PEMINTA DI ATAS AWAN

PEMINTA DI ATAS AWAN

Yossie Putri Isnaini

Mentari siang ini amat terik. Membuat aku sulit tuk membuka mataku. Panas. Panas sekali. Pikirku siang ini matahari sedang dirun- dung amarah. Terlontar cahayanya menembus pori-pori kulitku serasa hampir terbakar. Sekian lama aku berjalan. Tempat teduh tak kudapati. Tak ada satupun tempat singgah untuk sekedar melepas peluh. Keri ngat sebesar biji rambutan mengalir deras di keningku hingga kerudungku mulai sempurna basah. Aku berhenti di sebuah warung kecil, membeli air dingin untuk melegakan tenggorokanku. Setiap air yang aku teguk memberikan kesegaran pada kerongkonganku yang sedari tadi tercekik kehausan.

Sembari istirahat, kuarahkan pandanganku ke persimpangan jalan yang tak jauh di depanku. Kulihat seorang anak perempuan berpakaian lusuh, dipenuhi lubang dan noda, tapi matanya yang coklat

membuat dia semakin cantik. Serta hidungnya yang mbangir 1 membuat dia sempurna seperti anak yang lain. Berdiri dengan satu kaki yang ditopang tongkat kayu sambil menggoyangkan kaleng kecil pertanda pekerjaannya adalah meminta belas kasihan orang yang berlalu lalang di situ. Kuperhatikan anak itu tak pernah beranjak dari tempatnya berdiri. Aku penasaran. Ragu kakiku untuk menghampirinya. Tapi, apa yang akan aku lakukan setelah bertatap muka dengan anak itu? Aku bingung. Akhirnya aku duduk kembali di tempat semula sambil menghabiskan sisa air yang masih tersisa.

Pandanganku tetap tak berpaling darinya. Terlintas di pikiranku, aku membayangkan jika aku menjadi dirinya. Akan kulakukan apa yang ia lakukan sekarang. Mukanya kini mulai memerah, merasakan panas hari ini. Sesekali ia duduk, namun tak lama berdiri lagi, tetapi tetap saja badannya tak ada niat untuk beranjak.

1 Bahasa Jawa; keterangan isik untuk hidung yang mancung 431

Waktu yang hampir sore menuntunku untuk kembali berjalan. Pulang. Matahari tak seterik sebelumnya. Petualanganku hari ini telah usai. Berniat aku akan melanjutkannya esok. Kini pikiranku dipenuhi anak di persimpangan itu.

Di berbagai tempat di mana pun aku di rumah selalu terba- yang anak itu. Ada saja desakan yang menyuruhku untuk lebih mengenalnya. Terdengar samar bisikan di telingaku, “Kamu harus segera menemuinya! Kasian dia, sudah tidak ada waktu lagi untuk menundanya. Hanya kamu yang bisa selamatkan keberadaannya.”

“Dia? Siapa dia?” Ah, barangkali hanya imajiku saja.

Pagi masih sangat hitam. Hiruk-pikuk manusia telah mewarnai suasana. Seperti yang kebanyakan orang perumahan lakukan, jogging setiap pagi di hari libur merupakan kewajiban bagi kami. Tidak terkecuali aku. Pagi ini, setelah berlari-lari sebentar, aku tidak akan menyiakan kesempatan. Aku akan kembali ke tempat kemarin, tempat dimana aku memandangi anak itu. Kali ini semangatku lebih besar, hanya untuk melihat anak yang mengharap belas kasihan orang- orang. Rencana untuk bisa mendekatinya telah aku susun rapi dalam pikiranku. Hatiku tergerak untuk melaksanakannya. Jiwaku tergugah untuk menjalankan niat. Berkenalan dengan anak yang hidup di jalanan adalah hal yang barangkali orang lain anggap bodoh.

Seseorang meneriakiku dari kejauhan, “Jangan dekati dia!” Sepertinya orang itu melarangku untuk menghampiri si anak. Entah apa yang ada dalam pikiran orang itu. Aku tak mengerti kenapa dia melarangku. Tanpa menghiraukan teriakannya, aku mendekatinya. Dia berdiri di tempatnya kemarin, dengan pakaian yang sama pula. Kuberanikan diri menepuk pundak mungil itu dan dengan sigap kuraih tangannya yang menengadah.

“Hey, bolehkah aku tau siapa namamu?” Keringat dingin merajai tubuhku. Aku berusaha mengusir

ketakutanku. Ia terperanjat, merasakan tepukanku yang sepertinya terlalu kencang di pundaknya. Segera setelah itu ia menunduk, memalingkan wajahnya dari hadapanku. Aku berusaha membuatnya

“Kamu haus? Mau minum?”, aku memulai basa-basi. Berbicara kepada orang yang baru aku temui seperti dia memang membutuhkan nyali yang cukup. Dia pun hanya mengangguk, menyanggupi tawaranku. Sejenak aku dibuat gamang dan bimbang saat kugandeng tangannya menuju ke warung tempat aku mengamatinya kemarin. Namun tekadku sudah bulat. Dorongan naluriku yang semakin kuat. Apalagi bisikan-bisikan halus yang sering mengiang di telingaku.

Kusodorkan minuman kepadanya. Disambetnya minuman itu lantas ditenggaknya hingga tak tersisa setetes pun. Semua dihabiskannya seketika. Tanpa ada kata yang terucap, dia langsung pergi meninggalkan tempat kami duduk menuju persimpangan jalan.

Di hari-hari berikutnya, setiap pulang sekolah, aku mengajaknya makan dan minum di tempat biasa. Tapi tak pernah kudengar ia mau bersuara. Aku hanya bisa menyaksikan ia menyantap makanannya dengan lahap. Tetap saja dia terlihat cantik walaupun aku tahu wajahnya tak secantik orang rumahan. Wajahnya dipenuhi cemong. Kepadaku ia tidak memiliki sopan santun sama sekali. Selalu saja habis selesai makan-minum, dia langsung pergi. Kalau seperti itu terus kelakuannya, kesabaranku mungkin akan habis. Tapi aku teringat niat awalku mendekati anak ini. Namanya saja orang jalanan, mana ada sopan santun. Yang dia tau hanyalah bagaimana mendapatkan uang yang banyak untuk memenuhi kebutuhannya. Tak pernah peduli pada kepentingan orang lain. Masa bodoh.

Suatu siang sesaat setelah dia selesai melahap makannya kemudian berlari kembali ke perempatan jalan, tiba-tiba wanita tua penjaga warung menghampiriku dengan wajah penuh tanya. Sepertinya ada yang akan dbicarakan denganku. Karena memang sering sekali aku bersama anak itu makan-minum di warungnya. Setelah berbasa-basi sebentar, panjang lebar wanita tua itu menceritakan tentang anak yang makan bersamaku tadi secara rinci. Penuh semangat kudengarkan setiap kata, setiap kalimat yang diucapkannya.

“Sudah lama dia hidup di situ. Sejak masih balita dia sudah bekerja, menunggu orang lain mau mengisi recehan di kantong plastik bekas. Dulu, sering kami mengusirnya, tapi dia tak pernah mau pergi.

Semua orang di sini tahu sebenarnya dia anak orang kaya. Setiap hari ketika pagi masih gelap ia diturunkan seseorang dari mobil mewah di sebelah utara persimpangan, di pinggir lahan kosong itu. Tapi kami pun tetap tak tahu siapa yang mengantarkannya. Suatu saat kutanyai dia, hanya diam yang kami peroleh.”

Nenek itu mengakhiri ceritanya. Lalu dia tergopoh masuk ke ruang dalam bagian belakang warungnya. Tak selang berapa lama dia menghampiriku, menyodorkanku sesobek kertas kecil. Di situ tertulis sebuah alamat. Setelah kubaca, tempatnya memang lumayan jauh dari sini, tapi masih dapat aku tempuh sendiri dengan motor.

“Nek, ini apa? Ini alamat siapa? Apa maksudnya?” Wanita tua itu tidak menjawab. Diam. Kemudian dia berlalu. Setelah sekian lama dia tidak muncul, aku pergi. Aku memutuskan

untuk mendatangi alamat itu. Meskipun aku belum mengerti kenapa wanita tua itu memberiku alamat. Padahal dia tidak menyinggung alamat apa itu, alamat siapa itu. Apa hubunganku dengan alamat itu? Ah, wanita tua itu membuatku tambah bingung. Namun hatiku berbicara, aku harus mencarinya.

Desa Bumiasih. Itu kata-kata yang tertulis di sobekan kertas. Kebetulan rumah salah seorang temanku tak jauh dari desa itu, di desa Bumiayu. Aku bisa menginap di rumah temanku barang seminggu, ini masa libur sekolah. Setahuku, tak ada rumah mewah di Desa Bumiayu. Tapi, aku tak tahu keadaan di Bumiasih.

Semua rumah tampak biasa. Aku tak mendapati rumah mewah di sana. Pasti aku telah salah sangka. Aku berpikir bahwa anak itu anak orang kaya. Setiap kali aku menanyakan pada warga Desa Bumiasih tentang seorang anak berumur 9 tahunan yang hidup di persimpangan jalan di dekat kampus sebuah kota budaya, mereka tak menjawab. Kedatanganku di Desa Bumiasih sepertinya menjadi momok bagi warga desa. Ada bisik-bisik yang bilang bahwa si anak dan keluarganya diusir. Ada yang bilang kena kutukan. Namun kutemui keanehan, salah seorang warga ada yang mengaku bahwa ia adalah paman seorang keponakan. Dia bilang kepadaku dengan penuh keyakinan bahwa keponakannya itu telah meninggal setahun yang lalu tertabrak

Aku ragu dengan perkataan seorang warga yang mengaku paman seorang anak kecil. Anak yang dia ceritakan mempunyai kemiripan dengan anak yang berada di persimpangan jalan dekat kampus kota budaya. Namun Sang Paman terus berusaha meyakinkanku, bahwa yang aku lihat itu mungkin bukan keponakannya, karena keponakannya sudah meninggal.

Langkahku ragu mengikuti ayunan kaki paman yang menuju ke sebuah tempat dimana keponakannya dimakamkan. Sungguh, perasaanku tak yakin bahwa makam yang kami tuju adalah makam anak yang hidup di persimpangan, yang ingin sekali aku mengenalnya. Namun air mataku menetes. Entah mengapa. Aku melihat sebuah nisan bertuliskan “Angelika”.

Dua minggu kemudian. Sekolah telah masuk kembali. Dalam lamunan aku teringat kejadian heboh dan menggemparkan di sekolah seusai kami pulang study tour dari pantai. Seluruh penghuni sekolah dibuat kalang kabut dengan penemuan potongan kaki mungil bersimbah darah tersangkut di bus yang kami tumpangi. Orang yang melihat berteriak histeris. Beberapa ada yang jatuh pingsan karenanya. Begitu juga aku. Mimpi tentangnya membuat aku selalu bingung. Harus bagaimana aku?

Semua ini tergantung pada diriku, membiarkan Angelika hidup di dunia yang bukan untuk dia sama halnya membiarkan dia tersiksa di dunia yang penuh dengan kekerasan ini. Kedengaranya sangat naif tapi ini harus aku lakukan demi ketenangan Angelika. Tak ada seorangpun yang mampu memberiku solusi menyelesaikan ini, beberapa dari mereka mengagapku gila dan memintaku untuk tetap tutup mulut.

Hanya meraka yang berjiwa pengecut saja yang tidak mampu melakukan hal itu. Aku menganggap mereka tidak bernyali. Mungkin di sini hanya aku yang memiliki gagasan untuk menyelesaikan masalah ini.

Aku meneguk ludahku yang mulai menggumpal. Aku hanya tersenyum. Dan kubiarkan semua ini berlalu begitu saja. Tapi Angelika?