KONSISTENSI KEBIJAKAN DALAM KONTEKS KONSERVASI POPULASI PESUT MAHAKAM

76

7. KONSISTENSI KEBIJAKAN DALAM KONTEKS KONSERVASI POPULASI PESUT MAHAKAM

Pendahuluan Muara Pahu-Penyinggahan dan Pela-Muara Kaman adalah dua wilayah di S. Mahakam yang telah teridentifikasi sebagai core area habitat inti bagi populasi pesut mahakam Kreb 2004; Kreb Budiono 2005. Sejak 2009, core area Muara Pahu-Penyinggahan telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan bagi pesut dan habitatnya Keputusan Bupati Kutai Barat No. 522.5.51K.4712009. Saat ini core area Pela-Muara Kaman sedang dalam proses untuk ditetapkan oleh Bupati Kutai Kartanegara sebagai kawasan perlindungan pesut dan habitatnya. Berbagai kebijakan, baik yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan konservasi pesut mahakam telah dibuat. Tetapi hingga saat ini ancaman bagi kelestarian populasi pesut mahakam masih terus terjadi Kreb Budiono 2005; Kreb Susanti 2008; Kreb Susanti 2011, baik di wilayah Kabupaten Kutai Barat maupun Kabupaten Kutai Kartanegara. Ketidaksesuaian antara fakta di lapangan dengan kebijakan yang telah ditetapkan menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi implementasi kebijakan. Selain itu, ketidaksesuaian tersebut menimbulkan dugaan bahwa kebijakan pelestarian pesut tidak sejalan koheren dengan kebijakan pembangunan daerah. Dalam rangka menjawab pertanyaan tentang konsistensi kebijakan itu maka penelitian ini dilakukan. Konsitensi dalam konteks kebijakan memiliki bermacam-macam pengertian: 1 kesesuaian antara kebijakan dengan pelaksanaan Nathan 2005; Van Bommel Kuindersma 2008; 2 kesesuaian antara suatu rencana dengan kebijakan yang ada AEG 2009; 3 kesesuaian antar kebijakan Portella Raube 2011, 4 kesesuaian antara teori kumpulan alasan yang memiliki legitimasi dengan praktek manajeman Antikarov 2011. Macam konsistensi 2 dan 3 sering disebut sebagai koherensi dan mengacu kepada sinergi antara kebijakan-kebijakan Van Bommel Kuindersma 2008 Konsistensi atau koherensi merupakan isu penting terkait kebijakan Duke 2006. Efektifitas dari suatu kebijakan seringkali dikaitkan dengan konsistensi atau koherensi tersebut Olsen 2008; Barry et al. 2010. Ketidakkonsistenan kebijakan dapat menyebabkan kontradiksi Barry et al. 2010, konflik Lu et al. 2011, dampak negatif Giusti Merenlender 2002, atau bahkan kegagalan pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, konsistensi atau koherensi menjadi parameter dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan atau kebijakan dengan implementasinya Nathan 2005; Van Bommel Kuindersma 2008; Portella Raube 2011. Penelitian ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan dalam mengaplikasikan kebijakan mempunyai kontribusi terhadap semakin tingginya ancaman terhadap kelestarian pesut mahakam dan, secara khusus, menghilangnya pesut dari core area Muara Pahu-Penyinggahan. Untuk mencapai maksud tersebut, penelitian ini bertujuan: 1 menelaah kesesuaian antara kebijakan terkait konservasi pesut mahakam dengan kenyataanpelaksanaannya di lapangan dan 2 menelaah koherensi antara kebijakan daerah dengan rencana strategis konservasi pesut mahakam. 77 Bahan dan Metode Bahan Penelitian ini membutuhkan data dan informasi tentang kebijakan yang diperoleh dari berbagai dokumen. Isi dari dokumen-dokumen ini merupakan bahan yang akan diolah dan dianalis. Adapun dokumen yang dikaji meliputi peraturan-peraturan dan rencana-rencana dari berbagai tingkatan manajemen. Pengumpulan Data Tiga macam metode pengumpulan data digunakan dalam penelitian ini. Pertama, pengamatan langsung di lapangan terhadap implementasi kebijakan atau hasil-hasilnya. Praktek-praktek yang tidak sejalan dengan kebijakan yang ada merupakan data yang dikumpulkan dengan cara ini. Pengamatan ini dilakukan di seluruh wilayah sebaran pesut mahakam. Kedua melalui wawancara dengan informan. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam indepth interview dengan panduan peneliti semi directive interview. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai kebijakan yang ada dan implementasinya di lapangan. Informan untuk wawancara berasal dari 16 organisasi, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang telah diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan konservasi pesut mahakam. Ketiga melalui penelusuran dokumen dan studi pustaka. Metode ini secara umum juga dilakukan untuk mengetahui kebijakan dan implementasinya di lapangan. Tetapi secara khusus, metode ini digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang menjadi input bagi analisis isi content analysis guna kepentingan mengukur koherensi antar kebijakan [Duraiappah Bhardwaj 2007]. Analisis Data 1. Analisis Konsistensi Kebijakan Analisis konsistensi kebijakan dilakukan dengan menggunakan analisis “gap” atau kesenjangan yang terjadi antara sesuatu yang “seharusnya” dilaksanakan diharapkan terjadi dengan “kenyataan” sebenarnya. Kesenjangan yang terjadi adalah indikator bagi adanya inkonsistensi antara aturankebijakan dengan implementasinya di lapangan. Analisis konsistensi ini bersifat deskriptif. 2. Analisis Koherensi Analisis koherensi dilakukan terhadap Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam SRAK Pesut dengan rencana pembangunan daerah yang direpresentasikan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat. Sampai saat ini dokumen SRAK Pesut belum diterbitkan dan masih dibahas oleh Kementerian Kehutanan. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan drafkonsep dokumen SRAK Pesut yang masih dalam proses pembahasan. Ketiga dokumen SRAK Pesut, RPJM Kutai Kartanegara dan RPJM Kutai Barat ini menjadi obyek analisis isicontent analysis untuk menghitung derajat koherensi. Ada 2 kategori besar dalam analisis isi yakni analisis konseptual dan analisis relasional. Penelitian ini menggunakan analisis konseptual Duraiappah Bhardwaj 2007; Busch et al. 2005. Dalam analisis ini, dihitung frekuensi kemunculan suatu konsep frasa pada ketiga dokumen. Analisis konseptual ini 78 sepenuhnya akan mengacu pada tahapan-tahapan sebagaimana yang diuraikan dalam Busch et al. 2005 dan Duraiappah Bhardwaj 2007. Konsep frasa yang akan dianalisis mencakup hal-hal yang berkaitan dengan tujuan, instrumen atau keputusan untuk mencapai tujuan program dan atau kegiatan, serta aktorpelaku atau lembaga yang berkewajiban menjalankannya. Jika frekuensi konsep sudah diperoleh, maka nilai-nilai itu dimasukkan ke dalam matriks koherensi kebijakan dan dilakukan normalisasi dengan menggunakan persamaan berikut: …... eq.1 dimana: Skor N ij = Nilai frekuensi setelah normalisasi n ij = Frekuensi munculnya konsep tertentu dalam kebijakan A pada kebijakan B n ij = Nilai Frekuensi tertinggi yang muncul dalam semua sel Setelah normalisasi, derajat koherensi Dk dari masing-masing pasangan kebijakan dihitung secara sederhana dengan persamaan matematis sebagai berikut: Dk = ∑ ∑ 1–Skor N ij , dan 0 ≤ Skor N ij ≤ 1 …... eq.2 i j Derajat koherensi Dk keseluruhan dihitung dengan terlebih dahulu menjumlahkan nilai-nilai dari setiap lajur dan kolom ke dalam sel sebuah lajur dan kolom tambahan pada PCM Policy Coherence Matrix. Penjumlahan nilai dalam lajur atau kolom baru menunjukkan derajat koherensi keseluruhan kebijakan. Hasil Kesesuaian antara Kebijakan dengan Implementasinya Pemerintah, berdasarkan hasil penilaian para pakar, telah menetapkan pesut mahakam sebagai jenis yang memperoleh prioritas sangat tinggi untuk dilestarikan, baik dalam kategori mamalia secara umum maupun kategori spesies bahari dan perairan tawar Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57Menhut- II2008. Melalui kebijakan tersebut telah ditekankan agar tindakan konservasi pesut mahakam dapat dilaksanakan secara lebih sistematik dan terarah, perlu dibuatkan strategi dan rencana aksi Action Plan yang di dalamnya berisi antara lain kebijakan umum, tindakan konservasi yang diperlukan, target yang ingin dicapai pada tahun mendatang dan pelaku. Selain itu, diarahkan pula agar 79 konservasi pesut mahakam mendapatkan dukungan kebijakan dan pendanaan yang memadai dari pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Tabel 7.1. Kebijakan yang langsung tertuju pada spesies pesut mahakam dan fakta terkait pelaksanaan kebijakannya di lapangan Kebijakan KondisiFakta di Lapangan Pesut ditetapkan sebagai spesies yang menjadi prioritas untuk dikonservasi Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57Menhut-II2008 1. Koordinasi antara para pihak masih lemah 2. Kurang tanggapnya instansi pemerintah terhadap laporan permasalahan yang muncul 3. Pemerintah daerah tidak menjadikannya acuan dalam merumuskan pembangunan daerah 4. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi secara nasional belum ada 5. Tidak ada fasilitasi bagi pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasi di daerah 6. Tidak ada insentif bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut Pesut ditetapkan sebagai Fauna Identitas Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 1989 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 48 Tahun 1989 1. Perhatian Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sangat kurang dan hanya bersifat insidentil 2. Tidak ada alokasi dana khusus untuk pesut di SKPD Provinsi Penetapan Kawasan Pelestarian Alam Habitat Pesut Mahakam Keputusan Bupati Kutai Barat No. 522.5.51K.4712009 1. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Barat tidak bekerja secara aktif untuk menindaklanjuti keputusan tersebut 2. Alokasi dana pemerintah untuk kawasan pelestarian ini tidak ada 3. Tidak ada koordinasi antara para pihak untuk merespon dan mengantisipasi masalah-masalah yang muncul di kawasan pelestarian dan sekitarnya 4. Rencana Pengelolaan kawasan, sesuai yang diamanatkan oleh keputusan tersebut, masih belum selesai 5. Pesut mahakam sudah tidak lagi mendiami wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan pelestarian bagi habitatnya 6. Pembukaan areal sempadan sungai yang dalam peraturan ini ditetapkan sebagai bufferzone untuk pelabuhan batubara, kebun kelapa sawit dan kebun masyarakat Kedua langkah tindak lanjut tersebut di atas belum sepenuhnya terwujud. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam SRAK Pesut walaupun sudah disusun sejak 2010 hingga sekarang belum tuntas Tabel 7.1. Pendanaan dinilai belum memadai, walaupun beberapa organisasiinstansi YK-RASI dan BKSDA Kaltim telah mengalokasikanmenyediakan dana untuk kegiatan- kegiatan seperti monitoring populasi. Hasil wawancara dengan dinasinstansi di lingkungan Pemerintah Daerah Kutai Barat terungkap bahwa tidak ada alokasi dana untuk konservasi pesut mahakam sejak ditetapkannya kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam di Muara Pahu. Di Kabupaten Kutai Kartanegara, baru tahun 2012 ada alokasi dana untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan persiapan penunjukkan kawasan perlindungan bagi pesut dan habitatnya. BKSDA Kalimantan Timur dan Yayasan Konservasi RASI adalah dua organisasiinstansi 80 yang paling sering mengalokasikan dana untuk konservasi pesut mahakam. Selama rentang waktu 2007 –2012 tercatat 3 survei monitoring populasi dilakukan YK-RASI 2007, 2010 dan 2012 dan 2 survei dilakukan BKSDA Kalimantan Timur 2011, 2012. Sebagaimana diungkapkan dalam Bab 6, kelemahan koordinasi yang terjadi di antara organisasiinstansi yang berkaitan langsung dengan konservasi pesut mahakam adalah permasalahan serius dalam konservasi jenis ini. Contoh nyata adalah kelemahan koordinasi di Kutai Barat yang menyebabkan para aktororganisasi yang seharusnya bertanggungjawab atas konservasi pesut mahakam gagal merespon dan mengantisipasi tanda- tanda ‘menghilangnya’ pesut dari Muara Pahu sehingga terjadi fenomena perubahan sebaran. Perkembangan positif terlihat di Kabupaten Kutai Kartanegara. Atas inisiatif dan prakarsa YK- RASI, sejak 2012 para pihak khususnya instansi pemerintah mulai berkoordinasi dan bekerjasama untuk menetapkan kawasan perlindungan bagi pesut mahakam di daerah Pela-Muara Kaman. Alokasi dana yang terbatas, belum adanya strategi dan rencana aksi nasional konservasi pesut serta lemahnya koordinasi menunjukkan bahwa konservasi pesut mahakam belum mendapat prioritas yang tinggi untuk dilaksanakan. Hal ini memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan dalam kebijakan dan implemen- tasinya. Sebagian besar pihak yang terkait dengan konservasi pesut kelihatannya tidak menganggap bahwa upaya pelestarian pesut mahakam sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan. Selain hal tersebut di atas, masih ada tanda-tandafakta ketidak-konsistenan pelaksanaan kebijakan terkait penetapan pesut sebagai prioritas konservasi. Fakta tersebut adalah: 1 tidak ada fasilitasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasi di daerah; 2 tidak ada insentif dari pemerintah pusat bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut; dan 3 pemerintah daerah tidak menjadikan kebijakan konservasi pesut sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan pembangunan daerah. Sejak tahun 1989, pesut ditetapkan menjadi satwafauna identitas Provinsi Kalimantan Timur. Tetapi perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap jenis ini tidak sebanding dengan predikat yang disandangnya. Tidak ada inisiatif dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk benar-benar menjadi inisiator atau aktor yang berperan sentral dalam konservasi pesut mahakam. Pemerintah daerah kelihatannya lebih senang membangun monumen-monumen berupa patung pesut mahakam sebagai simbol Kalimantan Timur dibandingkan terlibat langsung dalam upaya konservasinya. Kabupaten Kutai Barat sebenarnya sudah melangkah lebih maju dalam hal konservasi pesut mahakam ketika keputusan Bupati tentang penetapa kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam terbit. Keputusan yang diambil melalui berbagai koordinasi rapat dan lokakarya, kajian ilmiah dan kesepakatan para pihak ini memberikan harapan yang besar bagi banyak pihak yang menginginkan kelestarian pesut mahakam. Tetapi kemudian masalah inkonsistensi menghing- gapi kebijakan ini, seperti ditunjukkan oleh fakta-fakta yang tertera dalam Tabel 7.1. Peraturankebijakan daerah di bidang perikanan ada juga yang terkait dengan konservasi pesut. Kebijakan tersebut mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari. Bagi konservasi pesut peraturan ini penting 81 karena lestarinya sumberdaya perikanan akan menjamin ketersediaan pakan bagi pesut mahakam yang pakan utamanya adalah ikan. Tabel 7.2. Kebijakan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di bidang perikanan yang erat kaitannya dengan konservasi pesut mahakam Kebijakan KondisiFakta di Lapangan Penggunaan setrum electro-fishing dan racun dalam penangkapan ikan tidak diperkenankan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1999 dan No. 4 Tahun 2012 1. Penggunaan setrum dan racun masih marak di perairan S. Mahakam, anak sungai dan danau- danaunya 2. Penggunaan setrum dengan daya yang semakin tinggi yang mampu melumpuhkan ikan tanpa pandang bulu penggunaan generator atau accu berkapasitas besar dengan jumlah yang banyak 3. Penggunaan metode baru untuk penyetruman udang yang menggunakan jaring berlistrik 4. Penegakan hukum terhadap pelaku penyetruman semakin lemah 5. Penyetruman dilakukan secara terang-terangan dan di tempat-tempat yang ramai serta mudah terlihat Alat yang boleh digunakan dalam menangkap ikan Perda No. 3 Tahun 1999 adalah jaring insangrengge dengan ukuran mata minimal 4 cm 1. Penggunaan jaring insang dengan ukuran mata jaring dibawah 4 cm Penangkapan ikan yang sedangakan memijah tidak diperkenankan. Demikian pula mengambil, membawa, menyimpan dan memperdagangkan telur ikan, tidak diperkenankan Perda No. 3 Tahun 1999 1. Penangkapan ikan yang sedangakan memijah masih berlangsung, dan ini merupakan praktek yang umum 2. Perdagangan telur ikan Semua kegiatan yang sifatnya dapat mengganggu dan merusak sumber daya perairan di lokasi suaka perikanan reservat dilarang untuk dilakukan Perda No. 3 Tahun 1999 1. Penangkapan ikan masih dilakukan di dalam reservat ikan. 2. Tidak ada pengawasan yang memadai untuk melindungi suaka perikanan Di Kabupaten Kutai Kartanegara, kebijakan di bidang perikanan yang terpenting adalah Peraturan Daerah Perda No. 4 Tahun 2012 dan No. 3 Tahun 1999. Beberapa kebijakan yang terkait langsung dengan konservasi pesut dapat dilihat pada Tabel 7.2. Namun demikian, seperti kebanyakan kebijakan lainnya, masih banyak fakta-fakta yang tidak sesuai dengan isi kebijakannya. Pelanggaran yang paling menyolok terhadap kedua aturan di atas adalah penggunaan setrum electro-fishing untuk menangkap ikan. Penggunaan setrum ditemukan hampir di seluruh areal penelitian dan dilakukan baik siang maupun malam hari. Muara Kaman dan Pela menjadi tempat yang paling banyak ditemukannya penggunaan setrum untuk menangkap ikan. Penyetruman ikan yang dilakukan saat ini menjadi lebih berbahaya karena menggunakan generator atau menggunakan sejumlah accu 3-5 buah [Gambar 7.1]. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat di Muara Kaman, maraknya penggunaan setrum disebabkan oleh melemahnya penegakan hukum oleh aparat, khususnya kepolisian. Sebelumnya, setiap ada pelanggaran, pelakunya ditangkap dan diproses secara hukum. Laporan-laporan masyarakat tentang terjadinya 82 pelanggaran direspon secara cepat oleh aparat dengan melakukan penangkapan. Selain itu, aparat juga lebih sering melakukan patroli pengawasan. Ketika penegakan hukum terhadap para penyetrum ikan dijalankan, aktivitas penyetruman ikan jarang terjadi di Muara Kaman. Gambar 7.1. Penangkapan ikan dengan menggunakan setrum listrik dari generator Perubahan penanganan terhadap pelaku-pelaku penyetruman menurut masyarakat erat hubungannya dengan kebijakan dari pimpinan kepolisian setempat. Di Kotabangun dan sekitarnya termasuk Pela dan Danau Semayang, penegakan hukum terhadap pelaku penyetruman memang sejak lama sudah lemah dan terkesan ada pembiaran oleh aparat penegak hukum terhadap kegiatan penyetruman. Beberapa sumber di daerah tersebut bahkan mengungkapkan bahwa ada resistensi dari sebagian anggota masyarakat terhadap penegakan hukum. Akibat adanya pembiaran terhadap pelanggaran oleh aparat, masyarakat menganggap bahwa penyetruman bukan hal yang melanggar hukum sehingga apabila penegakan hukum dilakukan, masyarakat justru menolak dan menentangnya. Di Kutai Kartanegara terdapat 7 lokasi suaka perikanan reservat. Suaka perikanan ini adalah areal yang dialokasikan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya ikan yang akan menjamin ketersediaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Di suaka semacam ini kegiatan apapun yang bersifat eksploitatif tidak diperkenankan. Namun sekali lagi, fakta di lapangan menunjukkan adanya inkonsistensi antara kebijakan dan implementasinya di lapangan. Akibat tidak adanya pengelolaan dan pengawasan yang memadai, aktivitas penangkapan ikan masih terjadi di suaka perikanan ini. Praktek pemanfaatan yang tidak lestari dan melanggar peraturan lainnya adalah perdagangan telur ikan. Telur ikan diperoleh dari ikan-ikan yang sedang berada pada musim berkembangbiaknya. Diperkirakan masyarakat mengetahui musim berkembangbiak ikan sehingga dari penangkapan tersebut dapat diperoleh jumlah telur yang relatif banyak. 83 Koherensi antar Kebijakan Analisis isi terhadap ketiga dokumen yang diperbandingkan menghasilkan matriks koherensi kebijakan sebagaimana Tabel 7.3. Nilai 129 dalam Tabel 7.3 menunjukkan bahwa ada 129 kali konsep dalam bentuk frasa tentang tujuan, instrumenprosedur dan aktor dalam RPJM Kutai Kartanegara RPJMKK tercantum dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam SRAK Pesut. Sebaliknya hanya ada sebanayak 74 kali konsep dalam SRAK Pesut tercantum dalam RPJMKK. Dengan cara yang sama angka-angka dalam sel lainnya dibaca dan diartikan. Tabel 7.3. Matriks koherensi kebijakan yang menunjukkan seberapa banyak kali konsep dari suatu teks kebijakan tercantum dalam teks kebijakan lainnya SRAK Pesut RPJMKK RPJMKB SRAK Pesut - 129 131 RPJMKK 74 - 459 RPJMKB 103 638 - Keterangan: 1. SRAK Pesut: Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Pesut Mahakam draf 2. RPJMKK: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Kutai Kartanegara 3. RPJMKB: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Kutai Barat Setelah angka-angka dalam Tabel 7.3 dinormalisasi dan dihitung, diperoleh tabel derajat koherensi kebijakan seperti tertera pada Tabel 7.4. Duraiappah Bharwaj 2007 menyatakan bahwa koherensi penuh akan terjadi apabila nilai total baris atau kolom adalah 0, sebaliknya inkoherensi tidak koheren penuh apabila nilai total sama dengan 6. Tabel 7.4 menunjukkan bahwa derajat koherensi kebijakan diantara dokumen rencana yang diperbandingkan adalah 3,6. Itu berarti persentase koherensi antara rencana-rencana tersebut adalah 60, atau bisa juga dikatakan persentase inkoherensinya sebesar 40 Tabel 7.4. Derajat koherensi antara berbagai rencana setelah perhitungan numerik SRAK Pesut RPJMKK RPJMKB Jumlah baris Ranking baris SRAK Pesut - 0,8 0,8 1,6 3 RPJMKK 0,9 - 0,3 1,2 2 RPJMKB 0,8 0,0 - 0,8 1 Jumlah kolom 1,7 0,8 1,1 3,6 Ranking kolom 3 1 2 Inkoherensi 40 diantara rencana-rencana tersebut adalah kontribusi dari SRAK Pesut. Nilai ranking 3, baik untuk kolom maupun baris, menunjukkan 84 bahwa SRAK Pesut tidak merepresentasikan dan direpresentasikan secara menyeluruh dalam rencana pembangunan jangka menengah kedua kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan daerah belum menganggap pelestarian pesut mahakam sebagai isu yang penting. Apabila dicermati lebih seksama bisa dilihat bahwa sesungguhnya koherensi antara RPJM kedua kabupaten dengan SRAK Pesut hanya sebatas pada konsep ‘pelestarian lingkungan hidup’ yang sifatnya lebih umum, tidakbelum pada konsep- konsep spesifik seperti ‘pelestarian pesut mahakam’ atau ‘perlindungan habitat’. Pembahasan Gubernur Kalimantan Timur dalam sambutannya untuk Lokakarya Penetapan Kawasan Perlindungan Cetacea Air Tawar di Asia, yang dilaksanakan di Samarinda tahun 2009, menyatakan bahwa: “Saya menyesal atas situasi saat ini dan ketidaksesuaian antara kekaguman kita semua terhadap simbol Provinsi Kalimantan Timur ini dan kekurangmampuan kami untuk menyediakan habitat yang aman bagi mereka.” Penyataan tersebut menyampaikan makna yang jelas bahwa memang ada berbagai masalah terkait pelestarian pesut mahakam yang menjadi ikon provinsi Kalimantan Timur ini. Penelitian ini mengungkapkan salah satu permasalahansituasi yang dimaksud yaitu adanya inkonsistensi antara kebijakan dan implementasinya di lapangan serta inkoherensi antara kebijakan pelestarian pesut dan kebijakan pembangunan daerah. Masalah inkonsistensi dan inkoherensi kebijakan terkait konservasi pesut mahakam bukan semata-mata merupakan kontribusi dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan juga mempunyai andil dalam menciptakan kondisi yang kurang mendukung pelestarian pesut mahakam. Jika merunut kembali Permenhut No. P.57Menhut-II2008 maka dapat dilihat bahwa ada arahan-arahan dalam peraturan tersebut yang belum diimplementasikan dan merupakan kewajiban pemerintah pusat untuk merealisasikannya. Hal-hal yang belum direalisasikan tersebut adalah: strategi dan rencana aksi nasional konservasi pesut mahakam, fasilitasi bagi pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasinya di daerah serta pemberian insentif bagi pemerinah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut. Menurut Makinde 2005, inkonsistensi dalam implementasi kebijakan adalah masalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang sehingga target- target kebijakan tidak tercapai. Inkonsistensi tersebut menurutnya selalu terkait dengan empat faktor kritis sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III 1980 yaitu komunikasi, sumberdaya, attitude, dan struktur birokrasi. Pendapat ini relevan dengan fakta-fakta yang terungkap dari penelitian ini. Lemahnya koordinasi telah teridentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi pada kegagalan para pihak dalam merespon dan mengantisipasi ‘hilangnya’ pesut dari habitat intinya di Muara Pahu-Penyinggahan. Inti dari koordinasi adalah komunikasi dan itu terbukti dari penelitian ini bahwa telah terjadi kesenjangan komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Komunikasi adalah faktor yang esensial bagi efektivitas implementasi kebijakan Makinde 2005. 85 Faktor kedua adalah sumberdaya. Kurangnya upaya konservasi pesut mahakam, walapun ada banyak pihak yang terlibat di dalamnya, disebabkan oleh alokasi anggaran yang terbatas. Ketiadaan alokasi anggaran di sebagian besar pihak yang terlibat konservasi pesut menyebabkan mereka tidak aktif dalam upaya konservasi tersebut. Inkonsistensi dalam implementasi kebijakan terkait pesut mahakam lebih banyak terkait dengan faktor ketiga yakni attitude. Attitude merefleksikan sebuah sikap mental positif, terutama komitmen, terhadap sesuatu dan secara konsisten diwujudkan dalam perilaku yang sejalan dengan sikap tersebut. Jadi ketika sebuah kebijakan yang baik seperti kebijakan terkait konservasi pesut mahakam tidak diimplementasikan dengan semestinya, dapat dikatakan bahwa pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap implementasinya tidak atau kurang memiliki attitude komitmen Lemahnya penegakan hukum lebih menunjukkan ketiadaan attitude komitmen dari aparat penegak hukum dibandingkan kurangnya sumberdaya, karena pada masa-masa sebelumnya ternyata hukum bisa ditegakkan. Sekarang yang terlihat adalah pembiaran oleh penegak hukum terhadap pelanggaran- pelanggaran yang terjadi. Demikian pula di kalangan pemerintah daerah. Pengalaman di Kabupaten Kutai Barat menunjukkan bahwa dengan dimotori oleh YK-RASI, para pihak dapat bekerja sama mewujudkan kawasan perlindungan bagi pesut di Muara Pahu. Tetapi, tanpa ada yang memotori upaya konservasi, tidak ada langkah-langkah nyata dari organisasi pemerintah di daerah untuk menindaklajuti keputusan penetapan kawasan perlindungan tersebut. Sekali lagi, hal ini menunjukkan tidak adanya attitude dari pihak-pihak di Kabupaten Kutai Barat untuk melestarikan pesut. Tidak adanya attitude mungkin dapat diungkapkan d engan istilah yang lebih tepat yakni “tidak ada komitmen”. Pemerintah pusat juga tidak menunjukkan attitude ketika arahan-arahan dalam Permenhut No. P.57Menhut-II2008 yang menjadi tanggungjawabnya tidak dilaksanakan. Salah satunya adalah strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam yang belum juga selesai padahal telah disusun sejak 2010. Tanpa dokumen tersebut tidak ada pedoman bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan arahan lainnya yakni menfasilitasi pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasi pesut di daerah atau memberikan insentif pada pemerintah daerah untuk melaksanakan konservasi pesut. Melihat kebiasaan atau perilaku birokrasi di Indonesia yang sangat bergantung dan terikat aturan formal Putrianti 2009, maka tanpa adanya strategi dan rencana aksi nasional sebagai pedoman bagi konservasi pesut, arahan-arahan tersebut tidak akan dijalankan. Penelitian ini juga mengungkap adanya inkoherensi antara strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam SRAK Pesut dengan rencana pembangunan RPJM Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat yang memiliki pesut di wilayahnya ini. Inkoherensi muncul karena ada dua pendekatan atau orientasi yang berbeda antara rencana konservasi pesut dengan rencana pembangunan daerah. Pembangunan daerah tidak berorientasifokus kepada konservasi tetapi lebih kepada ‘pertumbuhan ekonomi’. Hal itu terlihat dari berbagai pernyataan tentang rencana ataupun program seperti peningkatan produksi perkebunan, perikanan dan pertambangan. Walaupun RPJM kedua kabupaten sudah mengakomodasi prinsip pelestarian lingkungan, dalam konteks pelestarian pesut mahakam, pelaksanaan 86 rencana-rencana pembangunan daerah tersebut harus selalu dikritisi karena berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kelestarian pesut mahakam. Peningkatan produksi perikanan tangkap misalnya berpotensi meningkatkan konflik kepentingan dengan konservasi pesut mahakam karena keduanya bergantung kepada sumberdaya perikanan. Persaingankonflik kepentingan seperti itu sudah banyak diungkap oleh para ahlipeneliti Herr et al. 2009; Parra Jedensjo 2009; Kelkar et al. 2010; Sinha et al. 2010; Gomez-Salazar 2011. Peningkatan produksi perkebunan yang dicapai melalui ekstensifikasi lahan perkebunan pada daerah-daearh rawa juga perlu mendapatkan perhatian serius. Rawa-rawa mahakam adalah sumber penghidupan bagi pendudukmasyarakat di sepanjang sungai ini MacKinnon et al. 1996 karena kebanyakan dari mereka adalah nelayan yang bergantung pada sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat. Alih fungsi rawa menjadi lahan perkebunan untuk meningkaktan produksi pertanian perkebunan sangat berpotensi mengurangi kuantitas sumberdaya perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Penurunan kuantitas sumberdaya perikanan tidak hanya akan berdampak kepada masyarakat nelayan tetapi juga pada pesut mahakam yang pakan utamanya adalah ikan. Simpulan Pesut mahakam sudah ditetapkan sebagai jenis mamalia yang mendapatkan prioritas yang sangat tinggi untuk dilestarikan. Pesut mahakam juga telah ditetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Kalimantan Timur. Di Kutai Barat, habitat intinya di Muara Pahu telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam habitat pesut mahakam. Selain itu, dari bidang perikanan, beberapa kebijakan yang terkait dan sangat mendukung konservasi pesut mahakam juga sudah diterbitkan. Tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Ada inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Inkonsistensi tersebut disebabkan kurangnya attitude komitmen dari orang-orang di organisasilembaga yang terlibat dalam konservasi pesut mahakam. Penelitian ini juga mengungkap adanya inkoherensi antara strategi dan rencana aksi konservasi pesut mahakam SRAK Pesut dengan rencana pembangunan RPJM dari kedua kabupaten yang memiliki pesut di wilayahnya ini. Inkoherensi muncul karena ada dua pendekatan atau orientasi yang berbeda antara rencana konservasi pesut dengan rencana pembangunan daerah. Pembangunan daerah tidak berorientasifokus kepada konservasi tetapi lebih kepada ‘pertumbuhan ekonomi’. 87

8. DESAIN KONSERVASI PESUT MAHAKAM BERBASIS PERUBAHAN SEBARAN DI SUNGAI MAHAKAM