Kegembiraan Keputusan Siklus II

453

11. Kegembiraan

Kegembiraan dan kenyamanan murupakan hal yang terpenting dalam pembelajaran nilai. Apabila para peserta didik merasa nyaman dan gembira maka mereka akan selalu menanti-nanti pelajaran ini. Mereka paham apa yang diharapkan dan berpartisipasi secara antusias di setiap elemen pelajaran. Ketika anda sudah terbiasa menggunakan materi pembelajarn ini maka dengan mudah anda akan menemukan dan mengganti stimulus yang anda pergunakan serta mengembangkan aktiitas atau kegiatan pembelajaran anda sendiri, kemudian pengajaran nilai dengan kurikulum menjadi sesuatu yang otomatis. Jadikanlah kegembiraan sebagai elemen utama pembelajaran dan anda akan lihat efek positifnya di berbagai aspek pada lingkungan sekolah. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program living values education di beberapa sekolah menekankan prinsip-prinsip pembelajaran aktif seperti melibatkan peserta didik, memperhatikan perbedaan kemampuan peserta didik, sharing ide kepada peserta didik yang lain, dan lain-lain. Untuk itu dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di Indonesia, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: Pertama, pendidikan karakter nilai dapat berjalan dengan baik jika diawali dengan perubahan paradigma tentang proses pembelajaran dan makna karakter. Setiap praktisi dan pemerhati harus mempunyai persepsi yang sama tentang karakter, bahwa yang diperlukan dalam pendidikan bukan menghafal tentang karakter tapi harus menghidupkan karakter dalam proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Kedua , perubahan paradigma tersebut perlu segera dibarengi dengan perubahan kebijakan yang memungkinkan paradigma tersebut dapat diiplementasikan di lapangan oleh para pemangku kebijakan. Hal ini harus dilakukan secara sistemik mulai dari level paling tinggi Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional sampai tingkatan paling rendah di Sekolah dan Madrasah. Ketiga, perlu ada peninjauan kembali kurikulum yang berbasiskan nilai untuk membangun karakter peserta didik. Hal ini lebih efektif dilakukan di tingkat LPTK sebagai lembaga pencetak calon guru yang pada saatnya sebagai orang yang mendidik di sekolahmadrasah. Keempat, setiap pendidik perlu mempunyai wawasan yang sama tentang karakter dan mengetahui bagaimana cara menghidupkan nilai. Kelima, perlu ada evaluasi dan monitoring selama proses menggali dan menghidupkan nilai sehingga ada peningkatan kualitas secara berkelanjutan. 454 Daftar Pustaka Dee Fink, L. Active Learning, reprinted with permission of the Oklahoma Instructional Development Program . 1999 Drake, Christopher, Living Values: An Educational Programme. Paper presented in Annual Conference of The Hongkong Education Research Association. 1999 Goleman, D. Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: bantam Books. 1995 Hankes. Neil. How to Inspire and Develop Positive Values in Your Classroom . Published by LDA. ISBN. 1-85503-371-2. 2003 Hellmut R.L dan David N. E. Models, Strategies, and Methods for effective Teaching . Bostom: Pearson Education, Inc. 2006 Herbert J. Klausmeier. Learning and Teaching Concepts. New York: Academic Press, Inc. 1980 James M.Cooper Ed Classroom Teaching Skills. Toronto: D.C. Health and Company. 1990 Pollio, H.R., “What Students Think About and Do in College Lecture Classes” dalam Teaching-Learning Issues No. 53, K. 2002 Silberman , M L, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject, Boston, Allyn and Bacon. 1996 Soediono, dkk. Paket Pelatihan Awal Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak Program Manajemen Berbasis Sekolah . Jakarta: Depdiknas, Unesco, Unicer dan Nzaid. 2000 Tillam, D.G. Living Values : An Educational Initiative . USA: Oficer for Center Seal Beach. LA.90740. 1998 Tillam, D.G. Living Values for Children Ages 8-14 . Deerield, FL: Health Communication. Inc. 2000 455 PENDIDIKAN KARAKTER MENYONGSONG INDONESIA EMAS 2045 Azkia Muharom Albantani, Ach Wildan Al Faizi Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Universitas Islam Negeri Maulana UIN Malik Ibrahim Malang Email: azkiuinjkt.ac.id Abstract : This paper is aimed to share idea how ideal the continuity of character education implementation is to face the Indonesia Golden 2045. Hopefully, this paper can give an early description of how importance the educational preparations are to face the Indonesia golden 2045. To achieve that target, the writer conduct literature study books, journals, and documents related to the problem of this paper. As a result, there some important points related to the theme, those are: 1. The ideal way to build Indonesian generation character; 2. The role of character education in developing nation; 3. Character education has important role in facing the Indonesia Golden 2045; and 4. Character education also has function to humanize human being. Keywords: character education; Indonesia golden; national generation Pendahuluan Pendidikan merupakan sarana proses yang terjadi secara terus- menerus dengan bertujuan untuk mengubah jati diri seseorang anak didik untuk lebih maju dan berkembang dalam ilmu pengetahuan. Dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan terus berubah secara signiikan sehingga banyak merubah pola ikir banyak orang, dari pola pikir yang masih sederhana menjadi lebih modern. Dan hal ini sangat berpengaruh pada kemajuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang berkualitas diawali dengan pembelajaran yang berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas merupakan pembelajaran yang bukan hanya mengembangkan aspek kognitif saja, melainkan harus mengembangkan aspek afektif dan psikomotorik. Pendidikan di negeri ini tidak hanya mencerdaskan peserta didik dalam kemampuan bidang intelektual, tetapi diharapkan juga diharapkan memiliki 456 intelegensi Emosional dan intelegensi spiritual. UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3 tiga menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan dari pendidikan nasional tidak saja hanya mencetak sumber daya manusia yang cerdas akan tetapi juga mampu mencetak kepribadian yang berkarakter, berakhlak, kreatif, memiliki misi visi dan bertanggung jawab serta sebagai warga negara yang baik. Kesuksesan seseorang tidak pernah lepas dari potensi yang dimiliki oleh orang tersebut, potensi dalam arti tidak saja berbicara tentang skil akan tetapi meliputi kemampuan seseorang mengimplementasikan potensi yang dimiliki untuk orang banyak, kemampuan mengelola diri dan orang lain. Pada tahun 2045 akan menjadi momentum paling penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Karena di tahun itu, bangsa ini memasuki usia 100 tahun kemerdekaan. Dan di tahun itu pula lah Indonesia akan diisi oleh para generasi-generasi emas. Dalam membangun generasi emas 2045, diperlukan usaha dan kinerja yang sinergis antara semua pihak. Mengurus pendidikan merupakan pekerjaan besar yang tidak dapat dikerjakan hanya oleh suatu instansi pemerintah. Oleh karena itu, untuk melahirkan generasi emas tentunya harus didukung oleh seluruh stakeholder. Baik itu peran penyelenggara pendidikan formal maupun peran orang tua dan lingkungan. Pendidikan pertama dibentuk di keluarga oleh orang tua. Guru merupakan orang tua kedua anak dalam pendidikan. Cara Membentuk Karakter Generasi Indonesia Pada prinsipnya, Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau pendidikan budi pekerti dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat. Sardiman AM: 2010 Oleh karena itu, Menurut Doni Koesoema Albertus dalam bukunya yang berjudul “Strategi Mendidik Anak di Zaman Global” ia mengatakan bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahaman. Doni juga membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan 457 agama. Menurutnya, pendidikan agama menjadi motivator utama dalam keberhasilan pendidikan berkarakter. Ada tulisan menarik dari Golman D 2001 yang perlu kita cermati bersama khususnya bagi orang tua dalam mengawali proses pendidikan anak. Menurutnya, pengalaman masa lalu merupakan pelajaran bagi kehidupan anak. Jika anak hidup dengan kecaman, ia akan belajar untuk menyalahkan. Jika anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar untuk berkelahi. Jika anak hidup dengan ejekan, ia akan belajar untuk merasa malu. Jika anak hidup dengan toleransi, ia akan belajar bersabar. Jika anak hidup dalam dorongan dan semangat, ia akan belajar untuk percaya diri. Jika anak hidup dengan pujian, ia akan belajar untuk menghargai. Jika anak hidup dengan kejujuran, ia akan belajar keadilan. Jika anak hidup dengan restu dan persetujuan, ia akan belajar untuk menyukai diri mereka sendiri. Dan jika anak hidup dengan persahabatan, maka ia belajar untuk menemukan cinta di dunia ini. Bung karno mengatakan “Karakter merupakan pendukung utama dalam pembangunan bangsa. Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter character building. Karena character building ini lah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat. Kalau character building tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli” Soedarsono, 2009: 46. Krisis moral yang menimpa bangsa ini benar-benar mengkhawatirkan. Maraknya kekacauan, kebrutalan, kekejaman isik, dan korupsi di semua lapisan tengah melanda negeri ini. karakter bangsa ini yang beradab seakan hilang bersemayam dalam perut bumi Indonesia. Kita bisa melihat kebiadaban menjadi tontonan yang begitu mudah diwariskan ke generasi penerus. Dunia pendidikan juga iku carut marut di negeri ini. Peran sentral pendidikan menjadi dipertanyakan, kemanakah pendidikan yang telah tertanam selama ini? Maka untuk menerapkan pendidikan berkarakter harus dimulai dari pendidikan usia dini. Karena cara mendidik waktu usia dini menjadi modal penting bagi kelanjutan hidup seseorang di masa yang akan datang. Hal ini perlu dilakukan melalui pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar yang berkualitas. Dalam kondisi seperti ini karakter seringkali hanya sebatas wacana, dan dalam perkembangan selanjutnya cenderung terjadi krisis yang semakin lama semakin mengkhawatirkan Paul Brunton dan Suchumacher dalam Sukidi, 2005: 5. Oleh karena itu untuk menumbuhkan pendidikan berkarakter itu ada beberapa program 458 yang bisa membantu kita untuk membentuk karakter anak didik. Hentia Liyuwanadei: 2013 Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah merupakan pendidikan kedua setelah keluarga. Guru menjadi media pendidik dan sumber informasi bagi anak didik dalam memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Guru berperan memberikan bantuan, motivasi, dan tugas kepada anak untuk melatih kedisiplinan agar anak memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya. Di lingkungan sekolah lebih menekankan pengajaran tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku serta norma- norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sehingga anak dapat menempatkan diri dimanapun dia berada dan bagaimana bersikap yang baik, sopan, dan santun kepada siapapun terlebih kepada orang yang lebih tua. Training Guru Terkait dengan program pendidikan karakter di sekolah, harus dicarikan solusi tentang bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter di sekolah, serta bagaimana cara menyusun program dan melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan. Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami mekanisme pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak sukses, serta kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang “bermasalah” dengan perilakunya. Program Bimbingan Mental Program ini terbagi menjadi dua sesi program : Sesi Workshop Therapy, yang dirancang khusus untuk siswa usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah serta membimbing mental anak usia remaja. Workshop ini bekerja sebagai “mesin perubahan instant” maksudnya setelah mengikuti program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak yang lebih positif. Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu orangtua mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih baik, agar anak lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam seminar ini, orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar yang sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi anak dan keluarga. Memahami konsep menangani anak di rumah 459 dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan memahami jalan pikiran anak, pasangan, dan orang lain. Lingkungan Keluarga Pendidikan anak yang paling sentral adalah pendidikan dalam keluarga. Pendidikan keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak dan menjadi kunci utama dalam membentuk pribadi anak menjadi baik. Seorang anak yang dididik oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang akan merasa dihargai dan dibutuhkan, ia pun akan menyayangi keluarganya sehingga akan tercipta kondisi yang saling menghargai dan saling membantu. Kondisi tersebut sangat mendukung perkembangan anak, karena orangtualah yang berperan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Di dalam keluarga yang penuh rasa kasih sayang, menjadikan harga diri anak dapat berkembang karena ia merasa dihargai, dicintai, dan diterima sebagai manusia. Dengan kita dihargai dan dihormati, maka kita juga dapat menghargai orang lain. Keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan anak yang memiliki kepribadian baik. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga harus menjadi dasar yang kuat dalam membangun kepribadian seorang anak. Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini. Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia triangle relationship, yaitu hubungan dengan diri sendiri intrapersonal, dengan lingkungan hubungan sosial dan alam sekitar, dan hubungan dengan Tuhan YME spiritual. Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaanpemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya. Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat menentukan 460 pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial. Lingkungan Masyarakat Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting bagi perkembangan anak didik, karena lingkungan masyarakat dapat memberikan gambaran bagaimana hidup bermasyarakat. Anak didik berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, sehingga masyarakat dapat menilai anak tersebut apakah dia terdidik atau tidak terdidik. Dengan pendidikan, dalam diri anak tertanam pengetahuan yang membuat dia bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat memajukan diri sendiri dan dapat dimanfaatkan dengan bijaksana. Selain itu, pendidikan juga dapat menanamkan hal-hal positif sejak dini terhadap anak didik. Melihat kondisi saat ini, anak didik sebagai generasi muda penerus bangsa diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain serta agar tidak mudah diperbudak dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Akan tetapi, hanya berpendidikan saja tidak cukup untuk membangun sebuah pribadi yang berkualitas. Manusia yang berpendidikan tinggi dengan IQ jenius saja tidak menjamin kemajuan bangsanya jika tidak memiliki karakter yang baik, bahkan mungkin saja malah digunakan untuk menghancurkan bangsanya demi keuntungan pribadi. Tanpa membangun pendidikan karakter, seseorang akan tumbuh menjadi seseorang yang mungkin saja pandai, tetapi miskin spiritual dan emosional. Proses pendidikan tanpa disertai pembangunan karakter, hanya sekedar menjadi sarana pelatihan dan asah otak, sedangkan tingkah laku dan moral terabaikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan membantu manusia menjadi cerdas dan pandai serta menjadi manusia yang baik dan bijak. Untuk menjadikan manusia cerdas dan pintar bukanlah hal yang sulit dilakukan, tetapi untuk menjadikan seseorang agar menjadi orang baik dan bijak itu bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan dapat dikatakan sangat sulit. Yunita Widyastuti:2013 461 Peran pendidikan karakter untuk kemajuan bangsa Dunia pendidikan adalah sebagai instrumen penting sekaligus sebagai penentu maju mundurnya sebuah bangsa. dan lembaga pendidikan adalah sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan pendidikan karakter. Keduanya merupakan satu kesatuan yang seharusnya berjalan seiring dan berimbang. kesuksesan seseorang 80 ditentukan dari karakteristik seseorang apakah mampu mengelola potensi yang dimiliki serta mampu mengelola potensi orang lain. Peranan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam menggapai kemajuan sebuah bangsa dan negara di dunia ini. Dalam usaha mencapai tahap negara maju, pembentukan negara sangat bergantung dengan taraf pendidikan di suatu bangsa tersebut. Nilai pendidikan sebuah bangsa akan lenyap begitu saja jika bangsa tersebut lalai dan mudah terbawa arus globalisasi. Maksud lalai disini adalah apabila sebuah bangsa menganggap rendah pengaruh pendidikan bagi sebuah kemajuan bangsa tersebut. Jika sebuah bangsa menganggap lalai, maka bangsa tersebut akan sangat mudah terbawa arus globalisasi di dunia ini dan akan mempengaruhi kebudayaan luar masuk ke bangsanya sendiri. Oleh karena itu, sebuah kebudayaan, bahasa, kewarganegaraan, dan sebagainya yang berhubungan untuk memajukan sebuah bangsa sangatlah bergantung pada pendidikan yang telah berkembang di wilayah tersebut. Apabila pendidikan yang telah berkembang sudah baik, maka semuanya akan berjalan lancar dan negara itu akan lebih mudah untuk mempertahankan kebudayaannya dari faktor globalisasi yang telah terjadi sekarang ini. Nani Widiarti dalam sebuah makalah mengatakan bahwa Pendidikan merupakan bidang yang melibatkan dan memerlukan komitmen semua pihak, dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Jika kesadaran akan pentingnya bidang pendidikan dalam kemajuan bangsa telah baik dan menunjukan persentase yang terus berkembang, maka hal tersebut menunjukan bahwa negara itu telah berkembang, telah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, dan akan lebih dekat lagi dengan tingkatan taraf hidup yang telah menjadi tujuan negara ataupun bangsa tersebut. Nani Widiarti: 2013 Pendidikan formal, informal dan nonformal, ketiganya adalah satu paket kunci sukses yang mampu membentuk karakter anak bangsa yang tangguh dan tetap berkepribadian dengan ciri khas bangsanya sendiri. Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam mengajarkan pengalaman-pengalaman hidup yang berharga bagi masa depan anak didik di kemudian hari dan menjadi motivasi agar 462 pendidikan di negara tersebut dapat lebih layak dan dapat dinikmati bersama hasilnya, apabila pendidikan telah maju di kemudian hari. Pendidikan bertujuan mencetak generasi ke generasi agar lebih berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu dengan tambahan nilai-nilai moral dan tingkah laku yang telah menjadi sebuah harapan bangsa tersebut. Untuk itu, perlu strategi yang kuat untuk membangun sebuah pendidikan yang berkualitas. Seperti dibentuknya sebuah badan yang bertugas menyusun strategi dan mengawasi pelaksanaan program pendidikan yang diterapkan. Kemudian menekan biaya pendidikan agar seluruh warga dapat merasakan pendidikan serta memiliki sistem pendidikan yang matang dan seimbang dengan negara-negara lain yang menjadi perbandingan agar negaranya dapat lebih maju dari negara lain tersebut. Menjadi bangsa yang maju dan berkembang adalah impian setiap negara di dunia. Maju dan tidaknya suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Dengan pendidikan yang matang, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak mudah diperbudak oleh pihak lain. Pendidikan merupakan kebutuhan utama bagi bangsa yang ingin maju dan berkembang. Peningkatan mutu pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Yunita Widyastuti: 2010 Kemajuan suatu bangsa tidak akan tercapai hanya dengan tersedianya sumber daya alam yang melimpah dan orang-orang cerdas tanpa didukung dengan kepribadian yang positif. Di sinilah peran pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk menciptakan manusia yang cerdas, kreatif dan berkepribadian yang luhur agar mampu mengelola sumber kekayaan alam sesuai dengan semestinya, yaitu untuk membangun sebuah bangsa yang tidak hanya maju secara ekonomi atau tangguh dalam militer akan tetapi tidak mencerminkan bangsa yang bermartabat, melainkan menjadi bangsa yang besar, mandiri dalam segala aspek, dan bangsa yang berbudaya luhur dan bermartabat. Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Dan ketika merdeka, Indonesia dipilih sebagai bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis mereleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut 463 lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia. Shentia Liyuwanadei: 2013 Pendidikan karakter Memanusiakan Manusia Pada hakikatnya pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia. Suatu tindakan proses belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan sejatinya dapat mencetak generasi unggulan di masa depan. Kalau sistem pendidikan kita bisa konsisten menerapkan pendidikan yang naturalistik, dan spiritualistik, yang holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti akan menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Muzakki bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia untuk meraih derajat manusia seutuhnya yang sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dapat menghasilkan insan-insan yang memiliki karakter mulia, di samping memiliki kemampuan akademik dan keterampilan yang memadai. Salah satu cara untuk mewujudkan manusia yang berkarakter adalah dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran. Nilai-nilai karakter utama yang harus terwujud dalam sikap dan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter adalah jujur olah hati, cerdas olah pikir, tangguh olah raga, dan peduli olah rasa dan karsa. Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai karakter dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu guru harus mempersiapkan pendidikan karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu didukung oleh keteladanan guru dan orang tua murid serta budaya yang berkarakter. Marzuki: 2015 Sebuah pernyataan yang lazim dan sering kita dengarkan bahwa tujuan sejati pendidikan adalah memanusiakan manusia. Ungkapan ini seakan terus diperbincangkan dan disetujui untuk dilaksanakan dalam praktek kehidupan sebagai penggiat dan pelaksana pendidikan. Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar pendidikan dapat memanusiakan manusia? Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator, baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri self-directed learning. Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan 464 eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri, tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin. Atau dalam ungkapan lain Emily Calhoun pada Bruce Joyce, ratusan kali berkata: “Mengajar yang sesungguhnya adalah mengajarkan siswa bagaimana belajar” atau “sekolah merupakan tempat untuk belajar bagaimana caranya belajar”. Ansello Mones: 2015 Indonesia menghadapi Generasi Emas 2045 Generasi emas adalah generasi yang memiliki usia produktif yang dituntut membawa Indonesia pada perbaikan yang lebih baik. Untuk mencapai itu semua diperlukan itikad yang baik dari seluruh elemen bangsa ini agar generasi-generasi muda Indonesia bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Generasi emas merupakan anak didik yang diharapkan bakal menjadi penerus kemajuan bangsa ini. Sementara menyemai artinya upaya mendidik anak didik agar menjadi generasi mumpuni. Untuk mendorong bangkitnya generasi emas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menyatakan, pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035, pemerintah melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia SDM sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka. Generasi emas 2045 merupakan upaya yang dilakukan untuk mewujudkan impian bangsa Indonesia, yaitu akan bangkitnya generasi emas yang mampu memberikan kebaikan dan kebesaran bangsa Indonesia serta melahirkan peserta didik yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Setiap tanggal 2 Mei bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional Hardiknas. Tema yang diangkat pada peringatan Hardiknas tahun ini adalah “Pendidikan dan kebudayaan sebagai gerakan pencerdasan dan pertumbuhan generasi berkarakter Pancasila”. Peringatan Hari Pendidikan Nasional ini dinyatakan sebagai ungkapan syukur dari bangsa Indonesia. 465 Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan dalam sambutannya mengatakan bahwa Indonesia adalah wajah cerah khatulistiwa. Namun kita semua harus sadar bahwa aset terbesar Indonesia bukan tambang, bukan gas, bukan minyak, bukan hutan, ataupun segala macam hasil bumi, akan tetapi asset terbesar bangsa ini adalah manusia Indonesia. Tanggung jawab kita sekarang adalah mengembangkan kualitas manusia Indonesia. Manusia yang terdidik dan tercerahkan adalah kunci kemajuan bangsa. Jangan sesekali kita mengikuti jalan berpikir kaum kolonial di masa lalu. Saat itu, kaum kolonial fokus pada kekayaan alam saja dan tanpa peduli pada kualitas manusianya. Kaum kolonial memang datang untuk mengeruk dan menyedot isi bumi Nusantara, serta menguras hasil bumi Nusantara. Oleh karena itu, mereka peduli dan tahu persis data kekayaan alam kita, tetapi mereka tak pernah peduli dengan kualitas manusia di Nusantara. Kita semua telah memahami bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mobilitas isik dan nonisik termasuk kebudayaan dan peradaban semakin tinggi. Mobilitas yang tinggi tersebut memunculkan dominasi peradaban tertentu, benturan antar peradaban atau terbentuknya konvergensi peradaban. Dalam kaitan dengan inilah, peran dunia pendidikan menjadi penting dalam membangun peradaban bangsa yang didasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Tema Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 ini adalah Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro, yang pada hari ini kita peringati hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional Duski Samad: 2012. Untuk mendorong bangkitnya generasi emas, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhammad Nuh menyatakan “pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035, pemerintah melakukan investasi besar- besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia SDM sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka.” Langkah nyata yang harus dilakukan adalah membuka akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia pendidikan; mulai dari pendidikan anak usia dini PAUD sampai ke perguruan tinggi. 466 Daftar Pustaka Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI . Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Keempat. Goleman, Daniel. 2015. Dampak Pendidikan Karakter terhadap Akademi Anak. Dikutip dalam http:pondokibu.com diakses pada 10 Mei 2015 pukul 20.15 WIB. Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Liyuwanadei, Shentia. 2013. Pendidikan Karakter. Makalah Sardiman AM. 2010. Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS Dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Yogyakarta: FISE-UNY. Muzakki. 2015. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah . Yogyakarta: Makalah. Samad, Duski. 2012. Generasi Emas dan Memilih Pendidikan Anak. Soedarsono, Soemarno. 2009. Karakter Mengantarkan Bangsa dari Gelab Menuju Terang. Jakarta: Kompas Gramedia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional . Widiarti, Nani. 2010. Fungsi Pendidikan bagi Kemajuan Bangsa. Widyastuti, Yunita. 2010. Peran Penting Pendidikan Karakter dalam Membangun Bangsa”. 467 HUBUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN PERILAKU SISWA KELAS IV SDN 4 KLAPANUNGGAL KABUPATEN BOGOR Kusmajid Abdullah FKIP- Uhamka Jakarta Emal : cak_kuzeyahoo.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan pendidikan karakter dengan perilaku siswa. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan pendidikan karakter terhadap perilaku siswa kelas IV di SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasi. Pengambilan teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Sampel penelitian ini sebanyak 80 siswa yang terdiri dari 40 siswa kelas IV A dan 40 siswa kelas IV B SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor. Teknik pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa angket pendidikan karakter variabel X dan angket perilaku siswa variabel Y sebanyak 26 pernyataan dengan empat pilihan yang telah di uji validitas dan reliabilitas instrumen. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis Uji t pada taraf signiikan α = 0,05. Sebelum data dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis data dengan uji normalitas yaitu dengan uji liliefors . Hasil penelitian bahwa dari pengujian normalitas untuk data pendidikan karakter variabel X diperoleh L hitung = 0,0939 0,0999 = L tabel dan data perilaku siswa L hitung = 0,0978 0,0999 = L tabel , maka dapat disimpulkan bahwa kedua data tersebut berdistribusi normal. Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis korelasi product moment dilanjutkan dengan uji keberartian menggunakan uji t, dari perhitungan korelasi product moment didapat r hitung = 0,700 menunjukan bahwa pendidikan karakter dengan perilaku siswa mempunyai hubungan yang Kuat, dari uji t didapat t hitung = 8,657 1,671 = t tabel yang berarti H 1 diterima. Hasil penelitian ini bahwa ada hubungan antara pendidikan karakter dengan perilaku siswa sedangkan dari perhitungan koeisien determinasi diperoleh 0,49 artinya pendidikan karakter memberikan kostribusi sebesar 49 terdahap perilaku siswa, sedangkan 51 merupakan kontribusi dari faktor-faktor lain lingkungan tempat 468 tinggal yaitu rumah yang berkaitan dengan pola asuh orang tua, lingkungan sekolah, pengaruh kebudayaan, dan lain-lain. Kata kunci : perilaku siswa, sekolah dasar, pendidikan karakter Pendahuluan Sekolah Dasar SD merupakan salah satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal dan dirancang untuk pengajaran siswa murid di bawah pengawasan guru.. Sekolah turut bertanggung jawab atas peserta didik yang dihasilkan. Demi terwujudnya tujuan tersebut sekolah menyelenggarakan proses pendidikan melalui kegiatan belajar mengajar dengan cara mendidik dan kurikulum sebagai wadahnya. Pendidikan merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga Negaramasyarakat. Dilihat dari sudut perkembangan yang dialami oleh anak, maka usaha yang sengaja dan terencana tersebut ditunjukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang dialaminya dalam setiap periode perkembangan. Pendidikan yang baik itu dapat mengembangkan kecerdasan dari kepribadian atau karakter sehingga melahirkan generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernapaskan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Salah satu di antaranya adalah dengan menekankan pengembangan nilai karakter pada setiap proses pembelajarannya. Khususnya untuk anak Sekolah Dasar SD, karena didalam Sekolah Dasar kegiatan belajar mengajar bukanlah hanya dengan mentransfer ilmu yang akan diberikan saja, melainkan bagaimana dengan mendidik peserta didik berupa makna-makna yang diajarkan. Mendidik dengan bertujuan peserta didik dapat mempunyai karakter atau pribadi yang baik sehingga apa saja yang di lakukan akan berdampak baik bagi dirinya. Dari observasi awal yang dilakukan di SDN 4 Klapanunggal, bahwa permasalahan mengenai perilaku siswa khususnya kelas IV didalam kegiatan belajar mengajar masih menunjukan gejala tidak baik, hal tersebut muncul karena dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah pendidikan lebih banyak menekankan proses pembelajaran teori, kurangnya pembentukan pendidikan karakter, dan saat ini sebagian guru dalam penyampaian pembelajaran hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya dan kurang 469 efektifnya pendidikan karakter yang diselipkan dalam setiap mata pelajaran sehingga hasilnya belum maksimal dan pada pengembangan nilai karakter pada siswa juga kurang diperhatikan. Selain faktor-faktor tersebut, keberhasilan pembentukan perilaku siswa yang berkarakter juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor yang internal yang dapat mempengaruhi misalnya IQ, motivasi, kreativitas, konsep diri, kebutuhan berprestasi dan sikap. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi misalnya lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru sebagai pendidik perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut agar perilaku siswa dapat menjadi bangsa yang terampil dan cerdas, dan bersikap baik seperti apa yang di harapkan oleh guru. Tidak hanya memperhatikan faktor- faktor tersebut tetapi juga guru harus merancang srategi pembelajaran dengan menggunakan modalitas belajar yang tinggi, yaitu dengan modalitas kinestetis dan visual dengan akses informasi melihat, mengucapkan, dan melakukan. Karena setiap anak didik memiliki karakteristik yang berlainan satu sama lain. Setiap siswa mempunyai perilaku dan karakter yang unik. Artinya, siswa memiliki sifat-sifat yang khas yang hanya di miliki oleh siswa sendiri dan tidak oleh siswa lain. Seperti ada yang sudah cukup diisyaratkan untuk menghentikan perbuatannya yang kurang layak misalnya siswa bermain sedangkan guru sedang mengajar, ada siswa yang dapat menerima teguran juga sebaliknya siswa yang tidak cukup dengan teguran saja melainkan dengan tindakan contoh halnya guru memindahkan tempat duduknya ke dekat guru karena sering mengobrol saat kegiatan pembelajaran berlangsung, ada siswa yang pendiam dan juga ada siswa yang aktif contohnya pada siswa yang gemar bertanya pada saat kegiatan belajar pembelajaran sedang berlangsung, ada juga siswa yang berhati terbuka dan tetutup seperti siswa yang pandai bergaul juga siswa yang lebih memilih untuk sendiri ketika waktu istirahat, ada yang percaya pada temannya, ada pula anak yang tidak percaya pada temannya dan masih banyak lagi perbedaan sifat yang di miliki siswa. Pada zaman globalisasi ini istilah pendidikan karakter masih akan menjadi hal yang sangatlah penting. Karena berdasarkan hasil wawancara dengan guru di SDN 4 Klapanunggal Kabupaten Bogor terkait pembentukan karakter terhadap perilaku siswa, bahwa pendidikan karakter merupakan hal yang sangatlah penting karena terdapat peserta didik yang menunjukan perilaku yang tidak baik contohnya menggunakan bahasa yang buruk, menurunnya rasa 470 hormat dan menghargai pada orang tua, guru dan sesama teman, rendahnya tanggung jawab dan kepedulian. Hal ini menunjukan betapa urgensinya mengenai pendidikan karakter bagi para pendidik . dan menebar kebaikan dalam hidup sehari-hari dengan sepenuh hati Pendidikan karakter ini menurut para pendidik merupakan pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, pendidikan nilai yaitu nilai-nilai moral baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan maupun bangsa. Semua ini bertujuan mengembangkan kemapuan siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan. Hal ini sangat berhubungan dengan perilaku siswa yang menanamkan nilai-nilai moral. Pendidik perlu mengenal bagaimana struktur karakter dan perilaku siswanya, bagaimana karakter peserta didik itu terbentuk. Dan harus memahami siswanya sebagai suatu totalitas individu dengan berbagai aspek kehidupanya. Selain itu pengetahuan mengenai kepribadian, karakter dan perilaku siswa sangat berguna dipandang dari segi praktis. Berdasarkan masalah tersebut, terlihat adanya hubungan pendidikan karakter terhadap perilaku siswa. Oleh karena itu, penelitian tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul penelitian “Hubungan Pendidikan Karakter dengan Perilaku Siswa Kelas IV di SDN 4 Klapanunggal Kabupaten Bogor”. Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan bagi setiap orang. Terlebih di tengah perkembangan zaman seperti sekarang ini. Hampir setiap orang mengalami pendidikan, tetapi tidak setiap orang mengerti makna dari pendidikan. Pada dasarnya, pengertian dari pendidikan adalah untuk membentuk karakter setiap individu. Dengan semangat, motivasi dan tujuan dari pendidikan, maka pendidikan dapat dikatakan berhasil. Menurut Ki Mohamad Said R dalam M. Sukardjo, bahwa hakikat pendidikan adalah “handayani” yang memiliki arti “memberi pengaruh”. Pendidikan memberikan pengaruh yang baik bagi setiap individu yang mengalami proses pendidikan dengan baik pula. Dengan adanya pendidikan setiap individu memberikan setiap perubahan bagi kehidupannya. Menurut Rasyidin Pendidikan di mulai di keluarga atas anak infant yang belum mandiri, kemudian diperluas di lingkungan tetangga atau komunitas sekitar millieu, lembaga prasekolah, persekolahan formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari kelompok kecil sampai rombongankelas yang mendidik secara mikro dan menjadi pengganti orang tua. 471 Karakter siswa dapat terbentuk melalui nilai moral karena salah satu tujuan dari nilai moral itu sendiri adalah pembetukan watak. Demi terbentuknya karakter bagi siswa nilai moral sangat berpengaruh terhadap karakteristik anak. Nilai moral tidak cukup hanya di ketahui setiap peserta didik tetapi bagaimana peserta didik itu mengerti dan memahapi setial nilai moral itu agar karakter yang terbentuk tidak hanya bersifat sementara tetapi akan selalu melekat dihati peserta didik itu sendiri. Maka dalam setiap proses pendidikanpun sebaikanya para pendidik tidak hanya mentransfer ilmu saja tanpa memberikan makna dari setiap ilmu yang di pelajari dalam kegiatan belajar mengajar. Untuk menghindari hal-hal yang merugikan siswa dan sekolah. Pemerintah menetapkan pendidikan budaya dan karakter agar siswa dapat menjalankan aktivitas di sekolah berdasarkan dengan Pancasila dan Undang-undang pendidikan karakter di sekolah. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentiikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. No Nilai Karakter Deskripsi Nilai Karakter 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut- nya, toleran terhadap pelaksanaan agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tinda- kan dan pekerjaan 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai per- bedaan agama,suku, etnis, pendapat, dan tindakan orang lain, yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin Tindakan yang menunjukan perilaku tert- ib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan 472 5. Kerja keras Perilaku yang menunjukan upaya sung- guh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta meny- elesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6. Kreatif Sikap dan perilaku untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah ter- gantung pada orang lain dalma menyele- saikna tugas-tugas 8. Demokrasi Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajibannya dengan orang lain. 9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. 10. Semangat ke- bangsaan Cara berikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta tanah air Cara berikir, bertindak dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap baha- sa, lingkungan isik, sosial, budaya, eko- nomi, dan politik bangsa. 12. M e n g h a r g a i Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat ko- munikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senag berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. 14. Cinta damai Sikap, perkataan dan tindakan yang me- nyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 473 15. Gemar membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberi- kan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli lingkun- gan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki keru- sakan alam yang sudah terjadi. 17 Peduli sosial Sikap dan tindakan yang ingin mem- berikan bantuan pada orang lain dan ma- syarakat yang membutuhkan. 18 Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang seharusnya ia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan alam, sosial dan budaya negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Dari nilai-nilai yang terkandung didalam Pendidikan karakter maka akan berdampak positif terhadap pembentukan karakter yang dapat dicerminkan dari setiap perilaku peserta didik. Pembahasan Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukan dari hasil perhitungan uji hipotesis hasil korelasi Pearson Product Moment di dapat 0,700 pada taraf signiikansi 5 dan dk 80 diperoleh t tabel = 1,671 , karena t hitung lebih besar dari t tabel t hitung = 8,6571,671= t tabel , sehingga hipotesis penelitian teruji kebenarannya. Selanjutnya pada perhitungan Uji t, diperoleh t hitung = 8,657 dan t tabel = 1,671 dengan taraf signiikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk =80. Terlihat bahwa hasil yang diperoleh t hitung lebih besar dari t tabel 8,6571,671, menyebabkan Ho yang menyatakan tidak ada hubungan pendidikan karakter terhadap perilaku siswa di Tolak, sedangkan H 1 di Terima. Diterimanya H 1 dapat disimpulkanbahwa terdapat hubungan antara pendidikan karakter terhadap perilaku siswa. Dari perhitungan koeisien determinasi KD didapat hasil 0,49, maka variabel pendidikan karakter memberikan sumbangan sebesar 49 terhadap perilaku siswa pada siswa kelas IV SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor, sedangakan 51 merupakan kontribusi dari faktor-faktor lain seperti lingkungan dirumah yaitu pola asuh orang tua, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, pengaruh perubahan zaman, 474 pengaruh budaya, teman sebaya, dan lain-lain. Pendidikan karakter ini dapat diberikan dengan memberikan penegasan dan contoh-contoh perilaku berkarakter yang dimulai dari seorang pendidik seperti guru datang tepat waktu ke sekolah, hal ini merupakan contoh pembentukan karakter dari nilai kedisiplinan. Jadi pembentukan karakter yang diberikan akan mempengaruhi perilaku karena pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti yang terkait dengan nilai-nilai moral baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri dan lingkungan. Semua ini bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan dan menebar kebaikan dalam hidup sehari-hari dengan sepenuh hati. terutama pada perilaku siswa. Dengan demikian, Setelah diajukan uji hipotesis, penelitian ini didapatkan hasil “Ada hubungan antara pendidikan karakter terhadap perilaku siswa kelas IV SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor”. Meskipun presentase tersebut tidak terlalu besar, namun penelitian ini memberikan gambaran bahwa variabel pendidikan karakter memberikan konstribusi positif pada perilaku siswa. Penutup Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa hasil perhitungan uji hipotesis hasil korelasi Pearson Product Moment di dapat 0,700 pada taraf signiikansi 5 dan dk 80 diperoleh t tabel = 1,671 , karena t hitung lebih besar dari t tabel t hitung = 8,6571,671= t tabel , sehingga hipotesis penelitian teruji kebenarannya maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signiikan antara pendidikan karakter dengan perilaku siswa kelas IV SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor. Penelitian ini berimplikasi bahwa pemberian pendidikan karakter terhadap siswa akan memberikan pengaruh positif seperti halnya siswa akan memiliki kepribadian dan moral yang baik, disiplin, tanggung jawab dan memiliki kemauan belajar yang tinggi, maka hal ini berpengaruh pula terhadap peningkatan perilaku siswa yang positif. 475 Daftar Pustaka A. Ghani, Abd. Rahman, 2009. Mengurai Simpul Pendidikan. Jakarta: UHAMKA Press. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Aziz, Hamka Abdul. 2013. Karakter Guru Profesional. Jakarta: Al- Mawardi Prima. Creswell, John W. 2010. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Daryanto, dan Suyatri Darmiatun. 2013. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah . Yogyakarta: Guava Media. Djaali. 2006. Psikologi Pendidikan Jakarta: Bumi Aksara. Fitri, Agus Zaenal. 2013. Karakter Guru Profesional. Jakarta: Bumi Aksara. Isna A, Nurla. 2012. Mencetak Karakter Anak Sejak Janin. Jogjakarta: DIVA Press. Khalsa, Siri Nam S. 2008. Pengajaran dan Disiplin Harga Diri. Jakarta: PT Indeks. Kusnaedi. 2013. Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Panduan untuk Guru dan Orang Tua . Bekasi: Duta Media Tama. Mu’in, Fatchul. 2011. PENDIDIKAN KARAKTER: Konstruksi Teoretik Praktik “Urgensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi Peran Guru dan Orang Tua”. Jakarta: A Media. Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter: Pengintegrasian 18 Nilai Pembentukan Karakter dalam Mata Pelajaran . Yogyakarta: Familia. Ridwan. 2010. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Penelitian Pemula . Bandung: Alfabeta. Salahudin, Anas dan Irwanto Alkriencehie. 2013. Pendidikan Karakter Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa . Bandung: Pustaka Setia. Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter Wawasan, Strategi, dan Langkah Praktis . Jakarta: Esensi Erlangga Group. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RD . Bandung: Alfabeta. Sukardjo M dan Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya . Jakarta: PT Raja Graindo Persada. Thoha, Miftah. 2007. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Graindo Persada. Tu’u Tulus. 2004. Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: PT Grasindo. http:id.wikipedia.orgwikiPerilaku_manusia. 476 MEMBANGUN SDM BERKARAKTER MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN NILAI DI SEKOLAH DASAR Nurlaelah Universitas Muslim Indonesia Makasar Email : umarnurlaelahyahoo.co.id Abstract : Education is a fundamental act, the act that touching the roots of life that change and deine the human life. If the concept of basic education oriented to value education, then education will be always based on value, where the value is intentionally aimed at developing aspects of the personality and character of students. Education implementation which is based on the values will make graduates that have personality, character and good behaviour. Therefore, the main task of basic education is to build students’ character and the aim in order students from an early age not fail to be a human igure, because if man fails to become a human being, it is no different with animals even lower than animals. Therefore, herein placed the strategic value, namely basic education as the foundation for the growth and development of children in the next stages, where we believe that the challenges ahead will be huge and complex. If at this stage fails to be passed, the letter or important passport will not owned by the children. Consequently, the child would be dificult to enter the next life starting from environmental context closest family, the local community, to the world community, including educational institutions unit. Key Words: character, approach, and values education Pendahuluan Secara yuridis, Pendidikan Nilai di Indonesia didasarkan pada: 1 Pasal 1 ayat 2 UUSPN 2003, Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai- nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman; 2 Pasal 3 UUSPN 2003, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan 477 kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab; dan 3 Pasal 4 ayat 3 UUSPN 2003, Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat. Berdasarkan aspek yuridis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan nilai adalah nilai pendidikan, dengan nilai kehidupan lebih bermakna. Maka pendidikan nilai di Indonesia meliputi: 1 Pembinaan watak kepribadian WNI dan kehidupan bangsa; 2 Kecerdasan intelektual-emosional-spritual dan sosial; dan 3 Kemampuan partisipatif praksis-fungsional. Pembahasan Hakikat Pendidikan Nilai Kebutuhan akan penanaman pendidikan nilai mulai nampak dan dirasakan penting setelah maraknya berbagai bentuk penyimpangan asusila, amoral di tengah masyarakat. Hampir setiap hari ada saja pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, seks bebas di luar nikah aborsi, peredaran dan pemakaian narkoba, bahkan pernah dilansir kasus pemerasan yang dilakukan geng anak usia sekolah dasar SD. Hal ini sangat meresahkan dan mencemaskan masyarakat terutama orang tua termasuk pihak lembaga sekolah yang mengemban tugas untuk mendidik, melatih dan membimbing anak didiknya. Ini persoalan serius dan perlu mendapat perhatian ekstra khusunya bagi pelaku- pelaku dunia pendidikan Sauri, 2012. Ketidakseimbangan desain pendidikan yang hanya memfokuskan pada pencapaian aspek intelektual atau ranah kognitif semata dan mengabaikan aspek penanaman dan pembinaan nilaisikap diduga sebagai penyebab munculnya degradasi atau demoralisasi terutama yang dialami oleh sekolah. Oleh karena itu, Mulyana 2004 menyatakan bahwa pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan. Sumatmaja 2002 menambahkan bahwa pendidikan nilai adalah upaya mewujudkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhak mulia, manusiawi dan peduli terhadap kebutuhan. serta kepentingan orang lain, yang intinya menjadi manusia yang terdidik baik terdidik dalam imannya, 478 ilmunya maupun akhlaknya serta menjadi warga Negara dan dunia yang baik well educated men and good citizenship. Relevansi Pendidikan Nilai terhadap Pengembangan Insan berkarakter Bagaimana relevansi Pendidikan Nilai terhadap pengembangan SDM peserta didik yang berkualitas ? Berbicara sumber daya manusia SDM peserta didik, sesungguhnya berbicara tentang pendidikan, karena dimana ada manusia, disitulah ada pendidikan. Secara etimologi pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti ”pemeliharaan” atau ”latihan”. Dalam Bahasa Inggris, pendidikan education berasal dari kata mendidik educate, artinya memberi peningkatan to elicit, to give rise to dan mengembangkan to evolve, to develop. Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan MC Loeod, dalam Syah, 2004:10. Pendidikan pada dasarnya sebagai usaha untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaannya memanusiakan manusia. Secara terminologi, pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991:232 ialah proses perubahan sikap dan tata- laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Deinisi tersebut merupakan deinisi pendidikan dalam arti sempit, sebab hanya dibatasi pada pengajaran dan pelatihan. Artinya, proses pendidikan terjadi dari orang dewasa terhadap orang muda yang belum dewasa. Adapun pendidikan dalam arti luas tidak hanya mencakup antara hubungan pendidik guru dan peserta didik murid, tetapi mencakup dalam wilayah yang luas, seperti peserta didik dengan dirinya sendiri, lingkungan, kebudayaan dan seluruh komponen yang ikut membelajarkan dirinya. Secara konstitusional, dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasionaldinyatakanbahwa:Pendidik an adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaraUUSPN No. 20 Tahun 2003. Berdasarkan deinisi tersebut, tersirat bahwa setiap manusia memiliki potensi yang mengandung nilai- nilai kebaikan, dan pendidikan merupakan upaya untuk megaktifkan potensi-potensi tersebut. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat untuk melestarikanmemelihara dan mengembangkan nilai-nilai dasar kemanusiaan. 479 Arah, Program, dan Tujuan Pendidikan Nilai di Sekolah. Ke mana arah, apa tujuan, dan begaimana program pendidikan nilai di sekolah ? Arah pendidikan nilai adalah sesuai dengan sasaran pendidikan umum pada umumnya, yaitu untuk membentuk manusia utuh mulai dari bayi, balita, usia anak sekolah, remaja, sampai dewasa. Pembentukan kepribadian, idealnya pribadi yang manusiawi harus bertahap mulai dari bayi sampai dewasa dan berkesinambungan sepanjang hayat Sumaatmadja 2002:121. Dengan kata lain pendidikan nilai juga harus bisa diterapkan dalam berbagai wilayah pendidikan yaitu pendidikan keluarga, persekolahan, dan masyarakat. Di era globalisasi sebagai era ketidakpastian ini, moral manusia semakin rusak, perilaku manusia tidak beradab, dan kondisi masyarakat mencekam dan menakutkan. Dari kondisi tersebut timbul kekhawatiran terhadap generasi kehidupan manusia, khususnya dalam pembentukan kepribadian anak, maka pendidikan nilai menjadi win win solution bagi pembentukan generasi yang baik untuk masa mendatang. Tujuan pendidikan nilai adalah human being sejalan dengan hakikat tujuan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia muda N. Driyarkara. Pendidikan nilai bertujuan membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi menjadi pribadi- pribadi yang lebih bermanusiawi semakin ”penuh” sebagai manusia, berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggung jawab dan bersifat proaktif dan koopreatif, pribadi cerdas, berkeahlian, tapi tetap humanis. Pendekatan, Metode, Strategi dan Teknik Pembelajaran Nilai di Sekolah yang Efektif Ada beberapa pendekatan dalam proses pengalihan nilai transfer of values dari pendidik kepada peserta didik, antara lain: 1. Melalui pendekatan emosional; pendidik berusaha mengaktifkan ranah afektif peserta didik, karena setiap anak yang lahir ke dunia membawa sifat-sifat positif Tuhan. Setelah ranah afektif peserta didik aktif, pendidik baru menyampaikan ajaran-ajaran moral, dalam konidisi ini peserta didik siap mencerna materi dan akan berbekas pada jiwanya 2. Membina perlilaku positif siswa yang dilakukan secara berulang- ulang. Perilaku yang diualang-ulang repetition, makin lama makin tertanam secara dalam, menjadi kebiasaan, menjadi sifatkarakter dan akhirnya menjadi bagian dari kepribadian. Transformasi dan penanaman nilai disampaikan kepada peserta didik secara pasti, kontinyu, pelan-pelan, sedikit demi sedikit, dalam nuansa kebersamaan dan kekeluargaan. Daisaku Ikeda 480 Prsedien Ikeda Jepang pernah bertutur ”mulailah dari sesuatu yang sederhana, mudah dipahamami, dan membumi”; ”Event just a little, because everything determinant by that”. Transformasi nilai tersebut akan membentuk sifat, kebiasaan dan kepribadian. Dewasa ini sumber kegelisahan dan penyakit orang modern berawal dari pengetahun yang satu tercerai dari pengetahuan yang lain. Ilmu tercerai dari moral, ilmu tercerai dari seni, moral tercerai dari seni dan seterusnya. Sebab, pengetahuan yang tidak utuh, akan menghasilkan manusia yang tidak utuh pula. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan metode khusus agar tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Secara garis besar, pembelajaran nilai dipersekolahan dapat diaktualisasikan melalui metode berikut: 1 Metode Dogmatik; metode untuk mengajarakn nilai kepada peserta didik dengan jalan menyajikan keseluruhan nilai-nilai yang harus diterima oleh peserta didik apa adanya, tanpa mempersoalkan hakikatnya. 2 Metode Deduktif; adalah proses berikir dari yang umum ke yang khusus. Dengan kata lain, nilai diajarkan dan diuraikan berangkat dari seperangkat kode etik nilai unk dipahami oleh peserta didik. 3 Metode Induktif: adalah proses berikir dari yang khusus ke yang umum. Artinya, nilai diajarkan kepada siswa bermula dari sejumlah kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, kemudian ditarik dan diambil kesimpulannya. 4 Penggabungan metode Induktif dan deduktif. Perolehan ilmu pengetahuan, tidak akan terlepas dari proses berikir deduktif dan induktif. Penggabungan metode berikir deduktif dan induktif akan membentuk proses berikir yang kuat, dan berusaha agar kebenaran dapat dicapai seoptimal mungkin. Penggabungan kedua metode ini memiliki kesamaan dengan Metode subjektivisme dan objektivisme. Dalam hal ini subjektivisme dapat lahir dari pemikiran ilsafat segudang konsep, teori, sedangkan objektivisme ditempuh melalui ilmu pengetahuan realitas. Edmund Husserl Sumaryono:1994 sebagai pendiri aliran fenomenologi modern mengatakan ”kebenaran hakiki kan tercapai melalui kombinasi subjektivisme total dan objektivisme total”. Dengan kata lain, kebenaran dapat ditempuh melalui uniikasi pemikiran para ilosof dan ilmuan. Pada tataran praksisnya, pembinaan moral peserta didik harus memiliki rujukan yang jelas, teruji, dan bisa dipertanggung jawabkan. Rujukan moral tersebut tidak cukup berdasarkan pada nilai-nilai moral 481 kemasyarakatan nilai-nilai insaniyah, tetapi harus memperhatikan pula nilai-nilai dunia metaisika, atau nilai-nilai transendetal, yang dalam istilah Imanuel Kant dikenal dengan istilah “ilusi transenden” a transcendental illution. Nilai-nilai transendental tersebut dalam konteks agama kita, yakni sumber ajaran Islam berupa nilai-nilai ilahiyah. Strategi dan teknik pendidikan nilai di sekolah yang efektif dapat dilakukan para pendidik guru dengan langkah-langkah berikut: 1. Penataan isik sekolah dan kelas yang kondusif untuk keberlangsungan belajar-mengajar. 2. Adanya pembinaan keagamaan bagi gurupendidik yang terpola dan terprogram, ada pelatihan bagi guru tentang metoda memasukan nilai melalui bidang studi. 3. Penataan dan peningkatan kualitas kegiatan ekstra kurikuler keagamaan di sekolah 4. Meningkatkan rasa tanggungjawab, disiplin, kebersamaan, persatuan dan kerjasamadalam menjalankan aktivitas persekolahan, serta menjalin hubungan harmonis dengan sekolah atau lembaga lain. 5. Meningkatkan rasa tanggungjawab, disiplin, kebersamaan, persatuan dan kerjasamadalam menjalankan aktivitas persekolahan, serta menjalin hubungan harmonis dengan sekolah atau lembaga lain. 6. Guru tampil sebagai sosok yang cerdas secara Intelektual IQ, Emosional EQ dan Spriritual SQ. 7. Di antara guru lahirnya kebiasaan untuk berdiskusi, peningkatan wawasan insight, informasi tentang ilmu umum dan agama di lingkungan tempat guru bekerja. 8. Istiqomah untuk beramal saleh, dan memberikan keteladanan kepada para siswa. 9. Mebudayakan ucapan salam di lingkungan sekolah, dan lantunan ayat-ayat Al-Quran melalui radio atau pengeras suara sebelum pelajaran dimulai. 10. Adanya program BPBK yang berbasis nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. Disamping itu, untuk mewujudkan masyarakat sekolah yang beradab, berbudi, menjunjung tinggi nilai, harus didukung oleh budaya lingkungan sekolah yang berbasis nilai. Adapun teknik untuk mewujudkan budaya sekolah berbasis nilai melalui tahapan berikut: a. Adanya kesadaran bersama akan pentingnya nilai kesadarn 482 bersama itu mencakup semua pihak; kepala sekolah, guru, karyawan, peserta didik, orang tua, dan masyarakat sekitar. b. Adanya komitmen, penghayatan, dan aktualisasi nilai yang dilakukan secara bersama-sama di lingkungan sekolah. c. Memiliki sistem evaluasi yang dapat diandalkan bisa berupa mingguan, bulanan, dan tahunan untuk meningkatkan kualitas budaya sekolah berbasis nilai. Di samping itu, evaluasi juga sebagai sarana untuk melahirkan ide-ide inovatif dengan menggali teknik baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah. Adapun langkah-langkah membangun sekolah yang kondusif sebagai berikut; 1. Memahami kondisi permasalahan sekolah dan masyarakat, mengetahui penyebabnya, dan menciptakan solusi untuk membangun budaya sekolah. 2. Untuk membangun sekolah diperlukan: 1 Adanya pembekalan untuk meningkatkan kualitas guru, adanya kesamaan visi misi dalam merealisasikan pendidikan. 2 Pada tataran praksisnya, harus ada komitmen bersama yang terumuskan secara jelas, sederhana dan operasional. Di samping itu bentuk komitmen juga bisa dievaluasi untuk melahirkan komitmen baru yang lebih sesuai dengan lingkungan sekolah. 3. Memiliki orientasi khusus, yakni: Terbentuknya budaya sekolah berbasis nilai, setiap orang yang ada dilingkungan sekolah mampu meresapi dan menghayati nilai-nilai kehidupan, terciptanya pola kehidupan di lingkungan sekolah yang berkualitas. 4. Adanya tindak lanjut sebagai langkah untuk: 1 Menciptakan pembaharuan dan peneguhan, 2 menjaring keterlibatan orang tua dan masyarakat, agar orang yang berada diluar sekolah sekalipun ada rasa memiliki sense of belonging, 3 terbentuknya bimbingan yang berkelanjutan, 4 terjalin kominukasi yang positif, 5 terbentuknya up date soft skill dan keterampilan hidup. 5. Model dan Pola EvaluasiPenilaian Pendidikan Nilai di Sekolah Ba gaimanakah model dan pola evaluasi penilaian pendidikan nilai di sekolah ? Model dan pola evaluasi terhadap pendidikan nilai di sekolah mencakup tiga ranah: a. Ranah Kognitif. Evaluasi pada ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari pengetahuan atau ingatan, pemahaman, serta analisis. Dalam hal ini, pendidik mengevaluasi peserta didiknya yang mencakup; pengetahuan, 483 pemahaman, dan analisis mereka terhadap materi pelajaran. b. Ranah Afektif Evaluasi pada ranah afektif berkenaan dengan penerimaan receivingattending: emoting feeling, jawaban atau respon siswa terhadap situasi dan kondisi ketika proses pembelajaran dan pengajaran berlangsung responding:minding, valuing: spiritualizingtaking role, dan organizing:taking position. c. Ranah Psikomotor Sedangkan evaluasi dalam bentuk ranah psikomotor yakni mencakup gerakan releks, keterampilan gerakan dasar, dan kemampuan perseptual. Secara faktual, bentuk penilaian pendidikan hari ini masih pincang dalam pola mengembangkan potensi peserta didik. Penilaian terhadap peserta didik hanya ditinjau dari satu asfek saja yaitu asfek kognitif. Hal itu terbukti dengan adanya standar kelulusan yang diberlakukan pada Ujian Nasional UN yang hanya tertuju pada asfek kognitif semata. Kurikulum dan Pembelajaran di Sekolah Dasar Ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 ayat 1 menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a pendidikan agama, b pendidikan kewarganegaraan, c bahasa, d matematika, e ilmu pengetahuan alam, f ilmu pengetahuan sosial, g seni dan budaya, h pendidikan jasmani dan olahraga, i keterampilankejuruan serta j muatan lokal. Dalam pengembangan kurikulum tersebut, selanjutnya guru merancang dan merumuskan secara operasional dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan yang ditujukan untuk kepentingan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam implementasinya, pengembangan kurikulum khususnya pada jenjang pendidikan dasar SDMI disusun dengan tetap disesuaikan untuk kepentingan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan aspek-aspek mendasar antara lain: a peningkatan iman dan takwa, b peningkatan akhlak mulia, c peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, d keragaman potensi daerah dan lingkungan, e tuntutan pembangunan daerah dan nasional, f tuntutan dunia kerja, g perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h agama, i dinamika perkembangan global; dan j persatuan nasional dan nilai- nilai kebangsaan. Integrasi pendidikan nilai ke dalam pembelajaran SDMI melalui penanaman dan pembinaan pendidikan karakter, watak dan 484 kepribadian tidak diartikan sempit hanya sebagai domain pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan melainkan terintegrasi dan terinternalisasi ke dalam seluruh mata pelajaran seperti IPS, IPA, bahasa, matematika, seni dan budaya dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Orientasi pendidikan nilai melalui sebaran mata pelajaran tersebut ialah berupaya menggali, menemukan, memahami, mengaplikasikan dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dari sebaran mata pelajaran tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran di SDMI akan jauh lebih bermakna meaningfull baik bagi pendidik maupun anak didik sebagai dua pelaku utama pendidikan. Setiap mata pelajaran pada prinsipnya memiliki bahan ajar instructional materials berdimensi pengetahuan, keterampilan dan sikapnilai. Depdiknas 2006 mengartikan bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Mata pelajaran apapun termasuk yang ada di SDMI sarat dengan kandungan dimensi penanaman dan pembinaan sikapnilai yang melekat dalam setiap aktivitas pembelajaran. Jadi, dalam hal ini pendidikan nilai atau budi pekerti tidak lagi terspesialisasi pada mata pelajaran tertentu yang seringkali pada prakteknya terjebak pada tradisi hafalan atau sekedar “tahu”. Nursid Sumaatmadja 2005 mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam IPS meliputi: nilai edukatif, nilai praktis, nilai teoritis, nilai ilsafat dan nilai ketuhanan. Lebih rinci, dijelaskan sebagai berikut. 1. Nilai edukatif, melalui pendidikan IPS, perasaan, kesadaran, penghayatan, sikap, kepeduliaan, dan tanggung jawab sosial peserta didik ditingkatkan. Kepeduliaan dan tanggungjawab sosial, secara nyata dikembangkan dalam pendidikan IPS untuk mengubah perilaku peserta didik bekerja sama, gotong royong dan membantu pihak-pihak yang membutuhkan; 2. Nilai praktis, dalam hal ini tentunya harus disesuaikan dengan tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan IPS yang praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita, mendengakan radio, membaca majalah, menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari 3. Nilai teoritis, peserta didik dibina dan dikembangkan kemampuan nalarnya kearah dorongan mengetahui kenyataan sense of reality, dan dorongan menggali sendiri dil apangan sense or discovery. Kemamuan menyelidiki, meneliti dengan mengajukan berbagai pernyataan sense of inquiry. 485 4. Nilai ilsafat, peserta didik dikembangkan kesadaran dan penghayatan terhadap keberadaanya di tengah-tengah masyarakat, bahkan ditengah-tengah alam raya ini. Dari kesadaran keberadaan tadi, mereka disadarkan pula tentang peranannya masing- masing terhasap masyarakat, bahkan terhadap lingkungan secara keseluruhan 5. Nilai ketuhanan, menjadi landasan kita mendekatkan diri dan meningkatkan IMTAK kepada-Nya. Kekaguman kita selaku manusia kepada segala ciptaan-Nya, baik berupa fenomena isik- alamiah maupun fenomena kehidupan. Akhir-akhir ini maraknya fenomena kenakalan anak dan remaja yang sering dilansir media surat kabar maupun televisi tanah air merupakan bukti telah terjadi kecenderungan pelecehan terhadap nilai- nilai kemanusian, terlebih kenyataan ini dilakukan oleh anak-anak usia sekolah bahkan diantaranya dilakukan oleh anak sekolah dasar SD seperti peristiwa pemerasan yang dilakukan oleh sekumpulan anak SD dimana mereka terlibat secara terorganisir layaknya orang dewasa dan menamakan dirinya dalam sebuah “geng”. Lantas, apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?Akan seperti apa wajah pendidikan kita ke depan?Mampukan pendidikan kita menghantarkan anak didiknya menjadi insan yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan dicita-citakan dalam UU Sisdiknas? Tentu masih banyak pertanyaan lain yang perlu diajukan sekaligus kita jawab. Potret ini tentu menjadi bagian kegelisahan dan keprihatinan kita bersama, terutama oleh para pelaku pendidikan. Selanjutnya sebagai bentuk releksi, apa mungkin kemunduran bangsa ini disebabkan karena adanya kesalahan dalam desain pendidikan kita. Apa mungkin dewasa ini pada praktiknya pendidikan kita termasuk pada jenjang pendidikan dasar masih berorientasi kepada ratio atau pencapaian kemampuan intelektual sementara kemampuan lain diabaikan bahkan dianggap tidak penting. Di sadari dan diakui atau tidak, kenyataan tersebut masih terus berlangsung sampai saat ini baik yang dilakukan oleh pihak sekolah maupun orangtuakeluarga. Dalam implementasi kurikulum dan pembelajaran di SD, komponen tujuan pembelajarannya yang dituangkan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SK- KD lebih berorientasi terhadap pencapaian aspek kognitifintelektual sementara pencapaian pada aspek sikap atau nilai masih terbatas bahkan tidak nampak. Bahan ajar subject matter dalam pembelajaran di SD masih kental dengan bobot materi pengetahuan, terlebih materi tersebut bersifat fakta yang memiliki konsekuensi menjadi tradisi hafalan. Metodependekatanmodel pembelajaran tidak jarang masih 486 terjebak pada aktivitas CBSA baca: Catat Buku Sampai Habis sehingga kecenderungan yang terjadi masih diterapkannya metode hafalan. Komponen evaluasi yang digunakan guru masih ditujukan untuk mengukur dan menilai kemampuan kognitif dan jenis dan bentuknya bersifat test, sementara pengukuran dan penilaian terhadap aspek sikapnilai dan penggunaan alat non-test seringkali terlupakan bahkan terabaikan. Agar tujuan esensi dan kandungan dimensi pendidikan nilai dapat diwujudkan, sudah tentu memerlukan strategimetodependekatan model pembelajaran yang tepat atau metodologi pembelajaran. Upaya ini selalu berkaitan dengan bagaimana cara yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan. Jika strategi yang berpusat pada siswa dinamakan student centered, sedangkan strategi yang berpusat pada guru dinamakan teacher centered. Menurut teori perkembangan kepribadian, setiap individu tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor utama diantaranya faktor pengalaman proses belajar, faktor kebudayaan dan faktor lingkungan keluarga yang meliputi sikapkondisi sosial ekonomi keluarga, posisi anak dalam kelurga serta bagaimana sifat dan perlakuan orangtua. Terdapat beberapa kecenderungan arah perkembangan kepribadian yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas diantaranya yaitu 1 bila anak hidup di dalam suasana penuh dengan kritik, dia belajar untuk menyalahan orang; 2 bila anak hidup di dalam suasana penuh kekerasan, dia belajar untuk berkelahi; 3 bila anak hidup di dalam suasana penuh olok-olok, dia belajar untuk menjadi seorang yang pemalu; 4 bila anak hidup di dalam suasana yang memalukan, dia belajar untuk selalu merasa bersalah; 5 bila anak hidup di dalam suasana yang penuh dengan toleransi, dia belajar untuk menjadi seorang penyabar. 6 bila anak hidup di dalam suasana yang penuh dengan dukungan, dia belajar untuk menjadi seorang yang percaya diri; 7 bila anak hidup di dalam suasana penuh pujian penghargaan, dia belajar untuk menghargai orang lain; 8 bila anak hidup di dalam suasana kejujuran, dia belajar mengenai keadilan; 9 bila anak hidup di dalam suasana yang aman, dia belajar untuk mempercayai orang lain; 10 bila anak hidup di dalam suasana yang memuaskan jiwanya, dia belajar untuk menyenangi dirinya; serta 11 bila anak hidup di dalam suasana yang penuh dengan penerimaan persahabatan, dia belajar untuk mendapatkan kasih sayang di dalam dunia ini. Penutup 487 Tugas utama pendidikan dasar adalah membangun karakter anak didik yaitu bertujuan agar anak didik sejak dini tidak gagal menjadi sosok manusia, karena jika manusia gagal untuk menjadi manusia maka kualitasnya tidak berbeda bahkan lebih rendah dibandingkan hewan. Dengan demikian, di sinilah letak letak nilai strategis pendidikan dasar yaitu sebagai pondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak pada tahap-tahap berikutnya, di mana kita yakini bahwa tantangan ke depan akan besar dan kompleks. Jika pada tahapan ini gagal dilalui, maka surat jalan atau paspor yang sangat penting ini tidak akan dimiliki anak. Konsekuensinya, tentu anak akan kesulitan untuk memasuki kehidupan selanjutnya mulai dari konteks lingkungan terdekat keluarga, masyarakat setempat, sampai masyarakat dunia, termasuk di dalamnya lembaga satuan pendidikan. Daftar Pustaka Bank, A. James, 1990. Teaching Strategies for The Social Studies-Inquiry, Valuing, and Decision Making . Longman New York and London. Balitbang Puskur Depdiknas, 2007. Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum SD . Jakarta Bohlin, K.,DFarmer K. Ryan 2001. Building Character in Schools: resource Guide, Californis: Jossey-Bass. Djahiri, A. K 1985. Strategi Belajar Mengajar Afeksi Model Belajar Mengajar VCT . Bandung: PT; Granesia. Djahiri, A. K 1996. Menelusuri Dunia Afeksi-Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung. Fraenkel, J. R. 1977. How to Teach About Values: an Analytic Approach. New Jersey: Prentice –Hall, Inc. Gagne, R.N 1977 The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart Winston. Hers, R. H., Miller J. P., Fielding, G.D. 1980. Model of Moral Education. New York: Longman Inc. Kardiman, Yuyus. 2008. Membangun Kembali Karakter Bangsa Melalui Situs-situs Kewarnegaraan : Studi Fenomenologi terhadap Pelatihan Manajeman Qalbu, pelatihan Emotional Spiritual dan Majelis Taklim di Bandung tesis, sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indoneisa. Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama , Jakarta 488 Mulyana, Rohmat, 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Sanjaya, Wina, 2007. Kurikulum dan Pembelajaran Sekolah Dasar. Bandung: SPs UPI. Sauri, Sofyan, 2009. Implementasi Pendidikan Nilai dalam Pedagogik dan Penyusunan Unsur-unsurnya. Bandung: SPs PU UPI. Skeel, J. Dorothy, 1995. Elementery Social Studies-Challenges for Tomorrow’s World . Harcourt Brace College Publishers. Sumaatmadja, Nursid, 2005. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Waini Rasyidin, 2007. Landasan Filosois Pendidikan Dasar. Bandung: SPs UPI. Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika, 2007. Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 489 URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER Rika Sa’diyah Universitas Muhammadiyah Jakarta UMJ Email: ikainagmail.com Abstract : Basically, education serves to develop skill and form the character and civilization of nations in order to make people smart and digniied life of the nation, as well as improve human resource capabilities in order to become an independent human being that is based on the noble values of the nations. Based on this, the problem in this paper is: what shoul be done to build human character? what is an effective approach?, and who can give the education of character? Character education aims to improve the quality of the nation to have the noble character in the life of society, nation and state. Character education can the effective if is conducted in the environment of work, family, community, and school. Caracters that must the instilled is the value of faith and good fearing, honest, intelligent, tough and caring, if these values are instilled in the attitudes of individuals and implemented in each environment is already having an intelligent character. Keywords: character, education Pendahuluan Fenomena sosial yang terjadi pada bangsa kita ditayangkan melalui media cetak dan elektronik memuat penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah, seperti; korupsi, ketidakadilan, penegakkan supremasi hukum, dan lain-lain yang berkaitan kinerja pemerintah, sehingga merangsang anggota masyarakan untuk melakukan aksi demontrasi, selain itu ada tawuran, pengrusakan yang tidak sedikit mengorbankan materi bahkan korban nyawa, demikian sadisnya. Pemandangan ini sudah terbiasa. Pelakunya dari kalangan muda, ada yang mengatasnamakan organisasi, ada juga yang mengatasnamakan kelompok. Fenomena-fenomena ini terjadi di mana-mana mulai dari pusat ibu kota sampai ke pelosok desa. Tuntutan mereka tidak semuanya salah. Tuntutan yang baik merupakan gambaran generasi yang memiliki rasa tanggung jawab atas kehidupan berbangsa, akan tetapi ada pula yang tidak bertanggung jawab dan cenderung merusak. 490 Fakta yang dikemukakan oleh Aan Hasanah 2009 dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 2010 : 230 berbagai fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini cukup menghawatirkan. Fenomena kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum. Pemaksaan kebijakan terjadi hampir pada setiap level institusi. Manipulasi informasi menjadi hal yang lumrah. Penekanan dan pemaksaan kehendak satu kelompok terhadap kelompok lain dianggap biasa. Hukum begitu jeli pada kesalahan, tetapi buta pada keadilan. Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, local wisdom yang kaya dengan pluralitas, toleransi dan gotong- royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling menyalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah tereduksi menjadi alat secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya. Berbagai kesenjangan dan ketidaknyamanan mewarnai kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Peristiwa atau suasana yang sesungguhnya tidak dikehendaki terjadi itu justru dimediakan, sehingga menyebar, masyarakat memaknai kejadian-kejadian itu amat beragam, pendidikan yang tidak berhasil, orang tua dan sekolah yang gagal, termasuk pemerintah. Pendidikan tidak berhasil mendidik dan mengembangkan sumber daya manusia yang menjunjung nilai-nilai falsafah bangsa. Pancasila yang digelorakan sejak revolusi kemerdekaan mengalami kemunduran dalam makna keluhuran nilai-nilai bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibatnya yang dapat dirasakan tidak membahagiakanmensejahterakan rakyat, bahkan suasana kehidupan cenderung semakin meresahkan dan menghawatirkan, Pancasila kehilangan rohnya. Sementara itu, bangsa Indonesia tengah dihadapkan dengan arus globalisasi yang tak dapat dihindari sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK yang amat pesat, terutama teknologi komunikasi dan informasi yang dapat mengubah dunia menjadi kampung besar global village. Kondisi yang demikian itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, dapat pula mempengaruhi pola pikir dan pola tindak seperti yang digambarkan di atas. Bangsa Indonesia semakin terbelakang. Globaliasi akan memicu perubahan tatanan pemenuhan 491 kebutuhan secara mendasar sesuai dengan karakteristik mobile, plural, dan kompetitif. Akibat langsung dari proses-proses globalisasi, maka pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan sebagai satu program pendidikan yang diselenggarakan secara resmi oleh Negara hendaknya mampu membangun kesadaran seluruh warga Negara sebagai anggota kewarganegaraan yang multi-dimensi dan religius. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan? apakah menerima apa adanya, atau menolak? bagaimana caranya? Strategi dan implementasi yang tepat dalam merespon apapun tantangannya adalah peranan pendidikan. UUD tahun 1945 pasal 1 ayat 3, pemerintah mengusa-hakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Penjabarannya dalam Undang-undang Nomor 20, tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan; pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Bab II pasal 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan; Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pasal 3; Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta beradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Sesungguhnya bangsa Indonesia mendambakan generasi mudanya yang dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Memperhatikan kompleksnya masalah yang dihadapi bangsa, pendidikan karakter, maka pelaksanaannya mulai dari mana? bagaimana sistem pelaksanaannya? Jika pendidikan karakter hanya diberikan pada generasi, mulai dari usia dini, maka masalahnya; Apa yang harus dilakukan dalam membentuk manusia yang berkarakter? Apa pendekatan yang efektif? dan Siapa yang dapat memberikan pendidikan karakter? Jika pendidikan karakter dimulai dari bawah dengan kompetensi pendidik yang handal sekalipun akan menjadi sia- sia dan akan luntur dimakan teladan yang tidak berkarakter terutama lingkungan di luar rumah dan sekolah seperti melalui media, situasi 492 sosial kemasyarakat. Karakter, bukan dalam hafalan, akan tetapi perbuatan yang mudah ditiru dan dapat dipengaruhi. Hakikat Pendidikan Hakikat pendidikan dapat dipahami dari Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidiksn Nasional seperti yang dikemukakan di atas, yaitu mengembangkan potensi kemanusiaan, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia, keterampilan yang diperlukan diri dan masyarakat, bangsa dan Negara. Prayitno 2009 dalam Prayitno dan Khaidir 2011 : 56 basis keilmuan pendidikan dilaksanakan dari, untuk, dan oleh manusia berisi hal-hal yang menyangkut perkembangan dan kehidupan manusia; serta diselenggarakan dalam hubungannya antar manusia itu sendiri, pemahaman yang paling mendasar tentang manusia dan implementasinya menjadi rumusan dalam kaidah- kaidah keilmuan pendidikan, yang selanjutnya melandasi praktik pendidikan. Lebih jauh, kajian dan pemahaman tentang manusia, yang memberikan gambaran tentang kesejatian sosok kemanusiaan manusia, menjadi basis bagi teori, praksis, dan praktik pendidikan. Selanjutnya, Azyumardi Azra 2002 dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 2010 : 231, pendidikan adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan eisien. Bahkan, ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya bahwa pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu. Jadi, pendidikan pada dasarnya adalah upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia supaya dapat menjadi manusia yang mandiri serta dapat berkontribusi terhadap masyarakat dan bangsanya. Efek dari pendidikan dapat berupa perubahan dalam perilaku yang biasa disebut akhlak atau moral. Akhlak atau moral yang baik itu adalah adanya keseimbangan perilaku antara dorongan dari dalam diri seseorang dengan tuntutan lingkungannya. Semiawan 1997 mengutip pendapat Khatena dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 2010 : 233 moral adalah akibat dari adanya interaksi potensi individual dan pengaruh social kultural dengan kajian tertentu, meskipun dalam perkembangan moral kemampuan intelektual dan kemampuan memproses masukan ikut menentukan perkembangan itu, perilaku yang diwarnai dimensi moral pada diri seseorang memegang peranan penting. Perkembangan moral berkorelasi dengan kehidupan individu dalam kelompok tertentu. Jadi, akhlak adalah keseluruhan kebiasaan 493 manusia yang berasal dari dalam diri yang didorong oleh keinginan secara sadar dan dicerminkan dalam perbuatan yang baik. Akhlak merupakan pondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara al-Kholiq sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya. Tujuan pendidikan itu adalah meletakkan dasar nilai-nilai berupa pengetahuan, pengalaman-pengalaman yang diekspresikan dalam kecerdasan, kepribadian, akhlak, keterampilan, yang menggambarkan seseorang sebagai sosok yang mandiri. Sesungguhnya pendidikan karakter merupakan kalimat yang rancu, sebab tujuan akhir dari pendidikan atau hakikat pendidikan adalah nilai dalam wujud pola tingkah laku yaitu karakter itu sendiri. Pendidikan merupakan proses internalisasi melalui sikap dan persepsi seseorang terhadap sosial kultural. Pendidikan karakter bagi generasi merupakan tanggung jawab semua pihak, tanggung jawab mendewasakan. Pendidikan adalah proses pemberian pertolongan atau bimbingan dari orang dewasa orang tua, guru, masyarakat, pemerintah kepada yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan memiliki: kepribadian, budi pekerti yang luhur dan berakhlak mulia. Pendidikan dapat dilakukan melalui lingkungan yang bertanggung jawab, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan persekolahan, dan lingkungan masyarakat. Jacques Delors, dalam Emzir 2010: 100 mengisyaratkan bahwa ada 4 pilar pendidikan universal yang ditetapkan UNESCO, yaitu: learning to know belajar untuk mengetahui, learning to do belajar untuk berbuat, learning to be belajar untuk menjadi diri sendiri, dan learning to live together belajar untuk hidup bersama dengan orang lain. Selintas dijelaskan sebagai berikut: 1. Learning to know belajar untuk mengetahui; Jenis belajar ini menekankan perolehan pengetahuan adalah suatu proses yang tidak pernah berakhir dan dapat diperkaya oleh semua bentuk pengalaman. Perluasan bidang pengetahuan yang memampukan manusia untuk memahami lebih baik berbagai aspek lingkungan yang menimbulkan rasa ingin tahu intelektual, merangsang pikiran kritis dan memampukan manusia untuk lebih memahami realitas dengan memperoleh kemandirian di dalam mengambil keputusan. 2. Learning to do belajar untuk berbuat; Belajar berbuat terkait dengan bagaimana mengajar peserta didik untuk mempraktikkan apa yang sudah dipelajarinya dan bagaimana pendidikan dapat diadaptasikan dengan pekerjaan pada masa depan. Untuk keperluan yang lebih luas kompetensi peserta didik yang berkenaan dengan berbagai situasi kerja dalam tim perlu dikembangkan. Hal ini dapat terwujud apabila peserta didik berkesempatan untuk mencoba sendiri dan mengembangkan kemampuan dengan jalan terlibat di 494 dalam pengalaman kerja atau pekerjaan sosial pada waktu mereka menghayati proses pendidikan. 3. Learning to be belajar menjadi diri sendiri; Belajar jenis ini menekankan bahwa pendidikan hendaknya menyumbang pada perkembangan seutuhnya dari setiap orang, jiwa dan raganya, intelegensinya, kepekaannya, rasa estetikanya, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual, berpikir mandiri dan kritis, dan membuat keputusan sendiri dalam rangka menentukan bagi mereka apa yang diyakini harus dilaksanakan didalam berbagai keadaan kehidupan. Jadi pendidikan memampukan setiap orang untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawabnya sendiri. 4. Learning to live together belajar untuk hidup bersama dengan orang lain; Belajar jenis ini menekankan bahwa sebelum memahami orang lain, seseorang harus mengutamakan pengenalan dirinya sendiri. Seseorang harus berusaha untuk selalu ber-DDCT Deep Dialog and Critical Thinking, yaitu berdialog yang mendalam dengan dirinya sendiri untuk menghasilkan pikiran kritis melalui siapa, apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana. Setelah seseorang mampu memahami siapa dirinya who he is, apa yang harus diperbuat what he should do, kapan ia harus berbuat when he should do, di mana ia harus berbuat where he should do, bagaimana cara melakukannya how should he do, ia diharapkan mampu masuk ke wilayah yang lebih luas, yaitu lingkungan sosial pada era mendatang, tingkat intelektual perorangan tidak cukup. Kerja tim, sinergitas, dan interdependensi saling ketergantungan sangat diperlukan untuk menyelesaikan berbagai aspek kehidupan team work is better for all walaupun dalam kompleksitas keadaan saat ini diperlukan kompetisi to compete, disamping juga harus bersanding to cooperate. Karakter Karakter dapat dideinisikan sebagai kecenderungan tingkah laku yang konsisten secara lahiriah dan batiniah. Karakter adalah hasil kegiatan yang sangat mendalam dan kekal yang nantinya akan membawa ke arah perkembangan sosial. Perkembangan sosial merupakan kegiatan manusia sejak lahir, dewasa, sampai akhir hidupnya akan terus melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya yang menyangkut norma-norma dan sosial budaya. Selanjutnya, kesadaran dan karakter sosial merupakan hasil perkembangan dari kegiatan individu yang konsisten dengan dasar dan taraf dari keseluruhan pola dan arah pertumbuhannya, sehingga perkembangan itu akan berjalan 495 nenurut situasi lingkungan untuk mencapai kedewasaan Djaali 2007 : 48. Thomas Lickona dalam Educating for Character: How Our Scholls Can Teach Respect and Responsibility 1991 dalam Winarno 1009 : 13 bahwa karakter mengandung tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu; mengetahui hal yang baik knowing the good, menginginkan hal yang baik desiring the good, dan melakukan hal yang baik doing the good. Margaret Stimmann Branson dalam tulisannya yang berjudul From Character Development and Democratic Citizenship, Character Count 2007 ada 6 pilar karakter bagi kewarganegaraan demokratis, yaitu; 1 Trust worthiness rasa percaya, 2 Respect rasa hormat, 3 Responsibility tanggungjawab, 4 Fairness kejujuran, 5 Caring kepedulian, dan 6 Citizenship kewarganegraan. Karakter privat individual meliputi; pertanggung jawaban moral, disiplin diri, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Karakter public meliputi; taat terhadap sikap kritis, sopan, kesediaan mendengar, kemauan bernegosiasi dan kompromi. Kriteria manusia Indonesia yang baik adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis, serta bertanggung jawab Pasal 3 Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sedangkan visi Indonesia masa depan, karakter bangsa yang diidealkan adalah terwujudnya bangsa yang religius, manusiawi, adil, bersatu, demokratis, adil dan sejahtera, maju, mandiri, baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara. Menurut Hamdan Mansoer 2005 dalam Winarno 2009 : 17 bangsa atau masyarakat yang demikian merupakan ciri dari masyarakat madani di Indonesia. Prayitno dan Kadir 2010 : 27-28 mengidentiikasi karakter warga negara Indonesia menjadi 5 kandungan fokus nilai- nilai karakter yang disebut karakter cerdas, yaitu: A. beragama dan bertakwa; 1 beragama: percaya kepada Tuhan yang maha Esa 2 menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan sesuai dengan agama yang dianut, yaitu berbuat kebaikankebajikan dan menghindari berbuat salah atau jahat 3 amanah 4 bersyukur 5 ikhlas B. jujur: 6 berkata apa adanya, 7 berbuat atas kebenaran, 8 membela kebenaran 9 bertanggung jawab, 10 memenuhi kewajiban dan menerima hak, 11 lapang dada, 12 memegang janji C. cerdas: 13 aktif; dinamis 14 terarahberpikir logis, 15 analisis dan objektif 16 mampu memecahkan masalah, menemukan solusi, 17 kreatif; menciptakan hal baru 18 berpikir maju, 19 konsisten, 20 berpikir positif 21 terbuka D. tangguh, 22 teliti 23 sabarmengendalikan diri 24 disiplin, 25 ulettidak putus asa, 26 bekerja keras 27 terampil 28 produktif, 29 berorientasi nilai tambah, 30 berani 496 berkorban, 31 tahan uji, 32 berani menanggung resiko 33 menjaga K3 kelengkapan, kesehatan, dan keselamatan kerja, E Peduli: 34 mematuhi peraturan, hukum yang berlaku, 35 soapan santun, 36 loyal dengan mentaati perintah sesuai tugas dan kewajiban, 37 demokratis, 38 sikap kekeluargaan 3 gotong royong 40 toleransi, suka menolong 41 musyawarah, 42 tertib, menjaga ketertiban, 43 damai, anti kekerasan, 44 pemaaf, 45 menjaga kerahasiaan. Pembahasan Pengembangan kemampuan dan pembentukkan watak yang dimaksudkan itu melalui pendidikan. Pendidikanlah yang pada dasarnya membawa kehidupan manusia sesuai dengan kehendak Maha Pencipta, sesuai itrah kehidupan manusia itu sendiri. Dalam kaitan dengan itu, ilmu pendidikan yang menghimpun berbagai kaidah keilmuan pendidikan secara langsung diarahkan implementasinya untuk mengem-bangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pendidikan dalam semua jenjang satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi membangun karakter melalui tindak pendidikan yang melakukan transfer ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran yang sesunguhnya tidak hanya terkait dengan pengubahan tingkah laku, apa lagi proses pembiasaan atau kondisioning justru dikerdilkan oleh praktik menghafal. Pendekatan interdisipliner yang mengamanatkan agar permasalahan pendidikan dilihat secara lebih luas. Pembelajaran yang mengarah kepada pembangunan karakter bangsa juga terhalang. Penguasaan siswa terhadap dasar Negara, lembang Negara sebagai simbol kebangsaan baru sebatas pengetahuan, sementara penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tampak semakin kabur dan semakin jauh dari harapan, tidak mengangkat harkat dan martabat manusia. Sebaliknya nilai-nilai global dan dunia maya merasuk kehidupan pada siswa diabaikan, dan pendidikan tidak memberikan kepedulian untuk mencegah. Dengan paradigm bahwa pendidikan pada dasarnya adalah upaya memuliakan kemanusiaan manusia, maka harkat dan martabat manusia yang merupakan karakteristik dasar kemanusiaan manusia menjadi basis sosok manusia seutuhnya dimulai untuk mewujudkannya, meningkatkan harkat dan martabat manusialah pendidikan ditujukan, dan dengan orientasi harkat dan martabat manusialah pendidikan diselenggarakan. Dengan paradigma itu, maka pendidikan mengunggulkan harkat dan martabat manusia menuju terbangun manusia seutuhnya yang berkarakter berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa. Pendidikan dalam lingkungan merupakan sarana esensial untuk membangun karakter anak-anak dan generasi muda bangsa. 497 Lingkungan pendidikan ini melibatkan semua elemen; rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Rumah tangga dan keluarga sebagai satuan pendidikan informal sekaligus sebagai satuan pembentuk karakter harus diberdayakan. Suasana pendidikan dalam keluarga menjadi satuan pendidikan untuk mengembangkan cinta sejati dan kasih sayang. Pembentukkan karakter melalui lingkungan ini, selain melakukan pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, yaitu lebih berfokus pada moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur, yang semuanya itu tergabung dalam nilai- nilai karakter cerdas. Kemampuan keluarga itu berkenaan dengan teknik operasional pendidikan. Pendidikan non-formal berfungsi sebagai penyeimbang atau komplemen, penambah atau suplemen, dan pengganti atau substitusi dari pendidikan formal. Kedudukannya disetarakan dengan pendidikan formal. Pendidikan non-formal juga berfungsi untuk membangun karaktar peserta didik. Dalam hal ini pendidikan non- formal memerlukan perencanaan yang matang dalam isi programnya, prasarana dan sarananya, sumber belajarnya serta aktivitas pendidik dan peserta didiknya, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Pendidikan formal, non-formal dan informal diindentiikasi sebagai berikut: 1. Pendidikan formal lebih mengarah kepada pengembangan ranah kognitif, lebih disempitkan lagi menjadi hafalan, kurang menjangkau pengembangan karakter. 2. Meskipun sudah disetarakan dengan pendidikan formal tingkat pendidikan dasar dan menengah, namun masih dikesankan bahwa pendidikan non-formal masih sempit dan lebih rendah dibanding dengan pendidikan formal. 3. Pendidikan informal belum efektif, karena terhambat oleh kualitas pendidikan formal dan pendidikan non-formal yang kurang berkarakter, rendah nilai-nilai dan perilaku karakter. Kesempatan pengasuhan sehat terhadap anak-anak dalam keluarga tidak memadai, sehingga karakter generasi cenderung ada penyimpangannya. Penutup Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, keterampilan yang diperlukan masyarakat bangsa dan Negara. Untuk meningkatkan kualitas karakter generasi muda, peranan lembaga pendidikan sangat diutamakan sesuai fungsinya dan peranannya, semuanya sama- 498 sama meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berbudi pekerti, takwa, cerdas, terampil, dan kreatif. Komponen bangsa perlu memberikan keteladanan yang berkarakter. Untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia perlu mengkaji aspek-aspek: agama, kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, dan kepedulian yang dilandasi nilai-nilai luhur bangsa yaitu; butir-butir wujud pengamalan Pancasila. Daftar Pustaka Djaali; Psikologi Pendidikan; Bumi Aksara, Jakarta, 2007 Emzir dan Sam M. Chan; Isu-isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan , Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Mei 2010 Prayitno dan Khaidir, Afriva; Model Pendidikan Karakter Cerdas, Universitas Negeri Padang, Padang, 2010 Winarno, Kewarganegaraan Indonesia dari Sosiologi menuju Yuridis, Afabeta, Bandung, 2009 Undang-undang Sisdiknas , Fokesmedia, Bandung, 2009 STANDAR KEUNGGULAN KOMPETENSI GURU UNTUK INDONESIA EMAS 6 500 501 PROFESIONALISME GURU MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU PPG DI LEMBAGA PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Fauzan Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: fauzanuinjkt.ac.id Abstrak: Peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu profesionalisme tenaga pendidik guru dan dosen diakui sebagai langkah paling strategis dan menentukan, karena para tenaga pendidiklah yang berada pada barisan terdepan dalam mengantar peserta didik menuju keunggulan kemampuan dan daya saing di tengah percaturan global. Ada banyak langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru Indonesia, salah satunya dilakukan dengan mengembangkan program Pendidikan Profesi Guru PPG. Keberadaan PPG menjadi tuntutan setelah Undang-undang Guru dan Dosen UUGD mempersyaratkan guru profesional memiliki sertiikat pendidik. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik menerapkan kemampuan akademik kependidikan dalam kegiatan profesional guru di sekolah disertai mekanisme pembimbingan dan supervisi yang sistematis dan dalam waktu yang relatif memadai sekurang-kurangnya satu tahun atau dua semester. Kata kunci : profesionalisme guru, pendidikan profesi guru Pendahuluan Komponen terpenting dan sangat menentukan keberhasilan pendidikan adalah guru. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru dianggap sebagai tenaga pendidik professional yang terlibat dan ikut bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran. Dalam istilah pendidikan, pendidik atau guru merupakan orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pendidik adalah orang yang lebih dewasa yang mampu membawa peseta didik ke arah kedewasaan. Secara terminologis, pendidik adalah tenaga kependidikan 502 yang berasal dari anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas sebagai pendidik, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian, pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada pendidikan tinggi. Artinya, pendidik harus memiliki kualiikasi minimum dan sertiikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pendidik dapat dibedakan menjadi 2 dua kategori, yakni pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua dan pendidik menurut jabatan, yakni guru atau dosen. Orang tua sebagai pendidik menurut kodrat adalah pendidik pertama dan utama, karena secara kodrati anak manusia dilahirkan oleh orang tuanya ibunya dalam keadaan tidak berdaya. Hanya dengan pertolongan dan layanan orang tua terutama ibu bayi anak manusia itu dapat hidup dan berkembang makin dewasa. Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan edukatif, mengandung dua unsur dasar, yakni unsur kasih sayang pendidik terhadap anak, dan unsur kesadaran dan tanggung jawab dari pendidik untuk menuntun perkembangan anak. Dalam konteks pengajaran, keberadaan seorang guru dituntut untuk dapat menunjukkan dirinya sebagai sosok yang professional dengan kompetensi dan kualiikasi yang dimilikinya. Dengan kata lain, guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Guru berkualitas berarti guru yang secara administratif memenuhi kualiikasi S1 Sarjana serta memiliki kemampuan dalam bidang pengajaran sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kualiikasi dapat berarti 1 pedidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian; 2 keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu menduduki jabatan, dsb; 3 tingkatan; 4 pembatasan atau penyisihan olahraga. Berdasarkan pengertian guru dan kualiikasi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan mengenai kualiikasi guru sebagai keahlian yang diperlukan seseorang untuk menjalankan profesi guru. Dengan kualiikasi sarjana, diharapkan para guru memiliki bekal 503 kemampuan yang mencukupi, baik konten materi yang diajarkan maupun konsep kependidikan yang diperoleh di perguruan tinggi, sehingga dengan bekal pengalaman tersebut guru semakin “matang” dan cakap dalam melahirkan generasi-generasi masa depan. Kriteria Guru Kompeten Kompetensi competency adalah kecakapan atau kemampuan Muhibbin, 2004: 229. Menururt Uzer Usman kompetensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualiikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif Uzer U, 2000 : 4. Pengertian tersebut lebih melihat dari segi administratif keilmuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan kekuasaan untuk menentukan memutuskan sesuatu. Ada beragam deinisi dari kompetensi, di antaranya adalah sebagai berikut: Muhammad Surya mengungkapkan bahwa kompetensi adalah keseluruan kemampuan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang dalam kaitan dengan tugas tertentu M. Surya, 2004: 92. Sejalan dengan itu, Finch dan Cruncilton sebagaimana dikutip oleh Mulyasa mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan Mulyasa, 2003: 38. Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh guru atau pendidik untuk menjalankan tugas-tugasnya guna mencapai suatu tugas tertentu yang telah ditentukan. Di samping bermakna kemampuan, oleh Mc Load kompetensi juga bermakna sebagai “… the state of being usually competent or qualiied”, yaitu keadaan berwewenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum Muhibbin, 2004. Ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa orang yang memiliki kompetensi harus memiliki wewenang dan syarat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, misalnya seorang dokter merupakan suatu jabatan yang diharuskan memiliki kemampuan dalam bidangnya. Dia memiliki kewenangan dan syarat-syarat sebagai dokter yang didasarkan atas hukum yang berlaku, yaitu harus lulusan fakultas kedokteran. Jadi guru pun demikian, harus memiliki kompetensi. Munurut Barlow dalam Muhibin Syah berpendapat bahwa kompetensi guru teacher competency , ialah “the ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately”, yaitu, merupakan suatu kemampuan guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. 504 Dari beberapa deinisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kompetensi mempersyaratkan beberapa hal, antara lain: 1 Adanya karakteristik yang menunjukkan kemampuan atau kewenangan, 2 Kemampuan tersebut tecermin dalam bentuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap, 3 Diperoleh melalui pengalaman belajar, 4 Terwujud dalam bentuk kinerja performance. Pengertian kompetensi ini jika dikaitkan dengan dengan profesi guru, maka kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Selanjutnya dijelaskan bahwa kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah atau tujuan tertentu. Kompetensi guru mengandung arti kemampuan seseorang dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak atau kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya Uzer U, 2005: 14. Menurut Kunandar, pengertian kompetensi guru adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif Kunandar, 2007 : 55. Dengan demikian, kompetensi guru merupakan kapasitas internal yang dimiliki guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Tugas profesional guru bisa diukur dari seberapa jauh guru mendorong proses pelaksanaan pembelajaran yang efektif dan eisien. Ada banyak rumusan mengenai dimensi atau macam- macam kompetensi guru yang dikemukakan para ahli. Cooper mengemukakan empat kompetensi guru, yakni a mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, b mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, c mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya, serta d mempunyai keterampilan teknik mengajar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Grasser. Menurutnya, ada empat hal yang harus dikuasai guru, yakni a menguasai bahan pelajaran, b kemampuan mendiagnosis tingkah laku siswa, c kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, dan d kemampuan mengukur hasil belajar siswa. Menurut George J. Mouly yang dikutip oleh Sudjana, kompetensi guru terdiri dari kognitif, sikap dan perilaku. Ketiga bidang kompetensi ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lain. Ketiga bidang kompetensi ini 505 juga mempunyai hubungan hirarkis dalam arti saling mendasari satu sama lain. Bagi Oemar Hamalik, guru profesional harus memiliki persyaratan yang meliputi: 1 memiliki bakat sebagai guru, 2 memliki keahlian sebagai guru, 3 memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, 4 memiliki mental yang sehat, 5 berbadan sehat, 6 memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, 7 guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan 8 guru adalah seorang warga negara yang baik. Oemar Hamalik: 2001, h. 118 Konsepsi lain menyatakan bahwa untuk dapat mengemban tugas sebagai pendidik formal di sekolah, guru disyaratkan memiliki sepuluh kemampuan dasar, yaitu 1 menguasai bahan, 2 mengelola program belajar mengajar, 3 mengelola kelas, 4 menguasai media atau sumber belajar, 5 menguasai landasan kependidikan, 6 mengelola interaksi belajar mengajar, 7 menilai prestasi siswa, 8 mengenal fungsi dan program bimbingan penyuluhan, 9 mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, serta 10 memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian untuk keperluan pendidikan dan pengajaran Kunandar: 2007: 58. What’s Professional Job? Analisis Guru dan Dokter Sebutan “profesional” sangat identik dengan seseorang yang dapat menyelesaikan tugas, pekerjaan sesuai dengan komitmen yang sepakati. Kriteria atau ketentuan yang melekat pada sebuah pekerjaan dimaknai sebagai batasan apakah “sebuah pekerjaan itu profesional atau tidak profesional”. Tukang ojeg misalnya, secara prinsipal merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan aturan, semua orang bisa menjadi tukang ojeg selama perangkat yang dibutuhkan seperti motor, helm, SIM terpenuhi. Berbeda halnya dengan profesi guru dan dokter. Kedua profesi tersebut lahir seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Guru bisa disebut pekerjaan paling tua. Pekerjaan guru sudah ada sejak manusia mampu berpikir dan mengenal ilmu pengetahuan. Sepanjang sejarah kehidupan, guru selalu berada di tengah masyarakatnya dengan posisi dan peran yang sangat terhormat. Guru mengajarkan banyak ilmu pengetahuan untuk membuat manusia menjadi mudah dalam menjalankan kehidupan. Masyarakat tidak bisa menyangkal jika hanya pekerjaan guru yang dapat mengantarkan anak-anaknya menjadi sosok yang berilmu pengetahuan, berkeadaban, dan skill yang mumpuni. Kepribadian, kesantunan, kecerdasan, pembentukan moralitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh baik tidaknya guru melakukan proses pendidikan. Sama halnya dengan profesi guru, 506 masyarakat juga memandang bahwa hanya dokterlah yang bisa memberikan resep obat, membantu masyarakat menyembuhkan segala penyakit yang diderita. Kedua profesi tersebut guru dan dokter memiliki tujuan yang sama, yakni bagaimana agar masyarakat sehat jasmani dan rohani. Pekerjaan dokter dalam mengobati penyakit seseorang hanya memerlukan waktu sekian hari untuk mendiagnosa dan memberikan obat, jika obat yang diberikan tepat, maka tidak butuh lama seseorang akan sembuh; namun sebaliknya jika obat yang diberikan tidak sesuai dengan hasil diagnosa, maka seseorang akan merasakan efek yang ditimbulkan pada saat itu. Berbeda dengan tugas guru dalam mendidik, membimbing, dan membentuk karakter masyarakat membutuhkan waktu yang cukup panjang. Menjadikan manusia bertaqwa, berakhlak karimah, disiplin, berilmu pengetahuan, sehat jasmani rohani, serta menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan demokratis bukanlah kerjaan “mudah”, perlu waktu puluh tahun untuk sampai tujuan tersebut. Menjadi sebuah ironis, ketika pekerjaan guru dengan implikasi besar dalam pembentukan mental dan karakter sebuah bangsa, begitu “terbuka” bagi lulusan Sarjana yang berkualiikasi S1. UUGD telah meligitimasi penyebutan “guru profesional” dengan kriteria, antara lain 1 memiliki kompetensi, 2 bersertiikasi, dan 3 berkualiikasi S1 tanpa embel-embel kependidikan. Artinya, semua lulusan Sarjana S1 di luar latar belakang kependidikan, dengan bekal “kemauan” dan “kesempatan” bisa berprofesi sebagai guru profesional setelah dinyatakan lulus mengikuti program Pendidikan Profesi Guru PPG. Padahal, dalam perspektif profesi yang lain,lagi-lagi bicara profesi dokter, hakim, akuntan, apoteker, pengacara, dan perawat; semuanya mensyaratkan kualiikasi akademik S1 sesuai bidang yang diampu. Tidak sembarang semua lulusan S1 dapat berprofesi sebagai dokter, hakim, akuntan, apoteker, pengacara, dan perawat. PPG: Antara Permasalahan dan Alternatif Solusi Besarnya perhatian dan dukungan pemerintah terhadap peningkatan mutu pendidikan, karena mau tidak mau dunia pendidikan selain menjadi sarana utama yang strategis untuk meningkatkan sumber daya manusia, juga karena dunia pendidikan harus menjawab tantangan globalisasi yang mengharuskan dunia pendidikan dikelola secara profesional yang didukung oleh sumber daya manusia yang profesional pula. Tanpa upaya tersebut, maka sumber daya manusia akan kehilangan kemampuan untuk meraih peluang dalam percaturan dunia yang makin ketat. 507 Peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu profesionalisme tenaga pendidik guru dan dosen diakui sebagai langkah paling strategis dan menentukan, karena para tenaga pendidiklah yang berada pada barisan terdepan dalam mengantar peserta didik menuju keunggulan kemampuan dan daya saing di tengah percaturan global. Karena demikian penting dan strategis fungsi dan peran tenaga pendidik hingga ada pendapat yang mengatakan, bahwa sekalipun komponen lainnya tidak ada, namun jika komponen guru tersedia dengan baik, maka proses pendidikan akan tetap berjalan. Nana Saodih Sukmadinata: 1998, 89 Ada banyak langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru Indonesia, salah satunya dilakukan dengan mengembangkan program Pendidikan Profesi Guru. Keberadaan PPG menjadi tuntutan setelah UUGD mempersyaratkan guru profesional memiliki sertiikat pendidik. Sertiikat pendidik harus menjadi jaminan seorang guru memiliki kualiikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Arahan pasal tersebut mengandung implikasi bahwa untuk mewujudkan pembelajaran yang mendidik harus didukung oleh keutuhan penguasaan kompetensi akademik dan profesional kependidikan. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik menerapkan kemampuan akademik kependidikan dalam kegiatan profesional guru di sekolah disertai mekanisme pembimbingan dan supervisi yang sistematis dan dalam waktu yang relatif memadai sekurang- kurangnya satu tahun atau dua semester. Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dikti Kemendikbud RI, 2013: 43 Kebijakan program PPG telah memperjelas dan memberikan nilai kemaslahatan bagi profesi guru sebagai tenaga profesional dengan lisensi sertiikat, tapi pada saat yang lain PPG juga telah memberikan madharat bahkan membawa pandangan kontroversial bahwa untuk menjadi guru tidak lagi harus berlama-lama kuliah di Fakultas Ilmu Kependidikan FKIP atau Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan FITK, karena menurut UUGD program PPG hanya mensyaratkan lulusan dengan kualiikasi S1 kependidikan dan non kependidikan. Lahirnya UUGD juga telah merubah pola pendidikan guru councurrent atau terintegrasi ke pola pendidikan guru concecutive. Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dikti Kemendikbud RI, 2013: 32 Pola pendidikan guru councurrent yaitu sistem pendidikan guru yang mengintegrasikan antara kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi akademik bidang studi, sekaligus mengintegrasikan pendidikan akademik dan pendidikan profesi, lulusannya diberikan 508 hak dan kewenangan mengajar yang melekat, dengan ditandai pemberian ijazah diploma atau sarjana sekaligus dengan akta mengajar. Bagi pandangan councurrent, menjadi “pendidik” haruslah orang yang matang, bukan hanya ditunjukkan dengan sebuah penguasaan materi yang diajarkan, tapi secara keilmuan, teori dan konsep kependidikan, teaching skill juga menjadi tuntutan utamanya. Lahirnya Sekolah Pendidikan Guru SPG, Pendidikan Guru Agama PGA pada tingkat sekolah menengah atas membuktikan bahwa menjadi seorang guru tidaklah mudah, harus dimulai dari panggilan “hati” jika yang bersangkutan hendak menjadi guru profesional. Pola penjenjangan pendidikan guru yang pernah ada di Indonesia membuktikan bahwa profesi guru harus sesuai dengan latar belakang kualiikasi akademik, dan kompetensi seseorang. Sementara pola pendidikan guru concecutive adalah pola pendidikan guru yang membuka lebar ruang bagi lulusan Sarjana kependidikan dan non kependidikan untuk menjadi tenaga pendidik profesional. Dalam pandangan concecutive, pendidikan akademik yang dipersiapkan LPTKFITK hanya disebut sebagai upaya mempersiapkan calon guru dengan bekal keilmuan pedagogis dan konten materi yang akan diajarkan, tetapi belum dapat memberikan pengalaman mengajar yang sebenarnya ketika terjun ke sekolah madrasah. Oleh karenanya, perlu diberikan pengalaman-pengalaman edukatif yang riil riil teaching melalui praktik pengajaran yang sebenarnya dan sesuai dengan dosis waktu yang dibutuhkan. Ada dua model PPG yang dikembangkan, yaitu 1 PPG dalam Jabatan dan 2 PPG Pra Jabatan. Program PPG dalam Jabatan adalah program pendidikan profesi guru untuk menghasilkan guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus program PPG dalam Jabatan adalah untuk menghasilkan guru profesional yang memiliki kompetensi: a merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; b menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik; dan c mampu melakukan penelitian dan mengembangkan keprofesian secara berkelanjutan. Sasaran PPG dalam Jabatan adalah guru-guru yang belum tersertiikasi dengan pengabdian minimal sudah 5 tahun mengajar dan berasal dari sarjana. PPG model ini disebut juga sebagai kebijakan pengganti dari penilaian portofolio serta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru PLPG yang dianggap sebagian besar masyarakat 509 kurang memberikan dampak positif dalam melahirkan tenaga-tenaga pendidik profesional. Secara teoretik, PPG model ini disinyalir banyak memberikan nilai kemaslahatan bagi guru untuk mendalami konten pedagogi bagi guru non kependidikan dan penguatan materi ajar bagi guru kependidikan yang dibutuhkan. Namun kenyataan di lapangan, pelaksanaan program ini pun tidak sesuai dengan konsep perundang- undangan. Banyak di antara guru berasal dari pendidikan dan non kependidikan memperoleh perlakuan sama, baik dari segi konten materi yang diajarkan, maupun waktu yang dibutuhkan selama program PPG berlangsung. Artinya, sebenarnya semakin “tidak jelas” pemilahan mana guru yang berasal dari fakultas kependidikan dan non kependidikan, karena semua dianggap sama, bahkan perlakuannya pun “dipukul” rata. Dalam pandangan peserta PPG FITK tahun 2013, PPG model ini jauh lebih punya makna ketimbang PLPG yang hanya sepuluh hari. Bagi guru, kegiatan PPG telah memberikan penguatan materi pedagogi dan bahan ajar yang dibutuhkan mereka. Hanya pemilihan sekolahmadrasah sebagai tempat mikro teaching peserta guru PPG masih belum representatif dengan kebutuhan teori yang diterima sewaktu perkuliahan lihat hasil penelitian Efektiitas PPG FITK UIN Jakarta, 2013 Sementara PPG Pra Jabatan berarti pelaksanaan kegiatan PPG yang diikuti oleh calon-calon guru yang sudah memenuhi tuntutan kualiikasi akademik Sarjana. Program Pendidikan Profesi Guru Pra jabatan adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1D-IV Non- kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan. PPG Pra jabatan bisa disebut juga program lanjutan untuk memberikan labelisasi seseorang sebagai guru profesional dengan implikasi sertiikat dan tunjangan profesi. Program PPG Pra Jabatan bisa disebut sebagai program pilihan, ketika seorang sarjana pendidikan atau lulusan LPTKFITK ingin menjadi guru profesional. Artinya, tidak semua lulusan LPTKFITK harus mengikuti program PPG Pra Jabatan. Ada beberapa persoalan mendasar ketika PPG Pra Jabatan dilaksanakan, yaitu 1 apakah peserta PPG Pra Jabatan terbuka secara umum alumni LPTKFITK dan non LPTK. 2 bagaimana desain PPG Pra Jabatan diterapkan? Jika PPG Pra Jabatan khusus bagi LPTKFITK, apakah diterapkan secara terintegratif melalui kegiatan real teaching 510 sebagai penguat teori pendididikan yang diperoleh di perkuliahan atau dilakukan secara terpisah menunggu gelar S1 diperoleh. Belum lagi persoalan kurikulum, proses pelaksanaan yang berbeda antara PPG dengan Pendidikan Sarjana. Penutup Kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Guru profesional harus memiliki persyaratan yang meliputi: 1 memiliki bakat sebagai guru, 2 memiliki keahlian sebagai guru, 3 memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, 4 memiliki mental yang sehat, 5 berbadan sehat, 6 memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, 7 guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan 8 guru adalah seorang warga negara yang baik. PPG dalam jabatan disinyalir banyak memberikan nilai kemaslahatan bagi guru untuk mendalami konten pedagogi bagi guru non kependidikan dan penguatan materi ajar bagi guru kependidikan yang dibutuhkan. Kenyataan di lapangan, pelaksanaan program PPG belum sesuai dengan konsep perundang-undangan. Banyak di antara guru berasal dari pendidikan dan non kependidikan memperoleh perlakuan sama, baik dari segi konten materi yang diajarkan, maupun waktu yang dibutuhkan selama program PPG berlangsung. Daftar Pustaka Abdurrahman, Meaningful Learning Re-Invensi: Kebermaknaan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. I. Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fulasifatuha , Mesir: al-Halabi, 1969. Bek, al-Sayyid, Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah wa Hukm al-Muhammadiyah , Mesir: Mathba’ah Hijazy, 1367 H.1947 M, cet. VI. Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 2001, cet. I. -----------, Ilmu Pendidikan Praktek Pendidikan dalam Renungan, Jakarta:IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994, cet. I. Departemen Agama Republik Indonesa, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 19841985. Departemen Pendidikan Nasional, Undang-undang Republik Indonesia 511 Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen , Jakarta: Depdiknas, 2006. ----------, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005- 2009 , Jakarta: Depdiknas, 2005. Al-Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghy, Jilid II, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.. John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003 M. Echols, John dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia: An English- Indonesian Dictionary, Jakarta: Gramedia, 2003, cet. XXVII. Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta: Kanisius, 2001 Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006, cet. I. Nana Saodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Rosda Karya, 1998, Poerwadarmina, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, cet. XII. Sudirman, dkk, Ilmu Pendidikan, Bandung Remaja Karya, 1989, cet. I. Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic,ed by J. Milton Cowan, Beirut: Librarie du Liban London: Macdonald Evans Ltd, 1974. 512 PENINGKATAN KUALITAS MADRASAH IBTIDAIYAH MELALUI PROFESIONALISME GURU DAN PENDIDIKAN KARAKTER SISWA Sita Ratnaningsih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: sitauinjkt.ac.id Abstrak: Proses pengembangan Madrasah Ibtidaiyah MI selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Sehubungan dengan kualitas Madrasah, berdasarkan data kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menunjukkan bahwa secara nasional hasil belajar siswa Madrasah lebih rendah dari sekolah umum. Proporsi siswa Madrasah yang tidak tidak lulus ujian akhir 7-10 lebih besar dari proporsi siswa sekolah umum. Hal tersebut merupakan suatu keprihatinan tersendiri bagi dunia pendidikan, dan merupakan masalah cukup serius yang harus dicarikan jalan keluarnya. Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan di Madrasah tersebut adalah mengubah paradigma pendidikan, khususnya pada tingkat dasar Madrasah Ibtidaiyah dari pengajaran yang berpusat pada guru teacher centered kearah pembelajaran yang berpusat pada siswa student centered . Paradigma ini menuntut para guru MI agar lebih kreatif dalam mengembangkan pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berprestasi melalui kegiatan-kegiatan nyata yang menyenangkan dan mampu mengembangkan potensi secara optimal. Pembelajaran tersebut harus didukung dengan adanya pendidikan karakter yang menjadikan siswa MI menjadi siswa yang cerdas dan berakhlak mulia. Sehingga dalam membangun dan menerapkan pendidikan yang baik maka peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah dapat di peroleh melalui Profesionalisme Guru dan Pendidikan Karakter bagi siswanya, karena kedua faktor ini memiliki hubungan yang 513 sangat erat untuk mencapai tujuan pendidikan dalam prespektif pembaharuan di dunia pendidikan yang lebih baik. Kata kunci : Peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah, Profesionalisme Guru, Pendidikan Karakter Siswa. Pendahuluan Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar SD dan Madrasah Ibtidaiyah MI atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama SMP dan Madrasah Tsanawiyah MTs, atau bentuk lain yang sederajat. Dalam perkembangannya Madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah MI, pendidikan setingkat sekolah dasar SD pada sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah MTs terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah MA terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia. Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan Madrasah swasta berubah statusnya menjadi Madrasah Negeri. Dengan kebijakan pemerintah tersebut maka, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang berstatus swasta menjadi Madrasah Negeri. Konsekuensinya, manajemen Madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen Madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan. Secara legal, Madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 2000-an, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta. Melihat kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah Ibtidaiyah MI memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam 514 membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, Madrasah mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Proses pengembangan Madrasah Ibtidaiyah MI selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis degradasi moral. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna. Sehubungan dengan kualitas Madrasah , berdasarkan data kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menunjukkan bahwa secara nasional hasil belajar siswa Madrasah lebih rendah dari sekolah umum. Proporsi siswa Madrasah yang tidak tidak lulus ujian akhir 7-10 lebih besar dari proporsi siswa sekolah umum, walaupun rata- rata nasional nilai seluruh mata pelajaran masih di bawah 6 di kedua jenis pendidikan tersebut. Hal tersebut merupakan suatu keprihatinan tersendiri bagi dunia pendidikan, dan merupakan masalah cukup serius yang harus dicarikan jalan keluarnya. Tugas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah adalah mengarahkan peserta didik di tingkat dasar untuk dapat berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sedangkan peningkatan kualitas pendidikan merupakan prioritas utama dalam proses pendidikan. Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah mengubah paradigma pendidikan khususnya pada tingkat dasar Madrasah Ibtidaiyah dari pengajaran yang berpusat pada guru teacher centered kearah pembelajaran yang berpusat pada siswa student centered . Paradigma ini menuntut para guru agar lebih kreatif dalam mengembangkan pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berprestasi melalui kegiatan-kegiatan nyata yang menyenangkan dan mampu mengembangkan potensi secara optimal. Pembelajaran tersebut harus didukung dengan adanya pendidikan karakter yang menjadikan siswa MI menjadi siswa yang cerdas dan berakhlak mulia. Sehingga dalam membangun dan menerapkan pendidikan yang baik maka peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah dapat di peroleh melalui Profesionalisme Guru dan Pendidikan Karakter bagi siswanya, karena kedua faktor ini memiliki hubungan yang 515 sangat erat untuk mencapai tujuan pendidikan dalam prespektif pembaharuan di dunia pendidikan yang lebih baik. Akan tetapi pada kenyataannya apabila dilihat dari kenyataan yang ada, maka kondisi riil guru MI dilapangan kebanyakan sebagai berikut : masih banyak guru yang belum memiliki kualiikasi dan kompetensi sebagai guru MI; sebagian guru MI merasa puas dengan kondisi dan kemampuan yang telah dimiliki; ikhtiar guru MI untuk meningkatkan kompetensi diri sangat terbatas, banyak waktu dihabiskan di ruang kelas sekedar untuk mengejar target kurikulum, di luar kelas waktunya banyak dihabiskan untuk kepentingan non-akademik; kontak akademik antar guru MI sangat terbatas; sifat kerja guru MI individual non-kolaboratif; kontak antar guru MI lebih banyak bersifat non-akademik; kerja guru MI jarang mendapatkan feedback dari atasan, kolega, siswa,dll; banyak guru MI kurang memberikan perhatian serius kepada peserta didik; guru MI banyak menghasilkan peserta didik yang lulus tetapi tidak mendapatkan pendidikan secara maksimal. Menurut data statistik banyak guru MI yang masih dibawah standar kualiikasi walaupun beberapa diantaranya telah berpengalaman lama dan mengikuti berbagai penataran kemampuan, tetapi hasil penataran dan kemampuan ini tidak diukur seberapa jauh meningkatkan kompetensi mengajarnya. Sebagian guru Madrasah Ibtidaiyah juga mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang studinya. Upaya penataran, studi lanjut, dan studi alih bidang sudah banyak dilakukan tetapi dalam statistik tidak jelas berapa diantaranya yang telah berhasil memenuhi kompetensi mengajar yang sesuai dengan bidangnya. Padahal seharusnya seorang guru Madrasah Ibtidaiyah wajib memiliki kewajiban untuk melaksanakan serangkaian tugas sesuai dengan fungsi yang harus dijalankannya secara profesional. Guru MI berkewajiban memberikan pelayanan kepada siswanya, terutama dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Guru tanpa menguasai bahan pelajaran, strategi belajar mengajar, mendorong siswa belajar untuk mencapai prestasi yang tinggi maka segala upaya peningkatan kualitas pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal, oleh karena itu, untuk guru MI diperlukan seorang guru yang Profesional, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan dapat mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Sedangkan pendidikan karakter sangat perlu di terapkan karena dengan pertimbangan melalui pendidikan karakter maka akan mampu membina peserta didik menuju kearah manusia yang berahlak mulia, dan mempunyai budi pekerti yang lebih baik dalam menjalankan proses pendidikan. Untuk pembentukan karakter yang baik pada siswa MI ini, maka secara langsung maupun tidak langsung guru MI yang profesional- 516 lah yang akan membawa kearah perubahan peserta didik MI yang lebih berkarakter sebagai bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan berakhlak mulia sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Pembahasan Ciri-ciri dan Syarat Guru Profesional Guru sebagai salah satu elemen penting dalam pendidikan selain harus menunjukkan eksistensinya juga diharapkan memiliki sikap dan perilaku profesional. Sebagaimana yang dikemukakan Sudarminta dalam Idochi 2000 bahwa, ”citra guru masa depan adalah guru yang : 1 sadar dan tanggap akan perubahan zaman; 2 berkualifikasi profesional; 3 rasional, demokratis, dan berwawasan nasional; 4 bermoral tinggi dan beriman.” Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya, dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawa intelektual diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan moral. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Profesionalisme guru adalah kecakapan yang dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Dimensi yang dikaji dari variabel profesionalisme adalah 1 keahlian, 2 otonomi dan tanggung jawab dan 3 kesejawatan. Indikator dari dimensi keahlian, indikator mencakup ; penguasaan isi pengajaran, pemahaman konsep pengajaran, pemahaman psikologi pengajaran, keterampilan pengajaran dan seni dalam pengajaran. Indikator dari dimensi otonomi mandiri mencakup ; kemandirian dalam pengembangan ilmu dan keahlian, kemandirian dalam pengembangan tugas, mampu menciptakan pembelajaran aktif, kratif dan menyenangkan, mampu mengambil dan menentukan 517 keputusan dan bertanggung Jawab atas keputusan. Indikator dari dimensi kesejawatan pengembangan diri mencakup ; pengalaman pada organisasi profesi, memiliki kemampuan dan motivasi sebagai guru, memiliki komitmen dalam profesi, memiliki kemampuan mengatasi permasalahan pengajaran dan mampu membantu kepala sekolah dalam administrasi lembaga, manajemen kelas dan program pengajaran. Adapun syarat untuk menjadi Guru yang profesional adalah : Pendidikan S1 D4, mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional, memiliki Sertiikat Pendidik, menguasai kompetensi Pedagogik, menguasai kompetensi Profesional, menguasai kompetensi sosial, menguasai kompetensi Kepribadian. Sedangkan ciri-ciri profesionalisme guru adalah : Sistem Seleksi dan sertiikasi, berdasarkan kompetensi, militansi Individual memiliki Organisasi Profesi, memiliki Landasan Pengetahuan yang kuat, memiliki sistem Sanksi Profesi, memiliki Prinsip sesuai Kode Etik, memiliki Kesadaran Profesional yang tinggi, kerjasama antar teman sejawat yang profesional. Prespektif Pendidikan melalui Pendidikan Karakter Menurut Muslich 2011, karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas Sumber Daya Manusia SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa, karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan di bina sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasa kelak, kesuksesan orang tua membimbing anak nya dalam mengatasi konlik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak. Pendidikan karakter atau pendidikan watak sejak awal munculnya pendidikan oleh para ahli dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting. Contoh misalnya, John Dewey pada tahun 1916 yang mengatakan bahwa sudah merupakan hal yang lumrah dalam teori pendidikan bahwa pembentukan watak merupakan tujuan umum pengajaran dan pendidikan budi pekerti di sekolah. Menurut Simon Philips karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang di tampilkan. Sementara menurut Kesuma 2011 Mengemukakan bahwa pendidikian karakter sama dengan kepribadian dianggap sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentuk-bentuk yang di terima dari lingkungan,misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan dari sejak lain, Zubaedi 518 2011 Menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkungan keluarga,masyarakat,bangsa dan Negara. Sedangkan menurut Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan ahklak yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi dengan demikiankarakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan sebagai identitas bangsa. Pendidikan karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Raharjo 2011 memaknai pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistic yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat di pertanggung jawabkan. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, jadi orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral positif dengan demikian pendidikan adalah membangun karakter yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola prilaku yang di dasari yang berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai budi pekerti,moral kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Tujuan Pendidikan Pendidikan Karakter Bangsa menurut Fathul Muin 2011 diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan Warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, 2. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, 3. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan dan, selanjutnya 4. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan. Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses 519 pendidikannya. Adapun penjelasan dari ke-18 nilai-nilai dalam pendidikan karakter menurut Diknas adalah sebagai berikut : Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, BersahabatKomunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung Jawab. Karakter Nabi Muhammad SAW Oleh karena Madrasah Ibtidaiyah merupakan sekolah Islam, maka sebagaimana aturan dalam Agama Islam, siswa pada sekolah MI sebagai seorang Muslim harus mempunyai seorang igure yang dapat dijadikan panutan dalam kehidupannya. Didalam Islam panutan karakter yang sebaiknya diikuti adalah karakter dari Nabi Muhammad SAW yang merupakan seorang Nabi yang amat sopan dalam bertutur kata, jujur, tidak pernah berdusta serta luhur budi pekertinya. Dalam suatu hadist Rosullullah SAW yang berbunyi bahwa “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti HR Ahmad.” Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa Rosullullah SAW di utus menjadi Rosul untuk menyempurnakan akhlak umatnya, dalam arti sebagai umat manusia memiliki kewajiban untuk memperbaiki akhlak yang selama ini kita miliki. Maka dari itu Pendidikan karakter siswa di MI merupakan suatu sistem penamaan nilai-nilai karakter budi pekerti,ahklak dan moral yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai- nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan yang berusaha di berikan dan ditanamkan dengan sungguh-sungguh pada pribadi-pribadi siswa di MI. Seperti yang diketahui secara umum Nabi Muhammad SAW mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umatnya tanpa membedakan atau memandang seseorang dari status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat atau orang yang tidak baik kepadanya. Oleh kerana itu Nabi Muhammad SAW di dalam Al-Quran, beliau disebut sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling agung, yang dapat dijadikan panutan. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dia banyak menyebut-menyebut Asma Allah sebagai Tuhan seru sekalian alam. ” QS.Al-Ahzab:21. Karakter atau sifat-sifat Nabi Muhammad SAW tersebut, yang seharusnya di berikan pada siswa MI adalah sebagai berikut : 520

1. Siddiq