Pengertian dan Aturan bagi Penerjemah

2.2 Pengertian dan Aturan bagi Penerjemah

Menurut Bell 1991:15 defenisi penerjemah adalah seorang agen bilingual yang menangani antara seorang komunikasi monolingual dalam dua perbedaan komunikasi bahasa. Penerjemah mengirimkan kode pesan pada satu bahasa dan mereka memberikan kode kembali kepada yang lainnya baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam penerjemahan teks tulisan hasil rekaan atau non fiksi yang mengandung cerita seperti cerita - cerita yang diterbitkan untuk anak yang pada umumnya mempunyai plot, pelaku dan mempunyai bahasa yang lugas, kadangkala penerjemah memiliki masalah - masalah dalam menerjemahkan cerita anak diantaranya adalah pertama, pengaruh budaya bahasa dalam teks asli. Pengaruh budaya ini bisa muncul dalam gaya bahasa, latar dan tema. Kedua, tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam prakteknya, masalah ini berada pada proses penerjemahan seperti nama baik, baik nama karakter atau nama tempat, yang mungkin dikenal dalam bahasa sasaran, selain itu perlu diperhatikan pada ciri- ciri konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis, dengan demikian penerjemah tidak salah memahami naskah aslinya. Menurut Belloc yang dikutip oleh Basnett – McGuire 1980:116, ada enam aturan umum bagi penerjemah dalam prosa fiksi tulisan hasil rekaan yang mengandung cerita: 1. Penerjemah tidak boleh menentukan langkahnya hanya untuk menerjemah kata per kata atau kalimat per kalimat, tetapi dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya ataupun karya terjemahannya. Ini berarti penerjemah harus menganggap naskah aslinya sebagai satu kesatuan unit integral, meskipun saat menerjemahkannya ia mengerjakan bagian perbagian. 2. Penerjemah hendaknya menerjemahkan idiom menjadi idiom pula. Di sini harus diingat bahwa idiom dalam bahasa sumber mungkin sekali mempunyai padanan idiom dalam BSa, meskipun kata – kata yang dipergunakan tidak sama persis, contoh ekspresi ‘It doesn’t pay”. Dalam menerjemahkan ekspresi itu, penerjemah tidak bisa menerjemahkannya menjadi ‘itu tidak bisa membayar’, hal tersebut akan menimbulkan bisa jadi tidak sesuai dengan teks yang ingin disampaikan sehingga tidak ada korelasi pada teks tersebut. Oleh karena itu, alangkah baiknya penerjemah perlu mencari padanan dari idiom bahasa sumber di dalam bahasa sasaran. 3. Penerjemah harus menerjemahkan “maksud” menjadi “ maksud” juga, Kata “maksud’ di sini berarti muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. seperti ungkapan “Yuna, Please” ungkapan tersebut dapat berupa memohon atau mempersilahkan. Oleh karena itu, penerjemah harus lebih bijaksana untuk memilih terjemahan yang lebih tepat dengan konteks cerita yang dimaksud . 4. Penerjemah harus waspada terhadap kata- kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam BSu dan BSa, tetapi sebenarnya sangat berbeda. Sebagai contoh kalimat I won’t be long bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu ‘ Saya tak akan panjang’ Setelah disimak kembali ternyata bukan itu padanannya dalam bahasa Indonesia. Padanannya adalah ‘saya tak akan lama’. 5. Penerjemah hendaknya berani mengubah segala sesuatu yang perlu diubah dari BSu ke dalam BSa dengan tegas. Seperti ungkapan kebangkitan kembali ‘ Jiwa asing dalam tubuh pribumi’, tentu saja yang dimaksud adalah “ Tubuh Pribumi” ini adalah bahasa Sasarannya BSa 6. Meskipun penerjemah harus mengubah segala yang perlu diubah, tetapi pada langkah ke enam penerjemah tidak boleh membubuhi cerita aslinya dengan menambah atau mengurangkan kosakata yang bisa membuat cerita dalam BSa itu lebih buruk atau lebih indah sekalipun. Tugas penerjemah adalah menghidupkan ‘Jiwa Asing’ tadi, bukan memperindah bahkan memperburuk sehingga tidak sesuai dengan pesan yang disampaikan penulis cerita aslinya atau teks sumbernya. Dengan demikian jelas sekali bahwa dalam penerjemahan prosa fiksi cerpennovelcerita anak, penerjemah mementingkan makna, bentuk , pesan, kemudian gaya bahasa hal tersebut sama seperti apa yang disampaikan Larson dalam penerjemahan berdasarkan makna 1984 : 2, Nida dan Taber dalam teori dan praktek penerjemahan 1969:33, Molina dan Albir dalam teknik penerjemahan 509 - 511 serta Catford dalam pergeseran yang terjadi pada penerjemahan 1965:73.

2.3 Proses Penerjemahan