Nabela Maharani Pranadita

Nabela Maharani Pranadita

Kalau saya harus menyebutkan hal apa yang paling saya benci di dunia, hal itu ialah ketika manusia tak saling menghargai adanya perbedaan budaya. Karena untuk membangun tata dunia baru yang lebih demokratis, egaliter, dan adil perlu instrumen yang bersifat universal, salah satunya ialah budaya. Karena budaya tidak memandang stratiikasi maju atau sedang berkembang, dunia pertama atau dunia ketiga. Tetapi dewasa ini, sering kubaca berbagai macam berita mengenai “perbedaan budaya yang memberi jarak dan ruang tertentu”. Hal itu yang semacam memberiku dorongan untuk lebih mengenal perbedaan. Ya tentu aku harus mengenalnya.

Di sekolahku yang baru ini, sering kutemui kakak kelas yang mengandalkan senioritaslah, kekuasaan mereka sebagai pengurus osis, atau yang lainnya. Dan cenderung banyak diantara mereka yang menganggap acuh tak acuh terhadap anak baru yang berbeda kebudayaan dengan mereka, itulah yang kini sedang kualami.

“Zaiiinnnnn !!!” suara keras mengagetkanku yang sedang mencoba mengakrapkan diri dengan teman-teman baruku. “Masya Allah Sarah, ada apa?” tanyaku sambil membenarkan kacamata yang bertengger dihidungku. “Zain...ikut gue yuk. Ada anak pindahan dari Bali. Cowoknya keren banget loh” kata Sarah dengan wajah sumringah. “Ah apaan sih Sar. Parno ihhh” jawabku mengerutkan kening Tanpa menggubris perkataanku, Sarah menarikku berlari

menuju pinggir Hall. Kulihat sekeliling tampak kerumunan anak-anak berseragam putih abu-abu layaknya lautan manusia. Aku yang mulai bosan tapi diselimuti rasa penasaran mulai menyelinap satu persatu mencari sela dari orang-orang yang berjubel pa dat nya. Ketika aku mulai sampai dibarisan depan, samar-sa mar kulihat lelaki berpostur

“Hei Zain” kata Sarah menepuk pudakku. Releks saja aku tersentak dengan wajah kebingungan, karena ketika aku sedang dalam kondisi setengah melamun tadi yang ada diotakku hanyalah tebakan-tebakan tentang siapakah sosok itu tadi.

“Duh Sarah. Ngagetin aja!” jawabku. “Lah. Kamu kenapa pejamin mata gitu? Kamu miring ya yah

lihat cowok itu tadi? Hahaha. Apa gue bilang, Dia cowok keren kan?” tanya Sarah mengedipkan mata

“Ah apaan sih. Biasa aja tuh” jawabku singkatlalu menjauh dari kerumunan anak-anak SMA ku yang lain. Aku melangkah perlahan menuju kelas dan mengambil buku diaryku kemudian pergi menuju perpustakaan. Ya perpustakaan. Perpustakaan ialah tempat faforitku, karena disana aku bisa meluapkan apapun yang sedang aku rasakan melui coretan bolpen pada diaryku tanpa ada yang mengganggu. Kutarik bangku perpustakaan secara perlahan, seolah tak ingin melukai lantai karena bergesekan dengan kaki-kaki bangku.

Baru saja kubuka lembaran buku diary dan kulepaskan tutup bolpen, entah mengapa pandanganku tertuju pada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan rak tumpukan novel yang berada tepat lurus disamping kananku. Inginku menegur sapa, tapi aku masih heran siapakah dia? Apa aku pernah mengenalnya?

Kesunyian menggantung. Alam terasa berhenti berdetak. Bahkan nafas tertahan. Jelas sekarang, untuk berucap satu kata membutuhkan

keberanian selaksa. Untuk menguntai kata butuh tekad membaja. Saat ini tak ada keberanian, tak ada tekad. Tak tahu apa yang swebenarnya terjadi. Tapi kesunyian tak akan abadi.

Baru kalimat itu yang aku tulis pada buku diaryku ini setelah kudengar derapan sol sepatu yang mengarah menghampiriku. Segera aku tutup buku diaryku dan menolehkan kepala kearah kanan.

“Zain yaa?” sapa seseorang membuyarkan lamunanku. Sejenak kuperhatikan dengan seksama sebelum aku menjawab sapaannya. “Aldi?” tanyaku dengan ragu-ragu. “Iya Zain. Ini aku Aldi, teman masa kecilmu.” Obrolan demi obrolan seolah tak memberi kesempatan pada sang

waktu untuk sejenak saja menghentikan celotehan lucu dan gelak tawa yang terselip diantara dua pasang mata. Tapi jam sudah menunjukkan pukul dua siang, waktuku untuk pulang dsari kegiatan sekolah yang aku mulai bosan karena seminggu ini dipenuhi oleh pertandingan classmeeting yang memaksaku mau tak mau harus tetap berangkat sekolah untuk menyuport teman-temanku yang bertanding. Hmmm.... lain dengan hari ini, rasanya aku tak ingin sesegera itu bergegas pulang dan mengakhiri pertemuanku hari itu dengan sosok lelaki yang sejak dulu singgah dihatiku.

“Zain..., sudah siang nih, pulang yuk” ajak Aldi tersenyum. “Oke, Al” jawabku sambil memandang matanya. “Bareng aku saja Zain, aku juga ingin bertemu kedua orang

tuamu, sudah lama aku tak bertemu mereka, kata Aldi. “Hemm...gimana ya? Baiklah.” Jawabku dengan sok jual mahal. Segera saja kami langkahkan kaki menuju parkiran meng hampiri

mobil sedan hitam milik Aldi. Dibukakannya pintu mobil itu untukku. “Ayo masuk Zain...” kata Aldi lembut. “Iya..makasih ya Al.”

Sepanjang perjalanan rasanya aku kembali mengulang masa-masa kebersamaan kami dulu yangnterenggut oleh jarak yang akhirnya berubah menjadi penghalang untaian ceerita kami. Jika ku boleh mengeluh, ingin ku menangis saat itu, aku yang berusaha mempertahankan hubungan semasa awal SMP kami pada akhirnya terakhiri tanpa sepatah katapun. Semua itu terasa menggantung. Tapi kini, aku ingin bersyukur..ia telah kembali, ia telah tumbuh menjadi sosok lelaki yang masih sama seperti dulu, masih kukagumi. Hemm.. entahlah apakah ada kesempatan untukku sejenak mengulang semua itu?

“Zain...rumah kamu sudah pindah lama?” tanya Aldi mengalihkan pikiranku. “Oh enggak sih Al....baru aja kok” jawabku melempar senyuman. “Lalu bolehkah aku tanya bagaimana nasib rumah pohon kita

dulu?” Pertanyaan itu seakan bereputar-putar diotakku. Aldi menanyakan sesuatu yang tak aku kira sebelumnya. Apakah ini artinya dia masih mempunyai harapan dan keinginan untuk bisa kembali seperti dahulu saat kita masih bersama? Ah ini mungkin khayalanku yang terlalu tinggi.

“Hei Zain. Kok malah melamun?” tanya Aldi memecahkan lamunanku “Em..oh itu. Masih bagus kok. Setiap hari setelah keperginmu ke bandara, aku selalu membersihkan tempat itu. Tapi setelah kepindahanku kesini, aku tak tahu bagaimana kondisi tempat itu sekarang” jawabku sambil sesekali memandanginya.

Ah entah apa ini, kenapa kalimat itu bisa saja keluar dengan mudahnya. Padahal seharusnya aku menjawabnya seolah aku tak mau tahu dengan keadaan tempat penuh kenangan itu. Tapi sudahlah, sudah telanjur terucap juga.

“Jadi....kamu masih setia menjaga tempat kita itu?” tanyanya dengan wajah berseri. “Emm...sudah jangan dibahaas lagi deh ya” jawabku seolah tak ingin mengungkit-ungkit. Ya memang benar akubtak lagi ingin mengungkit kenangan bersamanya, karena itu hanya membuatku seolah merasakan lagi betapa sakitnya ketika perjuangan tidak dihargai.

“Eh Zain.. udah sampai nih” kata Aldi yang mengalibikan hal tadi. Seketika Aldi keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untukku. “Oh iya Al..ayo masuk”tawarku pada Aldi Kami berduapun masuk ke dalam rumah. Tapi tak kulihat

satupun orang tuaku berada di rumah. “Papa...Mama...” teriakku ke setiap sudut rumah.

“Oh Zain. Mungkin mereka sedang keluar. Kalau begitu bolehkah aku mengajakmu keluar sebentar?” ajak Aldi langsung meraih tanganku dan mengajak ke mobil.

Obrolan demi obrolan yang membangun suasana tergambar dengan jelas ketika kami berada dalam mobil. Tetapi tatapanku mulai tidak fokus ketika aku merasa jalanan yang kami lewati sudah tidak asing lagi bagiku. Oh itu ternyata itu jalan menuju rumah pohon kenangan kami dulu.

Sampailah kami tepat di depan rumah pohon itu, tapi tak satupun kalimat terlontar dari bibir kami. Kami hanya diam saling memandang. Tiba-tiba perlaha Aldi membuka pintunya seolah tak ingin ada orang yang mendengar ia membuka pintu. Dilangkahkannya kaki perlahan namun pasti mendekat kearah rumah pohon yang sudah lima tahunia tinggalkan. Aku membuka pintu dan berjalan kearahnya. Aku tepuk pundaknya seraya berkata

“Maafkan aku Al, mungkin aku tak bisa merawatnya sebaik kita berdua merawatnya dulu”. Tanpa menjawab, ia menggenggam tanganku dan menarikku menaiki tangga rumah pohon. Aku merasakan suasana keakraban yang sangat aku rindukan. Aku merasa hanya dia yang mampu membuatku bercerita semua keluh kesahku dan cerita manis pahit kehidupan ini.

Hari itu hari Rabu, 9 September 2012. Masih kuingat jelas dalam memoriku, bahwa pada tanggal yang sama 6 tahun yang lalu, Aldi meninggalkanku tepat di bawah pohon waru yang kini sedang kulihat puncaknya.

Sepulangnya dari tempat kenangan itu, entah mengapa kakiku melangkah kesebuah ruangan kecil di sudut rumahku. Ruangan itu tak pernah lagi kukunjungi sejak hari pertama aku menempati rumah itu. Kubuka pintu bercat putih itu pelan-pelan. Kutengok dan kupandangi

sejenak sekeliling isi ruangan berukura 3x3 m 2 itu. Terhampar beberapa kardus di depanku. Kudekati kardus yang di dalamnya terdapat album foto berdebu dan diorama. Sesaat setelah itu, kuputar diorama berisi kenangan masa lalu sembari kubuka lembaran foto. Entah mengapa aku menitikkan air mata ketika kulihat fotoku bersama Aldi masa lalu. Oh Tuhan, mengapa ini masih kusimpan?

“Zaiinn....Zaiinnn” teriak seseorang dari luar pintu. Teriakan itu membuatku sontak kaget dan menjatuhkan beberapa

foto dalam genggamanku. “Eh kamu ngapain ke sini Sin?” tanyaku pada Sinta. Sinta adalah tetanggaku sebelah yang sudah kuceritakan sebagian besar kisahku dimasa lampau.

“Zain..coba deh kamu buka twitter sekarang. Liat tweetnya Aldi... dia bilang besok mau pergi ke Singapura soalnya mau....” “Apa kamu bilang? Serius?” jawabku memotong kalimat Sinta Belum juga Sinta sempat menjawab, aku berlari menaiki anak

tangga menuju kamarku. Kubuka laptop dan segera mungkin kubuka jejaring sosial yang dimaksud oleh Sinta. Ternyata benar, diakun Aldi dituliskan tweet:

“For tomorrow...see you my beloved city, and wanna say WELCOME SINGAPORE. Hope this country can make my father well soon.” Cukup tercengang aku membaca tweetnya itu. Apakah benar dia yang telah kembali akan pergi secepat itu? Ingin kubalas tweetnya, tapi jemariku tak mampu mengetikkan kata-kata yang ada dipikiranku. Kualihkan pandanganku pada HP yang berbunyi dari tadi. Ternyata ada sms dari Aldi, kubuka dengan tangan gemetar.

From: Aldi (085643221765) Message:

Zain, besok pagi jam 8 aku pergi ke Singapura. Aku pengen ketemu kamu sebelum aku pergi dan entah kapan aku bakal balik. Tapi satu yang perlu kamu tau, dari dulu perasaanku engga pernah berubah dan kuharap akan selamanya begitu. Aku sayang kamu Zain

Aku diam termangu menatap HP berisi sms itu. Aku ingin membalasnya bahwa aku juga menyayanginya. Tapi, buat apa? Kurasa akan sia-sia saja, toh akhirnyja besok Aldi akan pergi.

Keesokan harinya, jam menunjukkan pukul 07.30, kubuka HP dan kulihat ada sms masuk dari Aldi

From: Aldi (085643221765) Message:

Zain, pemberangkatku dimajukan setengah jam ternyata...aku pamit ya...take care my beloved girl...stay there till I come back I’ll back for you. I promise it

Aku begitu kaget membaca pesannya. Tanpa basa-basi, kusambar jaket dan berlari keluar rumah menghadang taksi. 15 menit kemudian aku telah sampai di bandara. Tak kulihat sosok Aldi di sana. Mungkin dia telah pergi. Oh bandara...tempat dimana kini menjadi salah satu tempat yang aku benci. Ditempat itulah ada transit antara pertemuan maupun perpisahan, hal yang sangat bertolak belakang.

Setelah hari itu, aku mencoba menjalani hidup senormal mungkin sembari menunggu kedatangan orang yang berjanji untuk kembali padaku. Tapi entahlah kapan ia akan kembali?