KOPI CAFE DAN CINTA Antologi Cerpen Beng

KOPI CAFE DAN CINTA

Antologi Esai Bengkel Sastra Indonesia 2013

Penyunting

Y. Adhi Satiyoko Ahmad Zamzuri

Pracetak

Rijanto Sri Weningsih Karyanto Ninik Sri Handayani

Amanat Rahmadi Sugiharto

Penerbit

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224 Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667 Laman www.balaibahasa.org

Cetakan Pertama

September 2013 ISBN: 978-602-777-744-6

ii

KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga hari ini, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang dipertegas lagi dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2012, masih mengemban tugas sebagai suatu lembaga pembina dan pengembang bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, hingga hari ini pula, Balai Bahasa Provinsi DIY tetap melakukan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengembangan substansi bahasa dan sastra serta berkenaan dengan pembinaan terhadap masyarakat pengguna bahasa dan apresiator sastra. Di antara serangkaian kegiatan yang dimaksudkan itu ialah pembinaan proses kreatif berbahasa dan bersastra melalui kegiatan yang dinamakan Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia.

Sasaran kegiatan pembinaan proses kreatif yang dilakukan pada tahun ini masih tertuju pada generasi muda, khususnya bagi para siswa SLTA. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa generasi mudalah yang kelak diharapkan menjadi generasi yang kreatif, inovatif, dan mampu bersaing baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Generasi mudalah yang di masa datang juga akan menjadi pemegang kendali kekuatan dan kesejahteraan bangsa; dan oleh karenanya, sejak dini mereka harus dibekali dengan kepekaan yang tinggi, wawasan yang tajam, dan sikap yang kritis sehingga kelak mampu menghadapi segala tantangan dan hambatan. Dan kita yakin, bekal semacam itu, niscaya dapat diperoleh dari belajar berproses kreatif menulis, di antaranya menulis esai dan cerpen.

iii

Pembaca yang budiman, sejumlah karangan (esai dan cerpen) dalam buku antologi ini adalah bukti bahwa generasi muda kita, khususnya para siswa SMA, MA, dan SMK Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul mampu “mencipta” sesuatu (karangan) melalui proses kreatif (perenungan dan pemikiran); dan di dalamnya mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki ketajaman penglihatan dan kepekaan menangkap problem-problem sosial dan kemanusiaan yang dihadapinya. Untuk itu, kelak, setelah selesai berproses kreatif melalui kegiatan Bengkel Bahasa dan Sastra 2013 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi DIY selama hampir tiga bulan ini diharapkan mereka menjadi generasi yang senantiasa aktif dan kreatif. Sebab, hanya generasi yang aktif dan kreatilah yang akan mampu meraih kualitas hidup yang lebih baik.

Yogyakarta, September 2013 Drs. Tirto Suwondo, M.Hum .

iv

KATA PENGANTAR

Salah satu tugas Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai instansi pemerintah yang melaksanakan program pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah ialah ikut berperan serta membina kemampuan menulis bagi masyarakat, tak terkecuali bagi para siswa. Peran serta itu, antara lain, diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan Bengkel Sastra Indonesia dalam bentuk ”Pelatihan Penulisan Cerpen” yang diperuntukkan bagi siswa SLTA (SMA, SMK, MA) Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Selama sepuluh kali pertemuan peserta Bengkel Sastra Indonesia mengikuti pelatihan penulisan cerpen. Hasil kerja keras mereka diwujud kan dalam sebuah antologi cerpen dengan judul ”Kopi, Cafe, dan Cinta” . Di dalam antologi itu ditampilkan 58 cerpen dari siswa. Cerpen para siswa itu mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan fenomena kehidupan sehari-hari, seperti cinta, budaya, dan seni.

Dengan diterbitkannya antologi cerpen ini mudah-mudahan upaya Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan menulis cerpen bagi para siswa dapat membuahkan hasil yang menggembirakan. Di samping itu, semoga antologi ini dapat memperkaya khazanah bacaan bagi para remaja.

Yogyakarta, September 2013

Koordinator Koordinator

DI BATAS SENJA

Fathi Abida Nurunnai Ghaniyaska (MAN Yogyakarta 1) ..............77

LEBARAN TANPA KAKEK

Muhammad Ikhwan Priyambodo (SMA GAMA Yogyakarta) ......... 86

DALAM SEBUAH MIMPI

Yuliana Diah Ayu P. (SMA Negeri 7 Yogyakarta) .......................... 89

GADIS, DUNIA, DAN FANA

Adhi Bayu Perkasa (MAN Yogyakarta 1) ........................................96

SENANDUNG MELODI

Allysa Zain (SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta) .......................100

KEADILAN SEMU

Yosef Astono Widhi (SMA Negeri 6 Yogyakarta) .......................... 118

HUJAN SAYAP MALAIKAT

Adhi Bayu Perkasa (MAN Yogyakarta 1) ......................................124

TITIK HIDUP

Allyssa Zain (SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta) ......................129

KETIKA HUJAN REDA

Yosef Astono Widhi (SMA Negeri 6 Yogyakarta) .......................... 134

KANAN UNTUKMU, KIRI UNTUKKU

Denti Dwi Lestari (SMA Negeri 1 Mlati) ......................................139

KERINDUAN BUNNY

Erni Ferlina (SMA PIRI 1 Yogyakarta) .........................................144

CINTAKU UNTUK NEGERIKU

Selia Eriani (SMA negeri 1 Turi) ...................................................149

SENYUM TERAKHIR

Denti Dwi Lestari (SMA Negeri 1 Mlati) ......................................152

U-KISS FANPARTY IN JAKARTA

Ajeng Covita Anekinda Rizki (SMA negeri 2 Yogyakarta) ............156 viii

ZONA

Norma Elfania (SMA Negeri 2 Sleman) ......................................... 163

KURANGNYA RASA KASIH SAYANG ORANG TUA

Erni Ferlina (SMA PIRI 1 Yogyakarta) .........................................166

STORY OF LOVE

Ajeng Covita Anekinda Rizki (SMA negeri 2 Yogyakarta) ............172

LASMI

Teresa Gowinda Artati (SMA Negeri 6 Yogyakarta) .....................179

MUSAI

Norma Elfania (SMA Negeri 2 Sleman) ......................................... 190

HARAPAN DI ATAS TANAH

Selia Eriani (SMA Negeri 1 Turi) ..................................................197

TIGA RODA

Putri Nur Rahmadhani (SMA Negeri 1 Ngemplak) ......................230

MERINDUKAN KAWAN

Leni Pratiwi Anggraini (SMA PIRI 1 Yogyakarta) .......................239

GORESAN PENA PENEBUS DOSA

Ellysa Nur Tristiana (SMA Negeri 2 Ngaglik) ..............................243

PENGKHIANATAN YANG BERAKHIR DENGAN KEBAHAGIAAN

Rizqi Ragil Habibah (SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta) ..........248

SAYANG AKU INGIN PUTUS .................................................... 253

SYAIR DAN SAHABAT

Bartholomeus Alfa Amorrista (SMA BOPKRI 2 Yogyakarta) ......256

OMPOL

Faridhatul Nangim Rokhimah (MAN Pakem) ...............................267

HATI ANTARIKSA

M. Afnan Rozzak G. (SMA Negeri 1 Kasihan) ..............................273

ix

ANGELIKA

Yossie Putri Isnaini (SMA Negeri 1 Prambanan) ..........................279

MITOS ITU SETENGAH BERLAKU

Ida Ayu Zahrotun Na’im (SMK Negeri 2 Godean) ........................285

SEABADI PERSAHABATAN

Irma Aimma Turrohmah (MAN Pakem) ........................................290

TAKKAN HILANG SEMANGATKU

Khusni Ika Prajanti (SMA Negeri 1 Seyegan) ...............................296

SEIKHLAS ALIRAN SUNGAI OGAN

Erwita Danu Gondohutami (SMA Negeri 7 Yogyakarta) .............. 302

SAYAP-SAYAP PATAH

Umi Nurul Khasanah (SMA Negeri 1 Ngemplak) .........................313

GARA-GARA KAMU

Zara Anisa Islami Ariin (MAN Godean) ......................................322

LIBURAN YANG HILANG

Farah Rindhita Bestari (SMA Angkasa Adisucipto) ......................332

GARA-GARA KAOS KAKI

Clara Deo Kristiandari (SMA Negeri 2 Sleman) ............................ 339

ATMOSPHERE OF IED

Nurrahmat Sena Aji P. (SMA Negeri 1 Kasihan) ..........................344

TERNYATA

Phegy Patsari Sintia Danti (SMA Negeri 1 Pakem) ......................349

DRAMA

Bartholomeus Alfa Amorrista (SMA BOPKRI 2 Yogyakarta) .......356

IA AKAN BERLALU

Faridhatul Nangim Rokhimah (MAN Pakem) ...............................369

GARA-GARA FACEBOOK

Zubaidah Afriza (SMK Muhammadiyah 2 Moyudan) ...................376 x

xii

KOPI, CAFE, DAN CINTA

Akbar Yoga Pratama

“Selamat malam, Kak. Selamat datang di kafe kami. Silakan duduk dan pesan menu.” “Yaa, makasih,” jawabku sambil tersenyum. Kata-kata tadi tak asing bagiku. Tiga hari sudah aku berkunjung

ke kafe ini, pada waktu yang sama, menu yang sama, pelayan yang tadi menyapa pun sama, serta suasana hati yang masih sama. Dan inilah hari keempat dejavu itu kembali terjadi. Tidak! aku tak sama sekali bosan. Aku menikmatinya. Terkadang aku hening dan menulis, terkadang aku berbicara dengan sosok imajiner yang diciptakan otakku.

“ Double espresso, Kak?” wajah lelahnya masih coba diwarnai senyumnya. “Yaa, Mbak,” jawabku membalas senyum. Semua pelayan di sini sudah mengerti menuku. Setidaknya

aku menyadari bahwa sekitar sepuluh pelayan di kafe ini terheran- heran melihatku. Mungkin, kesimpulan dari otak mereka, aku adalah pelanggan favorit yang menjadi objek penjualan efektif yang menyenangi salah satu menu mereka yang pahit dan sangat mudah dibuat. Aku bisa menghabiskan waktu semalaman di kafe ini jika aku sedang betah. Dan aku bisa memaklumi keheranan mereka saat mendapati pelanggannya yang betah selama empat hari berturut-turut yang tak bosan selama sekitar tiga sampai empat jam setiap harinya di sana, dan tak kunjung mati karena meneguk lebih dari lima double espresso untuk sekali kunjungan.

Dulu aku biasa datang ke tempat ini berdua dengan seseorang. Sekarang, aku harus menikmati ini sendirian. Ya, aku harus segera terbiasa sendiri. Seperti biasa, aku mengambil tempat di sudut selatan kafe, berdekatan dengan kolam kecil yang bagus. Aku mengerti, malam Dulu aku biasa datang ke tempat ini berdua dengan seseorang. Sekarang, aku harus menikmati ini sendirian. Ya, aku harus segera terbiasa sendiri. Seperti biasa, aku mengambil tempat di sudut selatan kafe, berdekatan dengan kolam kecil yang bagus. Aku mengerti, malam

“Aku sama sekali nggak salah tempat,” batinku. Kurang lebih begitulah keseharianku selepas ujian ini. Aku

begitu bukan tanpa alasan. Ada tiga alasan terklise yang membuatku demikian. Pertama, kesukaanku pada kopi. Kedua, suasana kafe yang senantiasa berdampak positif untuk produktivitas tulisanku. Ketiga, dirinya. Dirinya yang membuat semua selama dua tahun ini terasa berbeda, dirinya yang membuatku seolah terbunuh oleh rindu, dirinya yang membuat suasana hati ini terasa klop dengan kafe ini, juga dengan kopi ini. Klop karena jalan cerita yang sama-sama pahit. Dirinya, Gendhis.

Alasan pertama ialah kopi. Aku suka kopi bukan tanpa alasan. Kopi menunjukkan bahwa hidup tidak selamanya manis. Pahit kopi adalah tamparan untuk hidupku yang menyadarkanku dari kosong tiap kali aku jatuh. Ampasnya ialah sisa-sisa masa lalu yang masih mengerak di sudut-sudut hati yang tak terurus. Pandanganku ini mungkin berbeda dengan pandangan orang lain. Banyak orang menilai kopi hanya sebagai teman rokok bagi para orang tua. Dari sisi medis, aku mendengar bahwa kopi dapat merangsang denyut nadi sehingga minuman ini tidak pas diminum saat cemas, dan mungkin karena itu kopi dinilai sebagai penyebab utama komplikasi pada jantung dan ginjal. Terkadang, aku takut dengan penilaian yang kedua. Tetapi sejauh ini aku memandang kopi sebagai suatu ilosoi.

“Kamu tuh suka banget double espresso. Kenapa?” tanya Gendhis suatu ketika. “Hah? Tumben tanya begitu.” “Lha, habis setiap ke sini, kamu pesen kopi itu terus.” “Iya, suatu saat nanti kamu bakal tahu dan merasakan sendiri,”

jawabku demi membuatnya tak bertanya lagi. Alasan kedua adalah kafe dan segala yang disajikan di dalamnya. Aku sangat sering berkunjung ke kafe di daerah Kota baru. Interior kafe ini cukup cantik. Dinding yang ber lapis wallpaper berwarna jawabku demi membuatnya tak bertanya lagi. Alasan kedua adalah kafe dan segala yang disajikan di dalamnya. Aku sangat sering berkunjung ke kafe di daerah Kota baru. Interior kafe ini cukup cantik. Dinding yang ber lapis wallpaper berwarna

Sebelum berlanjut ke alasan ketiga. Perkenalkan, inilah aku. Namaku Ramadewa, panggil saja Rama. Seorang yang memiliki sejuta alasan untuk terus menunggu. Untungnya, aku masih menyukai namaku. Kedua orang tuaku beralasan memilih nama Ramadewa sebagai releksi dari tokoh Ramayana, yaitu tokoh dalam seni sendratari berwujud pangeran yang rupawan dan ksatria. Lalu ditambah kata “Dewa” supaya menimbulkan kesan lebih tinggi dan elegan. Tapi kenyataannya? Entahlah.

Aku suka beralasan. Menurutku, tidak ada tindakanku yang tak beralasan. Dan inilah alasan terklise dari yang paling klise mengapa aku jadi begini. Tak seharusnya begini memang. Tapi kita bisa apa jika rasa itu telah datang. Entah benar atau tidaknya tercipta untukmu dan untuknya. Namun, jika kau merasa ada yang berbeda saat pertama menatapnya, sesungguhnya kau ta hu, konspirasi itu telah ada. Lalu kau tak akan asing dengan ra sa se perti ini. Seperti kopi yang pahit, seperti asap dari kopi yang me mudar namun tetap kau mainkan, seperti yang sedang kura sakan.

Aku paling suka alasan yang ketiga, alasan mengapa aku tak panjang-panjang menceritakan kopi dan kafe. Aku mencoba hidup dalam persembunyian, yaitu di dalam pahitnya kopi dan nyamannya kafe dari seorang wanita yang senantiasa kutunggu selalu. Namun, tak jua terbalas. Layaknya sesuatu yang tiada lenyap dari khayal sang pangeran saat sang putri terus saja mengukir mimpi yang lain bersama denting waktu di istana.

Betapa polos dan konyolnya aku saat pertama mengajaknya kenalan. Berhiaskan senyum bodoh, kuberanikan ragaku meng ham- p irinya. Memulai segalanya.

“Hai, boleh kenalan? Aku Rama. Kamu?” tanyaku sambil meng- ulurkan tangan. “Aku Gendhis. Kamu dari SMP mana?” jawabnya menyambut jabat tanganku. Suaranya lembut, terkesan intelek, dan penuh tang gung jawab. Kulitnya yang halus menyambarkan aura ketenang an luar biasa, membuatku tak ingin melepaskannya.

“Oke. Dari SMP 1. Kamu, Dhis?” “Aku dari SMP 16. Kita kayaknya sekelas ya?” “Oke! Iya, emang sekelas kan, tuh kamu namamu ada di absensi,

hehe.” “Haha, iya. Duduk, yuk!” Perkenalan singkat yang tidak akan pernah terlupakan. Sejak

saat itu, aku mengerti, ini tidak akan menjadi perasaan yang sebentar. Ya, Gendhis. Dia manis seperti namanya. Aku lebih suka me- mang gilnya begitu. Tapi itu tetap tak merubahnya. Bagiku, ia sesosok bunga melati yang tumbuh di sela-sela bebatuan gunung yang mene bar eksistensinya di setiap tanjakan pegunungungan. Sekali kau bertemu dengannya, mengenalnya, mendengarnya, lalu kau akan paham tentang suatu mahakarya Tuhan yang nyaris sempur na. Kau akan menyadari bahwa kau benar-benar beruntung telah mengenalnya. Entah mengapa, orang yang namanya Gendhis selalu manis.

Melati di sela-sela bebatuan gunung. Mengapa begitu? Kebetulan hobi kami sama, hiking. Ya, kami mengikuti ekstraku rikuler yang serupa pula. Pecinta alam. Aku masih ingat debut kami ke Merbabu. Sekitar empat bulan setelah percakapan pertama kami. Di Merbabu, dia menemukan melati yang menurutnya sangat indah. Terus begitu di setiap tanjakannya. Dia terus saja berbicara tentang melati itu.

Pembahasan tak berhenti di melati, terus berlanjut hingga sepagi ini. Mentari belum juga menunjukkan dirinya, nyanyian mesra satwa pagi juga masih belum terdengar. Ah, sedari kemarin aku juga tak melihat mereka. Fajar di lereng Merbabu yang cukup dingin mem buatku berinisiatif membuatkannya secangkir kopi sebagai penghangat. Selain juga untuk menepati janjiku yang semalam kalah Pembahasan tak berhenti di melati, terus berlanjut hingga sepagi ini. Mentari belum juga menunjukkan dirinya, nyanyian mesra satwa pagi juga masih belum terdengar. Ah, sedari kemarin aku juga tak melihat mereka. Fajar di lereng Merbabu yang cukup dingin mem buatku berinisiatif membuatkannya secangkir kopi sebagai penghangat. Selain juga untuk menepati janjiku yang semalam kalah

“Nih, Dhis kopinya.” “Nah, sip Makasih Ram. Kopi dari seorang barista.” “Sama-sama. Aku cuma coffee lovers, Nona. Bukan barista.” “Iya, aku tahu. Sini duduk sini, lihat sunrise.” “Pagi ini dingin ya, Dhis?” “Banget. Tapi sudah semestinya hawa gunung seperti ini.” “Jadikan kopi itu penghangat! Tubuhmu membutuhkannya.” “Iya. Eh, masih ingat melati yang kemarin, kan?” tanya dia

sembari mengeluarkan melati itu dari saku jaketnya. “Yap, cantik,” kataku. “Haha, kamu tahu kenapa aku suka melati, Ram?” “Kamu bukan sekedar suka melati. Kamu seperti melati. Aku

tahu itu.” “Hah, maksudnya?” dia bertanya. Aku tahu dia sudah tahu jawab annya. “Ya, kamu seperti melati di gunung ini. Tegar dihajar angin. Namun, kamu tetap memancarkan keanggunan dan ke in dahan khas wanita. Dan tentu saja, mewangi untuk orang-orang di sekitar. Kamu lebih dewasa dari yang pernah kukira,” terangku.

“Makasih, Ram. Aku cuma berusaha jadi diri sendiri.” “Itulah yang membuat kamu berbeda. Kamu nggak sembunyi di

balik rupa-rupa orang lain. Setidaknya, kamu lebih baik dari mereka yang belum menemukan dirinya.”

“Kamu juga dewasa, Ram. Aku beruntung kenal kamu.” “Oke, cukup. Dihabisin kopinya!” kataku mengalihkan pem-

bicara an. “Pahit!” balasnya “Tapi kamunya manis. Melati itu mau kamu apakan?” kataku

sembari tersenyum bodoh padanya. “Gombal, Rama, ih! Aku mau bawa pulang satu atau dua. Karena kita nggak tau kapan lagi bisa ke sini.” “Bagus! Jika sedang di gunung, erat kaitannya dengan harapan. Apa harapanmu? Yang terdekat saja.”

“Harapan? Aku berharap bisa merayakan sweetseventeen di atas gunung,” katanya. Aku langsung merekam jelas kalimatnya di otakku Kujadi kan pupuk bulir harapanku supaya tumbuh dan tam pak jelas bahwa akulah orang yang berhasil mengajak nya mera ya kan sweetseventeennya di atas gunung kelak. “Amiin,” aku mengamini.

“Kamu, Ram?” “Aku? Aku tidak begitu terobsesi gunung sepertimu. Mungkin

tidak menjadi insomnia lagi adalah harapanku.” “Haha, insomnia. Kamu insomnia?” “Iya. Kenapa?” “Makanya kamu kalah!” katanya sambil menjulurkan lidahnya

padaku. “Aku juga terbiasa bangun pagi.” sanggahku. “Sebentar, kamu insomnia? Tapi kamu suka kopi? Aneh.” “Itulah yang aku bingung. Aku suka kopi saat pahitnya berdecak

di ujung belakang lidahku. Tapi, aku benci saat kopi membuatku terus terjaga. Aku ingin terlelap, aku ingin bermimpi. Pahit kopi akan menyadarkanmu saat kamu jatuh. Kamu memang boleh memiliki mimpi dan harapan. Tapi, saat kamu jatuh, kamu tidak akan tak sadarkan diri, lalu tetap pada mimpi itu saja. Pahitnya akan menamparmu supaya kamu tetap sadar, dan tentu saja membuatmu kembali melangkah.”

“Jadi, kamu belum pernah merasakan indahnya mimpi?” “Pernah. Tapi belum pernah seindah ini.” “Hah? Maksudnya?” “Nggak apa-apa. Aku ke tenda dulu, ya.” aku tak ingin melan-

jutkan perkataanku. Sebelum berlalu, aku mengenakan jaketku ke tubuhnya yang tampak menggigil. Cardigan yang dikenakannya tak mampu menahan tusukan hawa fajar gunung.

“Ram. Makasih, ya,” katanya. Aku hanya membalas dengan tersenyum. Kami berbicara banyak

hal pagi itu. Dari pagi sampai mimpi. Dari melati ke kopi. Dari sweetseventeen hingga insomnia. Dari hawa gunung yang menusuk jantung sampai perlahan menghangat oleh obrolan pagi. Dan Gendhis terus saja seperti melati. Sampai saat ini, sampai aku hanya bisa menenggelamkan diri dalam sejuta harap. Tanpa tahu realisasi akan rasa yang tak tentu. Kau tahu? Ini hebat.

Merbabu menunggu senja. Pagi semakin ditinggalkan. Pemandangan tentang tepian daun,

embun, matahari, dan angin pagi, kini digantikan oleh suasana senja. Aku mencintai senja. Aku menyukai bagaimana cara sang senja bersayap datang menghiasi cakrawala dan mulai membatasi segala ingatan tentang pagi tadi. Namun, tetap saja, aku tidak akan pernah melupakan peristiwa pagi tadi.

Aku ingat perkataan para ilmuwan baru-baru ini. Mereka men- jelaskan, saat senja, langit membiaskan dua gelombang cahaya, merah dan jingga, yang kemudian ditangkap dan diproses oleh otak menjadi sesuatu yang membuatmu merasa lebih tenang dan lebih nyaman. Dan jika cahaya itu jatuh pada suatu benda, lalu dipantulkan masuk ke dalam mata, benda itu akan terasa lebih indah. Entah, aku sendiri tidak begitu paham. Namun, Gendhis terlihat sangat cantik sore itu. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya.

“Ayo, lihat senja, Dhis!” ajakku. “Di gunung lihat senja? Lucu.” “Apa salahnya? Kita awali hari dari sini, maka akhiri juga di

tempat yang sama.” “Yang ada itu, lihat sunset di pantai.” “Udah, nggak usah debat. Ini kopimu,” kataku sambil mem-

berikan kopi. “Makasih.” Gendhis tak lagi mendebatku, ia menurut saja. “Yep. Masih ingat yang tadi pagi kita bicarakan?” aku memulai

obrolan sambil memandang jauh ke barat, tempat sang surya mengubur dirinya sendiri.

“Yang tentang apa? Kita bicara banyak hal pagi tadi.” “Oh. Yang tentang harapan. Harapan dan masa depan.” “Oke, menarik. Jadi, gimana tentang harapan dan masa depan?” “Kalau kamu diberi kesempatan ke masa depan, kamu mau

ngapain, Dhis?” “Nggak ngapa-ngapain,” jawabnya singkat. “Nggak ngapa-ngapain?” “Nggak ngapa-ngapain.” Aku tertawa heran. Jawaban itu, bukan jawaban sebenarnya.

Aku tahu gadis hebat seperti dia tak ingin banyak bicara soal masa depan. Dia lebih suka menyelesaikan yang ada saat ini dulu.

“Jadi, menurutmu nggak ada yang menarik di masa depan?” “Bukan begitu. Ram, hidup itu seperti kalimat. Jangan cepat-

cepat ingin bertemu titik kalau belum bersua dengan beberapa koma. Koma itu yang akan memperindah jalanmu.”

“Lalu?” “Kritik, lika-liku, kesulitan, perjuangan, itu yang aku maksud

dengan koma. Dengan semua itu, kalimatmu akan menjadi lebih tak terduga. Mungkin lebih indah, tapi pastinya lebih menarik,” terangnya.

“Hmm..” “Dan semua koma itu ada di dalam diri kamu sendiri. Tinggal

bagaimana dan di mana kamu menempatkannya! Yang penting itu kan prosesnya. Ya nggak?” tambahnya dengan yakin, “Ram, Rama. Kamu dengerin aku kan?”

Aku tersadar dari sekian detik yang kugunakan untuk mengagumi betapa cantiknya dia sore ini. Sekali lagi, senja menun jukkan magisnya. Jika saja aku mempunyai nyali lebih, mungkin aku sudah mengecup bibirnya.

“Dhis..” “Ya?” “Kamu mau jadi masa depanku?” “Hah?” “Nggak apa-apa. Ah, itu senjanya bagus.” Hampir saja.

Waktu yang membuat kami mengenal satu sama lain. Gendhis, dia gadis yang memiliki pengaruh. Dia anggun sebagai mana wanita pada umumnya. Bukan, Gendhis bukan seorang yang suka memakai pakaian ketat dan mengekspos setiap bagian tubuhnya. Kata teman- temannya, sejak SMP dulu hingga kini kulihat sendiri di SMA, Gendhis memang cantik dan selalu menjadi idola setiap lelaki. Entah lelaki dari OSIS, pecinta alam, tim redaksi majalah sekolah, tim futsal, tim basket, anak band, tonti, hingga alumni semua menyukainya. Namun, ia tidak peduli dengan kecantikannya. Mungkin ini pesona Gendhis.

Ia seakan seonggok gula. Dan semua yang ada di sini adalah semut- semut yang terpusat, dan berevolusi padanya. Tak terkecuali aku.

Aku masih ingat. Aku terus mengingat dan menulis ba gai mana aku pertama kali melihat suatu kesempurnaan di de pan mataku. Senyumnya, oh Tuhan. Ingin aku supaya Eng kau memundurkan waktu sejenak agar aku bisa melihat lagi se nyumnya. Menyejukkan. Saat itu juga, aku sadar bahwa konspirasi semestalah yang mempertemukanku dengan Gendhis. Tentunya dengan cara terindahnya. Yaitu, bermula dari dua anak manusia yang bertemu, memutuskan menjadi sahabat, lalu aku merasakan ada yang pantas untuk lebih dari sahabat. Sayang- nya, semua hanya berhenti di rasa. Tak pernah ada suatu nyali untuk mengeruk pa lung itu lebih dalam lagi. Mungkin karena palung itu terlalu da lam dan gelap sehingga tak terlihat apa dan siapa saja yang ada di dalamnya. Meskipun aku tahu akan keindahan di dasar pa lung itu, aku masih belum berani mengeruknya terlalu dalam. Entahlah, mungkin karena Gendhis terlalu sempurna.

Gendhis yang membangkitkan minat menulisku lagi setelah sempat terhenti. Dia memintaku untuk membuka blognya. Seketika, aku dapat menyimpulkan bahwa dia seindah kata-kata yang ia tulis di sana. Kau ialah embun yang... Ah sudahlah, aku tak pandai melukiskan betapa cantik perempuan ini. Aku tak pandai mengandaikan ia seindah purnama yang tak kunjung tenggelam, secantik langit senja, atau senyumnya senyaman surga. Yang kutahu aku benar-benar mengaguminya.

“Dhis, tulisanmu di blog bagus.” “Wah, kamu baca? Hehe, makasih.” “Pantas dibaca kok. Kamu emang suka nulis?” “Yap. Sedikit-sedikit.” “Kenapa sedikit? Total dong! Bagus, kok.” “Aku nggak terlalu tergila-gila sastra kayak kamu, Ram.” “Lho, kenapa? Tulisan-tulisanmu bagus.” “Aku tetap pengen jadi arsitek.” “Oke, gambarmu juga bagus. Mungkin lebih bagus dari tulisan-

mu?” “Haha, sialan. Iya, aku lebih fokus ke sana.”

“Senangnya jadi kamu. Kamu bisa mereleksikan secercah keindahan dunia dalam gambar-gambarmu.” “Arsitek hanya menggambar dimensi, Ram. Kamu juga, bahkan kamu bisa memiliki sedikit keindahan dunia di atas kertas-kertasmu.” “Setidaknya, kita beruntung jadi kita. Kita sudah menemukan diri sendiri pada usia segini. Bukannya jumawa, tapi aku akui, kamu, kita jauh lebih baik dari mereka yang masih sembunyi di balik bayang- bayang orang lain.”

“Aku setuju. Aku beruntung kenal kamu, Ram.” “Aku juga,” jawabku dalam hati. Padahal dari blogmu aku mendapati beberapa keindahan.

Setiap kata yang kau eja, setiap baris yang kau tulis, setiap bait puisi yang kau hembuskan nyawa, selalu saja membuatku merinding. Entahlah, mungkin aku telah terikat kepada bagian dari dirimu. Dapat kupastikan itu.

Keesokan harinya, “Dhis, tadi malam kamu udah belajar?” “Belum belajar blas! Kamu?” “Hah? Udah, tapi gak masuk.” “Duh, gak masuk kenapa?” “Kebanyakan mikirin kamu mungkin.” “...” Bibirku menggores senyum saat mengucap itu. Aku kagum

dari caranya berkata “belum belajar blas.”, padahal nanti ada ulangan. Namun, sekali lagi selain senyumnya yang magis ia memiliki otak yang ajaib pula. Ditunjukkannya bukti sahih kecerdasan seorang insan yang tanpa belajar banyak mampu meraih nilai yang nyaris sempurna. Aku semakin tak menyesal telah mengenalnya, mengaguminya. Dan lagi, ia seperti padi. Makin berisi makin menunduk.

Waktu berganti. Tahun pertama di putih abu-abu berlalu, dan aku masih tak mampu mengungkapkan gunungan perasaanku pada nya. Betapa beruntungnya aku, kebijakan sekolah nampaknya berkonspirasi dengan hatiku. Mengapa? Karena ternyata kebijakan itu membuatku bisa lebih lama mengagumi Gendhis. Kami akan tetap

Kulirik jam tangan. Ah, jam empat tepat. Sudah dua jam aku di sini. Sepi, sendiri di meja ini, di ruangan ini. Di hadapanku terben- tang halaman-halaman Canting karya Arswendo Atmo wiloto. Aku tak begitu menikmati buku itu seperti biasanya. Aku hanya sedang menikmati kesendirian. Sampai akhirnya getar ponselku mem bang- kitkan lamunanku. Sebuah pesan singkat dari Gendhis yang belakangan tak sempat terbalas karena masalah klasik pelajar. Pulsa habis.

Baiknya, hari ini, aku sudah punya pulsa. “Ram, kamu bisa ke kafe biasanya sekarang, nggak?” “Ada apaan, sih? Ya, tunggu sebentar, ya.” “Penting. Oke!“ Cukup. Tak lagi kubalas. Aku bergegas ke kafe di bilangan

Kotabaru. Kafe tempat biasa kami saling bertukar cerita. Tempatku bisa memiliki dia seutuhnya. Di dalam hatiku.

Sesampainya di kafe, “Ada apa, Dhis?” “Tunggu, mau minum apa?” “Biasa nya aja. Ada apa, sih?” “Mbak, double espresso satu, ya!” seru nya memanggil si pelayan. “Dhis, kenapa?” “Gini, Ram. Deadline ku untuk artikel tempat-tempat bagus di

Jogja ting gal dua hari lagi, dan aku masih bingung tempat mana yang bener-bener bagus,”ujarnya yang mendapat tugas mem buat artikel tersebut untuk majalah internal sekolah.

“Kamu 16 tahun di Jogja masih nggak tahu tempat-tempat keren- nya?” “Candi? Tamansari? Kantor Pos? Vredeburg? Kraton?” tanya dia. Aku hanya menggelengkan kepala, heran. “Ini jam 5 sore. Malam ini juga aku kasih tahu kamu tempat

paling keren di Jogja.” “Serius? Makasih banyak lho, Ram.”

“Itu memang tempat yang dari dulu ingin aku tunjukin ke kamu, Dhis.” batinku. Double espresso pesananku datang. Kulingkarkan jari telunjuk ku di gagangnya, meniupnya mesra, dan segera menyesap nya. Hangat, pahit. Seperti dua yang dipertemukan dalam suatu kebetulan, saling jatuh cinta tanpa perlu lagi alasan.

“Hmm.. double espresso lagi. Kenapa?” dia bertanya seperti se- tahun lalu. Dan kukira, inilah saatnya dia tahu tentang kopi ini.

“Oke, cobain kopiku!” Gendhis menyesap double espressoku. “Hueeekk! Pahit! Seleramu jelek, Ram,” katanya. Aku terbahak. “Haha! Itulah sensasinya. Kamu ingat waktu di

Merbabu dulu aku pernah bilang apa.” “Yang soal apa? Kita bicara banyak waktu itu.” “Yang tentang kopi. Inilah kopi itu dan sedikit keterangan dari

jawabanku,” jawabku sembari menghela nafas, merasa lega ia masih mengingatnya.

“Pahit banget, sih!” katanya. Namun, kulihat goresan senyum ikhlas di wajahnya. “Iya,” balasku datar. “Eh, kamu sudah salat ashar belum? Aku nggak mau kalo kamu

ke sini tapi belum salat. Nanti sebelum ke tempat itu, kita maghriban dulu.”

“Sudah, manis. Iyalah, pasti.” jawabku sedikit menggoda. Itulah salah satu yang membedakan dia dengan gadis lainnya. Dia

selalu mengingatkanku untuk ibadah, dan aku sendiri tahu kalau dia adalah seorang muslim yang taat. Aku sudah yakin kalau pertemuan kita bukan kebetulan, Allah SWT telah mengatur segalanya sampai sejauh ini. Intervensi dari Sang Kuasa membuatku bertemu dengan mahakarya-Nya berupa bidadari yang sekarang ada di depan mataku.

“Hih. Tunggu-tunggu, secinta apa, sih kamu sama kopi?” “Hah, kenapa? Kami cuma sahabat yang melepas rindu dalam

beberapa tegukan. Dia mendengarkanku, dan aku mampu dengan cerdas menyayanginya.” jawabanku terdengar gila. Namun, sudah mampu membuat Gendhis menyunggingkan senyumnya lagi.

“Jelas aku lebih sayang kamu lah, Dhis. Karena perasaan ini beda dengan kopi, yang bisa dibuat lagi dengan rasa yang sama,” batinku.

Sesuai janjiku tadi, kuantar dia ke salah satu tempat terkeren di Jogja. Atau mungkin... Tempat paling romantis di Jogja. “Sudah sampai!” ikatan penutup mata masih terpasang di matanya. Aku meraihnya untuk segera turun dari mobil klasikku. “Terima kasih. Sudah sampai?” “Sudah. Hirup dulu aromanya, yakinkan ini akan jadi objek

tulisan yang indah!” kataku sambil melepaskan penutup matanya. Dia mengendus aroma di sekitar sini. “Petrichor! Hah! Ini kan cuma Taman Grha Sabha Pramana. Ada

apa di sini?” “Ada apa di sini? Di sini ada magis, kamu lihat remang lampu- lampu putih dan kuning itu? Mereka laksana lampu sorot pada suatu pertunjukan, dan kita adalah pemainnya.”

“Iya. Sebenarnya keren sih. Ada lagi yang langka di sini?” “Entah ini pengalaman sial atau beruntung. Kamu akan bertemu

dengan ibu-ibu paruh baya yang mengaku peramal zodiak yang mencari sumbangan untuk panti asuhan. Aku sudah mengalaminya dua kali.”

“Bagaimana hasilnya? Kamu percaya?” “Cukup tahu saja. Ah, tak terlalu buruk.”

Dia mulai menulis. Aku menemaninya. Aroma petrichor juga ter cium disini. Kami berdua menyukai aroma itu. Udara bahagia memenuhi pikiranku saat ini. Setelah setahun lebih, akhirnya aku berhasil juga mengajaknya ke tempat ini. Surganya orang Jogja untuk bercumbu. Dan sebagai manusia yang berpijak di tanah Jogja, kau akan merasa rugi jika tak pernah merasakan magis tempat ini. Sembari menuntunnya untuk menulis, ingin aku mendekapnya. Tapi, sekali lagi, tak ada satupun partikel bernama ‘nyali’ di otakku saat ini. Tentu saja, sekarang aku merasa benar-benar bahagia. Bahagia saat aku merasa memiliki Gendhis seutuhnya. Pemikiran yang agak egois memang. Tapi, itulah yang kini kurasakan.

Setiap pagi, sambil membaca beberapa cerpenku, aku menan- tinya datang. Dia murid yang lucu, kadangkala Gendhis “gemar” telat masuk sekolah dengan alasan yang membuatku tersenyum. Dia memasang muka masam nan lugu dipadu dengan perasaan yang

Esoknya, seharian aku sibuk menulis suatu “teori” tentang konspirasi semesta yang berperan besar terhadap tumbuhnya cinta bagi para anak manusia. Saat pulang sekolah, aku meminta Gendhis untuk menilai tulisanku.

“Dhis, dibaca ya terus dinilai! Thanks!” “Hah, apa ini?” “Udah, baca aja!” Selagi ia membaca, aku diam memandanginya. Ya Tuhan...

Harus berapa kali aku berterimakasih pada-Mu akan anugrah ini. Mengenalnya, memandangnya, mendengarnya, dan berbicara dengannya ialah keberuntungan yang tiada terganti apapun. Aku melihat matanya, suatu tatapan tulus mengarah pada tulisanku. Sejurus kemudian giliran bibirnya yang mengukir senyuman favoritku itu. Ia seakan tahu bahwa senyum itulah yang kunanti sedari tadi. Lalu saat dia selesai membaca, tanpa sepatah kata pun dia berlalu, keluar kelas. Aku melihatnya memandangi hujan. Sejenak aku dapat memahaminya, dia pernah mengalami seperti tulisanku tadi.

“Kenapa, Dhis?” “Nggak apa-apa, Ram. Bagus kok tulisanmu.” Kata “ Nggak apa-apa” yang keluar dari mulutnya hanya bisa ku-

telan mentah-mentah. Aku tahu yang dirasakannya. Aku tak mau mem bahas itu. Aku hanya ingin tahu kualitas tulisanku di matanya.

“Gimana tulisanku, Dhis? Bagus aja?” tanyaku sedikit terbahak. “Terlalu klise, terlalu melankolis. Tapi... Amazing!” ujarnya ter-

bahak pula memecah suasana yang sempat sendu tadi. Aku pun ikut tertawa. Itu terakhir kali aku mampu membuatnya tersenyum dan tertawa.

Terakhir kali. Tak terjadi lagi. Sayangnya, suasana itu tak abadi. Setelahnya, aku hanya menjadi saksi hidupnya. Dengan seenaknya aku mengobarkan kasih tanpa tahu kapan harus berhenti. Sedangkan dia, Gendhis, sudah dapat kusimpulkan bahwa dia lebih condong pada

Esoknya, sepulang sekolah dia menghampiri mejaku, “Ram, kantin, yuk! Aku mau cerita,”ajaknya ceria. “Nanti dulu, ya,” jawabku sambil pura-pura sibuk. “Halah, ayo sekaranglah!” “Kamu duluan aja sana, nanti aku nyusul.” “Oke aku tunggu, yaa..” Aku tak sempat menjawabnya lagi, dia sudah berlalu ke kantin.

Aku tak habis pikir, dia sangat gembira sekarang karena Andro, mulai mendekatinya lagi. Dia sendiri yang bercerita padaku, aku selalu mencoba menjadi pendengar yang baik meski sekarang terkesan seperti tempat sampah yang sempurna baginya. Sekarang dia girang gemilang, dan aku tahu bukan aku penyebabnya. Bukan aku, dan memang tak akan pernah mem buatku menjadi penyebabnya. Aku sendiri sadar bahwa dia sema kin dekat dengan lelaki lain, dan aku memperburuk keadaan dengan menjadi semakin tak pandai membuatnya tertawa, atau bahkan sekedar tersenyum. Aku hanyalah seorang yang ahli mengukir elegi. Aku mulai menuju kantin. Menemuinya.

“Gimana, Dhis? Kayaknya seneng banget.” “Biasa aja sih, Ram. Gini, aku bingung ternyata Andro beneran

mau balikan sama aku. Ternyata, dia nggak main-main”

Tiba-tiba ada rasa muak yang entah datangnya dari mana. “Trus, gimana?!” tanyaku ketus.

“Aku sudah maain dia kok, Ram.” “Memaafkan, Dhis? Dhis, dulu laki-laki ini tanpa sebab me-

ninggalkan kamu begitu saja. Dan sekarang, dengan mudahnya semua kenangan buruk itu menguap dan terganti euforia kembali nya dia! Iya?” Kusesap kopiku sampai habis sebelum meneruskan kalimatku.

“Harus butuh berapa kali lagi laki-laki ini membuatmu me- nangis? Harus berapa lama lagi kamu berpura-pura kuat? Yang kamu butuhin itu bahagia yang nyata, Dhis, bukan perasaan sesaat ataupun cinta karena penasaran!” kataku. Gendhis menatapku tajam.

“Rama, itu dulu, tiga tahun lalu! Setiap orang berhak dapat kesempatan kedua! Hatiku, ya hatiku. Kepada siapa aku jatuh cinta

“Tapi kamu nggak bahagia!” balasku. Kugenggam erat cangkirku. Aku merasa sesuatu di kepalaku

akan tumpah sebentar lagi. “Kamu selalu begitu, selalu jatuh cinta dengan orang yang salah. Kamu selalu membuka pintu bagi mereka yang kamu sayangi, bukan bagi mereka yang sayang kepadamu. Tanpa kamu tahu mereka yang kamu damba justru balik menginjak-injakmu,” kataku semakin muak.

Tak kusadari nadaku meninggi. Tapi, aku tidak peduli. Apapun akan kulakukan agar dia mengerti. Seketika air menumpuk di pelupuk nya. Terus membuncah, menetes satu demi satu, lalu akhirnya membanjir.

“Ram... aku nggak bisa,” Gendhis terbata. “Aku capek... setiap kesempatan dariku selalu dianggap lelucon

oleh mereka... Tapi aku nggak bisa menghindar. Aku udah jatuh, dalam banget... Dan buat manjat ke atas udah terlambat. Kali ini, I guess he’s the right one,” kelakarnya.

Aku tergelak. Tiga tahun berteman, dan hari ini, Gendhis Juwita Putri, seorang perempuan yang kukenal cerdas dan pandai berargumen, berpikir rasional. Gila. Cinta sanggup membuat orang menjadi gila, gila sekali. Cinta merusak sistem bernama logika, memutus setiap kabel, dan menggantinya dengan imaji maya berbentuk siapapun dia yang kita puja.

Aku menarik nafas panjang. “Gendhis, aku lelah! Aku lelah menjadi tempat sampahmu,

menampung semua keluh kesahmu. Aku lelah untuk harus selalu mengingatkanmu. Aku bukan kopi pahit yang setiap saat ada untuk menamparmu. Kamu seharusnya bahagia. Kamu seharusnya memilih siapa yang membuatmu bahagia. Karena... Ah, sudahlah.

Kuambil tasku dan bergegas pergi. “Bye, Dhis.” Di tengah deras, aku mematung. Sepersekian detik, aku bisa

melihatnya memandangku sendu, seakan memintaku untuk tetap tinggal. Tubuhku terasa robek menjadi dua. Sebagian diriku ingin kem bali, mendekapnya, mengecup keningnya, dan mengatakan

“Tenang, di sini, kamu aman”. Sebagian lainnya memilih menyerah dan pergi mem biarkannya terisak. Namun pilihan apapun, sepertinya akan sia-sia saja.

Aku semakin sadar bahwa yang disebut konspirasi semesta itu butuh waktu. Beberapa sahabatku yang tahu akan hal ini terus mem- bujukku supaya melupakan dia. Aku sendiri tahu, cinta juga butuh logika. Tidak bisa hanya dengan mengutamakan perasaan yang bisa mengubahmu menjadi bisu dan tuli, yang mampu mengubahmu menjadi budak waktu untuk senantiasa diam menunggu. Selalu kucoba menikmatinya meski bukan karena aku. Aku tahu, ini bukanlah derita, tapi sesuatu yang harus dicoba.

Semakin bisa kusimpulkan bahwa “kami” bukan lagi hanya sekedar aku dan dia. Melainkan “kami” ialah aku merasakannya dan dia yang tak entah tak pernah, tak perlu, atau tak mau tahu.

Kini aku merasa semakin jauh, jauh darinya. Gendhis, ia sudah tidak pernah lagi mengajakku ke kantin dan melakukan hal gila lainnya. Kami menjadi canggung, dan aku memperburuk keadaan dengan tidak berani menyapa bahkan hanya menatapnya. Meski aku masih merasakannya, aku mencoba menutupinya. Lagi, aku membohongi diri sendiri. Keesokan harinya, aku mencoba tenang.

Saat di kantin, meja paling barat bukan menjadi milik kami lagi. Meja ini seketika menjadi privasiku, dan aku tidak senang dengan ini. Tiba-tiba Benny tiba-tiba menghampiriku dan tak dinyana dia bertanya perihal Gendhis. Mengejutkan! Seorang teman laki-laki yang kukenal skeptis dan terkesan noncinta, ternyata paham juga dengan beberapa hakikat cinta yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.

“Ram, kamu masih nunggu Gendhis? Sudah, belajarlah meng- ikhlaskan!” “Nggak tahu, Ben. Biarlah dia bahagia sama Andro,” aku ter- senyum menjawabnya.

“Aku bingung, kenapa dulu kalian nggak pernah jadian?” “Karena dia nggak pernah punya rasa yang sama kayak aku.” “Gimana kamu bisa tahu? Kamu aja belum pernah bilang,” Benny

terus mencecar.

“Aku tahu, dia kemarin yang bilang. Dia mau balikan sama Andro.” “Oh. Aku kasih tahu kamu beberapa hal tentang cinta, Ram.” “Apa? Gimana?” aku penasaran terhadap kata-katanya. “Ram, cinta itu bisa datang. Cinta juga bisa memilih. Dan cinta

juga bisa pergi. Tapi ada satu hal yang dia nggak bisa.” “Apa?” aku benar-benar penasaran. “Cinta nggak bisa menunggu, Ram.” “Hmm...,” sebenarnya aku terhenyak. Aku menyesal telah menilainya sebagai skeptis sejati yang sangat

awam tentang cinta. Namun, sekali lagi, aku salah. “Cinta nggak bisa menunggu, Ram.” Kata-kata Benny tadi menohok jantungku. Bukan. Bukan hanya

karena ia skeptis yang mendadak melankolis. Pun juga karena kata- katanya tadi bermakna besar. Iya, menunggu memang bukan pekerjaan yang menyenangkan. Kau hanya akan berkawan ketidakpastian dan kebimbangan. Menunggu adalah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku tak pernah ingin mengakhiri hangatnya persahabatan kami selama dua tahun yang sarat makna ini. Maka dari itu, dari pertama aku dekat dengannya, tak pernah tercipta nyali untuk mengatakannya. Berusaha menjaga perasaanya adalah bukan perkara mudah. Aku tak ingin mengakhiri persahabatan ini hanya karena lahirnya perasaan berlebihan secara sepihak. Dua tahun adalah waktu yang terlalu lama bagi kami untuk saling canggung. Dan aku sudah senang bisa memilikinya sebatas sahabat, walau kadang ada hati yang meronta untuk meminta lebih.

“Maaf jika aku tak pernah menyanyangimu dengan cara yang kau mau. Karena aku tak pernah tahu.”

Aku semakin paham. Melati akan selalu ada di sela-sela batu gunung itu. Semakin tegar sungguhpun angin menerpanya untuk terjatuh dan menjauh. Ia tetap tumbuh walau raganya terhimpit bebatuan gunung. Bagaimanapun juga, apapun yang terjadi, Gen dhis

Aku gagal menjadi pangeran layaknya namaku. Mungkin kini aku hanya sosok kurcaci yang senantiasa mengganggu mekarnya melati itu. Sosok kurcaci yang dicintai kesendirian. Dan kini si kurcaci hanya bisa menunggu putri yang masih saja terlelap dan bermimpi tentang pangeran lain bersama denting waktu di istana.

Jika suatu saat kau tanya bahagiakah aku saat ini, maka jawabku adalah, “Ya, aku bahagia.”. Ya, karena memang aku baha gia. Aku melakukannya dalam diam dan aku bahagia. Mungkin akan tiba saatnya aku merasa lelah dan kau benar-benar tidak membuka hati untukku.

Lelahmu, jadi lelahku juga Bahagiamu, bahagiaku pasti Berbagi, takdir kita selalu Kecuali, tiap kau jatuh hati Kali ini, hampir habis dayaku, membuktikan padamu, ada cinta yang nyata Setia, hadir setiap hari Tak tega, lihat engkau sendiri Meski seringkali, kau malah asyik sendiri.

Ah, lagu itu. Si penyanyi kafe menyanyikannya tak terlalu baik. Bungkam tak menenangkan. Pergi pun tak beralasan. Me lupakan bukan jawaban. Yang jelas, jika suatu saat kau memutuskan untuk bersamaku, tentu hatiku siap menerima. Bersamaan dengan lagu yang sedang dinyanyikan oleh penyanyi kafe, aku terhanyut. Suaranya memang tak begitu indah, tapi lirik dari lagu itu yang dalam. Bersamaan dengan asap kopi kelima yang memudar. Aku mengerti, cinta ini sudah terlalu tua.

SENJATA MAKAN TUAN

Novisca Dyah Ayu L.

Lonceng tanda pulang sekolah telah berbunyi. Sesampainya di rumah, Mama sudah menyiapkan makan siang untuku. Ayam goreng pun habis aku santap di meja makan. Mama yang melihatku makan begitu lahapnya hanya menggelengkan kepala. Selesai makan aku duduk di teras rumah dan bermain-main dengan Lala, kucingku yang pintar dan cantik. Lala selalu menemaniku dalam keadaan apa pun. Lala selalu mengerti setiap keinginanku.

Bang Rado, abangku, orangnya super jail. Dulu aku sering dibuat menangis olehnya. Menurut teman-teman sekolahku, abangku orangnya ganteng dan pesonanya bikin cewek-cewek tertarik. Memang sejak SMP dia selalu pintar menaklukan hati cewek,

“Wah Icha, udah pulang sekolah Cha? Lagi main sama Lala, ya?” Bang Rado yang baru pulang kuliah sok menyapaku dengan mengelus-elus kepala Lala.

“Udah tahu, tanya lagi!” jawabku ketus. “Kok ditanya jawabnya jutek sih, adiku yang cantik!” dengan

tangannya mencubit pipiku. “Tumben baik? Pasti ada maunya?” selidikku. “Enggak. Cuma mau minta tolong saja. Nanti kalau Filla datang

ke sini, tolong bilang saja kalau aku lagi pergi, nganterin Mama membeli bunga.”

“Tapi, kan Mama beli bunganya nanti sore sama Papa, Bang?” kataku sambil mengkerutkan kening.

“Alah …, bilang aja gitu Cha, nanti gue kasih surprise, deh!” “Oke! Awas Saja ngasih kecoa! Tidak akan pernah aku tolongin

lagi!” “Makasih, adiku yang cantik.” Bang Rado dengan mencubit pipiku dan bergegas masuk rumah.

“Permisi,” suara wanita terdengar dari pintu gerbang. “Iya…! Tunggu sebentar!” teriakku sambil berjalan menuju

gerbang. “Cha, abangmu ada?” tanya Kak Rusyda dengan suara yang lembut. Aku pun terdiam sejenak dan berpikir. Tadi kata Bang Rado kalau Kak Filla datang, suruh bilang kalau Bang Rado lagi nganterin Mama membeli bunga. Peraturan ini berlaku nggak ya buat Kak Rusyda.

“Sayang…, sudah lama? Gimana sih Cha, kok pacarku tidak disuruh masuk?” Bang Rado yang tiba-tiba keluar dari rumah menuju gerbang.

“Baru saja nyampek kok. Langsung berangkat, yuk!” Kak Rusyda langsung menggandeng tangan Bang Rado untuk masuk ke mobil. “Inget pesanku tadi, ya Cha!” teriak Bang Rado dari mobil dan langsung melaju kencang. “Dasar playboy nggak modal! Masa pergi pakai kendaraan milik ceweknya, sih?” desisku lirih.

Aku dan Lala yang lagi asik menonton teve. Tiba-tiba terdengar bunyi bel depan rumah.

“Pasti Papa?” kataku lirih dengan berjalan menuju pintu. “Hai Icha, abangmu ada?” suara Kak Filla yang serak-serak basah

mengawali pembicaraan setelah aku membuka pintu. “Oh, baru aja pergi sama Mama beli bunga, Kak” jawabku dengan menggaruk kepala. “Kira-kira pulang jam berapa ya? Tadi aku telepon handphon-nya nggak bisa” dengan wajah kecewa dan cemas. “Mungkin nanti sore, Kak!” jawabku dengan keningku meng- kerut. “Ya sudah besok Kakak kesini lagi saja. Tolong sampaikan ke Abangmu ya, Cha. Kakak pulang dulu, salam buat Papa dan Mama,” katanya dengan wajah yang penuh kekecewaan.

“Iya Kak, hati-hati ya. Pasti nanti aku sampaikan!” balasku yang membuat Kak Filla tersenyum. Kak Filla pun bergegas pergi. Aku dan Lala melanjutkan menon- ton teve di ruang keluarga. Tak terasa aku tertidur hingga jam makan

“Eh…, Tuan Putri sudah datang. Kita baru bisa makan nih, padahal perutku sudah keroncongan dari tadi,” ledekan Bang Rado di meja makan.

“Sini, Sayang!” kata Papa dan Mama kompak. “Maaf, ya Pa, Ma, Icha ketiduran,” jawabku sedikit menghela

nafas. “Ih, tadi habis buat pulau di bantal, ya Cha. Ih jorok, bau. Mama, besok bantalnya langsung dicuci, ya jangan sampai baunya menyebar ke seisi rumah ini!” ejekan Bang Rado dengan tertawa lepas.

“Apa sih! Kamu tuh yang jorok. Diam kenapa? Lihat saja nggak bakalan gue bantuin lagi besok-besok!” balasku dengan wajah yang memerah.

“Sudah-sudah ini meja makan bukan tempat sidang!” Mama mencoba meleraiku dengan Bang Rado. “Bang Rado yang mulai duluan! Oh iya, tadi Kak Filla ke sini, Ma, nyariin Si playboy gak modal ini! Oh ya, Kak Filla titip salam buat Mama sama Papa,” ujarku dengan suara lantang yang menyindir Bang Rado.

Bang Rado tiba-tiba tersedak dan Mama segera memberikan segelas air putih, sedangkan Papa hanya tersenyum. “Oh, iya surprize yang aku janjiin tadi siang sudah ada di kamarmu, Cha!” ujar Bang Rado dengan wajah yang tidak meyakinkan.

Setelah selesai makan malam aku langsung bergegas masuk kamar dan membayangkan surprize yang diberikan Bang Rado kepadaku. Saat menaiki tangga aku baru sadar bahwa Lala tidak bersamaku. Biasanya Lala selalu menemaniku. Ketika aku mandi pun Lala selalu menungguku di depan pintu kamar mandi. Aku bingung mencari Lala, di dapur, di kamar Papa, Mama, ruang tamu, ruang keluarga, ke semua ruangan sudah aku geledah sampai taman depan rumah pun sudah aku cari, tetapi hasilnya nihil. Lala menghilang bak

“Ma, tahu Lala?” teriakku dengan wajah yang bingung. “Enggak, Sayang. Dari tadi kan main sama kamu,” jawab Mama

yang sedang melihat-lihat majalah di ruang keluarga. “Pa, tahu Lala? “Enggak, dong. Tadi kan tidur di depan teve sama kamu,” jawab

Papa yang sedang sibuk menyelesaikan tugas kantornya. Aku memang sengaja tidak menanyakan Lala pada Bang Rado karena pasti dia akan mengejek dan menertawakan aku. Aku pun bergegas masuk kamar. Perasaanku sedih kehilangan Lala malam ini. Saat aku merebahkan tubuhku, terdengar suara Lala disekitar ruang kamarku.

“Meaong, meaong” Saat aku mencari-cari di mana asal suara itu, ternyata suara

itu adalah Lala yang ada di bawah tempat tidur dengan kaki terikat serta badan Lala penuh dengan cat. Dan aku menemukan surat yang bertuliskan seperti ini.

Cha, ini surprize buat kamu. Lala aku bikin anak gaul. Aku kasih cat biar tambah funky men. Dari Abangmu paling ganteng.

Rado.

“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakanku “Iya, kenapa Icha?” Mama yang terlihat panik menghampiri

kamarku. “Ini Ma, Lala jadi kayak gini gara-gara Bang Rado,” kataku sambil meneteskan air mata. “Haduh, Lala malang sekali nasibnya. Sudah-sudah jangan menangis!” Mama memeluku dan mengusap air mata yang menetes membasahi pipiku.

“Ada apa, Ma? Icha kenapa?” tanya Papa yang langsung datang ke kamarku dengan raut wajah panik. “Ini, Pa. Si Lala jadi kayak gini. Ini pasti ulah Rado!” Mama menjelaskan kepada Papa. “Papa kira Icha kenapa? Jangan cengeng dong! Putri Papa yang

“Tapi Bang Rado, Pa, bikin kesel!” letusku dengan terus menetes- kan air mata. “Abangmu sayang kok sama kamu, makanya dia senang sekali menjailimu” hibur Papa mengheningkan suasana. Perasaanku masih kesal, rasanya ingin aku caci maki tuh playboy nggak modal. Kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Teramat berisik suara dari kamarnya. Seperti biasa Bang Rado menutar musik sampai bikin gendang telinga mau pecah.

Pagi telah menyambut, semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan, termasuk Bang Rado. “Tuan Putri mau makan apa?” seloroh Bang Rado. Aku pun hanya terdiam karena masih marah mengenai

perlakuannya tadi malam. “Meaong..meaong.” Suara Lala yang meraung-raung juga kesal melihat Bang Rado. “Icha kok diem? Sakit gigi, ya? Wah nanti harus di bawa ke

dokter tuh biar di suntik giginya,” ledek Bang Rado semakin menjadi. “Mau ayam goring, nggak?” Aku tetap diam tak bereaksi “Nggak mau, ya. Ya sudah. Ayam gorengmu aku makan, ya?

Nyam, nyam,” ujar Bang Rado yang membuat wajahku mulai meme- rah menahan amarah

“Ini, La. Gue kasih. Enak, kan?” ujar Bang Rado menyodorkan setengah daging ayam kepada Lala “Meaong,” Lala mengiyakan ucapan Bang Rado Aku tetap diam dan semakin kesal melihat Lala menikmati