RUMAH MISTERI

RUMAH MISTERI

Aliia Nuralita Resqiana

Pagi yang cerah. Ah, bukan! Pagi yang sedikit mendung. Mentari masih malu menampakkan diri. Seorang gadis berkacamata berjalan melalui gerbang tua sekolah dasar. Tubuh mungilnya terbalut seragam putih-merah. Sepatu berwarna merah jambu, kaos kaki merah jambu, jam tangan merah jambu dan tasnya juga berwarna merah jambu. Gadis manis berkulit putih ini pun berhenti di depan ruang kelas VI. Ia menyisir rambut panjangnya dengan jari dan masuk ke dalam kelas. Dilihatnya kerumunan anak-anak mengelilingi meja pojok kanan. Meja Dodi!

“Sumpah! Aku denger sendiri dari Papaku!” ucap Dodi di tengah kerumunan anak-anak berseragam merah-putih.

“Ada apa sih? Ribut bener...,” tanya gadis merah jambu. “Aish, ketinggalan kamu, Pink! Udah telat!” seru Rangga sang

ketua kelas. “Makanya aku tanya ada apa!” emosi si gadis merah jambu ter- pancing. Fina, seorang murid hitam manis keluar dari kerumunan. Sebuah bandana putih menghias rambut pendeknya. Fina menghampiri Nadia, si gadis merah jambu, kemudian menceritakan berita heboh yang didengarnya dari mulut Dodi. Menurut cerita yang didengar Fina, semalam bapak-bapak yang tengah berjaga malam di pos ronda melihat seorang wanita pendek berbaju putih berlari ke arah kebun yang sangat luas milik Mbah Yadi. Bapak-bapak menyangka wanita itu pencuri, maka mereka mengejarnya. Mereka berpencar, berkeliling di kebun Mbah Yadi. Mengarahkan senter ke sana ke mari, tapi mereka gagal menemukan wanita tersebut. Sepertinya wanita itu masuk ke dalam rumah besar di tengah kebun. Rumah bercat putih yang kini

Mbah Yadi sempat tinggal di sana beberapa bulan sebelum akhirnya meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Surabaya. Kebun tak terurus, rumah juga tak terurus. Dan tak ada warga yang mau mengurus. Sejak Mbah Yadi pergi, jarang ada warga yang masuk ke rumah itu. Bukan jarang lagi, tak pernah, tidak ada yang berani masuk ke situ. Fina menceritakan semua itu kepada Nadia. Seorang anak laki-laki turut keluar dari kerumunan di meja Dodi. Namanya Bayu. Salah satu murid tampan di kelas VI. Alisnya tebal, hidungnya mancung, matanya seperti elang.

“Selama ini kita belum pernah pulang sekolah lewat situ, kan Pink?” tanya Bayu sambil menghampiri Nadia. “Belum dan nggak akan!” balas Nadia. Semenjak Nadia pindah dari Makassar ke Jogja awal semester

lalu, dia selalu pulang bersama Bayu dan Fina. Sekolah Dasar Kanisius berada di dusun yang sama dengan rumah mereka. Kurang lebih 150 meter jaraknya, namun ada banyak jalan pintas menuju ke sekolah. Salah satunya adalah kebun Mbah Yadi, kebun yang sedang heboh dibicarakan di kelas.

“Pulang sekolah nanti, aku bakalan lewat sana, dan kalian harus ikut!” kata Bayu. “Nggak!” seru Nadia dan Fina bersamaan. “Kalian harus ikut! Kecuali... kalian pengen buku ini dibaca

semua orang di SD.Kanisius!” Bayu berjalan menuju bangkunya, mengeluarkan sebuah diary berwarna kuning, membukanya, dan hendak membacanya.

“Bayu! Jangaaaaaan!” Fina berteriak sambil berlari ke meja Bayu. Nadia segera menyusul. Mereka pun kejar-kejaran di dalam kelas. Tiba-tiba Pak Mujono, Guru Bahasa Jawa masuk ke kelas. Semua murid panik dan segera duduk di bangkunya masing-masing. Bayu tersenyum licik ke arah meja Nadia dan Fina sambil sengaja menunjukkan diary kuning milik mereka. Kumpulan kisah hidup Bayu, Nadia, dan Fina ada di diary itu. Nadia mencurahkan seluruh isi hatinya dalam diary itu, Fina pun demikian. Setiap hari mereka bergantian menuliskan banyak

Selesai menulis, Bayu melemparkan bola kertas balik ke Fina dan Nadia. Membaca surat dari Bayu, mereka pun semakin emosi. Kini giliran Nadia yang menulis, kemudian melemparkan kertas ke Bayu.” Sumpah, Bay! Kamu jahat banget! Aku benci sama kamu!”

Bayu hanya tersenyum, ia tak membalas surat itu lagi. Jam pe- lajaran Bahasa Jawa selesai. Pak Mujono berjalan meninggalkan kelas, seharusnya sesaat kemudian Bu Sisil masuk kelas untuk mengajar Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi beliau berhalangan hadir. Kelas pun mulai ramai seperti pasar. Anak-anak berlarian dan saling melempar kertas. Beberapa sibuk bermain game di handphone mereka, termasuk Bayu. Nadia dan Fina menghampiri Bayu di mejanya.

“Balikin diary itu! Sekarang!” teriak Nadia. “Bay, itu rahasia! Cukup kita bertiga yang tahu! Jangan disebar-

sebar dong!” tambah Fina. “Aku udah kasih pilihan yang enak kan? Ikut aku lewat kebun itu, atau pengen seisi sekolah baca buku ini?” balas Bayu santai. “Nggak dua-duanya!” teriak Nadia lagi. “Duh, sayang banget, istirahat nanti temen-temen bakalan tahu

kalau sebenarnya... kalian.” Kata-kata Bayu terpotong, Nadia dan Fina memukuli lengannya. Mereka berusaha mengambil diary yang tergeletak di laci meja Bayu. Namun Bayu sudah lebih dulu mengambil diary itu. Mereka pun kembali kejar-kejaran, berebut diary kuning. Nadia berhenti mengejar

Bayu. Kakinya mulai lemas kelelahan berlari. Tenggorokannya pun terasa kering karena terus berteriak supaya Bayu mengembalikan diary nya. Namun Fina masih mengejar Bayu. Sampai pada akhirnya Fina terjatuh di sebelah meja guru karena menabrak Rian, murid culun berkacamata tebal. Rian membantu Fina berdiri. Fina tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Ia kembali duduk ke kursinya. Nadia segera menyusul Fina duduk. Tak ada pilihan lain lagi, mereka tak ingin diary itu dibaca orang lain. Ancaman Bayu berhasil membawa Nadia dan Fina masuk ke kebun Mbah Yadi. Pulang sekolah, mereka bertiga sungguh-sungguh pergi ke kebun Mbah Yadi. Mereka keluar dari lingkungan sekolah, berjalan ke arah selatan. Jalan setapak menuju kebun Mbah Yadi sudah tampak. Nadia dan Fina tampak sedikit takut melihat jalan menuju hutan, semakin dilihat semakin gelap, pohon-pohon pun merapat.

“Ayo!” seru Bayu sambil menarik tangan Nadia. Nadia menarik tangan kiri Fina. Mereka berjalan satu persatu

melalui jalan setapak yang sempit itu. Fina mulai ketakutan, terdengar suara Mamanya di telinga, “Fina jangan sekali-kali masuk ke kebun itu, Fina dengar mama, jangan pernah main ke situ!” Begitulah pesan mama Fina. Kata-kata mamanya terus terdengar ditelinga. Semakin jauh masuk ke dalam kebun, semakin keras suara itu, semakin erat pula Fina menggenggam tangan Nadia.

“Fina, ada aku, ada Bayu, jangan takut!” bisik Nadia, padahal dirinya sendiri ketakutan. Bayu tersenyum kecil melihat Nadia dan Fina yang ketakutan. Sok berani, padahal dalam lubuk hatinya, Bayu pun sedikit takut. Tiba-tiba Nadia berhenti di tengah jalan.

“Itu rumahnya!” Nadia menemukan sebuah rumah tua di tangah kebun. Mereka bertiga berlari menuju rumah itu. Cat putih sudah tak nampak putih lagi. Dinding bawah penuh lumut. Kaca jendela bening sudah tertutup debu tebal dan sarang laba-laba. Bayu mendekat ke pintu kayu.

“Bay,” bisik Fina. Dilihatnya bayangan di balik jendela berdebu. Fina mencengkram

lengan Nadia.

“Nad! Itu, Nad!” bisik Fina panik. “Apa? Mana?” tanya Nadia ikut panik melihat Fina ketakutan. Bayu hampir memegang ganggang pintu. Tiba-tiba pintu terbuka.

Seseorang membukanya dari dalam. “Halo? Permisi?” Bayu mencoba menyapa. Tangannya memegang ganggang pintu, membukanya lebih lebar.

Sebuah tangan pucat terulur dan menarik Bayu ke dalam rumah itu! Menyeret Bayu masuk dalam kegelapan.

“Aaaaaaa! Lepasin aku! Nadiaaa! Finaaa!” teriak Bayu sambil berusaha melepaskan tangan pucat itu dari lengannya. “Bayu!!!” teriak Nadia dan Fina bersamaan. Mereka ketakutan sambil terus meneriakkan nama Bayu. Mulut

Bayu pun tak ada henti-hentinya memanggil nama Nadia dan Fina. Seorang wanita! Orang yang memasukkan Bayu ke dalam rumah adalah seorang wanita! Ia mendudukkan Bayu pada kursi kayu dan mengikatnya kuat-kuat. Dililitnya tangan dan kaki Bayu dengan tali merah. Bayu terus saja berteriak ketakutan. Bajunya basah karena keringat yang mengalir hebat. Wajah Bayu sudah pucat ketakutan. Tak terasa air matanya meleleh membasahi pipi. Merasa terganggu dengan teriakan Bayu, wanita itu merobek baju lusuhnya yang bau dan membungkam mulut Bayu dengan robekan baju.

Bayu menggoyangkan tubuhnya ke kanan ke kiri, berusaha bergerak, ingin melarikan diri. Ikatan itu terlalu kuat untuk bocah kurus seperti Bayu, tentu saja Bayu tak dapat melepaskan ikatan itu dengan gerakan tubuhnya. Bayu menyerah, berusaha menenangkan diri. Diperhatikannya wanita yang menangkapnya, kini wanita itu mengamati Bayu. Rambutnya panjang tergerai. Ia sangat bau, sangat kotor! Ia mengenakan celana pendek coklat yang sudah robek. Bajunya putih kekuning-kuningan. Wajahnya pucat menyeramkan. Matanya bulat dan besar, alisnya tipis. Bibirnya tersenyum jahat melihat Bayu. Tiba-tiba wanita itu menangis histeris. Nadia yang hendak masuk ke dalam rumah itu langsung mundur menjauh. Fina menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Wanita di dalam rumah masih menangis histeris. Matahari sudah bergerak jauh ke barat, hari mulai petang. Tangisan histeris wanita itu membuat kebun Mbah Yadi empat kali lebih menyeramkan! Sekumpulan warga yang sedang bekerja

“Apa itu?” tanya salah satu warga yang menghentikan pekerja- annya. “Ah, paling-paling orang gila yang kemarin nangis di depan rumah Pak Heru, yang kemarin itu, lho,” warga lain menanggapi sambil menyapu pos ronda.

“Beda, Pak! Suaranya Zulpeng nggak kayak gitu. Ayo kita lihat, Pak!” balas seorang warga yang tadi mendengar suara tangis wanita dari dalam kebun.

“Bereskan ini dulu, baru kita cek ke sana!” kata warga yang lain. Nadia memberanikan diri, ia mulai langkah pertamanya menuju

ke pintu rumah, ia ingin menolong Bayu, sangat ingin mengeluarkan Bayu dari situ. Tetapi Fina terus mencengkram tangan Nadia.

“Fina lepas! Kita harus tolong Bayu, Fin!” teriak Nadia. “Ta, tapi bahaya, Nad! Kita cari bantuan dulu!” kata Fina sedikit

takut dengan bentakan Nadia. Nadia menangis. Fina semakin kuat menahan Nadia untuk tak masuk ke dalam rumah. Nadia berusaha lebih kuat untuk melepaskan cengkraman Fina. Tiba-tiba pintu rumah terbanting. Tanpa sengaja cengkraman Fina lepas. Nadia berlari ke pintu rumah. Membuka pintu dengan tangan kecilnya yang gemetar menahan takut. Gagal! Pintu itu terkunci! Diketuknya pintu itu keras-keras. Berusaha membukanya, terus berusaha membuka pintu kayu itu.

“Bayu?! Bayu?!” teriak Nadia memanggil Bayu. Fina berdiri terpaku. Menatap Nadia yang panik karena tak

dapat membuka pintu. Kaki Fina gemetaran. Keringat bercucuran membasahi wajahnya yang pucat ketakutan.

“Fina, lari panggil warga! Lari!” teriak Nadia sambil menatap Fina. Fina mengangguk dan segera lari keluar kebun. Berlari sekuat tenaga. Kakinya yang kecil tersandung akar pohon. Fina terjatuh. Lututnya mendarat di bebatuan dan berdarah. Tak dihiraukannya rasa sakit itu, ia berusaha bangun dan berlari lagi. Lari melalui jalan setapak yang sempit. Lari! Lari! Ia berhasil keluar dari kebun Mbah Yadi. Berlari lagi mencari warga.

“Tolooong! Toloooong!” Fina berteriak minta tolong. Sekumpulan warga yang sedang bekerja bakti membersihkan

pos ronda mendengar teriakan Fina. Mereka mencari sumber suara. Rupanya seorang gadis pucat berseragam putih-merah berdiri di dekat rumah Pak Abimanyu, salah seorang polisi yang tinggal di daerah situ. Warga menjumpai Fina. Menanyakan apa yang terjadi.

“Bayu masuk ke rumah putih, Pak. Ada orang di dalam rumah itu! Rumah di tengah kebun! Tolong temanku, Pak. Orang itu mengunci pintunya,” jelas Fina ngos-ngosan, nafasnya tersengal-sengal setelah berlari.

Fina mulai menangis. Ia panik dan takut. Pak Abimanyu keluar dari rumah setelah mendengar ribut-ribut di depan rumahnya, masih mengenakan seragam polisi lengkap karena baru saja pulang dari bertugas. Warga meminta Pak Abimanyu menemani warga masuk ke rumah itu. Mereka segera berlari menuju ke rumah tua di tengah kebun. Nadia semakin keras menangis, ia masih meneriakkan nama Bayu. Pukulannya terhadap pintu semakin lama semakin melemah. Nadia hampir putus asa. Pipinya basah air mata, tubuhnya basah penuh keringat.

“Lepasin, Bayu! Buka pintunya! Tolong lepasin, Bayu!” teriak Nadia. Tiba-tiba Nadia berhenti menangis. Dilihatnya batu sebesar kepalan tangan tepat di bawah jendela. Nadia mengambil batu itu. Berjalan mundur empat langkah dari pintu. Menatap kaca jendela, bersiap-siap melemparkan batu. Satu... dua... Pyaaaaarrrrr! Batu dari tangan Nadia meluncur... Memecahkan kaca berdebu. Wanita berparas menyeramkan di dalam rumah terkejut mendengar suara kaca pecah. Ia berjalan menuju jendela yang pecah. Rumah begitu gelap. Pecahan kaca menusuk telapak kaki wanita pucat itu. Ia mengaduh, mengerang kesakitan. Darah mengalir dari telapak kakinya. Wanita itu berjalan menjauhi jendela, tetapi justru semakin banyak pecahan kaca yang menusuk telapak kakinya. Dia terjatuh. Mengerang kesakitan, men- cabut kaca-kaca yang menusuk telapak kakinya. Darah mengalir semakin deras. Fina dan warga sekitar berlari lebih kencang setelah mendengar suara wanita mengerang. Mereka tiba! Fina memeluk Nadia dari belakang. Kakinya sudah tak sanggup berdiri lagi. Ia begitu

“Bayu...,” panggil Fina lirih. Mendengar Fina memanggil nama Bayu, Nadia pun menangis

lebih keras. Warga bersama Pak Abimanyu mendobrak pintu rumah. Pak Abimanyu mengeluarkan senter kecil dari sakunya. Cahaya senter berkeliling ke kanan dan ke kiri. Pada akhirnya berhenti sekitar satu setengah meter dari jendela yang pecah. Pak Abimanyu tak asing lagi melihat wanita yang kakinya berlumuran darah. Wajah pucat, bibir pecah-pecah dan mata menyeramkan, ini bukan pertama kali Pak Abimanyu bertemu dengannya. Tanpa pikir panjang, Pak Abimanyu segera mengeluarkan borgol dari saku belakangnya dan memborgol tangan wanita itu. Sementara itu, warga menemukan Bayu dan melepaskan ikatan tali yang melilit badan Bayu. Tangan Bayu sangat dingin, tubuhnya gemetaran, wajahnya pucat ketakutan, Bayu masih menangis. Seorang warga memeluk Bayu, berusaha menenangkannya dan membawanya keluar dari rumah itu. Bayu ngeri melihat lumuran darah di kaki wanita yang mengikatnya. Wanita itu melotot menatap Bayu yang tengah lewat di depannya. Matanya menatap Bayu dengan penuh amarah, seakan hendak menerkam dan mengunyah tubuh Bayu. Yang dapat Bayu lakukan hanya memejamkan mata dan mem percepat langkahnya untuk meninggalkan rumah itu. Melihat Bayu keluar, wanita itu berteriak histeris, menggoyang-goyangkan tubuhnya, berusaha melepaskan borgol di tangannya. Nadia dan Fina melepas pelukan mereka setelah melihat Bayu keluar dari rumah. Mereka berteriak bersamaan memanggil nama Bayu. Mereka berlari menjumpai Bayu dan memeluknya erat. Tiba-tiba Nadia melepas pelukan Bayu dan Fina. Nadia menatap Bayu beberapa detik kemudian memukul bahu Bayu.

“Ini gara-gara kamu! Semuanya gara-gara kamu!” teriak Nadia sambil terus memukul bahu Bayu. Semakin lama pukulan Nadia semakin lemah. Fina dan Bayu memeluknya lagi. Mereka menangis lagi. Sesaat kemudian Ayah Nadia, Mama Bayu dan Mama Fina datang. Ketiga orang tua itu pun me meluk anaknya masing-masing. Beberapa warga memberitahu

Beberapa polisi datang ke rumah itu, bertemu dengan Pak Abimanyu kemudian membawa wanita berborgol pergi dari situ. Rupanya wanita itu adalah Martini. Seorang ibu berusia 47 tahun yang mengalami kelainan jiwa. Ia melihat anaknya bunuh diri dengan menggantung di dalam rumah kecilnya di daerah Gamping, Sleman. Semenjak saat itu Martini mengalami kelainan jiwa. Seminggu yang lalu dia membunuh seorang anak laki-laki 11 tahun yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Setiap melihat anak laki-laki, ia hendak membunuhnya dengan alasan agar anak yang ia bunuh dapat menemani putranya di surga. Pak Abimanyu sudah menangkap Martini sehari setelah ia membunuh keponakannya, namun Martini berhasil kabur dari kantor polisi dan bersembunyi di bekas rumah Mbah Yadi tersebut.

“Tenang, nak. Semua sudah aman sekarang. Bapak, Ibu, awasi putra-putrinya dengan baik, jangan sampai terjadi hal semacam ini lagi,” kata Pak Abimanyu.

Beliau mengucapkan terimakasih kepada warga sekitar yang membantu proses penangkapan Martini dan membantu menyela- matkan Bayu. Orang tua Bayu, Nadia dan Fina pun tak lupa mengucap- kan terimakasih kepada Pak Abimanyu dan warga sekitar yang telah menyelamatkan putra-putri mereka dari Martini. Nadia dan Fina melepaskan pelukan orang tuanya. Mereka berjalan perlahan ke arah Bayu dan memeluknya erat-erat.