64
konservasi pesut mahakam secara keseluruhan. Pembagian kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
1. 6SETKK, 7DKPKK, 8HUTKK, 9BLHKK, 10BPDKK, 11PARKK 2. 1KSDA, 2RASI, 3WWF, 12DKPKB, 13HUTKB, 14BLHKB, 15BPDKB,
16PARKB 3. 4DKPKT, 5BLHKT
Tabel 6.2. Organisasiaktor penting dalam jaringan kerja pesut mahakam
No. Organisasi
Aktor Centrality
Degree Closeness
Betweenness 1
1KSDA 86.7
88.2 16.1
2 2RASI
100.0 100.0
28.4 3
3WWF 33.3
60.0 0.6
4 4DKPKT
20.0 55.6
0.0 5
5BLHKT 33.3
60.0 1.4
6 6SETKK
40.0 62.5
0.0 7
7DKPKK 46.7
65.2 0.2
8 8HUTKK
53.3 68.2
1.7 9
9BLHKK 53.3
68.2 1.7
10 10BPDKK
40.0 62.5
0.0 11
11PARKK 60.0
71.4 4.4
12 12DKPKB
46.7 65.2
0.7 13
13HUTKB 46.7
65.2 2.1
14 14BLHKB
40.0 62.5
0.0 15
15BPDKB 46.7
65.2 0.7
16 16PARKB
40.0 62.5
0.0 Rata-rata
49.2 67.7
3.6 Std.Dev.
19.1 10.8
7.5
Keberadaan dua kelompok pertama sesuai dengan gambaran yang diberikan
oleh sociogram. Sedikit perbedaan antara analisis faksi dengan apa yang terlihat dalam Gambar 6.1 adalah dalam analisis faksi, organisasi-organisasi seperti
1KSDA, 2RASI dan 3WWF dimasukkan ke dalam kelompok organisasi pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara karena memiliki hubungan koordinasi
yang lebih banyak dengan organisasi di kabupaten tersebut. Sementara itu,
Gambar 6.1 memperlihatkan bahwa 1KSDA dan 2RASI bersifat lebih ‘netral’ karena berada di tengah-tengah dan menjalin hubunganikatan koordinasi dengan
kedua faksi yang ada. Kelompok ketiga yang teridentifikasi melalui analisis faksi adalah kelompok organisasi pemerintah di tingkat provinsi 4DKPKT dan
5BLHKT.
2. Jaringan Kerja Riil
Gambaran tentang jaringan koordinasi konservasi pesut mahakam menjadi jauh berbeda ketika intensitasfrekuensi komunikasi tertentu dijadikan standar.
Jika analisis jaringan hanya memperhitungkan frekuensi komunikasi minimal 2
65
kali setahun maka jaringan kerja konservasi pesut mahakam akan terlihat seperti Gambar 6.2. Jaringan kerja seperti pada Gambar 6.2 inilah yang sesungguhnya
menggambarkan situasi komunikasi dan koordinasi yang terjadi dalam 3-4 tahun sejak 2009
Gambar 6.2. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasarkan
frekuensi koordinasikomunikasi minimal 2 kali setahun
Gambar 6.2 dan Tabel 6.3 memperlihatkan bahwa banyak potensi hubungan antarorganisasi yang tidak terwujud dalam jaringan kerja konservasi pesut
mahakam dalam 3-4 tahun terakhir. Gambaran tersebut diperkuat oleh analisis statistik yang mengungkapkan bahwa jaringan ini hanya memiliki kerapatan
density sebesar 12,5. Artinya, jaringan ini hanya dibentuk oleh 15 hubungan ikatan dari 120 hubungan yang mungkin ada. Sebagian besar hubungan
koordinasi hanya terjadi di antara sesama organisasi yang merupakan SKPD Kabupaten Kutai Kartanegara atau antara SKPD tersebut dengan pihak luar
seperti 2RASI atau 1KSDA.
Analisis jaringan kerja memperlihatkan bahwa organisasi yang memegang peranan sentral dalam koordinasi yang ada sekarang adalah 8HUTKK, 6SETKK
dan 7DKPKK. Posisi sentral ketiga organisasi ini ditunjukkan oleh nilai sentralitas Tabel 6.3. Peran dan posisi yang tidak kalah pentingnya juga dimiliki
oleh 2RASI. Hal itu ditunjukkan oleh nilai-nilai variabel sentralitas yang juga relatif tinggi
. Kondisi koordinasi sebagaimana diuraikan di atas sejalan dengan
upaya penunjukkan kawasan perlindungan bagi habitat pesut di Kabupaten Kutai Kartanegara yang prosesnya sedang berlangsung dalam 2 tahun terakhir ini dan
diinisiasi oleh 2RASI. Dengan adanya proses tersebut, 2RASI dan SKPD Kabupaten Kutai Kartanegara berkoordinasi dengan lebih intens, sehingga stuktur
jaringan kerja hanya terbentuk pada kelompok organisasi tersebut Gambar 6.2.
66
Sebaliknya, tidak ada koordinasi yang memadai antara SKPD di Kabupaten Kutai Barat untuk menindaklanjuti penunjukkan kawasan perlindungan habitat
pesut di Muara Pahu. Akibat lemahnya koordinasi tersebut, kelompok SKPD Kabupaten Kutai Barat tidak terikat dalam struktur jaringan.
Tabel 6.3. Posisi dan sentralitas organisasiaktor dalam jaringan kerja pesut mahakam saat ini
No. Organisasi
Aktor Centrality
Degree Closeness
Betweenness 1
1KSDA 13.3
9.7 0.0
2 2RASI
26.7 9.9
1.0 3
3WWF 0.0
- 0.0
4 4DKPKT
0.0 -
0.0 5
5BLHKT 0.0
- 0.0
6 6SETKK
33.3 9.9
1.0 7
7DKPKK 33.3
9.9 1.0
8 8HUTKK
40.0 10.0
3.8 9
9BLHKK 20.0
9.8 0.0
10 10BPDKK
20.0 9.8
0.0 11
11PARKK 0.0
- 0.0
12 11DKPKB
0.0 -
0.0 13
13HUTKB 6.7
6.7 0.0
14 14BLHKB
0.0 -
0.0 15
15BPDKB 6.7
6.7 0.0
16 16PARKB
0.0 -
0.0
Analisis jaringan kerja koordinasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa
koordinasi antara aktororganisasi dalam konservasi pesut mahakam masih lemah. Potensi koordinasi banyak yang tidak terwujud karena frekuensi komunikasi antar
aktororganisasi masih terlalu rendah. Jaringan kerja koordinasi hanya tergantung pada satu aktororgnanisasi yakni 2RASI sehingga tanpa inisiatif atau kehadiran
organisasi ini konservasi pesut mahakam berpotensi mengalami hambatan.
Jaringan Kerja Transaksi Sumberdaya
Proses koordinasi antar organisasi tidak hanya dicirikan oleh berapa banyak komunikasi dilakukan, tetapi juga oleh adanya transaksi sumber daya. Gambar
6.3 berikut ini adalah gambaran jaringan kerja yang menyangkut keberadaan transaksi sumberdaya tersebut. Transaksi sumberdaya yang dimaksud adalah
saling memberi-menerima bantuan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
67
Gambar 6.3. Jaringan kerja organisasi dalam konservasi pesut mahakam berdasarkan
transaksi sumberdaya
Tabel 6.4. Sentralitas organisasiaktor dalam jaringan kerja transaksi sumberdaya untuk konservasi pesut mahakam
No. Organisasi
Aktor Centrality
Degree OutDegree
InDegree 1
1KSDA 40.0
8.9 13.3
2 2RASI
80.0 33.3
24.4 3
3WWF 20.0
6.7 2.2
4 4DKPKT
20.0 4.4
2.2 5
5BLHKT 20.0
0.0 6.7
6 6SETKK
40.0 11.1
15.6 7
7DKPKK 40.0
15.6 6.7
8 8HUTKK
26.7 2.2
8.9 9
9BLHKK 33.3
6.7 8.9
10 10BPDKK
53.3 15.6
4.4 11
11PARKK 13.3
0.0 6.7
12 12DKPKB
0.0 0.0
0.0 13
13HUTKB 13.3
2.2 4.4
14 14BLHKB
13.3 4.4
4.4 15
15BPDKB 6.7
2.2 2.2
16 16PARKB
20.0 2.2
4.4
Jaringan kerja transaksi sumberdaya memiliki kemungkinan maksimal 240
hubungan transaksi, tetapi hanya 21,67 52 hubungan yang terwujud. Kebanyakan transaksi sumberdaya yang terjadi melibatkan organisasi SKPD
68
Kabupaten Kutai Kartanegara, 2RASI dan 1KSDA. Hal itu ditunjukkan oleh nilai degree of centrality yang tinggi dari organisasi-organisasi tersebut Tabel 6.3.
Tidak terjadi transaksi antar SKPD Kutai Barat dengan SKPD Kutai Kartanegara Gambar 6.3. Lima organisasi SKPD Kabupaten Kutai Barat juga sangat sedikit
melakukan transaksi sumberdaya antar sesamanya. Satu-satunya organisasi di luar SKPD Kabupaten yang berinteraksi dengan kedua kabupaten adalah 2RASI.
Lima organisasi yakni 2RASI, 7DKPKK, 10BPDKK, 6SSETKK dan 1KSDA merupakan organisasi yang banyak berperan dalam memberikan
sumberdaya kepada organisasi lain outdegree of centrality dalam upaya konservasi pesut mahakam Tabel 6.4. Tiga di antara kelima organsiasi tersebut
2RASI, 6SETKK dan 1KSDA sekaligus juga merupakan organisasi yang menerima paling banyak sumberdaya dari organisasi lainnya.
Analisis Kepentingan-Pengaruh
Kepentingan dan pengaruh organisasi dalam upaya konservasi pesut dapat dilihat dari nilaiskor kriteria-kriteria yang ada pada Tabel 6.5. Secara umum
dapat dikatakan bahwa semua organisasi memiliki harapankeinginan yang sama yakni kelestarian populasi, habitat pesut serta kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan perekonomiannya. Hal ini ditunjukkan oleh skor 5 atau 4 pada kolom K
3
Kepentingan. Bagi sebagian organisasi harapan-harapan tersebut bisa diwujudkan karena didukung oleh visi, misi, tugas pokok dan fungsi Kriteria K
1
yang diembannya. Visi, misi, tugas pokok atau fungsi adalah amanat bagi organisasi sehingga
ada kewajiban atau kebutuhan untuk merealisasikannya. Dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam, sebagian organisasi terlibat karena visi, misi, tugas
pokok dan fungsinya memang secara spesifik menyangkut konservasi spesies terancam punah 2RASI dan 1KSDA atau secara umum berkaitan dengan
konservasi sumber daya alam 3WWF, BLH dan dinas-dinas kabupaten terkait perikanan dan kehutanan. Untuk organisasi seperti 2RASI dan 1KSDA, nilaiskor
untuk kriteria K
1
adalah 5, sedangkan bagi organisasi seperti 3WWF dan yang lainnya, nilaiskor untuk kriteria K
1
adalah 4 Tabel 6.5. Jaringan kerja konservasi pesut mahakam terbentuk dari organisasi yang
secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam konservasi pesut mahakam, sehingga tidak ada organisasi yang memikili nilaiskor 1 untuk kriteria K
1
. Beberapa organisasi seperti 9BPDKK, 10PARKK dan 15PARKB memiliki visi,
misi, tugas pokok atau fungsi yang secara tidak langsung berkaitan dengan konservasi sehingga nilaiskor untuk kriteria K
1
=3 . Sementara itu, 5SETKK dan 14BPDKB memiliki nilaiskor 2 karena memiliki potensi untuk mendukung
konservasi. Selain kepentingan, Tabel 6.5 juga memperlihatkan pengaruh dari masing-
masing organisasiaktor yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Jika dilihat dari kriteria Dukungan Sumberdaya P
1
, maka kebanyakan organisasi belum bisa mencapai kondisi kecukupan sumberdaya skor = 1-3. Hanya orga-
nisasi 2RASI yang didukung oleh sumberdaya yang memadai skor = 5. Tiga or- ganisasi lainnya yakni 1KSDA, 6DKPKK dan 12HUTKB didukung sumberdaya
yang hampir memadai skor = 4.
69
Tabel 6.5. Tingkat kepentingan dan pengaruh organisasi dalam konservasi pesut mahakam
Organisasi Kepentingan Interest
Pengaruh Power K
1
K
2
K
3
Total P
1
P
2
P
3
Total 1KSDA
5 4
5 14
4 4
5 12
2RASI 5
5 5
15 5
4 5
14 3WWF
4 2
5 11
3 3
2 7
4DKPKT 4
2 5
11 1
2 1
4 5SETKK
2 1
4 7
2 1
1 4
6DKPKK 4
3 4
11 4
2 2
7 7HUTKK
4 2
4 10
3 2
2 7
8BLHKK 4
1 4
9 3
1 1
6 9BPDKK
3 3
4 10
2 2
2 5
10PARKK 3
1 4
8 1
2 2
6 11DKPKB
4 4
4 12
3 1
1 5
12HUTKB 4
1 4
9 4
3 1
6 13BLHKB
4 2
4 10
1 1
1 3
14BPDKB 2
1 5
8 2
2 1
5 15PARKB
3 1
4 8
1 1
1 3
Dari sisi kemampuan memperjuangkan aspirasi, tidak ada organisasi yang memiliki modal lengkap skor = 5, tetapi ada dua organisasi yakni 1KSDA dan
2RASI, yang hampir mendekati keadaan tersebut skor = 4 [Tabel 6.5]. Organisasi lain kemampuannya untuk memperjuangkan aspirasi dianggap kurang
skor = 1 – 3, termasuk organisasi pemerintah seperti badan dan dinas daerah.
Organisasi pemerintah semacam itu, walaupun memiliki kewenangan formal, tetapi umumnya tidak didukung oleh faktor-faktor berikut: kontrol atas
sumberdaya, kepemilikan pengetahuan dan kemampuan khusus, penguasaan informasi atau kepemilikan lobbyjaringan internasional.
Pengaruh organisasi juga bisa dilihat dari derajat sentralitasnya. Tabel 6.4 menunjukkan bahwa hanya ada dua organisasi, yakni 1KSDA dan 2RASI yang
memiliki derajat sentralitas tinggi skor = 5. Nilai yang tinggi terutama dise- babkan oleh banyaknya ikatan dengan organisasi lain lihat Sub-sub Bab:
Frekuensi Koordinasi. Karena terikat oleh batasan yurisdiksi, aktororganisasi lainnya cenderung untuk berhubunganberkoordinasi dengan sesama SKPD dalam
satu wilayah. Oleh sebab itu, derajat sentralitas dalam keseluruhan jaringan kerja jauh lebih rendah dibandingkan 1KSDA dan 2RASI.
Berdasarkan nilaiskor total dari kriteria kepentingan dan pengaruh dalam Tabel 6.4, posisi dan peran setiap organisasi dapat dipetakan ke dalam sebuah
matriks yang dinamakan matriks kepentingan-pengaruh Reed et al 2009 [Gambar 6.4]. Matriks ini terdiri atas empat kategori posisiperan yakni: 1 key
player, 2 subject, 3 crowd dan 4 context setter.
Pemetaan organisasi ke dalam matriks di atas mengungkapkan bahwa hanya ada dua organisasi yang berperan sebagai Key player yakni 1KSDA dan 2RASI.
Kemudian, ada satu organisasi yang berperan sebagai Crowd yaitu 5SETKK dan
70
tidak ada satu organisasipun yang berperan sebagai context setter. Sementara itu, 12 organisasi lainnya berperan subject.
Kedua organisasi yang berperan sebagai key player dideskripsikan sebagai organisasi yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kelestarian pesut
mahakam dan pengaruh yang besar untuk merealisasikan upaya-upaya konservasinya. Dua belas organisasi yang berperan sebagai subject juga memiliki
kepentingan yang tinggi terhadap kelestarian pesut tetapi pengaruhnya terhadap jalan atau tidaknya upaya konservasi pesut kecil akibat minimnya dukungan
sumberdaya atau rendahnya kemampuan memperjuangkan aspirasi.
Gambar 6.4. Matriks kepentingan-pengaruh dalam konservasi pesut mahakam
Pembahasan
Situasi yang digambarkan dalam penelitian ini adalah kondisi koordinasi sejak tahun 2009 sampai tahun 2012. Selama rentang waktu tersebut 16
organisasi telah berkomunikasi dan berkoordinasi dalam sebuah jaringan kerja untuk konservasi pesut mahakam sebagaimana Gambar 6.1. Walaupun masih
terlihat ada kesenjangan komunikasi antara aktor-aktor organisasi Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Kabupaten Kutai Barat, di masing-masing kabupaten
setiap aktororganisasi saling terikat dalam ikatan komunikasi. Selain itu, keberadaan aktor sentral seperti 1KSDA dan 2RASI berpotensi menambah
kekuatan jaringan ini untuk bisa berhasil mewujudkan kelestarian pesut mahakam.
71
Namun demikian, apakah kondisi koordinasi antar aktor ini telah menunjukkan bahwa koordinasi untuk konservasi pesut mahakam sudah berjalan dengan baik?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu perlu dilihat kembali berbagai permasalahan yang dihadapi dalam konservasi pesut mahakam.
Permasalahan tersebut adalah: 1 setiap tahun rata-rata terjadi kematian 4 ekor pesut mahakam Kreb Susanti 2011; Kreb Noor 2012 dan sebagian besar
akibat terjerat rengge 2 penangkapan ikan dengan cara-cara yang ilegal dan tidak lestari di perairan yang menjadi habitat pesut mahakam masih terjadi; 3 pesut
mahakam tidak menggunakan lagi salah satu habitat terpentingnya di Muara Pahu-Penyinggahan lihat Bab 3; dan 4 perubahan sebaran pesut mahakam dan
penyusutan habitat. Selain permasalahana, juga perlu dilihat adanya kebutuhan yang mendesak untuk segera menetapkan kawasan perlindungan bagi pesut di
Kabupaten Kutai Kartanegara.
Uraian di atas menunjukkan bahwa konservasi pesut mahakam menghadapi berbagai permasalahan yang sulit, kompleks dan mendesak untuk ditangani.
Permasalahan semacam itu harus diatasi melalui kerjasama antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan komitmen yang tinggi terhadap kelestarian jenis
satwa ini. Kerjasama tersebut tentu saja tidak cukup hanya dengan berkomunikasi atau berkoordinasi dalam intensitas yang rendah, misalnya setahun sekali.
Logikanya, jika hanya ada satu kesempatan untuk berkoordinasi maka tidak akan ada kesempatan berikutnya untuk menindaklanjuti. Jadi ruang untuk tindak lanjut
penyelesaian masalah ada pada kesempatan kedua dalam berkoordinasi. Berdasarkan argumentasi tersebut, analisis jaringan kerja dilakukan dengan
menggunakan batasan frekuensi komunikasi koordinasi minimal dua kali setahun.
Jaringan kerja sebagaimana terlihat dalam Gambar 6.1 adalah jaringan yang hanya memperhatikan ada atau tidak adanya ikatan komunikasikoordinasi
antara dua organisasi. Jika intensitas komunikasi diperhatikan dan dijadikan patokan dalam analisis maka bentuk jaringan koordinasi akan menjadi seperti
Gambar 6.2. Gambar 6.2 terbentuk dengan mempertimbangkan frekuensi komunikasi sebanyak minimal 2 kali setahun. Hasilnya bisa menjawab
pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya bahwa koordinasi dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam belum berjalan dengan baik.
Koordinasi yang tidak berjalan dengan baik terutama terjadi antara sesama organisasi SKPD Kabupaten Kutai Barat. Demikian pula antara SKPD
Kabupaten Kutai Barat dengan 1KSDA dan 2RASI yang menjadi aktor sentral dalam pelestarian pesut mahakam. Situasi seperti ini sangat disayangkan karena
sebelum keluarnya Keputusan Bupati Kutai Barat tentang penetapan wilayah perairan Muara Pahu dan sekitarnya sebagai kawasan perlindungan bagi pesut
mahakam, koordinasi antara para pihak, khususnya 2RASI dan SKPD Kabupaten Kutai Barat Kreb Susanti 2008; Kreb Susanti 2011 telah berjalan dengan
baik.
Peristiwa dramatis ditinggalkannya core area Muara Pahu-Penyinggahan oleh pesut, perubahan drastis pada areal rawa di sekitar Muara Pahu dengan
adanya aktivitas perkebunan kelapa sawit serta meningkatnya frekuensi lalulintas ponton di Sungai Kedang Pahu, sesungguhnya terjadi sejak 2010. Peristiwa-
peristiwa besar tersebut juga telah terdeteksi dan diketahui sejak awal mula terjadi Kreb Susanti 2008; Kreb et al. 2010; Kreb Susanti 2011. Tetapi, justru
sejak 2010 koordinasi antar aktororganisasi, yang sebelumnya bersinergi dalam
72
upaya penetapan kawasan perlindungan, melemah sehingga tidak ada respon yang memadai terhadap perubahan yang terjadi.
Organisasi pemerintah yakni Badan Lingkungan Hidup BLH Kabupaten Kutai Barat yang mengemban amanat untuk mengkoordinasikan pengelolaan
kawasan perlindungan pesut mahakam di Muara Pahu ternyata tidak menjalankan perannya sebagai sentral koordinasi. Tidak ada koordinasi yang memadai untuk
bisa merespon dan menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi. Tanpa koordinasi BLH Kutai Barat, organisasi pemerintah lainnya juga tidak bergerak.
Oleh sebab itu, gejala-gejala awal tentang semakin jarangnya pesut terlihat di Muara Pahu terus berlanjut menjadi suatu fenomena perubahan sebaran
sebagaimana yang terungkap dari penelitian tentang sebaran terkini pesut mahakam lihat Bab 3.
Sekarang pesut tidak lagi menggunakan core area Muara Pahu- Penyinggahan padahal daerah itu merupakan satu-satunya kawasan perlindungan
bagi pesut dan habitatnya di S. Mahakam. Sebuah ironi, yang karena kelemahan koordinasi antara para pihak, gejala-gejala awal perubahan tidak memperoleh
respon dan antisipasi. Kelemahan koordinasi dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam berkaitan dengan intensitas frekuensi komunikasi yang kurang,
padahal itu adalah hal yang paling mendasar dalam koordinasi. Menurut Gittel 2010 frekuensi komunikasi memainkan peranan yang sentral dalam koordinasi
antara dua pihak. Semakin sering komunikasi dilakukan maka, melalui interaksi yang berulang-ulang tersebut, hubungan relasional antara organisasi semakin
terbina dan pekerjaan akan dapat diselesaikan secara baik.
Situasi sebaliknya terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam 2-3 tahun terakhir ini koordinasi yang lebih intensif terjadi di antara SKPD Kabupaten
Kutai Kartanegara. Agendanya adalah membentuk kawasan perlindungan bagi pesut dan habitatnya di core area kedua bagi pesut mahakam di Pela-Muara
Kaman. Sebagaimana terjadi sebelumnya di Kutai Barat, aktororganisasi 2RASI juga memainkan peran penting sebagai inisiator. Belajar dari pengalaman
Kabupaten Kutai Barat, para aktor yang terlibat dalam proses pembentukan kawasan perlindungan di Kabupaten Kutai Kartanegara harus berupaya untuk
tidak mengulangi kesalahan yang sama: ‘gencar di awal proses, namun kemudian mengendur setelah kawasan perlindungan terwujud’. Kawasan perlindungan
habitat bukanlah akhir dari koordinasi untuk konservasi pesut mahakam, tetapi justru awal dari proses koordinasi yang lebih intensif untuk mengelola populasi
pesut mahakam agar tetap lestari.
Koordinasi antarorganisasi juga dicirikan oleh adanya transaksi sumberdaya di antara aktornya yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya secara
lebih efektif Van de Ven 1979; Boland and Wilson 1994. Transaksi sumberdaya yang dimaksud adalah proses memberi-menerima bantuan. Dalam konteks
jaringan kerja konservasi pesut mahakam, sumberdaya yang dimaksud meliputi dana, staf dan fasilitas, advis teknis serta data dan informasi.
Jaringan kerja transaksi sumberdaya dalam konservasi pesut mahakam Gambar 6.3 dibuat tanpa memperhatikan frekuensi komunikasikoordniasi.
Jaringan ini terbentuk semata-mata berdasarkan informasi apakah satu organisasi memberi atau menerima bantuan dari organisasi lain. Secara umum, dilihat dari
konstruksinya, jaringan kerja transaksi sumberdaya bisa dikatakan masih jauh dari ideal. Banyak hubungan transaksi yang belum terbentuk kerapatan = 21,7
73
atau jika sudah ada masih bersifat satu arah menerima atau memberi saja. Hubungan transaksi sumberdaya yang relatif banyak terjadi diantara SKPD
Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal ini logis karena dua tahun terakhir ini koordinasi untuk membentuk kawasan perlindungan pesut dan habitatnya
dilakukan dengan intensif. Sebaliknya, hubungan transaksi antara SKPD Kutai Barat sangat sedikit. Transaksi sumberdaya hanya terjadi antara tiga SKPD saja
13HUTKB, 14BLHKB dan 16PARKB dan itupun bersifat satu arah, hanya menerima atau memberi. Fakta yang terjadi Kabupaten Kutai Barat ini sesuai
dengan hasil analisis jaringan kerja frekuensi komunikasi. Dalam situasi koordinasi antara organisasi di daerah yang demikian lemah adalah hal logis jika
permasalahan-permasalahan yang timbul tidak dapat direspon secara baik.
Jaringan kerja konservasi pesut mahakam memiliki sedikitnya 16 aktor yang terdiri atas organisasi pemerintah dan non pemerintah lembaga swadaya
masyarakat. Empat belas diantaranya adalah organisasi pemerintah yang mencakup unit kerja vertikal pemerintah pusat, unit kerja provinsi dan SKPD
kabupaten. Secara potensial, aktor yang paling penting dan memiliki peran yang sentral dalam konservasi pesut mahakam adalah 2RASI dan 1KSDA Gambar 6.1.
Keduanya terletak pada posisi yang strategis di tengah-tengah dalam jaringan kerja Faust and Wassserman 1992; Kapucu 2005. Nilai degree centrality yang
tinggi menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan terbanyak dengan aktor- aktor lainnya sehingga mereka merupakan organisasi yang paling aktif dalam
jaringan Faust and Wassserman 1992, memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah pada organisasi lainnya dan memiliki kemampuan yang lebih besar
untuk mengakses sumberdaya yang ada dalam jaringan Hanneman and Riddle 2005.
Nilai closeness centrality yang tinggi menunjukkan potensi kemampuan 2RASI dan 1BKSDA untuk dapat melakukan kontak atau komunikasi secara
cepat dan efisien dengan aktor-aktor lainnya di dalam jaringan Faust and Wasserman 1992; Hanneman and Riddle 2005. Sedangkan kemampuan dua
organisasi ini untuk berperan sebagai ‘jembatan’ bagi hubungan antara organisasi- organisasi lainnya dan mengontrol aliran informasi ditunjukkan oleh nilai
betweeness centrality yang tinggi Mote et al. 2007; ODC 2008. Aktor dengan
peran sebagai ‘jembatan’ seperti ini umumnya memiliki ‘pengaruh antarpersonal’ yang lebih besar sehingga bisa menjadi perantara antara aktor-aktor Faust and
Wasserman 1992; Kapucu 2005.
Aktor seperti 2RASI dan 1BKSDA dengan posisi dan peran sentralnya dalam jaringan kerja konservasi pesut mahakam dapat dikatakan sebagai pemain
kunci key player dalam jaringan tersebut [Kapucu 2005; Mote et al. 2007]. Predikat ini sejalan dengan hasil analisis kepentingan-pengaruh Reed et al.
2009 yang menempatkan aktor 2RASI dan 1KSDA sebagai key player. Peran 2RASI sebagai pemain kunci dalam jaringan juga terbukti ketika aktivitas
koordinasi aktororganisasi ini di Kabupaten Kutai Barat berkurang akibat berkonsentrasi pada pembentukan kawasan perlindungan di Kutai Kartanegara.
Dampak berkurangnya aktivitas koordinasi organisasi ini jelas terlihat pada struktur jaringan kerja sebagaimana terlihat dalam Gambar 6.2. Berkurangnya
intensitas koordinasi 2RASI tersebut ternyata juga tidak dibarengi dengan kinerja koordinasi yang memadai dari SKPD Kabupaten Kutai Barat sehingga ketika
74
berbagai masalah muncul, tidak mendapatkan renspon yang memadai sehingga permasalahan berkembang menjadi akut.
Posisi dan peran 1KSDA sebagai pemain kunci juga perlu mendapatkan beberapa catatan khusus. Organisasi ini, karena kewenangan formalnya memang
memperoleh apresiasi dari organisasi lain yang terlibat dalam jaringan kerja konservasi pesut. Tetapi karena intensitas koordinasinya dengan aktor-aktor
lainnya kurang maka potensi sentralitas atau perannya sebagai key player tidak berjalan secara maksimal. Jika dikaitkan dengan fenomena perubahan sebaran
pesut yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, maka akan terlihat bahwa tidak ada langkah-langkah koordinasi yang dilakukan oleh 1KSDA untuk mengatisipasi
fenomena perubahan sebaran tersebut. Kelemahan koordinasi bukan melulu
menjadi ‘kesalahan’ organisasi tersebut, tetapi juga jaringan secara keseluruhan, karena setiap organisasi memiliki kepentingan masing-masing dalam konservasi
pesut mahakam. Kepentingan tersebut tercermin dalam visi, misi, tujuan, tugas pokok atau fungsi yang diemban atau diusung oleh setiap organisasi.
Jaringan kerja sebagaimana Gambar 6.1 juga memperlihatkan pola pengelompokan aktor-aktor. Analisis faksi Hanneman and Riddle 2005
menunjukkan adanya tiga kelompokfaksi yang terbentuk karena perbedaan ruang lingkup wilayah kerja yurisdiksi. Ketiganya adalah kelompok SKPD Kutai
Kartanegara, kelompok SKPD Kutai Barat dan SKPD Provinsi Kalimantan Timur. Untuk SKPD kedua kabupaten, pengelompokkan dalam jaringan kelihatan sangat
nyata. Fakta ini menunjukkan bahwa memang aktor-aktor dari kedua kabupaten kurang melakukan koordinasi untuk konservasi pesut.
Saat ini, situasi kurangnya koordinasi ini mungkin belum kelihatan pengaruhnya, tetapi peningkatan koordinasi perlu dilakukan karena bagaimanapun
S. Mahakam yang merupakan habitat pesut, secara ekologi tidak dibatasi oleh kewenangan formal atau yurisdiksi. Kreb et al. 2010 menyatakan bahwa
habitat perairan sangat rentan terhadap kegiatan-kegiatan di luar batas-batas perairan dan adaministrasi. Keberhasilan ataupun kegagalan dari pengelolaan
spesies di suatu kawasan perairan bergantung dari apa yang terjadi di luar kawasan tersebut. Konsep ini sangat relevan dengan konservasi pesut mahakam
karena habitat pesut berada di perairan S. Mahakam yang termasuk ke dalam wilayah administrasi kedua kabupaten tersebut.
Simpulan
Jaringan kerja koordinasi untuk konservasi pesut mahakam yang mencakup 16 organisasi belum berjalan secara baik. Terdapat banyak kekosongan
koordinasi di sebagian jaringan, yakni yang berkaitan dengan organisasiaktor yang termasuk kelompok faksi yang bekerja di wilayah Kabupaten Kutai Barat.
Kekosongan koordinasi ini terjadi bertepatan dengan mulai berlangsungnya proses pindahnya pesut dari kawasan perlindungan pesut dan habitatnya di Muara Pahu
hingga berakhir sebagai fenomena perubahan sebaran pesut mahakam. Tidak ada proses koordinasi untuk merespon dan mengantisipasi proses berkurangnya pesut
di Muara Pahu, oleh sebab itu kelemahan koordinasi ini memiliki kontribusi yang nyata dalam fenomena perubahan sebaran pesut mahakam.
75
Jaringan kerja konservasi pesut mahakam secara struktur terbagi tiga bagian. Bagian-bagian
ini terbentuk
berdasarkan wilayah
yurisdiksi wilayah
kewenangan sehingga koordinasi terkotak-kotak dalam wilayah tersebut. Tidak ada koordinasi antara kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat untuk
konservasi pesut. Secara struktural dapat dikatakan bahwa banyak potensi hubungan antar aktororganisasi dalam jaringan koordinasi pesut mahakam yang
belum terealisasikan. Secara keseluruhan sesungguhnya terdapat dua aktor penting atau pemain kunci potensial dalam jaringan kerja konservasi pesut
mahakam yakni YK-RASI dan BKSDA Kaltim. Tetapi peran keduanya dalam koordinasi belum diwujudkan secara maksimal.
76
7. KONSISTENSI KEBIJAKAN DALAM KONTEKS KONSERVASI POPULASI PESUT MAHAKAM