TITIP SALAM BUAT AYAHKU YA, KAKAK!

TITIP SALAM BUAT AYAHKU YA, KAKAK!

Akyasa Adiba

“Lihat ibu! Aku menang! Aku menang!” Aku berkata sambil berlari kearah Ibuku memegang piala emas berbentuk pengeras suara itu di kedua tangan mungilku. Juara satu lomba menyanyi tingkat kota untuk siswa sekolah dasar terukir dibawah piala itu dan setelah sekian lama berlatih aku akhirnya berhasil mendapatkan juara. Namaku Tida Kurniawati disingkat menjadi Tida K di piala itu tapi tidak apa-apalah. Aku tetap senang!

“Hebat! Congratulations! Aku bangga sekali!” Ibuku berkata sambil memelukku erat. Ia mengelus rambutku dan mencium kedua pipiku dengan penuh cinta.

“Bu! Ayah dimana?” tanyaku setelah aku berhasil membujuk ibuku untuk melepaskanku dari pelukannya. Seminggu sebelum kompetisi dimulai, Ayahku sudah berjanji akan datang dan menontonku. Tidak seperti anak-anak yang lain, aku tidak bisa bertemu dengan ayahku setiap hari jadi aku senang sekali saat ayahku berjanji akan menonton lombaku.

Aku menatap ibuku dan mencoba untuk mempertahankan rasa optimisku tetapi melihat wajah ibuku yang seperti itu, aku langsung kecewa. Seperti lilin yang ditiup mati, sinar dari kedua mata ibuku langsung meredup. Ibuku mengalihkan pandangannya ke lantai sebentar, seolah-olah ibu merasa bersalah padaku, sebelum ibu menatapku lagi. Kali ini pandangannya terlihat mengiba.

“Ayah tidak bisa datang hari ini.” Kata-kata yang keluar dari mulut ibuku terasa seperti tonjokan

keras ke ulu hatiku. Piala yang aku gengam ditanganku hampir aku jatuhkan. “Tapi... tapi... Ayah sudah berjanji!” aku berkata dengan susah payah, mencoba untuk mengalahkan gumpalan kesedihan yang berkumpul di tenggorokanku.

“Tida,” Ibuku berkata dengan suara lembut sambil menghapuskan air mata yang bergulir ke pipiku. “Tida, mengerti kan mengapa Ayah tidak bisa pulang hari ini?”

Aku mencoba untuk menatap wajah ibuku dibalik tirai air mataku. Walaupun buram aku tahu kalau ibuku sedang tersenyum. Aku berusaha keras untuk menghapus air mataku dan berhenti menangis. Aku ingin tersenyum karena ibuku pun juga tersenyum. Tapi sekeras apapun aku berusaha, air mataku terus mereka terus saja mengalir, meluapkan rasa kecewa yang ada di hatiku terhadap ayahku sendiri.

Ibuku tak berkata apa-apa. Ibu hanya melingkarkan tangannya di bahuku dan memelukku erat. Aku tahu ibu tidak menginginkanku menjadi bahan tontonan orang-orang yang berada di Amplas ini.

Setelah tangisanku agak mereda aku bertanya, “Ibu... Ayah itu... sering mengingkari janji-janjinya ya?” Aku mendengar tarikan nafas ibuku yang berat. Ia memelukku erat dan terdiam lama. Keheningan yang berat menyelimuti kami berdua. Pada akhirnya ibuku melonggarkan pelukannya dan menatapku. “Hus! Tida, jangan ngomong kayak gitu, ya? Ayah pasti menepati janjinya lain kali.”

Lain kali? Aku ragu akan itu. Sebelum aku dapat menimpali kata- kata ibuku, ibuku sudah menggandeng tanganku dan mengajakku jalan membelah lautan manusia menuju ke Ice Blizzard.

Aku menatap ibuku bingung tapi Ibu hanya tersenyum ringan. “Ayo kita makan di Ice Blizzard sekarang! Kamu bisa memesan Mega Choco Chunk atau Rocky Sunday buat makanan penutupmu.”

“Beneran, bu?” Aku berkata, sedikit bersemangat. Ibuku mengagguk dan aku tidak bisa lagi menahan senyuman kecil yang memaksa untuk muncul di bibirku. Ice Blizzard adalah restoran favoritku yang terkenal akan kelezatan es krimnya. Tapi restoran

Ice Blizzard itu ramai banget sih, makannya ibu jarang mengajakku ke sana.

Aku menatap piala di genggamanku dan mendesah lelah. Sebenarnya, apa sih alasanku mengikuti lomba ini?

“Kak Tida! Kak Tida! Kok Kakak nyuekin aku, sih?” ujar Adila, adik kelasku yang paling menyebalkan! Sukanya pamer saja kesana- kesini. Aku heran mengapa ia tidak dibenci anak-anak satu sekolahan.

Aku ingin langsung masuk saja ke dalam mobil jemputanku tapi karena si nyebelin ini terus memanggilku, aku membalikkan badanku dengan perlahan dan menatapnya. Rambut bergelombang yang berkilau, porporsi badan yang sempurna dan dua bola mata bulat yang mirip dengan mataku. Tentu saja, dengan bulu mata Adila yang lentik, bola matanya yang bulat itu tidak terlihat kebesaran di wajahnya.

Tch, dia memang cantik. Aku akui itu, tapi ia juga tak harus sok akrab sama aku. “Lihat apa yang dibeli ayahku kemarin!” ujarnya sambil memamerkan tas barunya dengan bangga. “Ini dibeli ayahku dari Perancis lho Kak. Katanya ini model terbaru.”

“Oh? Terus? Ayahku juga pernah ke Perancis,” kataku dengan dingin. Adila masih tetap tersenyum namun sekarang ia tidak terlihat begitu tulus melakukannya. “Apa yang dibeli sama Ayahnya kakak?” “Kalung Eiffel Tower yang ada brillian aslinya,” aku berkata dan tersenyum puas ketika rasa kaget menyapu wajahnya. Sebenarnya ayahku pernah ke Perancis dua tahun yang lalu. Saat itu ayahku membelikan aku kalung Eiffel Tower yang terbuat dari besi. Oke, oke, mungkin aku melebih-lebihkannya sedikit tapi anak itu sudah membuatku kesal sih, jadi aku tak peduli!

Untuk sesaat aku dapat menikmati rasa marah yang bermain di wajahnya karena aku mendapatkan hadiah yang lebih mewah darinya. Namun ia memasang topengnya lagi dan tersenyum. Senyuman mengejek dan merendahkan yang aku benci. “Kemarin aku ikut lomba nari lho, Kak. Yah, walaupun aku nggak menang, kedua orangtuaku tetap datang dan mendukungku. Habis itu aku dibeliin boneka dari Lacy Dolls oleh orangtuaku. Ayahku memang kenal banget sih sama aku jadi ia memilih boneka Kelinci Putih yang aku sukai. Besok aku lihatin, ya?”

“Terserah,” aku berkata dengan bosan sambil masuk ke dalam mobil jemputanku. Kalau aku berkata aku iri, aku akan berbohong

Tiba-tiba saja Adila masuk ke dalam mobilku. Aku mengira kalau ia ingin menguntitku tapi dengan sikap yang sok sedih ia berkata, “Aku ikut sama kamu ya, Kak? Ibuku tidak bisa menjemputku hari ini.”

Ya, nggak apa-apa. Kamu duduk manis saja... di bagasi! Itulah yang ingin aku katakan tapi aku tahu itu tak sopan jadi aku mengiggit saja lidahku dan mengangguk. Walaupun rumah kami berjauhan ibuku dan ibunya Adila memang berteman jadi Adila sering menumpang pulang di mobilku.

Sepanjang perjalanan aku harus mendengar ocehan Adila tentang keluarganya dan barang-barang yang telah dibeli ayahnya. Rasanya aku ingin melempar anak kecil itu keluar jendela saja tapi aku tak tega. Sabar sekali ya, aku ini?

Saat sopirku menurunkanku di depan rumahku, aku melihat mobil ayahku terparkir di garasi dan langsung teringat janji yang diingkarinya. Tch, aku malas bertemu dengan ayah.

Aku harus mengumpulkan seluruh energiku untuk memaksa diriku sendiri turun dari mobil jemputanku. Aku menutup pintu mobilku dengan lesu dan berjalan ke rumahku. Aku mencoba untuk mengalihkan pikiranku ke hal-hal yang lebih baik tetapi dengan suara rauman motor dan klakson mobil yang terdengar di jalan raya, aku tidak bisa berpikir apa-apa kecuali mempertanyakan mengapa orangtuaku memutuskan untuk membangun rumah di dekat jalan raya.

“Kak Tida!” Suara cempreng dan menyebalkan itu lagi. Aku menengok ke arah mobil jemputanku dengan sebal dan melihat Adila melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Mulutnya bergerak, membentuk sebuah kalimat tapi aku tak bisa mendengarnya karena suara klakson dari bis yang hendak lewat.

Adila tersenyum padaku dan menaikan kembali kaca jendelanya. Aku menatapnya dengan sengit sampai akhirnya mobil itu sudah tertelan oleh lautan kendaraan. Apa-apaan sih dengan senyumannya itu? Kok rasanya ia baru menjelek-jelekkan aku ya? Aku mendesah kesal dan melanjutkan jalan untuk menuju rumahku. Lebih baik nggak usah mikirin anak nyebelin itu, ah!

Aku masuk ke dalam rumahku dan menengok sana-sini, ingin menghindari ayahku. Hehe, sepertinya aman. Aku tidak melihat ayahku dimana-mana. Dengan santai aku menaiki tangga dan menuju kamarku. Setidaknya aku bisa bersembunyi di sana untuk sementara waktu.

Aku membuka pintu kamarku dan... Akh! Duduk di samping tempat tidurku adalah ayahku. Huh, seharusnya aku tidak sebodoh ini! Aku ingin berlari keluar tapi rasanya sudah terlambat. Mata hitam ayahku menatapku dan senyuman lebarnya yang menurutku seperti bulan sabit itu memekar di bibirnya.

“Tida,” ia mengucapkan namaku dengan lembut seolah-olah aku adalah burung yang siap terbang jika burung itu ditakut-takuti. Tangan kanannya ia sembunyikan dibalik punggungnya seolah-olah ayahku sedang menyembunyikan sesuatu.

“Ayah,” aku berkata dengan datar. Entah mengapa tetapi rasanya semakin aku bertambah besar semakin susah bagiku untuk mengucapkan kata itu.

“Maafkan ayah karena tidak bisa datang dan melihatmu bernyanyi,” ujarnya sambil berdiri. “Nggak apa-apa, ayah,” aku berbohong. Aku mencoba untuk menutupi perasaan sedihku dengan senyuman tetapi sudah kelihatan sekali bahwa ayahku tahu kalau aku sedang berbohong. Tatapan dari mata hitamnya itu tajam, menusuk menembus semua kepalsuanku.

“Aku nggak apa-apa kok, ayah. Ayah nggak usah khawatir.” Aku berkata, mencoba untuk meyakinkannya tetapi sekarang air mataku sudah mulai mengancam turun.

Ayahku melembutkan pandangannya dan mendekat padaku. “Sudahlah. Ayah tahu kalau kamu marah pada, ayah. Tumpahkan saja. Tumpahkan saja semuanya.”

“Aku nggak mengerti maksud ayah. Aku nggak marah kok,” ujarku, melipat kedua tanganku di dada dan mengalihkan pandanganku pada poster Anime yang aku tempel di dinding kamarku.

“Jadi, Tida, nggak apa-apa?” tanya ayahku berhati-hati. Kehinangan menyelimuti kami berdua selagi aku memikirkan

pertanyaan itu. “Ya,” akhirnya aku berkata dengan berat hati. Ayahku mengerutkan dahinya dan mendesah lelah. Sepertinya

ayahku bingung tentang apa yang harus dilakukannya karena aku terus berbohong padanya. “Kalau begitu sini, ayah punya hadiah buat kamu.”

Dengan langkah-langkah yang ragu aku mendekat pada ayahku. Ayahku tersenyum sedih melihat itu tapi ia tidak berkata apa-apa. “Ini. Tida pernah minta boneka kan?” ayahku berkata sambil memberiku boneka kelinci putih dengan pita merah yang terikat di lehernya. Aku memeggang kelinci itu dan dikejutkan oleh betapa halus bulunya itu. Baunya pun harum seperti es krim vanilla. Ini... tidak mungkin! Ini boneka dari Lacy Dolls! Boneka Lacy Dolls yang sama dengan yang dipunyai anak nyebelin itu! Entah mengapa ini membuatku marah. Amarah besar yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku meremas boneka itu di tanganku dan menatap ayahku tajam.

“Aku nggak suka, ayah! Aku nggak suka!” teriakku marah sambil membantingkan boneka itu. “Kenapa ayah menyamakanku dengannya? Kenapa?!”

Ayahku sama sekali tidak terlihat terkejut dengan amarahku itu. “Tida tahu kan kalau ayah harus bersikap adil pada kalian berdua?” “Adil? Adil? Ini tidak adil ayah! Kenapa ayah datang ke lomba narinya dan tidak ke lomba nyanyiku? Padahal... Padahal, ayah sudah berjanji padaku duluan!” Aku berkata membiarkan air mataku jatuh.

Dengan pandangan yang kabur aku berjalan ke meja belajarku dan mengambil piala kejuaraanku.

Aku menyerahkan piala itu pada ayahku dan berkata, “Aku memenangkan piala ini untuk ayah tapi ayah nggak ada di sana untuk melihatku! Apa artinya piala ini kalau begitu, ayah?”

Ayahku tidak berkata apa-apa ia hanya memandang piala itu. Wajahnya pun datar sehingga aku tidak bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.

“Ayah lihatlah aku!” Aku meminta dengan keras sampai suaraku bergetar. “Ayah jangan mengira kalau aku nggak tahu apa-apa. Aku sudah duduk di kelas lima sekarang. Aku sudah mulai mengerti mengapa ibu menangis setiap hari di kamarnya saat ayah nggak ada! Apa ayah sudah nggak sayang sama ibu? Sama aku?”

Ayahku menatapku tajam dan suaranya pun mengeras. “Bukan begitu, Tida! Ayah sayang padamu dan Ibu.” Ayah mendekat padaku tapi aku melangkah mundur. Ayahku terkejut dan membeku. Sepertinya langkah kecilku tadi menyakiti hati ayahku.

“Benarkah, ayah? Kalau begitu, ayah nggak usah lagi ke rumahnya Adila! Aku nggak suka! Aku nggak suka! Teman-temanku tidak harus membagi ayah mereka, kenapa aku harus?” tanyaku marah dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ayah tidak bisa begitu saja meninggalkan Adila dan mamanya,” Ayahku berkata dengan nada yang tegas, menunjukan kenyataan pahit yang tak bisa aku tinggalkan.

“Itulah satu hal yang nggak bisa aku mengerti. Mengapa ayah tega-teganya menduakan ibu? Apa ibu sudah nggak cukup lagi buat ayah? Atau... apa semua ini gara-gara aku?” Aku berkata dengan suara yang lemah. “Aku tahu kalau aku nggak secantik Adila. Aku juga nggak sepintar atau sesempurna dirinya karena itulah ayah pasti lebih bangga pada Adila daripada aku.”

“Bukan begitu. Mamanya Adila telah membantu keluarga kita lebih dari apa yang bisa Tida bayangkan,” ayahku berkata mulai menjelaskan tapi aku tak mau mendengar. Aku sama sekali tidak suka dengan mamanya Adila yang sok seperti anaknya itu. Aku berlari

“Titip salam buat ayahku ya, Kakak!”