Terapi farmakologi Asma Bronkial dan Bronkitis Asmatis

c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap Pada ruang rawat inap, pemberian oksigen dapat diteruskan dan jika ada dehidrasi serta asidosis, maka dehidrasi dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi. Nebulisasi β2-agonis dengan antikolinergik dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian terjadi perbaikan klinis maka frekuensi pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam. Steroid intravena dapat diberikan secara bolus dengan dosis 0,5-1 mgkgBBhari setiap 6-8 jam. Aminofilin dapat diberikan secara intravena dengan dosis awal jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya 6-8 mgkgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dan diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin sebelumnya kurang dari 4 jam maka dosis yang dapat diberikan adalah setengah dari dosis awal. Kadar aminofilin ini sebaiknya diukur dan dipertahankan sebesar 10- 20 μgml. Dosis rumatan aminofilin diberikan setelah 4 jam dengan dosis 0,5-1 mgkgBBjam. Jika terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6-12 jam. Steroid dan aminofilin dapat diganti dengan pemberian per oral dan jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan diberikan obat hirupan β2-agonis hirupan atau oral setiap 4-6 jam selama 24-48 jam.

3. Terapi farmakologi

Terapi melalui rute inhalasi merupakan rute terapi pertama untuk anak dengan asma pada semua umur. Hampir semua anak dapat memberikan hasil yang efektif dengan terapi inhalasi. Pada terapi farmakologi asma dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu controllers dan relievers. a. Controllers Obat ini merupakan terapi yang diberikan setiap hari secara jangka panjang untuk menjaga asma tetap terkontrol terutama melalui efek antiinflamasi. Obat golongan controllers untuk terapi pada anak meliputi: inhalasi dan injeksi glukokortikosteroid, leukotriene modifiers, inhalasi long acting β 2 - agonists , teofilin, kromolin, dan long- acting β 2 -agonists secara per oral. Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif Global Initiative for Asthma, 2012. 1. Inhalasi dan glukokortikosteroid sistemik Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif dan direkomendasikan untuk terapi asma pada anak di semua usia Global Initiative for Asthma, 2012. Formulasi ini sangat efektif meningkatkan indeks terapeutik obat dan mengurangi efek samping tanpa menghilangkan efek terapinya. Obat yang termasuk dalam glukokortikosteroid yang ada untuk terapi saat ini adalah beklometason dipropionat, triamsinolon asetonid, flutikason propionat, flunisolid, dan budesonid yang semuanya efektif untuk mengontrol asma pada dosis yang sesuai Brunton et al., 2010. Mekanisme aksi dari glukokortikosteroid dalam terapi asma adalah dengan meningkatkan reseptor β 2 -adrenergik dan meningkatkan responsivitas reseptor untu k menstimulasi β 2 -adrenergik, mengurangi produksi mukus dan hipersekresi mukus, mengurangi bronkokonstriksi, mengurangi inflamasi pada saluran pernapasan dan eksudasi. Reseptor glukokortikosteroid ditemukan di sitoplasma pada sebagian besar sel di dalam tubuh. Kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat masuk melewati membran dan akan berikatan dengan reseptor glukokortikosteroid. Aktivasi reseptor kortikosteroid akan mengaktifkan faktor transkripsi untuk memicu aktivasi biologis. Kemudian akan terbentuk mRNA yang akan meningkatkan produksi dari mediator anti inflamasi; dan menekan produksi beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-8, mengurangi aktivasi sel inflamasi, infiltrasi dan penurunan permeabilitas vaskular Dipiro et al., 2008. Obat steroid inhalasi yang sering digunakan untuk anak-anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah budesonid inhalasi untuk anak usia kurang dari 12 tahun adalah 100- 200 μghari yang setara dengan 50- 100 μghari flutikason dan untuk anak berusia di atas 12 tahun adalah 400 μghari 100-200 μghari flutikason. Pada penggunaan obat ini belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Jika setelah penggunaan steroid dengan dosis rendah selama 8-12 minggu tidak timbul respon dan masih terdapat gejala asma, maka pengobatan dilanjutkan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid inhalasi dengan 400 μghari dan termasuk dalam penatalaksanaan asma persisten Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008. Pemberian glukokortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalam waktu 12-24 jam. Pilihan steroid yang utama adalah metil prednisolon karena memiliki efek antiinflamasi yang lebih besar dan efek mineralokortikoid yang minimal. Dosis metil-prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mgkgBB diberikan setiap 4-6 jam. Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mgkgBB setiap 4-6 jam. Deksametasone diberikan secara bolus intravena dengan dosis ½ - 1 mgkgBB, dilanjutkan 1 mgkgBBhari setiap 6-8 jam Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008. Efek samping inhalasi glukokortikosteroid adalah pada dosis tinggi dapat menyebabkan kulit menjadi tipis dan memar serta insufisiensi adrenal. Pemberian dosis rendah pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat Global Initiative for Asthma, 2012. Pada pemberian budesonid memiliki efek samping seperti nyeri, sakit punggung, infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, faringitis, batuk, sakit kepala, infeksi telinga, infeksi virus, dan perubahan suara. Pada pemberian flutikason dapat menimbulkan efek samping seperti sakit kepala, faringitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas, diare, hidung berair, dan demam Departemen Kesehatan RI, 2007. 2. Leukotriene modifiers Obat-obat golongan antagonis reseptor leukotrien adalah zafirlukast dan montelukast sedangkan obat inhbitor 5-lipoksigenase adalah zileuton telah tersedia di Amerika Serikat sejak tahun 1996 yang baik digunakan pada anak- anak maupun orang dewasa dengan asma persisten. Obat ini dapat mengurangi faktor pemicu asma seperti alergen, latihan fisik, udara dingin, iritan, dan aspirin. Penggunaan terapi obat dari zileuton terbatas kerena adanya potensi peningkatan enzim hati khususnya pada 3 bulan pertama terapi dan adanya penghambatan potensial dari metabolisme obat oleh isoenzim CYP3A4 Sukandar dkk., 2009. Dalam uji klinis, antagonis reseptor LTD 4 zafirlukast dan montelukast telah menunjukkan keberhasilan terapi pada orang dewasa dan anak-anak dengan asma persisten. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru FEV1 dan PEF, menurunkan gejala terbangun pada malam hari, dan penggunaan β 2 - agonis. Manfaat utama dari golongan obat ini adalah dapat efektif pada pemberian per oral dengan frekuensi pemberian sekali atau 2x sehari. Namun, penggunaan terapi obat ini kurang efektif dibandingkan dengan terapi dosis rendah pada inhalasi kortikosteroid. Mekanisme kerja zafirlukast dan montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien yang selektif dan kompetitif sehingga dapat menghambat produksi leukotrien yang akan menimbulkan inflamasi. Mekanisme zileuton adalah sebagai inhibitor spesifik 5- lipoksigenase yang akan menghambat pembentukan LTB 1 , LTC 1 , LTD 1 , Lte 1 Dipiro et al., 2008. Efek samping dari pemberian Leukotriene modifiers tidak diketahui secara spesifik pada dosis yang dianjurkan. Peningkatan enzim liver dapat terjadi pada pemberian zafirlukast dan zileuton Global Initiative for Asthma, 2012. Efek samping pemberian Leukotriene modifiers terjadi pada 3 pasien seperti sakit kepala, mual, dan infeksi Departemen Kesehatan RI, 2007. 3. Inhalasi long acting β 2 -agonists dan long- acting β-agonists secara oral Obat-obat golongan long acting β 2 -agonist yaitu formoterol dan salmeterol yang dapat memberikan efek bronkodilatasi jangka panjang dalam bentuk aerosol. Salmeterol lebih selektif dibandingkan albuterol karena dapat tertinggal lebih lama di paru. Yang membedakan formoterol dari salmeterol adalah formoterol mempunyai onset yang lebih cepat. Salah satu jenis obat ini biasanya dikombinasikan dengan sediaan kortokosteroid sebagai terapi profilaksis Dipiro et al., 2008. Mekanisme kerja obat pada golongan β 2 -agonis berkaitan dengan relaksasi langsung otot polos saluran napas dan mengakibatkan bronkodilatasi. Stimulasi reseptor β 2 adrenergik ini akan mengaktifkan jalur Gs-adenilil siklase-AMP siklik yang mengakibatkan penurunan tonus otot polos. Obat ini juga meningkatkan konduktansi saluran Ca2+ yang sensitif terhadap K+ dalam otot polos saluran napas, menyebabkan hiperpolarisasi dan relaksasi membran Brunton et al., 2010 Efek samping pada pemberian inhalasi long acting β 2 -agonists memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian per oral. Efek samping ini seperti demam dan berhubungan dengan peningkatan risiko serangan berat. Pada pemberian per oral, efek samping yang dapat ditimbulkan berupa takikardi, ansietas, tremor, sakit kepala, dan hipokalemia Global Initiative for Asthma, 2012. 4. Teofilin Teofilin merupakan suatu metil xantin yang masih sering digunakan untuk terapi asma. Teofilin dapat menghasilkan efek bronkodilatasi dengan bekerja menghambat nonselektif fosfodiesterase yang kemudian akan meningkatkan kadar cAMP dan cyclic guanosine monophosphate. Teofilin mulai jarang digunakan sebagai pertimbangan akan peningkatan risiko severe life threatening toxicity dan banyak interaksi antar obat serta penurunan efikasi dibandingan dengan inhalasi kortikosteroid dan long acting β 2 -agonis Dipiro et al., 2008. Efek samping dari pemberian teofilin adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi serum tinggi dapat menyebabkan takikardi, aritmia, dan seizure Global Initiative for Asthma, 2012. b. Relievers Obat ini merupakan terapi yang digunakan pada saat dibutuhkan aksi yang cepat untuk mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala yang ada. Golongan obat ini meliputi: inhalasi β 2 -agonis kerja cepat, inhalasi antikolinergik, teofilin kerja pendek, dan β 2 agonis kerja pendek secara per oral Global Initiative for Asthma, 2012. 1. Inhalasi β 2 -agonis kerja cepat dan β 2 agonis kerja pendek secara per oral Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, levalbuterol HFA, reproterol, dan pirbuterol. Terapi dengan inhalasi β 2 -agonis kerja cepat seharusnya diberikan hanya pada saat dibutuhkan dengan dosis rendah dan frekuensi yang diperlukan Global Initiative for Asthma, 2012. Terapi β 2 agonis kerja pendek secara per oral tepat jika digunakan pada sebagian pasien yang tidak dapat menggunakan terapi dengan inhalasi meskipun penggunaannya sangat berkaitan dengan tingginya prevalensi terjadinya efek samping. Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian secara per oral adalah takikardi, tremor, sakit kepala, dan iritasi serta pada dosis tinggi dapat menyebabkan hiperglikemi dan hipokalemia. Global Initiative for Asthma, 2012. Dosis yang dapat diberikan pada salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mgkgBBkali dan diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,005-0,1 mgkgBBkali setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mgkgBB. Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai pada 2-4 jam dan lama kerjanya sampai 5 jam Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008. Pemberian salbutamol secara nebuliser dapat diberikan dengan dosis 0,1-0,15 mgkgBB dosis maksimum 5 mgkali, dengan interval 20 menit, atau nebulisasi secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mgkgBBjam dosis maksimum 15 mgjam Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008. 2. Inhalasi antikolinergik Antikolinergik merupakan inhibitor kompetitif reseptor muskarinik, mengatasi bronkokonstriksi termediasi kolinergik. Golongan ini merupakan bronkodilator, namun tidak seefektif β2 agonis. Antikolinergik melemahkan tapi tidak menghambat bronkokonstriksi akibat olahraga. Contoh obatnya adalah ipratropium dan tiotropium bromida Dipiro et al., 2008. Pada terapi asma, inhalasi antikolinergik tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang manajemen asma pada anak-anak. Efek samping dari pemberian obat ini adalah mulut kering dan rasa tidak enak di mulut Global Initiative for Asthma, 2012. c. Obat-obat lain 1. Mukolitik Mukolitik diberikan untuk membantu ekspektorasi dengan mengurangi viskositas sputum Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008. Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat diberikan tetapi harus hati-hati pada anak dengan reflek batuk yang optimal. Terapi mukolitik inhalasi tidak menunjukkan manfaat dalam penanganan serangan asma, pada serangan asma berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008. Obat mukolitik yang sering digunakan adalah bromheksin. Obat ini bekerja dengan mengurangi kekentalan mukus sehingga mudah untuk dikeluarkan. Efek samping obat ini berupa gangguan pada saluran cerna, pusing, berkeringat, tetapi jarang terjadi Tjay dan Rahardja, 2007. 2. Antibiotika Pemberian antibiotik pada terapi asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri. Antibiotika pada keadaan tertentu dapat diberikan yaitu pada infeksi respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh bakteri seperti adanya tanda-tanda pneumonia, sputum yang purulen, serta jika diduga ada rinosinusitis yang menyertai asma Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008. a. Eritromisin Eritromisin merupakan anti bakteri yang memiliki spektrum yang hampir sama dengan penisilin dan memiliki aktivitas terhadap bakteri gram positif. Eritromisin juga aktif terhadap bakteri anaerob yang terdapat di usus. Anti bakteri ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga bakteri dapat lisis. Eritromisin dapat digunakan untuk infeksi saluran pernapasan, pertusis, enteritis karena kampilobakter, dan penyakit legionaire Brunton et al., 2010. Eritromisin memiliki efek antiinflamasi yang terjadi pada asma bronkial. Obat ini bekerja dengan mengurangi produksi sel endotelin-1 yang berperan utama dalam bronkokonstriksi asma bronkial. Pada uji klinis terdahulu, dapat diketahui bahwa makrolida dapat mengurangi produksi sitokin proinflamasi dengan menghambat pelepasan IL-8, epithelial cell- derived neutrophil attractant ENA-78, and macrophage inflammatory protein 1 MIP-1 sehingga inflamasi yang terjadi dapat berkurang Kanoh, 2010; Wales, 2014. Efek samping obat ini dapat menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan reaksi alergi lainnya Sukandar dkk., 2009; Brunton et al., 2010. b. Isoniazid Obat ini berfungsi untuk terapi tuberkulosis aktif dan untuk profilaksis orang yang memiliki risiko tinggi terjadi infeksi. Obat ini efektif terhadap bakteri dalam keadaan metabolik aktif yaitu bakteri yang sedang berkembang dengan bekerja pada sintesis mycolic acid yang diperlukan untuk membentuk dinding sel bakteri Departemen Kesehatan RI, 2005. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, neuritis perifer, kejang, reaksi hipersensitif seperti eritema multiforme, demam, agranulositosis Sukandar dkk., 2009. c. Rifampisin Rifampisin digunakan untuk terapi tuberkulosis yang dikombinasikan dengan antituberkulosis lain. Obat ini bekerja dengan menghambat aktivasi polymerase RNA sehingga sintesis RNA pada bakteri dapat terganggu Departemen Kesehatan RI, 2005. Efek samping rifampisin adalah gangguan saluran pencernaan yang meliputi mual, muntah anoreksia, diare, rasa panas di perut. Pada terapi intermitten dapat terjadi gangguan respiratori pendek, syok, anemia, trombositopenia, gangguan fungsi hati, ruam, udem, leukopenia, eosinofilia, dan gagal ginjal akut Sukandar dkk., 2009. 3. Antihistamin Antihistamin oral dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu nonselektif generasi pertama atau antihistamin yang bersifat sedatif dan selektif perifer generasi kedua atau antihistamin non sedatif. Pada umumnya antihistamin generasi pertama bersifat larut lemak dan dapat melewati sawar ini dengan mudah. Obat yang selektif terhadap perifer memiliki sedikit atau tidak sama sekali memiliki efek pada sistem saraf pusat atau otonom Sukandar dkk., 2009. Antihistamin H 1 bekerja dengan menghambat secara kompetitif terhadap histamin untuk berikatan dengan reseptor histamin sehingga reseptor tidak teraktivasi. Tidak adanya aktivasi ini menyebabkan tidak terjadinya efek seperti kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah Pohan, 2007. 4. Antiemetika a. Ondansetron Ondansetron merupakan serotonergis agonis dan antagonis terbaru yang dapat memiliki efek antimuntah yang sangat efektif. Obat ini bekerja menghambat terbentuknya ikatan serotonin dengan reseptor 5HT3 Chow, 2010. Efek samping obat ini adalah konstipasi, nyeri kepala, sensasi hangat atau muka merah, reaksi hipersensitivitas, nyeri dada, aritmia, hipotensi dan bradikardia Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008. b. Metoklopramid Merupakan obat golongan antagonis dopamin yang bekerja pada reseptor dopamin pada Chemoreceptor Trigger Zone CTZ yang merupakan pusat muntah. Obat ini bekerja dengan menghambat CTZ sehingga mual dan muntah dapat berkurang Tjay dan Rahardja, 2007. Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti, efek ekstrapiramidal terutama terjadi pada anak-anak, hiperprolaktinemia, mengantuk, gelisah, diare, depresi, ruam kulit, udem Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008. 5. Antitukak Ranitidin merupakan obat yang dapat mengurangi sekresi asam lambung yang bekerja sebagai antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 di sel parietal sehingga histamin tidak dapat berikatan dengan reseptor H2 dan menginduksi sekresi asam lambung Birnkammer, 2011. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah diare, gangguan fungsi cerna, sakit kepala, pusing, ruam dan rasa letih Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008.

4. Interaksi Obat

Dokumen yang terkait

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014.

3 13 142

Kajian drug related problems [DPRs] pada kasus hepatitis B non komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2007.

0 3 93

Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012 – Juni 2013

0 12 169

Kajian drug related problems [DPRs] pada kasus hepatitis B non komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2007 - USD Repository

0 0 91

Evaluasi drug therapy problems pada pengobatan pasien stroke iskemik di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2007 - Juni 2008 - USD Repository

0 0 129

Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien hipertensi primer usia lanjut di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008 - USD Repository

0 0 129

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009 - USD Repository

0 0 145

Evaluasi drug related problems pada pengobatan pasien hipertensi dengan komplikasi stroke di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli 2008- Juni 2009 - USD Repository

0 0 137

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN OPERASI SESAR (CAESAREAN SECTION) DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE 2008

0 3 149