Putri Nur Rahmadhani

Putri Nur Rahmadhani

Inilah kisahku, anak muda enam belas tahun yang tinggal di sebuah gubug kecil dengan keluarga yang bisa dibilang broken home . Aku memiliki ayah yang begitu sabar menghadapi segala hal, termasuk menghadapi malaikat kecilnya. Akbar. Ya, itulah nama Pangeran kecilnya yang sangat nakal. Lalu, aku memiliki ibu yang yang begitu over protective terhadap anaknya. Terlalu over protective membuatku sering berbohong kepadanya.

“Puput” panggil Ibu dengan nada yang memecah keheningan. Puput adalah nama panggilanku sejak kecil. “Ya? Ada apa?”sahutku dengan nada cuek. Aku sudah hafal tiap Minggu Pagi, apabila ibu dan adikku

mengenakan pakaian rapi dengan parfumnya yang khas, mereka pasti akan pergi meninggalkanku sendiri, dirumah.

“Jaga rumah, ibu mau keluar bentar!!” itulah kata yang diucap- kannya. Aku meliriknya sambil tersenyum, tanda aku menuruti permintaannya.

Aku mengikuti Masa Orientasi Siswa di salah satu SMA di Yogyakarta yang bersuasana pedesaan. Tidak terlaulu bising dan yang pasti belum begitu berpolusi. Kumulai hari-hariku ke depan dengan kegiatan ini, aku mengendarai sepeda motorku dengan jarum spedo meter berada pada angka 20. Menikmati indahnya mentari yang tersenyum kepadaku. Memandangi sawah yang mem bentang luas dan gunung Merapi yang begitu gagah, inilah salah satu ciptaan Tuhan yang begitu indah. Melihat anak-anak SD bergegas ke sekolah berlari-lari kecil takut terlambat dan distrap di depan kelas. Sungguh, nuansa pedesaan di pinggir kota Yogyakarta.

Terpontang-panting aku membawa perlengkapan MOS yang ternyata tidak lengkap membuat aku terkena hukuman selama Masa

Orientasi Siswa. Berkuncir merah sebanyak 29 yang menunjukkan tanggal kelahiranku. Mengenakkan sepatu hitam bertali raia biru di kanan, merah dikiri. Berkalung bawang merah, bawang putih, dan cabai yang disatukan untuk menjadi penangkal hujan yang membuatku merasa ingin terus bersin akibat aroma yang timbul. Ditambah dengan taser bertuliskan nama, kelas, yang diberi foto ukuran 3x4 yang seharusnya dipasang fotoku malah aku pasang foto ibukku. Karena kebanyakan orang mengatakan aku mirip dengan ibuku. Tiga hari berlalu begitu cepat, hampir tak terasa. Masa Orientasi Siswa di sekolahku resmi selesai. Saatnya untuk mengenal lebih jauh tentang sekolah guru dan teman.

Pagi ini, aku melihat selembar kertas di atas mejaku yang berisi pilihan ekstrakulikuler. Aku tertarik dengan ekstrakulikuler “musik”. Akupun memilihnya. Hari pertama masuk kelas musik, terasa sangat aneh. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda . Apalagi semenjak ada dua kakak kelas pria masuk di kelas musik.

Dalam hati aku berkata, “Ya Tuhan… andai aku bisa memiliki salah satu darinya. Aku akan menjaganya sebaik mungkin. Tapi?! apa mungkin aku bisa memilikinya? Untuk mengenalnya saja aku ragu karena aku bukan wanita yang cantik. Aku hanya seorang wanita biasa yang berusaha untuk mempercantik hatiku dan belajar menjadi seseorang yang sederhana. Tuhan… mungkin, untuk saat ini, aku tak mungkin mengenalnya. Namun, aku percaya akan banyak kejutan dari-Mu, untukku”.

Facebook , sebuah media sosial yang mendunia dan dari situ aku mengenal seorang pria yang satu sekolah denganku. Awalnya, ada pesan masuk dari seorang pria yang mengajakku berkenalan dan bertukar nomor handphone. Alangkah terkejutnya aku, sewaktu kita saling berkirim pesan lewat media elektronik dia berkata

“Aku yang kemaren, yang ngikut ekstrakulikuler itu!” Deg.. jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Wajahku

yang sebelumnya terlihat begitu malas, seketika berubah menjadi sumringah .

“Tuhan… terimakasih Engkau telah mengabulkan doaku”.

Dicka, dialah salah satu pilihan Tuhan yang dikirimkan untuk aku kenal dan untuk aku miliki. Entahlah, hari itu aku seperti dihipnotis oleh seorang Dickha. Ibuku, yang selalu melarangku pergi berdua- duaan sudah tak ku perdulikan lagi.

“Nduk, mau kemana siang bolong gini?”. “Dolan”. Ucapku, sambil bergegas pergi, agar wanita setengah

tua itu tidak mengucapkan pertanyaan dari bibir yang merah karena lipstick. Terpaksa aku berbohong untuk menemui Dickha.

Jam tanganku menunjukkan pukul 03.13 sore. Bergegas aku pergi menemui Dicka di Taman Sari. Bangunan tua itu bukan hanya sebagai sejarah untuk mengingat perjuangan para pahlawan yang sudah gugur. Bangunan tua itu menjadi saksi bisu bagiku dan Dicka. Karena, disitulah aku mampu mengenal lebih jauh tentang Dicka. Pemandangan kota Jogja terlihat begitu berbeda, angin sore yang sepoi- sepoi membuatku ingin menjadi seperti daun yang jatuh berterbangan mengikuti arah angin. Semua ini seperti mimpi. Bagiku, berkenalan dengan seorang Dicka hanyalah angan-angan semata. Kami bersendau gurau disana, bercerita tentang kisah asmara yang ternyata hati kami sama-sama sedang kosong. Asik, lucu, baik, mudah bergaul, itulah penilaianku untuk pertama kalinya kami berdua berbincang-bincang.

Senang rasanya, aku mampu mengenal Dikha lebih jauh. Sosoknya yang rupawan dan jiwanya yang dewasa mampu meluluhkan, aku. Hatiku yang sudah dilanda kekosongan selama 1 tahun akhirnya di isi kembali oleh orang baru, Dicka. Aku memberanikan diri untuk menyatakan rasa sayangku padanya. Aku merasa menjadi orang yang paling sempurna saat itu. Karena, Dickha menyayangiku bahkan dia mencintaiku. Akan tetapi, sulit bagiku untuk menjalin hubungan yang jelas bersamanya. Orangtuakulah yang tak merestui, termasuk ibukku yang over protective. Aku menerti, Ayah Ibuku tidak mengizinkanku untuk berpacaran, karena mereka tak menginginkan anaknya terjerumus kedalam hal-hal yang negative. Tapi?! Apakah mereka tak pernah merasakan indahnya cinta di masa SMA? Lalu, apakah aku mampu menjadi anak yang dapat dipercaya jika mereka kokoh mempertahankan hal tersebut? Kurasa, sulit. Ditambah Dicka, yang tak menyukai dengan hubungan backstreet. Semua itu seolah menjadi benteng besar yang harus aku robohkan dengan tangan

“Kalo kamu sayang dan cinta sama aku, aku minta tolong buat jaga perasaan satu sama lain. Jangan pernah sakitin aku, aku juga usaha buat nggak nyakitin kamu.”

Senyum manisnya terpancar dari wajah yang terlihat lelah di siang itu, singkat Dicka menjawab “Iya.” “Kenapa sms semalem nggak kamu bales, Dick?” tanyaku kepada Dicka yang sedang di kantin.

“Sory, HP aku rusak, jadi nggak bisa smsan dulu” balasnya. “Aku masih ada HP sih, tapi jadul gitu. Pake’ dulu aja kalo kamu

mau. HPnya juga nganggur kok dirumah “jawabku sambil mengambil makanan ringan di depanku.

“Nggak papa sih. Tapi bener? mau dipinjemin ke aku? Kamu nggak dimarahin ibu kamu?” ucap Dicka. “Itu bisa diatur, pokoknya beres!” kataku sambil meninggalkannya. Sewaktu kami bertemu, aku melihat Dicka asik bermain handphone, hingga tak memperdulikanku. Dan yang pasti, aku ingin mengambil handphone jadul itu dari genggaman Dicka. Sewaktu aku meminta handphone itu, Dicka tidak memberikannya padaku.

“Dicka sini HPnya!” ucapku dengan nada tinggi, kasar. “Eh jangan buka sms, put!” kata dicka. Dia memohon agar aku mengembalikan handphone jadul itu.

“…say” kata yang aku baca di kotak masuk handphone itu, tepatnya dari Ika. Sejenak aku merasa terjatuh dari langit, aku terdiam tak mampu berkata. Tanpa sadar aku telah melepaskan handphone dari genggamanku yang kugenggam erat sebelumnya agar Dicka tak merebutnya dari tanganku.

“Put, aku bisa jelasin semuanya” kata Dicka dengan mata berbinar-binar yang berharap aku mau mendengarkan penjelasannya. Tiba-tiba, suaraku terasa berat untuk berkata kepada Dicka. Tapi, mau tak mau aku harus mengatakannya.

“Cukup dick… sampe sini aja cerita cinta kita. Aku udah bilang dari awal, kita harus jaga perasaan satu sama lain. Aku usaha, buat se rius sama kamu, aku juga gak lupa buat ngejaga perasaan satu sama lain. Tapi… ini balasan kamu? Makasih! Mulai sekarang, kita jadi temen aja. Ternyata, bener kata temen-temen aku, kalo kamu itu ... arrgh ?!!”.

“Put, tolong dengerin semua penjelasanku. Emang, sebelum aku kenal kamu, aku itu ..., haah mungkin aku tak harus mengucapkannya. Tapi, setelah aku kenal kamu, aku pengin ngerubah diri aku! Aku nggak pengin kehilangan kamu!!!” rayu Dicka. Supaya aku mau membuat sebuah memori lagi bersamanya.

Senyum dan lambaian tanganku mengarah padanya, dan aku berharap semoga dia mengerti maksudku. Sakit, galau, kecewa, semua kata sedih itu menjadi satu. Tak ada satupun hal yang mampu membendung rasa sedihku. Tak ada seorangpun yang mampu membuatku tersenyum. Sakit yang kurasa, melebihi sakit parah yang pernah kuderita. Malam kelam, bintang malam menemaniku, Mernemani kegalauanku yang mencekam, seperti malam itu. Mataku terpejam. Suasananya membawa anganku lari, untuk mencari Dickha. Sosoknya terlihat nyata, seperti ada di depan mataku, tertawa kembali bersamaku, menceritakan hal baru. Air mataku menetes dengan sendirinya Lalu aku berkata kepada-Nya

“Tuhan, aku memang masih menyayanginya.dan saat ini aku sungguh merindukannya. Tapi, di sisi lain aku masih merasa kecewa karenannya. Setiap langkah kakiku, detak jantungku, dan hela napasku aku selalu menyebut nama indah-Mu dan berdoa agar Engkau memberikan yang terbaik untukku dan untuk Dickha. Tuhan…, jika dia bukan orang yang tepat untukku, kirimkan aku malaikat yang bisa menggantikan sosok Dickha, yang lebih baik darinya.”

Air mataku terhenti seketika. Angan-anganku pecah, hancur ber keping-keping. Sewaktu aku mendengar “grekkk…” suara pintu menuju teras rumahku yang dibuka oleh ibu. Jari-jemariku mu lai meng- usap dua pipiku yang basah. Ibu mengajakku belanja. Aku berikir untuk ikut dengannya daripada aku di rumah hanya membuang-buang waktu untuk memikirkan dan merasakan kecewa yang amat sangat.

“Eh, kayaknya kita satu sekolah. Aku sering lihat kamu di sekolah. Boleh kenalan kaan? Aku Dicky.” Ucap seorang cowok yang bertemu dengaku di pusat perbelanjaan di Daerah Yogyakarta.

“Aku Puput” nadaku cuek, tak peduli dan tak mau tau lebih tentangnya. “Boleh kan aku minta nomernya?” bujuknya. Tengannya masuk ke saku belakang untuk mengambil handphone.

Jemarinya terlihat lincah memainkan hape dan mencatat nomorku. Setiap hari, Dicky mengirim pesan kepadaku. Aku heran, watakku yang yang acuh terhadap Dicky seolah tak membuatnya lelah untuk mengenalku lebih jauh. Dia selalu memperhatikanku. Perhatiannya melebihi seorang Dickha. Itulah yang membuatku penasaran dan ingin mengenalnya lebih jauh. Tuhan mempunyai rencana baru. Mungkin Tuhan tak ingin melihatku sedih terus-menerus. Meratapi kepergian pria yang telah menyakitiku. Aku mampu menghilangkan rasa sayangku kepada Dickha setelah aku mengenal lebih dekat sosok Dicky. Senyumnya yang lebih manis daripada Dickha, membuatku terpesona dan ingin menjadikannya sebagai pengganti seorang Dicka.

“Put, nih aku kasih...” kata Dicky ketika dia di hadapanku. Rasa binggung menghampiriku, karena Dicky memberikaku

setangkai mawar merah. “Ini eem..aksudnya apa? Ki... ta ja... dian gitu?” tanyaku terbata- bata. Dia menatapku. Bibir manisnya tersenyum lalu mengatakan sesuatu yang tak akan ku lupakan. “Put, bunga ini tanda sayang dan cinta aku ke kamu. Bukan karena aku pengin jadian sama kamu. Saat ini, bukan waktu yang tepat buat kita jadian.”

Hari ini adalah tepat hari ulang tahunku yang ke-17. Biasa orang menyebutnya dengan sweet seventeen. Tapi apakah sweet hanya ada pada seventeen? Lalu, bagaimana dengan eighteen, nineteen, twenty dan seterusnya? Apakah tidak sweet? Entahlah, tak begitu penting untukku. Yang pasti, untuk saat ini yang aku inginkan adalah kejutan yang tak terlupakan.

Sudah menjadi rutinitas warga SMA-ku, setiap ada yang ulang tahun pasti diceburkan ke dalam kolam ikan yang berwarna hijau pekat itu. Dengan aroma yang membuat orang segera menutup hidung jika lewat di dekatnya.

”Byuurrr…” suara air kolam ketika aku diceburkan teman- temanku. Aku kehilangan sepatuku. Mungkin sepatu itu tenggelam ke

da sar kolam. Aku berusaha naik ke darat. Tubuhku yang lumayan

ge muk ini menyusahkanku untuk mengangkat diriku sendiri. Salah seorang temanku merasa kasihan terhadapku. Segera, dia menjulurkan tangannya ke arahku. Aku menggenggam erat tangannya sambil dia menarik dengan sekuat tenaga dan alhasil aku naik ke daratan. Te- man-temanku berhamburan. Berlarian tak tentu arah. Mereka pergi meninggalkanku sendiri di pinggiran kolam. Termasuk teman yang menjulurkan tangannya untuk menolong aku tadi. Padahal, aku be- lum bertrima kasih padanya. Mereka semua lari. Karena, takut bila aku memeluk mereka dalam keadaan basah atau mendorong salah satu di antara mereka ke kolam yang tingginya sebahuku. Entah, ke mana mereka pergi pada waktu itu. Sewaktu aku pergi ke kelas, se muanya sudah pergi. Tidak ada satupun makhluk bernyawa yang dapat kulihat di siang itu. Aku berjalan ke belakang kelasku, melihat laci di meja-meja untuk mencari tas dan jaketku. Namun, tak kutemui jaket dan tas yang berisi handphone merah kesayanganku. Terdengar suara langkah kaki masuk ke kelasku. Terlihat seorang pria, membawa boneka panda yang bisa kupeluk sewaktu aku tidur. Aku melihatnya sambil menghampirinya,

“ Happy birthday, Puput. Aku sayang kamu!” katanya dengan wa jah yang lebih ceria dari biasanya. Kedua tangannya dijulurkan, dia memberiku boneka panda. “Dicky, makasih. Aku juga sayang kamu” balasku. “ Happy birthday…happy birthday…happy birthday Puput” suara itu

masuk ke dalam telingaku dan Dicky. Semakin lama, semakin jelas. Dicky dan aku bergegas keluar. Terlihat Dickha membawa kue ulang tahun dengan lilin yang membentuk angka 17, teman-teman satu ke lasku berbaris rapi, berjalan, di belakang Dickha. Wajah Dickha,

Se nyum Dicka, cara matanya menatapku sudah asing bagiku. Bahkan, aku merasa seperti melihat wajahnya untuk pertama kalinya.

“Put, selamat ulang tahun yaa… moga kamu langgeng sama Dicky. Aku mau ikhlasin kamu aja buat dia. Jangan pernah lupain aku, Put. Tiup lilin ini, jangan lupa buat make a wish” ucap Dicka.

Mataku terpejam sejenak, secepat kilat kenanganku bersama Dickha kembali terputar dalam memori. Aku membuat permintaan agar semuanya dilancarkan oleh Tuhan. Tak mampu kuberkata, kubuka mata, kupandang sekelilingku. Hatiku berkata

“Tuhan, ini bukan mimpi. Jika ini memang takdirku, akan aku terima.” Dengan tegas Dickha berbicara dengan Dicky ”Bro, apa artinya persahabatan kita selama enam tahun ini, kalo

kamu cuma mau khianatin gini. Maaf, aku mau cari temen baru, yang bukan seorang pengkhianat! Jagain Puput, kalo kamu sayang dia, jaga perasaannya!”

“Dickha…, denger penjelasanku dulu!” ujar Dicky. Dickha memberikan kue itu kepadaku dan bergegas meninggalkan

kami. Hati yang cerah ini kini menjadi gelap. Seperti mendung lalu hujan, terdapat petir di dalamnya dan angin topan tiba-tiba menerjang.

“Dicky, apa bener kamu sahabatan sama Dicka?” tanyaku dengan penuh kesabaran untuk menanti sebuah jawaban “iya”. “Mungkin, kamu kira kita cuma saling kenal dan bukan sahabat. Tapi, pada kenyataannya?! Kita sahabatan udah enam tahun. Aku gak pernah cerita. Soalnya, sebelum Dickha suka sama kamu, aku dah suka sama kamu duluan dan kamu gak pernah tahu. Tiap ada kamu di deket Dickha tiba-tiba aku ngejauh sama Dickha. Aku nggak pengin kamu tahu tentang persahabatan kita!”

Aku menghela nafas, mencoba menahan emosiku. Tuhan memiliki banyak cara untuk menghadirkan sebuah cinta.

Dan pasti dia akan memberikan aku seseorang yang baru selain Dickha dan Dicky, aku yakin! Kisah cinta selanjutnya akan lebih indah daripada ini. Aku berpikir, untuk menyatukan pecahan-pecahan gelas itu, impossible memang. Tapi, aku tetap akan berusaha. Meskipun, apabila disatukan pasti akan terlihat retakan-retakannya.

Satu pesan elektronik aku kirim untuk Dickha dan Dicky. Pesan itu bertuliskan “Kalau, kamu masih sayang aku, temuin aku setelah pulang sekolah di kelasku.” Aku tak menduga, Dickha dan Dicky datang. Mereka duduk di depanku, terlihat tidak akur. Saling melirik dan tak sedikitpun terlihat senyum manis dari wajah mereka.

Perlahan-lahan aku berkata “Sebenernya, kita bertiga ini sahabatan kok. Dickha maain Dicky

yaa..., dan Dicky maain Dickha yaa…. Aku tau..., kalian berdua sayang sama aku. Kalau kalian berdua bener-bener sayang aku, maafan dong..., pliss... Dicka, ini bukan waktu yang tepat buat kita ngejalin hubungan tentang cinta. Inget! bentar lagi kamu ujian, belajar yang bener, moga dapet sekolah yang kamu pengin selama ini. Dicky…, ini juga bukan waktu yang tepat buat kita ngerangkai bunga asmara itu. Bentar lagi kita juga mau ujian. Aku mohon banget sama kalian, buat nganggep aku sebagai sahabat aja....”

Hening. Mungkin mereka sedang berdiskusi dengan hati mereka masing-masing. Jantungku berdegup kencang menunggu keputusan mereka berdua. Lalu, aku memulai untuk bersalaman dan kami saling memaafkan. Ini sudah menjadi jalanku,

“Thanks God” Yah.. semenjak itulah kami menjadi tiga sahabat. Tiga sahabat

yang saling mengerti satu sama lain dan melalui roda kehidupan Tuhan yang begitu indah.