LIBURAN YANG TERTUNDA

LIBURAN YANG TERTUNDA

Farah Rindhita Bestari

Sore itu, aku hanya termenung duduk di dekat jendela yang ada di kamarku. Aku belum bisa menerima sepenuhnya kepergian Ayah untuk pergi kembali ke luar kota menjalankan tugas pekerjaannya itu. Tak bisa kubayangkan betapa heningnya rumah ini jika tanpa ada sosok Ayah. Aku dan Bunda tidak begitu akrab. Entah, aku tak bisa dekat dengan Bunda. Hanya Ayahlah satu-satunya orang yang paling dekat denganku. Ayah yang selalu mengerti perasaanku, memberi perhatian, dan menghiburku disaat aku tak tersenyum.

“Bella …. Buka pintunya !!! turun ke bawah nak, ayo makan!! Bunda perhatikan daritadi kamu di kamar terus. Lihat, lauk di meja makan belum berkurang. Kamu belum makan ya nak ?” Lamunan ku terbuyar tiba-tiba ketika mendengar suara Bunda dari luar pintu kamar.

“Iya Bun, nanti juga Bella pasti makan kok”. Jawabku malas. “Ya sudah, Bunda tunggu di bawah ya”, kata Bunda. Kubuka

pintu kamar, lalu menuju ke meja makan. Karena tak nafsu makan, aku hanya mengambil nasi sebanyak 1 centhong. Rasanya, semua makanan yang ada di meja makan ini tak enak untuk ku lahap. Padahal, aku paling suka dengan masakan Bunda.

“Telepon dari siapa Bun?” Tanyaku. “Oh… Ayah”. Kata Bunda. “Barusan, yang ngobrol dengan Bunda di telepon itu Ayah?

Kenapa Bunda tidak bilang sama Bella? Bella kan juga ingin ngobrol dengan Ayah”. Kataku kecewa.

“Bunda bilang ke Ayah, kalau Bella lagi makan. Tapi Ayah janji nanti akan nelpon lagi Bell…” “Benarkah? Kalau begitu, Bella tunggu telepon Ayah di taman ya Bun?”

“Iya nak”. Jawab Bunda tersenyum padaku. Kemudian, saat di taman. Kring … Kring … ! “Bel, bunyi telepon tuh. Angkat lah !” “Iya Bunda”. Jawabku dengan semangat kepada Bunda. “Hallo, Assalamuallaikum …” “ Wa’alaikumsalam nak, bagaimana kabar anak Ayah yang cantik

ini?” “Tentu baik Ayah. Tapi, sedikit sedih”. “ Lho? Kenapa sedih Bella sayang??” “Habisnya, Ayah tidak di rumah.” Kataku manja. Tiba-tiba

terdengar suara Ayah sedang tertawa. “Uhh .. kok ketawa sih yah? Emang ada yang lucu ya?”

“Ya iyalah Bella, lagian kamu baru Ayah tinggal beberapa hari saja sudah sedih begitu”. “Namanya juga kangen. Ayah kan tau, aku paling dekat dengan Ayah. Tidak sama Bunda, tidak sama yang lain”. Kataku. “Iya Bella sayang, Ayah tahu itu. Tapi kamu sudah dewasa nak, kamu harus mandiri, tanggung jawab, dan menjaga amanah. Jaga Bunda baik-baik di sana. Jangan biarkan Bunda kesepian. Dia juga merasakan hal yang sama. Ketika kamu jauh dari Bunda, sama seperti Ayah jauh dari Bella”.

Tak terasa, air mataku menetes tiba-tiba. Apa yang dikatakan Ayah itu benar. Selama ini aku tak bisa dekat dengan Bunda. Aku pun menjawab pesan Ayah dengan nada tersedu-sedu. Iya Ayah, Bella janji. “Ya sudah kalau begitu sampai di sini dulu ya nak, besok kalau ada waktu luang Ayah akan menelponmu lagi dan Bunda”. pesan Ayah.

“Oke Ayah.” kataku ceria. Aku tak ingin sedih di hadapan Ayah. Aku harus buktikan bahwa aku adalah Bella yang kuat.

Hari ini, aku bangun tepat pukul 05.00 pagi. Aku bergegas untuk berwudhu dan melaksanakan shalat subuh. Setelah itu, mandi dan memakai seragam. Lalu menuju ke meja makan untuk sarapan. Kulihat, Bunda sedang mempersiapkan semuanya di atas meja. Kurasa, semua yang di siapkan tak lain adalah semua kebutuhanku.

Setiap hari, aku berangkat sekolah diantar dan dijemput oleh bang mamat menggunakan mobil. Sesampainya di sekolah, aku berpa-

Hmm… udara kali ini sejuk sekali. Aku sengaja mampir ke taman sekolah. Taman sekolah memang banyak di favoritkan oleh anak-anak di sekolah ini. Karena banyak fasilitas yang memadai. Seperti, hotspot area, kuliner area, pendopo, tempat duduk di sekeliling taman, dan masih banyak fasilitas lainnya. Aku memilih duduk di dekat kolam ikan. Gemericik air yang terdengar membuat suasana di pagi hari ini menjadi sunyi dan tenang.

Suasana sedang hening. Tiba-tiba Pak Banu menegurku dan sahabatku Ika yang sedari tadi asik mengobrol dan tidak memper- hatikan pelajaran matematika.

”Siapa yang ribut?” Tanya Pak Banu sembari menoleh ke anak- anak. “Upss ! Pak Banu tuh Bell, kata Ika panik”. “Nah, ketahuan kan siapa yang habis ribut tadi. Sekarang,

untuk Ika dan Bella, bapak kasih pertanyaan! Kalau kalian tidak bisa menyelesaikan soal matematika dari bapak, kalian harus bersihkan WC sepulang sekolah”.

“Iya pak, kita terima konsekuensinya”. “Berapakah hasil dari penyelesaian soal berikut?” Tanya Pak

Banu menunjuk kearah papan tulis.

“Aduh Bell, gimana dong? Aku tidak bisa”. Ucap Ika panik. “Tenang, ada aku. Soal itu mah, gampang banget”. Dalam waktu

satu menit aku sudah selesai menjawab pertanyaan dari Pak Banu. Aku berdiri dari kursi dan segera memberikan jawaban pada beliau. Setelah duduk kembali, …

“Selamat! Bella dan Ika kalian tertunda untuk membersihkan WC”.

Sontak, Ika memelukku erat dan aku hanya tersenyum lega. “Makasih ya Bella, untung ada kamu, Kalau tidak, mungkin aku akan berurusan dengan wc. Kamu memang jago deh soal matematika”.

Tidak!! Aku tidak menyangka, aku tidak percaya, bahkan aku tidak tahu apa yang telah terjadi kepada ayah. Ayah pergi mening- galkan bella dan bunda selamanya. Mengapa? Tuhan, mengapa Ayah pergi mendahului kami? Jika engkau mengizinkan, ambilah aku untuk Engkau jemput. Hamba tidak bisa menerima semua ini. Padahal, baru saja kami menghabiskan waktu bersama untuk berlibur di jogja. Tapi kenapa engkau merebut kebahagiaan kami dalam sekejap?

Lalu, semua pandanganku menjadi gelap. “Ayah!!!” Aku terba- ngun dari tidurku. Kulihat di kaca cermin rias. Air mata menetes membasahi pipi. Mimpi itu sangat mengerikan dan membuatku sedih. Hingga aku terbangun pun, air mataku masih menetes. Segera aku melaksanakan shalat Ashar. setelah itu aku berdoa agar apa yang telah terjadi dalam mimpiku hanyalah khayalan semata. Aku juga menyertakan bunda dalam doaku.

Jam menunjukan pukul 19.30 wib. Namun bunda belum kunjung pulang. Heran, biasanya Bunda menelponku jika pulang terlambat ke rumah tapi kali ini tidak memberiku kabar. Mungkin Bunda lagi sibuk dengan clien nya, pikirku. Walau sudah menenangkan hati, tetap saja aku masih khawatir dengannya. Malam itu, aku memutuskan menunggu Bunda di ruang keluarga di temani dengan TV yang me- nyala, sambil tiduran di sofa. Nampaknya aku mulai mengantuk, hoamm… aku tertidur. Satu jam kemudian, ting.. tong.. dengan nyawa yang masih belum terkumpul dan mata terbuka setengah sipit, kulihat sosok ibu-ibu berada di depanku mengenakan jilbab dan membawa tas.

“Bunda?” “Maaf ya Bella, bunda tidak sempat memberimu kabar. Bunda

juga terlambat pulang ke rumah, ada clien Bunda dan harus metting mendadak”.

“Oh iya Bun, tidak apa-apa”. Jawaban itulah yang selalu kuberikan kepada kedua orang tuaku atas kesibukan pekerjaan mereka karena telah terbiasa oleh alasan itu.

Hari terus berganti, waktu telah berlalu. Tak terasa begitu cepat ku lalui. Dua minggu yang lalu, aku telah menempuh UKK dan seminggu yang lalu adalah pengambilan rapor. Aku tidak menyangka mendapat juara 1 dikelas. Itu berarti, aku masih bisa mempertahankan prestasiku. Kebanggaan itu bukan hanya di rasakan olehku. Bunda pun begitu bangga dan bahagia. Tak lupa, aku memberi kabar kepada ayah. Ayah sangat meresponnya. Bahkan, ia berjanji akan memberiku hadiah untuk berlibur bersama. Kami akan berlibur setelah Ayah selesai bertugas di luar kota dan Ayah akan pulang kembali ke Jogja. Ia akan pulang dua hari lagi.

“Memangnya mau kemana sih? Repot sekali”. Goda Bunda ketika melihatku sedang packing. “Mau liburan dong Bunda,” jawabku. Besok, kita akan berlibur bersama. Bunda dan Bella tidak kesepian lagi dan Bella tidak mau mendengar alasan dari Ayah dan Bunda soal kesibukan.

“Bella anakku, kau begitu senang?” “Tentu saja Bunda” “Kalau kau bahagia, Ayah dan Bunda lebih bahagia dari apa

yang Bella rasakan”. “Benarkah?” Air mataku seketika menetes saat berada di pelukan Bunda. Kini, adalah saat yang di tunggu. Kita akan berangkat menuju kota Malang. Aku dan Ayah memasukan semua barang-barang yang akan di bawa ke dalam bagasi mobil. Sepanjang perjalanan, Ayah menceritakan pengalamannya ketika dulu Ayah berlibur bersama keluarga. Cerita itu sungguh menyenangkan. Keadaan lalu lintas begitu ramai dan padat. Maklum saja, kota Jogja selalu di penuhi wisatawan domestik maupun mancanegara saat liburan sekolah. Begitu banyak para pengemudi yang saling salip menyalip kendaraan lainnya. Ketika kendaraan sudah mulai lengang, tiba-tiba mobil yang berada dari lawan arah menerobos mobil di depannya. Dan saat itu …

Duuaarrr !!!! mobil itu menabrak mobil yang kami kendarai. Entah apa yang tejadi, aku tidak sadarkan diri selama beberapa menit. Setelah sadar, aku berbaring di tempat tidur dalam sebuah ruangan. Saat itu, ada seorang suster yang berada di sampingku.

“Bella ada di mana?” “Mbak lagi ada di rumah sakit,” jawabnya. “Bagaimana dengan Ayah dan Bunda, Suster?” “Mbak tenangin diri dulu, nanti dokter akan kabarkan kondisi

orangtua Mbak,” jelas suster itu. Terdengar bunyi pintu yang diketuk. ”Selamat malam, dengan Bella?” “Iya dok, saya Bella”. Belum sempat menjelaskan, dokter itu nampaknya cemas untuk mengatakan padaku. Raut wajah dokter itu juga tidak meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.

“Saya harap, nak Bella bisa menerima keadaan ini. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin namun takdir berkata lain.” “Apa??? Apa maksud dokter pada saya? Ayah dan Bunda tidak mungkin meninggalkan Bella sendirian (dengan nada terengah-engah dan menangis tersedu).”

“Mohon maaf, beliau telah berpulang. Kejadian naas tersebut sudah menjadi takdir”.

Aku adalah Bella. Ya, Nadine Aurabella Pratama. Aku seorang yatim piatu. Sebulan yang lalu, Dokter memberitahu bahwa Ayah dan Bunda telah tiada. Orang yang satu-satunya selamat dari kecelakaan itu hanyalah aku.

Ketika aku terdiam termenung Aku merasakan sesuatu Aku tak tahu apa yang kurasakan Mungkinkah ini perasaan rinduku? Entahlah …

Ketika aku terdiam Semua terasa hampa

Sunyi,senyap dan sepi … Tuhan …

Mengapa semua datang begitu cepat Aku belum siap untuk menerima semua ini

Kini aku hanya tinggal sendiri … Ayah, Bunda aku rindu padamu Andai waktu dapat terulang … Ku ingin bahagia itu milik kita Bersama … Dan menjadi kenangan abadi