AINIY FI QOLBIY

AINIY FI QOLBIY

Soia Aulia Zakiyatun Nisa

“Nak, tolong Ibu membawa pisang-pisang ini ke rumah,” ujar seorang wanita berambut agak putih menghampiri putri tunggalnya. Namun, putrinya yang sangat cantik dan berkulit putih itu tak menjawabnya. Matanya yang sedikit sipit itu hanya berpaling menghindari pandangan Ibunya. Keheningan menghampiri mereka berdua. Bu Sabar yang sejak tadi mengusap keringatnya setelah mema- nen pisang, segera mengangkat keranjang besar berisi pisang yang tingginya hampir menutupi seluruh badan mungilnya. Sayangnya, putrinya yang bernama Aini terus mengunci hatinya untuk sekedar membantu ibunya. Aini bahkan meninggalkan Ibunya yang berjalan lambat itu menuju rumahnya yang jauhnya dua kilometer dari ladang. Ladang yang setiap hari dirawat Bu Sabar adalah satu-satunya harta berharga peninggalan suaminya yang telah meninggal dua belas tahun lalu, beberapa saat setelah Aini lahir. Bu Sabar selama bertahun-tahun menjalani kehidupan pahitnya demi membesarkan putrid kesayangannya.

Terkadang terbesit dalam benak Bu Sabar, apa maksud Tu- han yang telah memberikan kehidupan seperti ini. Namun demi anaknya, ia bekerja keras agar hidupnya lebih baik. Salah satu ca ranya dengan menjajakan pisang goreng dari hasil ke bunnya. Mulai dari jalan kampung, warung-warung, sekolah-seko lah, hingga terminal- terminal. Dalam benaknya, semua yang dila kukannya hanya untuk bidadari kecilnya dirumah. Ia tak per nah merasa lelah berjalan keluar masuk kampung mencari nafkah. Semua demi akan kesayangannya. Karena lelahnya, tak jarang menetes darah dari hidungnya. Namun, itu tidak pernah digubrisnya.

“Pisang.. pisang.. pisang,” suara fasih itu selalu menemani lang kah Bu Sabar. Pelanggannya yang setia telah hafal suara khas

“Hei, Bu, jangan memasuki daerah kami. Kami takut ji ka warga sini akan bermata satu sepertimu. Kami juga risih me lihatmu.” Kata-kata itu sudah tidak asing bagi wanita tua berkulit bersih dan cerah itu. Hanya senyuman yang selalu ia balaskan kepada semua ejekan yang selali mendengung di telinganya se la ma bertahun-tahun. Meskipun dulu sebelum ia terbiasa, ia ke rap menangis dan putus asa. Tetapi, sekali lagi karena putri kesa yangannya ia berdiri tegar hingga saat ini. Bu Sabar meni kah dengan Pak Trima, seorang pemuka agama di kampung terse but. Dahulu, dia berharap kehidupannya akan bahagia dunia akhirat. Namun, Tuhan mempunyai rencana lain. Bu Sabar harus me wujudkan harapannya itu sendiri hingga usinya memasuki kepala empat. Lebih menyedihkan lagi, Aini tidak sempat melihat ayahnya. Ayahnya wafat beberapa saat setelah Aini lahir.

“Nak, kau sudah sarapan? Jangan lupa sarapan ya sebelum sekolah biar kamu berikir maksimal. Susunya juga jangan lupa diminum. Oh iya, jangan jajan sembarangan juga,” Bu Sabar menasehati putrinya seraya membersihkan rumahnya yang terbuat dari bambu dan berukuran kecil itu yang pintunya sudah berlubang dimakan rayap.

“Aku bukan anak kecil lagi, Bu. Jangan banyak ngomel, ah. Aku sudah tau apa yang harus kuperbuat.” Nia menuju dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi, lalu mengambil sepiring nasi, sepotong tempe, dan segelas susu putih kesukaannya. Ibunya yang telah kebal dengan sentakan putrinya hanya menghampiri Aini dan mengelus-elus pundak Aini.

“Maafkan Ibu, Nak. Ibu hanya mengingatkan saja. Sekarang makanan yang beredar dipasaran tidak terjamin keamanannya. Ibu tidak mau anak Ibu yang cantik ini sakit. Maafkan Ibu juga, ya Aini, kemarin dagangan ibu sepi, makanya hari ini kamu hanya makan tempe. Kalau kamu mau ambil saja bagian Ibu Nak, biar kamu semakin kenyang,” mata Bu Sabar yang sipit berkaca-kaca.

Aini hanya terdiam dan segera menyalami ibunya untuk ber- pamitan pergi kesekolah. Karena takut terlambat, Aini mempercepat langkahnya. Dia mengambil sepeda bututnya dibawah pohon mangga depan rumahnya. Sementara itu, Bu Sabar berdoa melepas kepergian putrinya itu dari balik jendela ruang tengah, lalu kembali menuju dapur untuk menggoreng pisang untuk dijual hari ini.

“Saya tahu, Pak cara mengerjakan soal itu,” kata Aini bersemangat sambil menunjuk papan tulis bewarna hitam yang ada di depan kelasnya.

Aini percaya diri dan maju kedepan kelasnya yang lebih layak disebut kandang kambing itu. Ya maklum saja, ibunya hanya mampu menyekolahkan Aini di tempat tersebut. Dalam hitungan detik, Aini dapat menyelesaikan soal dari gurunya dengan benar. Sebenarnya hal ini sudah biasa dilakukan oleh Aini. Ia memang sangat cerdas, bersemangat, antusias, dan percaya diri. Namun sayang, ia tidak memiliki fasilitas lebih yang bisa mengimbangi kemampuan yang ia miliki itu. Ia bagai berlian yang sangat berkilau yang terendam dalam got. Dalam kondisi seperti itu, Aini tetap bersemangat menuntut ilmu, meski tidak jarang Aini harus membenahi bangkunya yang telah berusia lebih dari lima belas tahun, sebelum pelajaran dimulai. Ia juga harus membersihkan mejanya yang selalu kotor dan basah, karena kelasnya tidak memiliki atap, dan lain-lain. Bagaimanapun juga, berlian akan nampak indah dimanapun ia berada, termasuk Aini.

Pukul 13:00 WIB, saatnya Aini mengakhiri aktivitas di sekolah dan pulang ke gubuknya. Dikayuhnya dengan kuat-kuat sepedanya yang sudah tarasa berat itu, mungkin karena rantai sepeda tua itu belum pernah diganti sejak saat pertama kali membeli. Ban sepedanya pun juga terlihat sangat tipis. Di perjalanan, Aini selalu berguman dalam hati, yang tak bisa ia hentikan dalam pertanyaan besar dalam hidupnya. Sejak ia berusia tujuh tahun, pertanyaan itu mulai menempel dalam alam bawah sadarnya.

“Tuhan, kenapa ya hidupku seperti ini. Aku salah apa? Mengapa dulu akau terlahir jika harus menghadapi hidup yang penuh batu ini. Apa Engkau tidak tahu, aku telah berdarah-darah melewati semua batu yang telah Kau gelintirkan dalam perjalanan hidupku. Tuhan..

Tuhan, mengapa juga Kauambil Ayahku, padahal aku belum sempat melihat beliau, apalagi mendengar suaranya yang mungkin dapat memberi salam perpisahan dulu sebelum menghadap Mu. Tuhan.. Tuhan, kenapa juga Kau sisakan kepadaku seseorang dalam hidupku yang seperti ibuku, wajahnya bagai moster bermata satu itu, aku takut melihatnya ya Tuhan. Aku harus bagaimana? kapan ini semua berakhir?,” Aini berguman dalam hati.

Tidak terasa, Aini telah sampai pada halaman kecil depan rumah- nya. “Sudah pulang, ya Aini. Bagaimana sekolahnya? Kamu tidak nakal, kan. Pasti anak Ibu capek, ya. Segera ganti baju. Ibu ambilkan makan, ya. Tadi ibu kepasar dan membeli ayam goreng kesukaanmu. Kebetulan ibu mengumpulkan uang selama tiga bulan ini untuk membelikan rantai sepedamu dan ternyata masih sisa. Jadi bisa buat beli ayam goreng, ” suara Bu Sabar sangat semringah.

“Ya, aku masuk dulu. Capek, minggir!” jawab Aini ketus dan membuang muka. “Sabar, sabar,” kata Bu Sabar dalam hati. Tak berselang lama, Aini keluar kamar dan mulai makan ayam

goreng pemberian Ibunya. “Bu, kenapa ayamnya asin begini sih. Ibu kira aku sakit gondong?” Aini membentak ibunya yang sedang akan beristirahat siang. “Maafkan ibu Nak, kamu jangan marah ya. Ini ambilah milik ibu, rasanya enak, kok. Belum ibu gigit sama sekali, nanti milikmu biar ibu yang makan ya Nak. Sekarang makanlah!”

Bu Sabar menyodorkan piring yang lain kepada Aini. Hal seperti ini tak asing lagi bagi Bu Sabar, setiap hari anaknya selalu bersikap keras padanya. Namun ia sadar, mungkin itu terjadi karena ia belum bisa membahagiakan putrinya, ditambah lagi wajahnya yang dianggap menakitkan itu akan menambah rasa benci anaknya padanya. Ia hanya bisa pasrah dan bersabar sesuai namanya. Mungkin ini jalan terbaik bagi hidupnya yang semakin senja ini. Puncak dari segala kekerasan hati putrinya adalah terjadi pada saat Aini melarang ibunya pergi menghadiri acara pertemuan orang tua murid ke sekolah. Aini tidak ingin diejek teman-temannya karena memiliki ibu bermata satu. Ia bersikeras agar Bu Sabar tidak melangkahkan kaki sedikitpun ke

“Pokoknya ibu tidak usah ke sekolah,” Aini berteriak. “Sekali saja, Nak. Izinkan Ibumu ini.” “Tidak ya, tidak. Aku malu memiliki Ibu sepertimu. Lebih baik

dirumah saja,” Aini keluar rumah dan membanting pintu. Mendengar kata-kata anaknya yang begitu menyayat hatinya, tiba-tiba hidung Bu Sabar mengeluarkan darah. Tidak seperti biasanya. Kali ini dadanya ikut sesak dan kepalanya sangat pusing. Tiga jam berlalu, Aini sudah jenuh bermain. Dia bergegas pulang karena mendengan tetangganya memanggil namanya. Mendekati remahnya, Aini tertegun karena banyak orang dating berkerumun di rumanhya. Surah Yasin dan Tahlil berkumandang ramai dari dalam rumahnya. Aini semakin tertegun dan jantungnya semakin kencang berdegup. Ia melangkahkan tergopoh menuju ruangan tengah digandeng seorang tetangganya. Semakin tertegun dan sesak dadanya melihat Ibunya sudah terbujur kaku di atas dipan. Bu Sabar telah menghadap Tuhan. Beberapa tetangga di sekitar jasad Bu Sabar menangis terisak-isak. Aini terjatuh berlutur di depan jasad Ibunya. Dia terdiam seribu bahasa, tak dapat bergerak. Ia hanya bisa memnadang dengan tatapan kosong. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Sehari setelah pemakaman. Aini masih terbengong dengan keadaan yang menimpa dirinya. Teman-temannya silih berganti berdatangan menghiburnya, begitu pula tetangga yang saying dengan Aini. Suatu sore, Aini menemukan sebuah surat bewarna putih bersih di laci almarinya. Ia segera membukanya.

Untuk Bidadariku tercinta Nak, ibu tidak tahu harus memulai dari mana, terlalu banyak yang

harus Ibu ceritakan. Nak, Ibu sangat mencintaimu bahkan melebihi cinta ibu kepada diri Ibu sendiri. Saat kau belum lahir, sebenarnya

ayahmu adalah saudagar kaya di kampung ini, namun karena kami sudah menikah lima tahun dan belum dikaruniai momongan,

maka kami bernadzar bila kami dikaruniai momongan, kami akan

ada di hatimu, Nak, karena kaulah satu-satunya pelipur hati Ibu selama ini. Maafkan Ibu bidadariku, Ibu harus pergi. Terimakasih sudah mau menjadi putri dari moster bermata satu ini. Jangan pernah kau menyerah pada hidup, Nak. Kaulah mata hati ibu dan ayah sepanjang waktu,”

Setelah membaca surat tersebut, Aini serasa jatuh terhempas ke tanah. Badan, pikiran, dan perasaannya sakit. Urat-urat nadinya seakan tak berdaya lagi. Oh, inilah sebuah kenyataan yang baru saja disadarinya. Rasa sesalnya tiada guna.