended Solids padatan tersuspensi total, semakin meningkat pula. Di alur utama S. Mahakam,
TSS pada level air rendah adalah 72,5 ± 41,8 mgl, sedangkan pada level air sedang 99,4 ± 47,6 mgl. Nilai rata-rata TSS untuk di alur S. Mahakam saja pada
52
kedua musim berbeda secara signifikan. Tetapi, ketika nilai-nilai dari anak-anak sungai dan danau diperhitungkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kedua level air. Sungai Sabintulung, S. Pela dan Danau Semayang menunjukkan hal yang sebaliknya karena pada level air sedang justru nilai TSS dan
kekeruhannya lebih rendah dibandingkan pada level air rendah.
Rata-rata pH di seluruh daerah penelitian adalah 6,5 ± 0,3. Nilai pH terendah yang tercatat adalah di S. Bolowan 5.5 dan S. Sabintulung 5,8,
keduanya pada saat level air rendah. Sedangkan, pH tetinggi tercatat di Bukit Jering, Muara Kaman pada saat level air rendah. Rata-rata pH pada level air
rendah 6,7 ± 0,4 lebih rendah dibandingkan rata-rata pada level air sedang 6,4 ± 2,2. Kedua nilai pH tersebut berbeda secara signifikan p 0.05.
Nilai oksigen terlarut DO di ke 9 lokasi pnelitian berada pada kisaran rata- rata 5,3 ± 1,5 mgl. Lokasi yang tercacat memiliki DO terendah adalah Muara
Kaman 4,6 ± 1,2 mgl dan yang tertinggi adalah Long Hubung 6,2 ± 2,0 mgl. Nilai DO antara level air rendah dan air sedang berbeda secara signifikan p
0,05. Namun demikian tidak ada perbedaan nilai DO yang signifikan antara masing-masing daerahlokasi. Perbedaan signifikan antara dua level air juga
terjadi pada parameter BOD dan COD. Sementara nilai rata-rata keseluruhan BOD level air rendah + air sedang adalah 1,9 ± 0,8 mgl dan COD adalah 22,9
± 9,7 mgl.
Kandungan besi Fe di perairan pada 9 lokasi penelitian berada pada kisaran rata-rata 0,8 ± 0,7 mgl. Dua daerah yakni Pela dan Muara Kaman
mencatat rata-rata kandungan besi di atas 1,0 mgl yaitu 1,2 mgl SD=1,2 mgl dan 1,1 mgl SD=0,8 mgl. Di daerah Pela, nilai rata-rata kandungan besi yang
tinggi tersebut disumbangkan oleh D. Semayang 3,1 mgl dan S. Pela 3,1 mgl pada saat level air rendah, serta S. Belayan 2,6 mgl dan S. Mahakam 1,1 mgl
pada saat level air sedang.
Di daerah Muara Kaman, kandungan besi di atas 1 mgl tercatat di S. Kedang Rantau rata-rata = 1,8 mgl dan S. Sabintulung rata-rata= 1,6 mgl baik
pada level air rendah maupun air sedang. Pada level air sedang, kandungan besi 2,7 mgl juga tercatat di muara S. Kedang Rantau ke S. Mahakam. Di daerah
Muara Pahu, kandungan besi lebih dari 1 mgl secara konsisten terjadi di muara S. Kedang Pahu , alur S. Kedang Pahu dan S. Jelau anak dari S. Kedang Pahu baik
pada level air rendah maupun sedang. Pada level air sedang, kandungan besi sebesar 1,1 mgl juga tercatat di S. Bolowan. Secara umum, di keseluruhan lokasi
pengamatan terdapat perbedaan yang signifikan t = -2,055; df = 68; p 0,05 antara kandungan besi pada level air rendah 0,54 mgl dan air sedang 0,95 mgl.
Kondisi kandungan mangan Mn di sembilan daerah penelitian yang tertera pada Lampiran 1 terutama berasal dari kandungan yang terdeteksi di level air
sedang. Pada level air rendah, di sebagian besar titikstasiun pengambilan sampel kandungan mangan tidak terdeteksi. Hanya di Muara Pahu, kandungan mangan
terdeteksi di semua titik pengambilan sampel dan pada kedua level air. Untuk seluruh daerah yang diamati rata-rata kandungan mangan adalah 0,025 mgl.
Nilai rata-rata kandungan amoniak di 9 lokasi penelitian adalah 0,1 mgl SD = 0,1 mgl. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kandungan amoniak
pada level air rendah dan air sedang p 0,05. Daerah-daerah dengan rata-rata kandungan amoniak di atas 0,1 mgl adalah Muara Pahu 0,16 ± 0,10 mgl,
Muara Kaman 0,12 ± 0,22 mgl dan Minta 0,12 ± 0,04 mgl.
53
Kelimpahan plankton fitoplankton tertinggi dalam penelitian ini terdapat di daerah Minta yakni 1.817 individuliter SD = 492 indl dan Muara Pahu
sebanyak 1.626 individuliter SD = 360 indl. Tiga daerah lain yang sekarang merupakan lokasi konsentrasi pesut mahakam yakni Muara Kaman, Pela dan
Muara Muntai mempunyai kelimpahan plankton berturut-turut sebanyak 1.356 indl SD = 313 indl, 1.395 indl SD = 927 indl dan 1.374 indl SD = 562
indl. Walaupun terdapat variasi dalam kelimpahan plankton, tidak ada perbedaan signifikan antara daerah-daerah tersebut. Perbedaan yang signifikan
justru terlihat antara level air rendah dan air sedang.
Hubungan Antara Keberadaan Pesut dengan Komponen Habitat
Hubungan antara variabel keberadaan pesut dengan komponen habitat dianalisis dengan menggunakan regresi berganda metode stepwise . Hasil analisis
ditunjukkan dalam Tabel 5.5. Tabel 5.5 menunjukkan ada lima variabel yang paling berpengaruh terhadap frekuensi keberadaan pesut mahakam yakni
frekuensi lalu lintas ponton, jumlah tangkapan, temperatur, BOD dan kedalaman sungai R
2
= 75,6
Tabel 5.5. Hasil analisis regresi berganda metode stepwise terhadap variabel frekuensi keberadaan pesut dan habitat
Variabel Habitat
Koefisien t
Sig. B
Std. Error Konstanta
-21,120 3,627
-5,824 0,000
LL -1,291
0,247 -5,220
0,000 Tkp
0,499 0,084
5,952 0,000
Temp 14,185
2,404 5,900
0,000 BOD
0,892 0,331
2,699 0,009
Dlm 0,520
0,198 2,617
0,012
Keterangan: LL = Frekuensi Lalu-lintas perairan; Tkp = jumlah tangkapan ikan; Temp = temperatur; BOD = biological oxygen demand;
Dlm = kedalaman sungai
Pembahasan
Indikasi bahwa pesut mulai meninggalkan habitat inti Muara Pahu- Penyinggahan telah terlihat pada tahun 2007 Kreb Susanti 2008. Tahun 2010
indikasi itu semakin nyata dengan tidak ditemukannya lagi pesut di Muara Pahu ketika survei monitoring populasi dilakukan Kreb Susanti 2011. Penelitian
tentang populasi dan sebaran pesut mahakam di tahun 2012 mengkonfirmasi bahwa pesut memang sudah tidak lagi tinggal di habitat inti Muara Pahu-
Penyinggahan dan fenomena perubahan sebaran pesut di S. Mahakam telah terjadi. Sekarang pesut terkonsentrasi di habitat inti Pela-Muara Kaman.
54
Fenomena perubahan sebaran pesut menunjukkan bahwa nilai penting habitat inti Muara Pahu-Penyinggahan bagi kehidupan pesut mahakam semakin
berkurang. Land-base observation memperkuat dugaan tentang hal tersebut. Hasil observasi tersebut mengungkapkan bahwa di Muara Pahu hanya ada 3 ekor
pesut 1 kelompok yang terlihat dan teridentifikasi berada di daerah ini Sementara itu, di daerah lainnya yakni Muara Muntai, Pela dan Muara Kaman,
dalam jangka waktu pengamatan yang sama, total dari jumlah pesut yang tercatat setiap hari, berturut-turut adalah 42, 98 dan 109 ekor. Frekuensi kemunculan dan
durasi keberadaan pesut di daerah tersebut juga terlihat sangat kecil dibandingkan Muara Kaman, Muara Pahu dan Muara Muntai.
Perbandingan lainnya dapat dilakukan dengan melihat fakta-fakta di tahun sebelumnya. Observasi selama 3 hari berturut-turut pada level air sedang-tinggi
di tahun 2007 Kreb Susanti 2008, mencatat keberadaan 12 sampai 21 individu setiap hari di Muara Pahu. Dari pengamatan itu, secara keseluruhan,
teridentifikasi 26 individu yang berbeda. Dari pengamatan yang sama saat air rendah tahun 2007, terungkap bahwa setiap harinya ada 12 individu yang tercatat
berada di sekitar Muara Pahu. Saat itu, tercatat ada 22 individu yang berbeda di tempat tersebut. Hasil yang sama yakni rata-rata 12 individu 3 kelompok per
hari juga terungkap dari pengamatan serupa di Muara Pahu antara tahun 1999
– 2002 Kreb 2004; Kreb Budiono 2005.
Hasil analisis regresi mengungkapkan bahwa variabel habitat yang berpengaruh terhadap frekuensi keberadaan pesut adalah frekuensi lalu lintas
ponton, jumlah tangkapan ikan, temperatur, BOD dan kedalaman. Dua variabel habitat yakni frekuensi lalu lintas dan jumlah tangkapan ikan potensi ikan
diduga berperan dalam hilangnya nilai penting Muara Pahu-Penyinggahan sebagai habitat pesut. Di daerah Muara Pahu, khususnya di anak S. Kedang Pahu, telah
terjadi peningkatan yang luar biasa dari frekuensi lalu lintas ponton pengangkut batubara. Peningkatan itu sangat besar karena mencapai tiga kali lipat
dibandingkan kondisi lalu lintas S. Mahakam pada periode tahun 1999-2002 Kreb 2004. Ponton pengangkut batubara sangat mengganggu kehidupan pesut
karena suara mesin tugboat yang menariknya menimbulkan kebisingan yang luar biasa bagi pesut mahakam, khususnya di S. Kedang Pahu yang lebih sempit dan
dangkal. Kebisingan suara yang ditimbulkan pengangkutan batubara di S. Kedang Pahu berlipat ganda karena setiap ponton terdiri atas dua tugboat; satu
tugboat di depan menarik ponton dan satu lagi di belakang menahan dan mengarahkan gerakan ponton.
Dampak ponton terhadap pesut secara tidak langsung juga bisa dilihat dari frekuensi lalu lintas dari jenis alat transportasi lain misalnya cesperahu kecil.
Pela adalah daerah yang memiliki frekuensi tertinggi untuk kategori cesperahu kecil. Dibandingkan dengan Muara Pahu, frekuensi lalu lintas ces di Pela jauh
lebih tinggi. Tetapi, di Pela frekuensi, durasi dan jumlah kehadiran pesut sangat tinggi. Hal itu berarti bukan sekedar frekuensi lalu lintas yang mempengaruhi
keberadaan pesut tetapi jenis alat transportasinya. Cesperahu kecil memiliki mesin di luaratas air sehingga suara bisingnya tidak terlalu mengganggu pesut.
Sedangkan mesin tugboat yang besar posisi mesinnya berada di bawah permukaan air sehingga suara bisingnya langsung dikeluarkan ke dalam air.
Analisis regresi menunjukkan bahwa variabel jumlah tangkapan ikan berpengaruh secara signifikan terhadap keberadaan pesut. Jumlah tangkapan
55
menunjukkan potensi ikan yang ada di wilayah tertentu dan sekaligus indikasi tentang potensi ketersediaan pakan bagi pesut. Selain karena lalu lintas ponton
yang padat, pindahnya pesut dari Muara Pahu diduga juga ada hubungannya dengan ketersediaan pakan yang semakin berkurang di Muara Pahu.
Data produksi perikanan wilayah Muara Pahu tahun 2001 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut produksi perikanan tangkap adalah sebesar 1.348,8 ton.
Jauh lebih besar dibandingkan tahun 2010 yang produksinya sebesar 903,7 ton. Angka-angka tersebut memperlihatkan bahwa potensi sumberdaya perikanan di
Muara Pahu telah menurun dan itu dapat diartikan bahwa sumberdaya ikan untuk pakan pesut juga berkurang. Situasi berkurangnya sumberdaya perikanan di
Muara Pahu dikonfirmasi oleh masayarakat nelayan di wilayah ini. Wawancara dengan masyarakat nelayan menunjukkan bahwa 82 responden n=46
menyatakan bahwa jumlah hasil tangkapannya semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Hal menarik dapat dilihat dalam data statistik produksi perikanan tangkap di Muara Pahu. Tren produksi perikanan tangkap di Muara Pahu ternyata meningkat
sejak tahun 2005 835,9 ton hingga 2010 903,7 ton, walaupun angkanya masih jauh di bawah produksi tahun 2001. Tren peningkatan produksi perikanan bisa
jadi bukan merupakan hal menggembirakan karena ada kemungkinan peningkatan produksi tersebut dilakukan di tengah-tengah keterbatasan
sumberdaya perikanan di Muara Pahu. Penangkapan ikan dilakukan dengan semakin intensif dan menguras sumberdaya yang tersedia. Dalam konteks ini,
masuk akal apabila ternyata ketersediaan sumberdaya pakan bagi pesut semakin menipis karena sebagian besar ikan sudah dipanen oleh masyarakat nelayan.
Penelitian ini juga menemukan bukti-bukti bahwa sebagian areal rawa di sekitar Muara Pahu sudah berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Di daerah
rawa di sekitar Muara Pahu ada perusahaan kebun kelapa sawit yang memperoleh ijin lokasi sebesar 20.000 ha. Sampai awal 2013, perusahaan ini telah
membangun kebun seluas 8.000 ha. Untuk menanam di rawa, perusahaan harus membangun tanggul-tanggul di rawa untuk membuat blok-blok cluster tanam
yang bisa menghindarkan tanaman kelapa sawit dari kebanjiran maupun kekeringan Gambar 5.3. Konsekuensi dari adanya tanggul-tanggul dan cluster
tanam ini adalah pengurangan luas rawa yang menjadi habitat dan tempat memijahnya ikan. Tanggul juga bisa menjadi penghalang bagi keluarnya ikan
dari rawa-rawa ke sungai-sungai. Situasi seperti ini sangat mungkin menyebabkan berkurangnya ikan yang bisa dipanen oleh masyarakat dan dimakan
oleh pesut mahakam.
Analisis terhadap parameter kualitas air di S. Mahakam termasuk anak- anak sungai dan danau-danaunya yang secara historis merupakan habitat pesut,
menunjukkan bahwa nilai-nilai parameter kualitas air masih memenuhi baku mutu untuk budidaya perikanan Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001. Secara
teoritis, hal itu berarti air S. Mahakam masih memenuhi persyaratan untuk hidupnya ikan-ikan yang umum dibudidayakan. Ikan-ikan yang secara alami
hidup di perairan S. Mahakam umumnya memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang biasa dibudidayakan. Jadi jika perairan S. Mahakam
masih memenuhi syarat bagi perkembangan ikan-ikan budidaya maka perairan sungai ini juga masih baik bagi kehidupan ikan-ikan asli penghuninya.
56
Gambar 5.3. Tanggul pembatas yang melindungi kebun kelapa sawit dari luapan air S. Kedang Pahu
Simpulan
Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai adalah habitat yang penting bagi pesut mahakam. Di Muara Kaman dan Pela, pesut dapat dijumpai setiap hari
dalam jumlah yang relatif banyak. Pesut juga menghabiskan waktu yang lama di kedua tempat ini. Sebaliknya, wilayah Muara Pahu-Penyinggahan, yang dikenal
sebagai habitat inti pesut mahakam, telah kehilangan nilai pentingnya bagi pesut. Sekarang pesut sudah tidak lagi tinggal di wilayah ini. Pindahnya pesut dari
Muara Pahu diduga disebabkan oleh meningkatnya frekuensi lalu lintas ponton batu bara di S. Kedang Pahu dan berkurangnya sumberdaya perikanan yang
menjadi sumber pakannya.
Kualitas air S. Mahakam, anak-anak sungai dan danau-danaunya relatif masih baik. Temperatur air berkisar antara 26,7
o
C-29,7
o
C. Wilayah hulu S. Mahakam mempunyai temperatur air yang cenderung lebih rendah dari wilayah
hilirnya. Pada saat level air rendah, kekeruhan di alur utama S. Mahakam sebesar 39 ± 21 NTU, sedangkan saat level air sedang sebesar 80,1 ± 38,6 NTU. Rata-
rata pH di seluruh daerah penelitian adalah 6,5 ± 0,3. Nilai oksigen terlarut DO habitat pesut mahakam berada pada kisaran rata-rata 5,3 ± 1,5 mgl. Nilai rata-
rata keseluruhan BOD level air rendah + air sedang adalah 1,9 ± 0,8 mgl dan COD adalah 22,9 ± 9,7 mgl. Kandungan besi Fe berada pada kisaran rata-rata
0,8 ± 0,7 mgl sedangkan kandungan mangan Mn rata-rata kandungan mangan adalah 0,025 mgl. Nilai rata-rata kandungan amoniak di 9 lokasi penelitian
adalah 0,1 mgl SD = 0,1 mgl. Kelimpahan plankton fitoplankton tertinggi
57
dalam penelitian ini terdapat di daerah Minta yakni 1.817 individuliter SD = 492 indl dan Muara Pahu sebanyak 1.626 individuliter SD = 360 indl. Tiga
daerah lain yang sekarang merupakan lokasi konsentrasi pesut mahakam yakni Muara Kaman, Pela dan Muara Muntai mempunyai kelimpahan plankton berturut-
turut sebanyak 1.356 indl SD = 313 indl, 1.395 indl SD = 927 indl dan 1.374 indl SD = 562 indl.
58
6. KOORDINASI ANTAR ORGANISASI DALAM JARINGAN KERJA KONSERVASI PESUT MAHAKAM