Selia Eriani

Selia Eriani

Semua kehidupan manusia tak ada yang sempurna. Walau pun sekuat apa dia memijakkan kaki di bumi, suatu saat nanti dia akan terjatuh di atas tumpuan kakinya sendiri. Hanya orang-orang pilihan dari Tuhan yang bisa merasakan bahagianya hidup. Namun, sebahagia apapun mereka pasti selalu ada halangan menghampirinya. Tuhan terkadang “tak adil” tentang hidup ini. Mereka yang selalu berbuat dosa dengan mudahnya mendapatkan kenikmatan di dunia, namun orang-orang yang selalu taat pada agama hanya mendapatkan cobaan

dari kehidupan. Salah satu deinisi dari kehidupan yang begitu banyak cobaan

yang menghampiri dialami oleh Vaira anak, Ibu Rohma. Mereka tinggal di kota Kulon Progo, tepatnya di desa Sidosari yang jauh dari perkotaan bahkan bisa dikatakan kota yang sangat terbelakang. Disebuah gubuk kecil mereka tinggal. Rumah yang selayaknya meneduhkan keluarga Ibu Rohma ketika hujan datang, justru malah membuat badan mereka basah. Vaira adalah anak sulung Ibu Rohma. Ayahnya sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Makanya dia juga menjadi tulang punggung keempat adiknya, karena penghasilan Ibunya yang hanya cukup untuk membeli air minum saja. Keadaan itu yang mendorongnya untuk membantu meringankan beban sang Ibu. Vaira hanya lulusan SD, tak mudah untuk mencari penghasilan dengan pendidikan serendah itu. Namun dia tak pernah mengeluh dengan keadaan, dia terus mencari rupiah demi rupiah.

Yah, hidupsebagai penjual gorengan keliling. Itulah pekerjaan yang dia jalani sekarang. Penghasilan Ibunya yang hanya seorang pemukul batu tentu tak cukup untuk menghidupi Vaira juga adik- adiknya. Dari situlah alasan Vaira berhenti sekolah dan memilih untuk mencari rupiah demi rupiah yang dia cari dengan penuh kesemangatan.

“Kehidupan ini tak adil, ya Allah. Aku ingin hidup ini kujalani dengan mudah, bukan dengan kehidupan yang sangat menyakitkan ini, aku tak butuh harta yang melimpah dan juga semua perhiasan yang begitu mewah, yang kubutuhkan hanya kebahagiaan untuk Ibu dan juga adik-adikku. kabulkanlah doaku ini ya Allah, amiiin.”

Doanya sehabis salat wajib yang ia jalani setiap harinya. Ia tak pernah sekalipun meninggalkan ibadahnya walupun sesibuk apapun dia.Vaira, anak yang tangguh. Dia tak pernah sekalipun mengeluh dan tak pernah merasa diperbudak oleh Ibunya. Karena semua yang dijalaninya dengan keikhlasan hati dan juga semata-mata untuk meringankan beban Ibunya. Saat merasa lelah, dia tak pernah

“Bu, Vaira minta maaf, seharian ini Vaira tak dapat rezeki, mungkin Allah akan memberikan rezeki untuk kita besok,” itulah yang sering disampaikan kepada Ibunya.

Saat itu malam begitu sunyi, Vaira juga tak bisa tidur. Entah apa yang dipikirkan Vaira. Saat dia menghilangkan rasa lelahnya di atas ranjang, dia mendengar Ibunya merintih kesakitan. Vaira terbangun dari ranjang. Saudara-saudara Vaira semua menangis karena takut mendengar Ibunya merintih kesakitan.

“Ibu, kenapa? Apa, Bu yang sakit?” tanya Vaira dengan menetes- kan air matanya. Vaira begitu takut mendengar rintihan Ibu. “Kaki dan tangan Ibu sakit, Nak, tak bisa untuk bergerak, Ibu

tak kuat nak,”jawab Ibu sambil menahan sakit. Tak peduli berapa biaya yang akan menanggung bebannya, yang dia pikirkan hanya keselamatan Ibunya. Dengan sehelai kain dia gendong Ibunya berobat ke dokter. Walau nafas sudah hamper habis, Vaira terus berjalan. Sesampainya di dokter, Ibunya langsung

“Ibu namanya siapa? Keluhannya apa?” tanya dokter itu dengan wajah yang sangat tidak pantas diperlihatkan oleh seorang dokter. “Ibu saya merintih kesakitan dari tadi, tangan dan kakinya tak bisa digerakkan,” jawab Vaira dengan nada yang sangat takut. Setelah dokter memeriksa Ibunya, ternyata Ibu Vaira menderita kelumpuhan karena pekerjaan berat yang dijalani selama ini. “Ini bisa disembuhkan kalau terus ikut terapi, namun terapi ini membutuhkan biaya banyak,” jelas dokter itu dengan nada meremehkan Vaira dan juga Ibunya.

Vaira tak memperdulikan kata-kata dari dokter itu. Seharusnya Ibunya menjalani rawat inap. Namun, karena uang Vaira sudah habis untuk berobat, Ibunya hanya dirawat dirumah. Vaira sekarang hanya sendirian mencari nafkah. Vaira juga harus mengurus Ibunya yang sedang sakit karena Ibunya sudah tidak bisa berjalan lagi. Vaira setiap harinya berjualan gorengan dan mencari-cari pekerjaan sampingan supaya Ibunya bisa menjalani terapi. Setiap kampung yang ia lewati, Vaira selalu menuliskan harapannya di atas tanah, dia yakin kalau Allah akan membaca semua harapannya yang ia tuliskan di atas tanah dengan goresan jarinya sendiri. Saat Vaira menuliskan harapannya, Vaira dihampiri oleh wanita cantik yang berpakaian sangat mewah, dan kelihatannya masih sebaya dengannya, ia membeli gorengannya dengan uang Rp.50.000 dan tak meminta kembalian. Vaira memandang wanita itu dengan terheran-heran.

“Terima kasih, Anda baik sekali. Aku juga sedang butuh uang,” katanya sambil tersenyum manis. “Iya, sama-sama. Nama kamu siapa? Kenapa kamu butuh uang?” Tanya wanita itu dengan lembut. Vaira menceritakan keluh kesahnya kepada wanita yang sebaya dengannya namun sudah bisa sukses dengan kerja kerasnya sendiri. “Sangat menyedihkan kehidupanmu, ya. Oh, iya kenalin, namaku Geisha. Kamu mau ikut aku ke Jakarta? Kamu bakalan sukses

“Benar? Aku boleh ikut kamu? Aku mau, mau banget,” jawab Vaira dengan wajah yang sangat gembira. “Besok aku tunggu kamu disini. Sekitar jam 8 kamu menemuiku. Jangan lupa bawa barang-barang yang dibutuhkan untuk dibawa ke Jakarta,” kata Geisha.

Sesampainya di rumah, Vaira meminta izin kepada Ibunya. Walaupun Ibunya sudah melarang Vaira untuk pergi, namun Vaira tak memperdulikan kata-kata Ibunya. Vaira tetap bersikeras pergi. Ibunya hanya terdiam dan menangis karena takut apa yang dilakukan Vaira nantinya akan merugikan dirinya sendiri.

“Maain Vaira, Bu. Vaira pingin hidup kita berubah. Vaira pingin nyembuhin Ibu. Vaira pasti pulang, Bu dengan membawa uang,” pamit Vaira sambil meneteskan air mata.

Keesokan harinya Vaira pergi mengikuti Geisha. Ibu Vaira hanya dirawat oleh adik-adiknya. Vaira begitu tergiur dengan pekerjaan yang ditawarkan oleh Geisha yang sebenarnya tidak dikenalnya sama sekali. Walaupun ragu Vaira tetap pergi naik bus. Namun sebelum naik bus, Vaira menuliskan kata bismillah di atas tanah yang dipijaknya saat itu. Saat perjalanan Vaira diajak berbincang-bincang oleh Geisha. Mereka sudah keliatan sangat akrab. Bukan hanya itu, Vaira diberi handphone oleh Geisha. Geisha begitu baik pada Vaira dan Vaira pun sangat senang menerima pemberian Geisha karena Vaira seumur hidupnya belum pernah mempunyai handphone. Beberapa jam perjalanan dilaluinya, akhirnya mereka sampai di tempat kerja Geisha. Vaira merasa dirinya begitu asing dan tak layak disana karena di tempat kerja Geisha banyak perempuan yang menggunakan baju seronok dan mereka semua merokok.

“Ini tempat apa?” tanyanya Vaira dengan rasa takut. “Tak apa, Ra. Aku kerja ditempat seperti ini. Jangan mikir

yang enggak-enggak. Yang kamu pikirin sekarang, tuh uang. Untuk mendapat uang berapapun jumlahnya pasti akan terkabulkan ditempat ini,” Jawabnya dengan tatapan muka yang tajam.

“Caranya?” Tanya Vaira.

“Kamu tinggal duduk di sini. Nanti uang akan menghampirimu sendiri, tapi kamu harus di make-up dulu. Kalau penampilanmu seperti ini, uang tak akan mau menghampirimu,” jelas Geisha.

Vaira hanya bisa diam dan menuruti apa yang diperintahkan Geisha. Walaupun Vaira sedikit merasa menyesal karena pekerjaan ini sangat hina, namun dia tetap menjalaninya. Setelah dia di make-up, dia duduk dan menunggu uang yang akan menghampirinya. Tak lama kemudian Vaira dihampiri oleh lelaki yang tua.

“Apa yang dimaksud dihampiri uang itu adalah dari lelaki ini?” tanyanya dalam hati. “Hargamu berapa, aku belum pernah mencobamu. Apa kau anak baru?” tanya lelaki itu. “Terserah Anda,” Jawab Vaira asal-asalan. Vaira dibawanya pergi dengan mobil mewah punya lelaki itu.

Dia dibawa kesuatu hotel mewah yang ada di Jakarta. Semalaman mereka tidur satu kamar. Vaira menghibur lelaki itu dengan tubuh sucinya. Harga yang dibayarnya pun tak tanggung-tanggung. Dua puluh juta rupiah ia memperoleh uang dari lelaki itu. Vaira sangat senang mendapatkan uang itu, walaupun dia merasakan sakit isik

dan mental. Paginya Vaira pulang ke tempat tinggal Geisha. Sebelum masuk kamar, Vaira menuliskan “aku seorang pekerja seks komersial” di atas tanah yang ada didepan kamar kosnya. Uang haram yang didapatnya hari itu langsung Ia kirimkan pada Ibunya untuk biaya pengobatan. Vaira membohongi Ibunya, dia menuliskan surat bahwa uang itu adalah uang muka karena pekerjaan kantoran. Sekarang, setiap bulan Vaira selalu menyirihkan uang hasil pekerjaannya dan mengirimkan untuk kebutuhan hidup Ibu dan adik-adiknya.

Bertahun-tahun Vaira tidak pulang ke kampung halamannya, sampai dia sakit-sakitan karena terserang HIV Aids. Penyakit itulah yang akhirnya mengambil nyawanya. Jasad Vaira dikirimkan ke kampung halamannya. Ibunya begitu terpukul dan sangat kehilangan Vaira. Walaupun Vaira pergi secara tragis, sebagai seorang pekerja seks komersia, tetapi di sisi lain dia telah berhasil mewujudkan impiannya dengan coretan di atas tanah, yaitu membiayai pengobatan Ibunya