Lingkungan Masyarakat Professional Learning Untuk Indonesia Emas

24 Berdasarkan Tabel 6. dapat dideskripsikan bahwa secara umum memiliki persentase yang termasuk dalam kualiikasi tidak berpengaruh, artinya bahwa siswa memiliki bahan ajar yang dapat menunjang pembelajaran kimia dan siswa merasa alat-alat yang digunakan di laboratorium cukup lengkap.

d. Lingkungan Masyarakat

Indikator lingkungan masyarakat terdiri dari sub indikator wilayah tempat tinggal. Dibawah ini disajikan tabel persentase indikator lingkungan sekolah untuk setiap butir pernyataan sebagai berikut: Tabel 7. Persentase Pernyataan Indikator Lingkungan Masyarakat Sub Indi- kator Nomor Pernyata- an Pernyataan Persen- tase Kriteria Wilayah tempat tinggal 15 Saya sering terganggu dengan suara bising yang ada disekitar rumah saya ketika belajar. 56,88 Cukup Berpen- garuh Berdasarkan Tabel 7. pada pernyataan nomor 15 yakni “Saya sering terganggu dengan suara bising yang ada disekitar rumah saya ketika belajar” memiliki nilai persentase 56,88. Nilai persentase ini menunjukkan bahwa pada umumnya siswa merasa sering terganggu dengan suara bising yang ada disekitar rumah mereka ketika belajar, sehingga dapat dikatakan pada pernyataan ini termasuk dalam kualiikasi cukup berpengaruh. Berdasarkan penjelasan dari tiap pernyataan di masing-masing sub indikator, kemudian ditentukan persentase rata-rata untuk mendapatkan kriteria tiap indikator yang kemudian disajikan dalam tabel berikut: 25 Tabel 8. Persentase Rata-Rata Tiap Indikator No Indikator Persentase Rata-Rata Kriteria 1. Diri Sendiri 72,4 Tidak Berpengaruh 2. Lingkungan Keluarga 68,44 Tidak Berpengaruh 3. Lingkungan Sekolah 71,56 Tidak Berpengaruh 4. Lingkungan Masyara- kat 56,88 Cukup Berpengaruh Dari Tabel 8. didapatkan persentase rata-rata pada setiap indikator sebagai berikut: a. Diri Sendiri Pada indikator diri sendiri persentase rata-rata yang didapatkan yakni 72,4. Hal ini menunjukkan bahwa indikator diri sendiri termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh. b. Lingkungan Keluarga Pada indikator lingkungan keluarga persentase rata-rata yang didapatkan yakni 68,44. Hal ini menunjukkan bahwa indikator lingkungan keluarga termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh. c. Lingkungan Sekolah Pada indikator lingkungan sekolah persentase rata-rata yang didapatkan yakni 71,56. Hal ini menunjukkan bahwa indikator lingkungan sekolah termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh. d. Lingkungan Masyarakat Pada indikator lingkungan masyarakat persentase rata-rata yang didapatkan yakni 56,88. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria indikator lingkungan masyarakat termasuk dalam kriteria cukup berpengaruh. Penutup Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada kelas XI MIA Reguler SMA Al-Hasra, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kesulitan pada materi larutan penyangga yang telah dilaksanakan dengan pemberian tes berupa soal pilihan ganda dengan jumlah 20 soal kepada siswa. Dari 40 siswa yang mengikuti tes, hanya 12 siswa yang dapat memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal KKM dan 28 siswa lainnya belum dapat mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal KKM. Menurut Abin Syamsuddin 2005, jika mayoritas 26 siswa nilai prestasinya tidak dapat mencapai batas lulus minimum acceptable performance , kita dapat menyimpulkan bahwa kelas yang bersangkutan patut diduga sebagai kasus yang mengalami kesulitan belajar. Tes yang diberikan ke siswa terdiri dari 3 tingkat kognitif yang berupa pengetahuan C1, pemahaman C2 dan penerapan C3. Berdasarkan jawaban siswa, diperoleh hasil bahwa dari 40 siswa ternyata secara keseluruhan siswa memperoleh nilai rata-rata sebesar 57,13. Kemudian, berdasarkan perhitungan hasil yang diperoleh siswa pada tiap-tiap aspek yang diukur yaitu berupa pengetahuan C1 sebesar 55,56 dengan kriteria sedang. Pada aspek pemahaman C2 sebesar 33,75 dengan kriteria rendah. Pada aspek penerapan C3 sebesar 32,22 dengan kriteria rendah. Menurut Suwarto 2013, kesulitan karena mata pelajaran mungkin berkenaan dengan keabstrakan konsep. Suatu mata pelajaran yang bersifat hierarki, yaitu dimulai dari yang paling mudah hingga yang paling sukar akan memerlukan pemahaman yang berkesinambungan. Apabila kesulitan di suatu konsep yang mendasar tidak diatasi, maka akan menimbulkan kesulitan untuk memahami konsep yang berikutnya. Berdasarkan pendapat ini, kesulitan belajar adalah kekurangmampuan siswa dalam menguasai materi. Berdasarkan Tabel 3. persentase kesulitan tertinggi yaitu pada aspek pengetahuan C1 yakni mengidentiikasi komponen dan sifat larutan penyangga . Dalam memahami konsep larutan penyangga, siswa sebelumnya harus mengetahui pengertian larutan penyangga, senyawa asam lemah, basa lemah, asam kuat dan basa kuat. Prasyarat tersebut perlu diketahui dan dipahami siswa agar tidak mengalami kesulitan dalam aspek ini. Menurut Caryono dan Suhartono 2012, Kesulitan belajar sering terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan lamanya sehingga menimbulkan ketidakpahaman atau ketidakjelasan suatu pelajaran. Pada hakikatnya pembelajaran yang sesuai untuk kelompok siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah dengan mendapatkan perlakuan analisis kesulitan belajar dan pelayanan remedial. Namun kenyataannya analisis kesulitan belajar dan pelayanan remedial ini tidak dilakukan oleh guru. Analisis kesulitan belajar siswa merupakan salah satu tugas guru dalam mengajar. Selain sebagai model yang dijadikan dasar dalam rangka menyesuaikan program pembelajaran 27 yang didasarkan atas individualitas siswa, juga untuk menemukan anak yang memerlukan analisis yang lebih rinci tentang kesulitan belajar mereka Djamarah, 2011. Selain pemberian tes, kesulitan belajar siswa dapat dilihat berdasarkan hasil pemberian angket tentang faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar siswa berdasarkan beberapa indikator, diantaranya: 1. Indikator Diri Sendiri Indikator diri sendiri memperoleh persentase sebesar 72,4 dengan kriteria tidak berpengaruh. Namun berdasarkan sub indikator Kesiapan dan Perhatian serta sub indikator Minat dalam indikator diri sendiri, memperoleh persentase sebesar 57,5 dan 51,88. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator diri sendiri tidak berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa, tapi beberapa siswa merasa bahwa indikator diri sendiri berpengaruh dalam kesulitan belajar. 2. Indikator Lingkungan Keluarga Indikator lingkungan keluarga memperoleh persentase sebesar 68,44 dengan kriteria tidak berpengaruh. Namun berdasarkan sub indikator Perhatian dan Dukungan Orang tua dalam indikator lingkungan keluarga, memperoleh persentase sebesar 57,5. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator lingkungan keluarga tidak berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa, tapi beberapa siswa merasa bahwa indikator lingkungan keluarga berpengaruh dalam kesulitan belajar. 3. Indikator Lingkungan Sekolah Indikator lingkungan sekolah memperoleh persentase sebesar 71,56 dengan kriteria tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator lingkungan sekolah tidak berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa. 4. Indikator Lingkungan masyarakat Indikator lingkungan masyarakat memperoleh persentase sebesar 56,88 dengan kriteria cukup berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator lingkungan masyarakat berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa. Berdasarkan pembahasan dari hasil tes dan angket dapat dihubungkan bahwa rendahnya nilai siswa disebabkan oleh faktor lingkungan masyarakat, sehingga menyebabkan 70 siswa 28 mendapatkan nilai di bawah KKM. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan masyarakat saat ini dapat memberikan dampak buruk terhadap prestasi belajar siswa. Menurut Sabri 2007, terdapat beberapa faktor yang dapat menyababkan kesulitan belajar bagi siswa, yaitu: rendahnya kemampuan intelektual atau kecerdasan anak, gangguan-gangguan perasaan atau emosi, kurangnya motivasi dalam belajar, kurangnya kematangan untuk belajar, latar belakang sosial yang tidak menunjang, kebiasaan belajar yang kurang baik, kemampuan mengingat yang lemah atau rendah, terganggunya alat indera, proses belajar mengajar yang tidak sesuai, dan tidak adanya dukungan dari lingkungan belajar. Menurut pendapat lain yaitu Djamarah 2011 menyatakan bahwa: “Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan, ataupun gangguan dalam belajar.” Oleh sebab itu, dapat dikatakan siswa kelas XI MIA Reguler SMA Al-Hasra cenderung mengalami kesulitan belajar karena mendapatkan gangguan dari lingkungan masyarakat yang tidak kondusif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan kesulitan belajar siswa adalah lingkungan masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari persentase tiap-tiap indikator faktor-faktor penyebab kesulitan belajar siswa yang meliputi : 1. Diri Sendiri dengan persentase 72,4 termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh. 2. Lingkungan Keluarga dengan persentase 68,44 termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh. 3. Lingkungan Sekolah dengan persentase 71,56 termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh. 4. Lingkungan Masyarakat dengan persentase 56,88 termasuk dalam kriteria cukup berpengaruh. 29 Daftar Pustaka Caryono, Suhas dan Suhartono. 2012. Analisis Deskriptif Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Mata Pelajaran Matematika di SMA Negeri 8 Purworejo Tahun Pelajaran 20122013. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY . Makalah di Presentasikan dalam seminar nasional matematika dengan tema “Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa” pada tanggal 10 november 2012 di jurusan pendidikan matematika FMIPA UNY. Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Faika, Siti dan Side, Sumiati. 2011. Analisis Kesulitan Mahasiswa dalam Perkuliahan Kimia Dasar di Jurusan Kimia. Jurnal Chemica Vol. 2 Nomor 2. Kalsum, Siti dan Devi, Poppy K . 2009. KIMIA 2 SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Kurnia, Feni, Zulherman dan Fathurohman, Apit. 2014. Analisis Bahan Ajar Fisika SMA Kelas XI di Kecamatan Indralaya Utara Berdasarkan Kategori Literasi Sains. Jurnal Inovasi dan Pembelajaran Fisika Vol.1 No.1, ISSN : 2355-7109. Universitas Sriwijaya. Marsita, Resti A, Priatmoko, Sigit dan Kusuma, Ersanghono. 2010. Analisis Kesulitan belajar Kimia Siswa SMA dalam Memahami Materi Larutan Penyangga dengan menggunakan Two- Tier Multiple Choice Diagnostic Instrument. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia Vol. 4, No.1. Permana, Irvan. 2009. Memahami Kimia SMAMA Kelas XI Semester 1 dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Alam . Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Sabri, Alisuf. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Sapuroh, Siti. 2010. “Analisis Kesulitan Belajar Siswa dalam Memahami Konsep Biologi pada Konsep Monera”. Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salmeto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 30 Somadoyo, Samsu. 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudijono, Anas. 2011. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Suwarto. 2013. Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran Penduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Syamsudin, Abin. 2005. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Zuliani. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. TANTANGAN IMPLEMENTASI PROFESSIONAL LEARNING 2 32 33 FOBIA SEKOLAH PADA ANAK SEKOLAH DASAR DAN UPAYA GURU UNTUK MENGATASINYA Sri Wuryastuti Universitas Pendidikan Indonesia UPI Bandung Abstrak: Anak yang mengalami fobia sekolah akan cenderung mengalami kesulitan dalam berhubungan secara sosial. Anak yang memiliki kemampuan berhubungan dengan teman sebaya cenderung lebih mudah untuk bergaul, bermain dan menyesuaikan diri. Sebaliknya anak yang tidak memiliki kemampuan untuk berhubungan sosial cenderung mengalami kesulitan berhubungan secara sosial dengan teman sebayanya. Anak usia sekolah dianggap lebih dewasa secara isik dan psikologis dan dalam hal kematanagan emosi. Sehingga ketika saat pertama masuk ke sekolah, seharusnya hal itu menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan karena anak akan melihat dan mengalami hal-hal yang baru. Misalnya anak akan memakai seragam, tas serta peralatan sekolah yang baru, teman-teman baru, guru baru serta lingkungan yang baru. Hal itu merupakan harapan dari orang tua dan guru. Harapan orang tua atau guru tersebut tidak selalu menjadi kenyataan, karena ada beberapa anak yang mengalami kekhawatiran atau ketakutan untuk ke sekolah. Ketakutan pada anak untuk bersekolah sebenarnya merupakan suatu hal yang biasa terjadi. Rasa takut anak pada umumnya sebagai tanggapan untuk melindungi diri dari suatu hal. Namun pada beberapa anak, ketakutan tersebut dapat menjadi suatu hal yang irrasional dan berdampak sangat besar pada keinginan untuk tidak sekolah. Hal irrasional seperti inilah yang dinamakan fobia sekolah. Kata kunci: Fobia Sekolah, Upaya Guru 34 Pendahuluan Selain masalah konlik sosial, anak yang mengalami Attention Deicit Hyperactivity Disorder ADHD juga dapat mengalami kesulitan berperilaku dan kesulitan bersosialisasi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kosasih 2012: 7 bahwa ADHD memberikan gambaran tentang suatu kondisi medis yang mencakup disfungsi otak. Jika terjadi pada seorang anak, keadaan tersebut dapat menyebabkan berbagai kesulitan belajar, kesulitan berperilaku dan kesulitan bersosialisasi. Selain masalah konlik sosial, masalah perkembangan sosial lainnya yang terjadi pada anak-anak adalah gejala fobia sosial social auxiety disorder. Anak yang mengalami gejala fobia sosial, merasakan kecemasan sosial yang irrasional, rasa takut dan malu yang berlebihan dalam interaksi sehari-hari. Menurut Tirtojiwo 2002, ganngguan kecemasan sosial mempengaruhi emosi dan perilaku. Hal ini juga dapat menyebabkan gejala isik yang signiikan. Tanda-tanda gejala emosi dan perilaku kecemasan sosial termasuk: 1 Takut secara berlebihan ketika berinteraksi dengan orang lain. 2 Takut situasi dimana orang tersebut merasa dinilai. 3 Takut memalukan diri sendiri 4 Takut bahwa orang lain akan melihat bahwa dirinya cemas 5 Kecemasan yang mengganggu rutinitas, sekolah atau pekerjaan lain. 6 Menghindari melakukan sesuatu atau berbicara dengan orang karena takut malu. 7 Menghindari situasi dimana yang bersangkutan menjadi pusat perhatian. 8 Kesulitan membuat kontak mata. 9 Kesulitan berbicara. Sedangkan menurut Ayub, fobia sosial merupakan gangguan yang biasanya mulai timbul sejak dini dan bersifat kronik. Bila tidak diobati akan cepat menimbulkan berbagai keterbatasan dalam kehidupan sosial, aktiitas profesional, kemampuan mencari nafkah dan berkontribusi pada masyatakat luas. Sedangkan menurut Stravynski 2007 orang yang mengalami fobia sosial mempunyai gejala-gejala yaitu detak jantung lebih cepat, pernafasan lebih cepat, otot tegang, dan ingin buang air kecil. Menurut Soemanto 2012:188, kecemasan- kecemasn tersebut yang menggambarkan keadaan emosional peserta didik dapat meyebabkan anak menolak untuk pergi ke sekolah atau fobia sekolah. Anak yang mengalami fobia sekolah akan cenderung mengalami 35 kesulitan dalam berhubungan secara sosial. Anak yang memiliki kemampuan berhubungan dengan teman sebaya cenderung lebih mudah untuk bergaul, bermain dan menyesuaikan diri. Sebaliknya anak yang tidak memiliki kemampuan untuk berhubungan sosial cenderung mengalami kesulitan berhubungan secara sosial dengan teman sebayanya. Berdasarkan penelitian Ahman Aianti, 2014 diketahui bahwa siswa sekolah dasar cenderung lemah dalam kemampuan menghargai teman sebaya, belum memiliki kemampuan untuk bersaing dengan teman sebaya secara sportif dan kurang setia kawan. Padahal disisi lain anak memiliki keinginginan untuk diperhitungkan dan mendapatkan mendapatkan tempat dalam kelompok sebayanya. Kondisi yang dikemukakan Ahman dari hasil penelitiannya tersebut menurut penulis dapat menimbulkan terjadinya konlik sosial yang terjadi diantara teman sebaya. Dari konlik sosial akan menyebabkan terjadinya bulying dan dampak selanjutnya adalah fobia sekolah. Anak usia sekolah dianggap lebih dewasa secara isik dan psikologis dan dalam hal kematanagan emosi. Sehingga ketika saat pertama masuk ke sekolah, seharusnya hal itu menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan karena anak akan melihat dan mengalami hal-hal yang baru. Misalnya anak akan memakai seragam, tas serta peralatan sekolah yang baru, teman-teman baru, guru baru serta lingkungan yang baru. Hal itu merupakan harapan dari orang tua dan guru. Harapan orang tua atau guru tersebut tidak selalu menjadi kenyataan, karena ada beberapa anak yang mengalami kekhawatiran atau ketakutan untuk ke sekolah. Ketakutan pada anak untuk bersekolah sebenarnya merupakan suatu hal yang biasa terjadi. Rasa takut anak pada umumnya sebagai tanggapan untuk melindungi diri dari suatu hal. Namun pada beberapa anak, ketakutan tersebut dapat menjadi suatu hal yang irrasional dan berdampak sangat besar pada keinginan untuk tidak sekolah. Hal irrasional seperti inilah yang dinamakan fobia sekolah. Menurut Tridhonanto 2014 fobia sekolah biasanya terjadi pada masa transisi seperti menjelang kenanikan kelas, awal tahun ajaran atau masuk sekolah baru TK SD. Epidemiologi fobia sekolah terjadi antara 1 sampai 5 terjadi pada hampir semua sekolah, presentase kejadian sama, antara anak laki-laki dengan anak perempuan, walauppun fobia sekolah terjadi pada semua umur sekolah tetapi hanya terjadi pada usia 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 11 tahun, tidak ada perbedaan sosial ekonomi yang memengaruhi fobia sekolah Fremont dalam Handayanti dkk, 2007. Sedangkan menurut Hurlock 1996, anak perempuan biasanya 36 lebih banyak mengalami fobia sekolah. berkisar sekitar 75 dibandingkan anak laki-laki yang hanya 25. Hal ini terjadi karena anak perempuan biasanya lebih memperlihatkan rasa takutnya akan sekolah dibandingkan anak laki-laki. Sedangkan menurut Davidson 1960 kemungkinan terjadinya fobia sekolah pada anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Pengertian Fobia Sekolah Secara lebih detil Miller, Barret dan Hamped Rini; 2013: 4.11 mendeinisikan fobia sebagai jenis tertentu dari ketakutan yang tidak proporsional terhadap realitas dari situasi, tidak dapat dikontrol secara disengaja, menyebabkan individu menghindari situasi yang di takuti, bertahan dalam periode waktu yang lama, dan bersifat maladaptif. Berikut ini pengertian fobia sekolah oleh beberapa pakar. Harlock 1993 mendeskripsikan fobia sekolah sebagai keengganan bersekolah secara total atau sebagian dan dinyatakan dengan gejala isik misalnya rasa mual, tidak ingin makan, dan sedikit demam. Anak itu mungkin pergi kesekolah lalu mengeluh tentang masalah somatik seperti sakit perut atau sakit kepala. Sedangkan Kelly 2005 berpendapat bahwa school phobia berkenaan dengan rasa keengganan yang luar biasa dari anak untuk pergi ke sekolah yang merupakan dampak dari kecemasan yang hebat dan rasa takut yang tidak wajar. Hal ini disertai dengan gejala somatik yang selalu digunakan sebagai alasan untuk tetap dirumah dan sering hilang setelah anak tersebut yakin bahwa dia tidak harus bersekolah. Sedangkan menurut C’soti 2013 fobia sekolah bukanlah “fobia” sebenarnya. Hal ini jauh lebih kompleks dan melibatkan gangguan termasuk “separation anxiety”, “agora phobia” dan fobia sosial, meskipun kecemasan ini berpusat disekitar lingkungan sekolah. Pada kenyataannya, anak fobia sekolah takut meniggalkan rumah yang aman. Jadi fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah. Anak merasakan tidak aman, sensitif dan seringkali tidak tahu bagaimana harus menghadapi emosi yang mereka rasakan. Mereka merasa tegang dan sakit secara isik setiap saat masuk sekolah. Proses Terjadinya Fobia Sekolah Menurut Mahendratto dalam Armaliani 2008, fobia sekolah dapat terbentuk oleh sugesti negatif yang terjadi di sekolah, adanya serangkaian peristiwa yang sangat buruk, menakutkan ataupun menyakitkan di masa lalu. Semakin ekstrim intensitas peristiwanya, semakin kuat potensi fobianya. Kebanyakan fobia terjadi pada masa 37 kanak-kanak walaupun dapat juga terjadi saat dewasa. Ciri-ciri psikis antara lain muncul rasa cemas atau takut, tetapi tanpa dasar yang jelas dan cenderung panik. Ciri isik antara lain gemetar, nafas menjadi cepat dan jantung berdebar debar. Saat seseorang mengalami serangkaian peristiwa buruk traumatis ataupun ekstrim, timbul ketegangan luar biasa. Karena tubuh manusia tidak mungkin terus menerus tegang, upaya peredaan ketegangan biasanya dilakukan manusia secara tanpa sadar melalui mekanisme pertahanan diri dengan cara penekanan repression gangguan tersebut ke bawah sadar. Jika seseorang tidak mampu mengatasi peristiwa traumatis tersebut, praktis pertumbuhan normal mentalnya mengalami penurunan degradasi ataupun terhenti iksasi. Pada peristiwa iksasi tersebut, mental kita membentuk konigurasi tertentu dan relatif permanen. Di kemudian hari jika terdapat stimulan yang sama atau mirip, maka pola respon yang akan dipakai adalah pola respon yang terakhir dikenal atau biasa disebut regresi. Pada kebanyakan orang, fobia dianggap tidak penting ataupun mengganggu dirinya. Sesungguhnya fobia sangat merugikan pertumbuhan normal mental seseorang dan biasanya kerugian tersebut baru disadari saat semuanya sudah sangat terlambat kehilangan waktu, kesempatan dan kehidupan sosial. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci yang disebabkan oleh ketidak mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Faktor-faktor penyebab terjadinya fobia sekolah 1 Bullying Bullying mengarah pada tindakan yang menggagu orang lain, dilakukan secara sengaja dan sifatnya tekanan isik ataupun psikologis. Agar lebih lengkap pemahaman tentang bullying penulis kemukakan tentang bullying dari beberapa pakar. Erling Rolland Brendan Bryne,1994:13 berpendapat bahwa bullying adalah kekerasan yang terjadi dalam waktu lama, secara isik atau psikologi yang dikondisikan secara individu atau kelompok yang tidak dapat membela dirinya sendiri dalam situasi yang nyata. Sedangkan Delwyin Tattum Brendan Bryne,1994:12 menyatakan bahwa bullying mencakup tindakan anti sosial seperti serangan, pemerasan, intimidasi dan kekerasan. Bullying merupakan kekerasan yang terjadi secara kontinum dan dilakakukan secara sadar dan disengaja. Sebagai korban bullying, secara psikologis akan merasa cemas dan takut. Dampak lain yang dirasakan oleh korban bullying adalah: 38 depresi, rendahnya kepercayaan diri atau minder, pemalu dan penyendiri, merosotnya prestasi akademik, merasa terisolasi dalam pergaulan, terpikir atau mencoba untuk bunuh diri. Penderita mental yang dirasakan menyebabkan anak korban bullying mempunyai kenginan untuk terus menerus tinggal di rumah dan mogok ke sekolah, kerena masa ketakutan dan kecemasan yang sangat mendalam kepada pelaku bullying. Jadi bullying yang terjadi di sekolah menyebabkan anak korban bullying mengalami fobia sekolah. Selain bullying, ada kekerasan lain yang terjadi pada anak yang dinamakan Child abuse. Child abuse adalah tindakan melukai yang berulang-ulang baik secara isik maupun emosinal kepada anak yang harusnya dilindungi, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi, dan cemoohan yang permanen, atau kekerasan seksual dimana hal ini biasanya dilakukan oleh para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat dan melindungi anak-anak itu Suyanto, 2013:90. 2 Tidak suka pada guru Terdapat beberapa anak yang tidak menyukai perilaku guru terutama guru yang galak. Sebagai bentuk rasa ketidaksukaannya pada guru maka ia menjadi malas ke sekolah. Dalam hal ini guru harus mengintropeksi diri. Guru harus mengubah perilaku tersebut, guru harus bersikap empatik, menerima, hangat dan terbuka kepada peserta didik. Seperti yang diungkapkan oleh Mulyasa 2005: 172 bahwa guru harus bersikap positif dan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan di sekolah dan melibatkan peserta didik secara optimal dalam pembelajaran. Jika guru tidak bersikap demikian berarti guru tersebut tidak bertanggung jawab dan membiarkan peserta didik malas ke sekolah. 3 Tidak bisa lepas dari ibu Hal ini terjadi pada anak-anak yang memppunyai ibu yang tinggal di rumah. Berbeda dengan anak yang mempunyai ibu yang bekerja, anak sudah terbiasa dan menyadari bahwa mereka harus ditinggal untuk bekerja. Seandainya ibu sering di rumah, maka ia seringkali kalah melawan kemauan anaknya yang selalu ingin dekat dengan anaknya. Dalam hal ini ibu tidak berhasil meyakinkan anak bahwa pergi ke sekolah adalah suatu yang menyenangkan. 4 Merasa tak mampu Karena kemampuan kognitif yang tidak mempu untuk menerima pelajaran dari guru, maka anak akan butuh waktu yang lebih lama 39 dalam menangkap apa-apa yang diberikan guru. Akibatnya ia menolak semua tugas yang diberikan pedanya dan jika kondisi ini tidak teratasi maka ia tidak segan untuk mogok sekolah. 5 Beban sekolah yang terlalu berat Menurut Seto Mulyadi, dalam Har 2008 akibat beban kurikulum yang terlalu berat tidak mengherankan bila sebagian anak saat ini mengidap fobia sekolah. Manifestasinya bisa bermacam- macam, misalnya anak sering mengaku pusing tidak enak badan menjelang sekolah serta “sejuta” alasan lain agar tidak sekolah pada hari itu. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Diana Patter 2008 bahwa kecemasan pada anak yang menimbulkan fobia sekolah disebabkan oleh tuntutan sekolah seperti tes, tugas pekerjaan rumah dan adanya pengganggu. 6 Pola asuh orang tua. Hubungan anak dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan emosional dan sosial sekolah anak. Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang orang tua merupakan kunci utama perkembangan sosial anak Desmita, 2012: 144. Fobia sekolah dapat disebabkan dari faktor orang tua yang selalu memanjakan atau sangat menyayangi anaknya. Akibatnya anak tidak mandiri dan tergantung pada orang tua. Hal ini ikut menyumbang perilaku anak yang menolak pergi ke sekolah. Hal senada diperkuat oleh pendapat Richard M. Suinn 1970 bahwa perilaku menyimpang seperti fobia sekolah dilakukan oleh anak-anak dan diperkuat oleh orang lain yang masih terkait. Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency ketergantungan, rasa kurang percaya diri dan kekawatiran yang berlebihan Meilina, 2010. Hal ini didukung oleh pernyataan Inger Olsen dan H. Coleman 1964 bahwa fobia sekolah yang terjadi pada anak-anak biasanya disebabkan oleh kecemasan untuk berpisah dan ketergantungan antara orang tua dan anak terutama ibu. Saat ini memang kejahatan terhadap anak semakin marak, seperti masalah penculikan atau penganiayaan anak. Namun perlu diketahui oleh orang tua agar jangan samapai kekawatiran itu terlalu berlebihan sehingga anak juga merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa menghadapi masalah tersebut. Selain hal-hal tersebut diatas menurut Nunik 2007 dari hasil penelitiannya, ada hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan fobia sekolah pada anak sekolah dasar. Anak yang 40 memiliki harga diri tinggi akan memilki kecenderungan fobia sekolah yang rendah. Penanganan Fobia Sekolah Pada Anak Sekolah Dasar Setiap individu dalam kehidupannya pasti mengalami tantangan kesulitan ataupun masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan terutama di zaman global ini. Tekanan akibat peristiwa hidup sehari-hari ketika terakumulasi akan menjadi sumber gangguan dalam diri seseorang Mountheit dan Gilboe dalam Ariyani, 2012. Demikian juga dengan anak, dilingkungan sekolah anak akan mengalami berbagai peristiwa baik positif atau negatif. Peristiwa positif seperti kegiatan yang menyenangkan, guru dan teman yang baik. Sedangkan peristiwa yang negatif seperti teman yang bandel, guru yang galak dan tugas sekolah yang memberatkan, dan sebagainya. Jika peserta didik yang mendapat tantangan yang besifat negatif dan pulih kembali dari pengalaman tersebut serta meneruskan hidup dengan normal bahkan mampu meningkatkan kompetensinya, itulah yang diharapkan oleh orang tua dan guru. Seperti sudah penulis paparkan di atas bahwa, dari beberapa kasus yang menimpa pada anak, baik itu kekerasan isik maupun psikologis atau beban tugas yang terlalu berat dapat mengakibatkan anak trauma untuk pergi ke sekolah. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak usia sekolah dasar saja tetapi juga terjadi pada anak yang usianya lebih dewasa. Seperti yang diungkapkan oleh Antono 2012 yaitu fenomena yang ada pada anak MTs Al Uswah Kabupaten Semarang, antara lain masih banyak anak yang terlambat masuk sekolah karena takut belum mengerjakann pekerjaan rumah PR. Kasus tersebut dapat memicu terjadinya fobia sekolah pada anak. Secara kuantitas, berdasarkan hasil penelitian, kasus fobia sekolah sudah sangat meresahkan bagi orang tua dan guru. Untuk itu perlu penanganan yang serius, agar anak dapat melewati masa sekolah dengan nyaman tanpa kekerasan sehingga dapat menjadi anak yang mandiri, berkualitas dan berkarakter. Sebelum membahas tentang penanganan fobia sekolah pada anak sekolah dasar, penulis perlu membahas dulu tentang persiapan mental pada anak untuk masuk ke jenjang sekolah dasar, menurut Al Tridhonanto 2014 sebagai berikut : 1 Teman baru Memberitahukan kepada anak bahwa nanti di sekolah baru mereka akan bertemu dengan banyak teman sehingga anak akan 41 merasa dia tidak sendirian. Mereka akan bertemu dengan teman sebayanya sehingga rasa takut bertemu dengan orang asing, dan guru-guru serta lingkungan baru bisa sedikit dikurangi. 2 Baju sekolah baru Biasanya jika anak dibelikan baju baru untuk sekolah maka ia akan termotivasi untuk segera berangkat ke sekolah dengan semangat dan rasa ingin tahu yang lebih. 3 Lingkungan sekolah Pastikan anak sudah menganal daerah dan lingkungan sekolahnya sebelum sekolah dimulai. Hal ini dilakukan agar anak tidak merasa asing dan merasa sudah mengenal sekolahnya jauh lebih dulu dari teman-temannya dan ini bisa membangkitkan rasa percaya diri pada anak. 4 Hari pertama sekolah Jangan membiarkan anak sendirian di hari pertama sekolahnya. Sehingga anak akan merasa canggung dengan lingkungan barunya meskipun ada juga sebagian anak yang sudah berani ditinggalkan orang tuanya. Orang tua bisa perlahan meninggalkan sekolah jika sudah memasuki hari kedua atau ketiga. 5 Mandiri Sebelum anak masuk sekolah sebaiknya orang tua sudah mengajarkan konsep kemandirian semenjak di rumah. Orang tua bisa mulai mengajarkan memasang sepatu sendiri, dan memasang baju dan celana sendiri. Latihan ini dilakukan agar anak bisa melakukan sendiri tanpa bantuan orang tua. Hal ini bertujuan untuk melatih kemadirian siswa karena seperti yang dikemukakan oleh Adawiyah 2012 bahwa kemandirian yang dimiliki oleh siswa diwujudkan melalui kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang lain. 6 Motivasi Orang tua sebaiknya selalu memberi pujian sebagai motivasi bagi anak setiap kali mau ke sekolah dan setiap kali ia pulang dari sekolah. Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa tindakan sekolah terutama guru, ketika ada kasus peserta didik yang mengalami fobia sekolah: 1 Berusaha mendapat kejelasan tentang penyebabnya dan meyakinkan bahwa hal tersebut bukan kesalahan anak. 2 Membantu peserta didik mengurangi ketidaknyamanan yang ia rasakan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah 42 dimengerti. Peserta didik yang sudah merasa nyaman dengan dirinya sendiri akan membuat dia nyaman berhubugan dengan orang lain. Hal ini berkaitan erat dengan kecerdasan interpersonal. Menurut Erham Wildan 2014 bahwa kecerdasan interpersonal bukanlah tumbuh dengan sendirinya, tetapi merupakan kecakapan yang dipelajari yang memungkinkan orang berhubungan dengan orang lain dengan cara yang saling menguntungkan. Kecerdasan interpersonal merupakan kecerdasan yang tidak bisa dilepaskan dari kecerdasan intrapersonal, karena anak yang bisa berhubungan secara baik dengan dirinya sendiri akan mampu memiliki kebutuhan pribadinya sehingga nyaman secara psikologis. Demikian juga apabila dia merasa terlindungi dalam situasi sosial dia akan mampu bertindak dengan cara yang tepat tanpa merasa terancam. 3 Meminta bantuan pihak ketiga yaitu konselor untuk membantu mengembalikan anak ke kondisi normal jika dirasakan perlu. Untuk itu guru harus bisa menerima masukan dari pihak ketiga. Merupakan hal sangat penting apabila guru menerima masukan dari pihak konselor atau guru bimbingan dan konseling karena seperti yang di kemukakan oleh Ruff dalam Bau Ratu 2012 bahwa Asosiasi Konselor Sekolah Amerika ASCA mendeskripsikan peran konselor adalah menyediakan pelayanan bagi pendidik, siswa, dan komunitas pendidikan untuk membentuk sekolah yang efektif. 80 dari waktu profesi konselor secara langsung berhubungan dengan pelayanan siswa, dan tujuan utama dari konselor adalah memaksimalkan prestasi siswa melalui peningkatan keadilan bagi siswa, kesempatan memperoleh pendidikan, dan menjamin keamanan dan kesehatan lingkungan belajar. 4 Dengan bekerja sama dengan pihak keluarga, mengamati perilaku dan emosi peserta didik. Guru perlu mewaspadai perbedaan ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan peserta didik di rumah dan di sekolah. 5 Membina kedekatan dengan peserta didik dan mau mendengarkan cerita mereka. Dari penjelasan diatas maka sangat wajar apabila dibutuhkan hubungan yang harmonis antara guru dan siswa, seperti yang dikemukakan oleh Nana Syaodih 2013 bahwa hasil dan kemajuan belajar siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara guru dan siswa. Hubungan guru dan siswa menjadi syarat mutlak, bukan hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Karena itu guru 43 harus memahami siswa yang dibimbingnya dan sebaliknya siswa harus mengakui kewibawaan pembimbingnya. 6 Melakukan home visit dengan membawa teman sebaya. Dengan cara ini, peserta didik akan merasa dibutuhkan oleh teman-teman sehingga dia akan merindukan lingkungan sekolah. Dari situ akan timbul keinginan untuk kembali ke sekolah. 7 Tetap menekankan pentingnya sekolah Menurut para ahli terapi yang paling tepat untuk mengatasi anak yang mengalami fobia sekolah adalah mengajurkan untuk tetap kembali kesekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang. Makin lama dia diizinkan tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikan lagi ke sekolah dan bahkan keluhannya akan makin meningkat. Selain itu semakin lama dia absen akan semakin ketinggalan pelajaran dan makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya. 8 Dalam proses pembelajaran sebaiknya guru menerapkan metode kolaboratif yang memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik yang harmonis antara siswa sehingga kebutuhan sosial siswa terpenuhi. Hal ini yang diungkapkan oleh Melvin 2009:30 yaitu menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut mereka bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Pendapat yang sama didukung oleh Vygotsky Florence Beetlestone, 2001: 25 yang sangat memperhatikan masalah bagaimana bahasa mempengaruhi pembelajaran dan bagaimana pembelajaran ditingkatkan melalui interaksi sosial. Berkaitan dengan metode pembelajaran kolaboratif , Davidson Whorson Wahidin,2006:143 berpendapat bahwa pembelajaran ini dilakukan dengan cara mengelompokkan siswa dengan tujuan untuk menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif atau mengintegrasikan ketramplilan sosial yang bermuatan akademik. Dalam metode pembelajaran kolaboratif, guru harus dapat menciptakan situasi yang menimbulkan kerjasama dalam belajar antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru. Sadulloh,2007: 192. Penutup Dari uraian dan pembahasan diatas penulis akan memaparkan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, pengertian fobia sekolah adalah ketakutan dan kecemasan yang irrasonal seorang anak untuk pergi kesekolah dengan gejal- 44 gelaja demam, sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal, berkeringat dan sebagainya. Jenis-jenis fobia sekolah mulai dari yang ringan sampai yang berat adalah: initial school refusal behavior, substantial school refusal behavior, acute school refusal behavior, dan chronic school refusal behavior. Kedua, proses terjadinya fobia sekolah yaitu : pertama-tama muncul sugesti negatif yang terjadi di sekolah sehingga terjadi ketegangan yang luar biasa. Kemudian apabila ketegangan itu terus menerus terjadi maka untuk meredakan ketegangan tersebut anak akan melakukan represi melalui alam bawah sadar. Sehingga pertumbuhan normal mentalnya mengalami penurunan degradasi ataupun terhenti iksasi. Ketiga , faktor-faktor terjadinya fobia sekolah antara lain adalah : bullying, pola asuh orang tua, beban tugas yang terlalu berat dari sekolah, ketidaksukaan pada guru, dan sebagainya. Kempat, cara penanganan kapada anak yang mengalami fobia sekolah antara lain adalah: mencarai informasi yang jelas tentang penyebabnya, membantu anak home visit untuk mengatasi ketidaknyamanan, meminta bantuan konselor, mengamati perilaku dan emosi peserta didik, membina kedekatan pesrta didik, melakukan dan menekankan anak untuk kembali ke sekolah. Daftar Pustaka Adawiyah, R. 2012. Pengembangan Model Konseling Behavior dengan Teknik Modelling untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Siswa SMP N 4 Wanasari Brebes. Jurnal Bimbingan Konseling , 21-26. Ariyani, A. M. 2012. Model Bimbingan Kelompok Berdasarkan Pendekatan Sistem untuk Meningkatkan Resiliensi Siswa . Jurnal Bimbingan Konseling , 14-20. Armaliani, R. 2008. Fobia Sekolah pada Anak Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas Gunadarma. C’soti, M. 2003. School Phobia, Panic Attacks and Auxciety in Children . London and New York : Jessica Kingsly Publisher. Depdikbud. n.d.. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. Eugene W. Kelly, J. 2005. School Phobia . The Journal of School Nursing, 45 147-151. Har. 2008. Beban Kurikulum Terlalu Berat, Anak Idap Fobia Sekolah. Gemari Edisi 91Tahun IX . Hurlock, E. 1993. Psikologi anak jilid 2, terjemahan Med Meitasari Tjandrasa Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. 1996. Perkembangan Anak. Alih bahasa : Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga. Kosasih, E. 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus . Bandung : Yrama Widya. Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya . Nunik N, d. 2007. Hubungan Antara Harga Diri dengan Kecenderungan Fobia Sekolah pada Anak Sekolah Dasar. Jogjakarta: Universitas Islam Indonesia. Sharp, P. K. 1994. School Bullying, Insights and Perspectives . London: Routledge. Soemanto, W. 2012. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan . Jakarta : Rineka Cipta. Stevenson, I. 1990 . Phobias in children Who Claim to Remember Previous Lives . Jurnal of Scientiic Exploration , 243-254. Straviynski, A. 2007. The Nature and Treatment of Social Phobia. Cambridge: Cambridge University Press. Tridhonanto, A. 2014. Mengapa Anak Mogok Sekolah . Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional . n.d.. Yani, S. A. n.d.. Memahami Anak dan Remaja dengan Kasus Mogok Sekolah : Penyebab, Struktur Kepribadian, Proil Keluarga dan Keberhasilan Penanganan. Jurnar Psikologi Volum 34, 55-75. 46 TANTANGAN DAN REVITALISASI PENDIDIKAN ISLAM PADA MADRASAH DI MASA MODERN ABAD 21 Syamsul Aripin Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : syamsul_aripin1981yahoo.com Abstrak: Modernisasi yang terjadi pada abad 19 hingga saat ini telah membawa perubahan terhadap berbagai aspek bidang kehidupan termasuk pendidikan Islam di Madrasah. Di era modern pendidikan Islam di madrasah dan lembaga pendidikan Islam lainnya dituntut profesional, sebab masyarakat telah mengalami perubahan dengan mengedepankan rasionalitas. Upaya merekonsiliasi ajaran agama dan era modern terus dilakukan kaum muslimin di madrasah hal ini untuk menunjukkan bahwa Islam sesuai dan tidak bertentangan dengan era modern. Sebab di era modern kehidupan manusia akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentanganberlawanan dengan Islam yakni IPTEK vs IMTAQ, ajaran vs sekulerisasi serta spiritual vs material. Untuk itu pendidikan Islam pada madrasah juga harus meningkatkan peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam untuk merespon kemajuan modernisasi saat ini, misalnya dengan merevitalisasi sistem pendidikannya yang pro perubahan sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, mempersiapkan lulusan madrasah yang handal sehingga dapat mengimbangi arus modernisasi yang ada dan tidak ketinggalan zaman dengan tidak meninggalkan program pendidikan madrasah yang sudah ada sejak dahulu dan compatible dengan era modern abad 21 ini. Kata kunci : Tantangan, Revitalisasi, Pendidikan Islam, Madrasah, Era Modern Pendahuluan Madrasahsebagai bentuk lain dari Pendidikan Islam yang menggunakan sistem kelas dan pembelajaran klasikal Nata, 2004. Sejak awal berdirinya dikenal dominan mengajarkan muatan keagamaan, sehingga biasa disebut madrasah diniyah. Masa pertumbuhannya di Indonesia, jam pembelajaran di madrasah umumnya dilaksanakan sore hari. Di era 70-an madrasah dipandang setara dengan sekolah umum dengan konsekwensi kurikulumnya harus memuat seluruh 47 mata pelajaran yang ada di sekolah umum, Di Indonesia eksistensi madrasah cukup banyak. Jumlahnya diketahui sebagai berikut : Tabel 1. Data Kuantitatif Madrasah No Jenjang Status Negeri Status Swasta Jumlah 1 Ibtidaiyah 1.025 23.625 24.650 2 Tsanawiyah 853 7.547 8.600 3 Aliyah 57 2.701 2.758 Madrasah merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam modern, sebab pendidikan Islam madrasah merupakan pendidikan yang sudah menyerap sistem pendidikan modern, baik pengelolaannya maupun proses pembelajaran serta materi pelajaran yang bukan saja belajar agama tetapi juga belajar ilmu-ilmu umum. Hal itu disebabkan bahwa munculnya model pendidikan madrasah karena adanya persentuhan atau kontak langsung dengan model pendidikan Barat melalui Kyai dan Ulama yang pernah belajar di Timur Tengah. Pendidikan Islam madrasah telah ada pada awal-awal kemerdekaan yang didalam kurikulum pembelajarannya, di samping memberikan mata pelajaran agama juga mata pelajaran umum. Sedang Madrasah di Indonesia merupakan fenomena modern yang tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari proses pembaharuan pendidikan Islam di negeri ini. Meskipun secara kelembagaan sekolah, kandungan pendidikan madrasah terutama pada masa awal perkembangannya mengacu pada ilmu-ilmu ke-islaman. Meski Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam modern, Namun dalam kenyataannya menghadapi era modern Madrasah masih menghadapi beberapa persoalan antara lain masalah kesetaraan equality, pemerataan equity, mutu quality, kurikulum curriculum, sarana pendidikan facility dan pengelolaan governance sehingga perlu revitalisasi. Berikut pembahasannya. Modernisasi dan Pendidikan Modernisasi yang terjadi sekarang ini telah merambah berbagai bidang kehidupan umat manusia dan memberikan perubahan terhadap dunia pendidikan sehingga pendidikan mengalami modernisasi. Modernisasi semacam ini memang tidak bisa dihindarkan, bahkan merupakan tuntutan. Tuntutan perubahan ini bukan saja berasal dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK 48 serta globalisasi, ataupun tuntutan pembangunan nasional, melainkan tuntutan masyarakat Depag RI : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001. Modernisasi pendidikan yang terjadi di dunia Islam tidak lebih dari respon positif para modernis Muslim terhadap ketertinggalan umat Islam dari kemajuan Barat modern. Modernisasi sendiri merupakan sebuah gerakan Islam yang mencakup gerakan-gerakan “pembaruan Islam” Esposito, 1995. Menurut Fazlur Rahman modernisasi di dunia Islam terjadi pada abad ke sembilan belas yang digerakkan oleh elit penguasa birokrat dengan tujuan menciptakan keseimbangan equilibrium antara masyarakat Barat dan Islam . Untuk terwujudnya hal tersebut masyarakat Muslim harus belajar dan mengadopsi kemajuan-kemajuan yang dicapai masyarakat Barat Esposito, 1995. Salah satu karakter penting gerakan modernisasi Islam menurut Charles Kurzman 2002 adalah muncul dan menguatnya kesadaran untuk mengadopsi nilai-nilai modern dikalangan kaum Muslim dimana Nilai-nilai modern yang dimaksud disini antara lain rasionalitas, sains, konstitusi, konsep-konsep baru tentang nilai-nilai egalitarian dan sebagainya. Sehingga menurut Muhammad Khalid Masud 2001 ketika lembaga pendidikan melakukan modernisasi dengan mengambil elemen-elemen modern Barat, termasuk mengajarkan sains modern, maka kesadaran akan identitas Islam-lebih sempit lagi dan ideologi keagamaan Islam yang mereka anut menjadi agenda yang mengemuka. Sebaliknya, untuk modernisasi pendidikan di Indonesia, Harun Ashrohah 2001 mengatakan bahwa pada permulaan abad ke-20 masyarakat Islam Indonesia telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun pencerahan yang diakibatkan adalah dorongan untuk melawan penjajah bangsa Belanda. Sebab tidak mungkin bangsa Indonesia harus mempertahankan segala aktivitas dengan cara tradisional untuk melawan kekuatan-kekuatan kolonialisme Belanda. Menurut Nurcholish Madjid 1997, modernisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia tidak bersumber dari kalangan Muslim sendiri tetapi justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya Azyumardi Azra 1996 berpendapat bahwa modernisasi di Indonesia berasal dari para pelajar Indonesia yang pulang dari Mekkah yang berhasil melakukan intensiikasi Islam, maka para pelajar tersebut melakukan modernisasi di Indonesia dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem pendidikan Belanda dengan mengambil elemen-elemen modern Barat. Menurutnya, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan Islam Madrasah harus diperbaharui agar sesuai dengan kerangka kemodernan dalam rangka memberdayakan masyarakat 49 Muslim menghadapi kemajuan dan tantangan dunia modern. Pola pemikiran dan kelembagaan madrasah yang modern dengan aktivitas keagamaan, akan mewujudkan siswa yang berwawasan ilmu pengetahuan dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat sehingga siswa siap menghadapi tantangan dunia global dengan tetap menjaga nilai-nilai religinya. Pemrakarsa pertama modernisasi pendidikan di Indonesia dalam hal ini menurut Deliar Noer adalah organisasi-organisasi modernis Islam seperti Jami’at al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah, dan lain- lain Azra, 1998:90. Sedangkan tokoh-tokoh modernisasi di Indonesia antara lain Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jalaluddin, Syeh Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, dan Abdullah Ahmad Noer, 1980:5. Pendidikan Islam dan Modernisasi Diskursus mengenai modernisasi sebagaimana yang sedang penulis bahas ini menimbulkan tanggapan yang berbeda-beda. Sebagian kalangan tertentu merasa bahwa modernisasi merupakan ancamam bagi eksistensi kebudayaan lokal tertentu, mengingat modernisasi meniscayakan proses globalisasi yang menganggap bahwa dunia sebagai one world-one globe sehingga menghancurkan sekat-sekat pembeda yang ada di dunia ini. Hal inilah yang menurut Nurcholis Madjid perlu diwaspadai dalam rangka melestarikan mempertahankan keberagamaan manusia. Menurut Nurcholis Madjid 1987:141-142 modernisasi sering dipahami sebagai suatu proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari satu sistem sosial praindustrial misal agraris ke sistem sosial industrial. Kadang-kadang juga disejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Sehingga dalam konteks keagamaan menurutnya kehidupan industrial yang menjadi ciri modern dapat menimbulkan efek negatif dan sekaligus menyimpan kandungan makna yang positif. Di era modern pendidikan agama Islam dan lembaga pendidikan seperti madrasah menurut Suparman Ibrahim Abdullah dituntut untuk dapat memberikan jawaban atas berbagai problema yang kini dihadapi seluruh umat manusia, kehidupan masyarakat yang terus berubah dan berkembang berdampak pada pola penganutan keagamaan yang lebih rasional dan fungsional. Kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan fasilitas kehidupan dan sekaligus sistem nilai baru yang menjanjikan. Tuntutan masyarakat akan profesionalisme semakin berkembang dalam berbagai sektor kehidupan. Otoritas ulama dalam bidang keagamaan berhadapan dengan aneka keahlian masyarakat dalam bidang-bidang lain yang lebih pragmatis. Dalam waktu yang bersamaan, perkembangan 50 telah memudahkan pengetahuan akses masyarakat termasuk ilmu- ilmu keagamaan, yang luas dan beragama. Upaya merekonsiliasikan ajaran-ajaran agama di madrasah dengan nilai-nilai pragmatis yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi agenda utama kaum Muslimin sejak awal abad 20. Tujuan pokok dari usaha ini adalah menunjukkan kompitibilitas ajaran Islam yang ada di madrasah terhadap perubahan peradaban modern di satu sisi diupayakan penyegaran dan pembaharuan pemahaman ajaran agama sejalan dengan perkembangan aktual, dan di sisi lain dilakukan langkah spiritualisasi masyarakat modern agar tidak mengalami kehampaan moral dan mental secara terus menerus. Upaya ini bisa dilakukan sebab menurut Leonard Binder 1988:221 pendidikan agama Islam di madrasah dan era modern bisa sesuai sebab nilai-nilai Islam sehingga tidak sedikitpun bertentangan dengan peradaban modern. Oleh karena itu, umat Islam yang ada dilingkungan madrasah tanpa harus meninggalkan keyakinannya terhadap ajaran Islam dapat memasuki kemajuan yang telah diperoleh peradaban modern. Hal senada dikemukakan Abdurrahman Wahid 1985:47 yang mengatakan bahwa antara modernisasi dan agama adalah menyatu, menurutnya andaikata modernisasi dilepaskan dari agama maka modernisasi akan tumbuh secara bebas nilai free of value dan kalau ini terjadi, maka akan meruntuhkan nilai-nilai agama yang sudah ditetapkan agama. Sebab saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat serta disaat ilsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan saat perdagangan bebas dunia sudah berjalan, maka posisi dan keberadaan pendidikan agama di madrasah tampak makin dibutuhkan Rahardjo, 2008. Bahkan di masa modern agama diharapkan dapat memberikan arahan dan perspektif baru, sehingga kehadiran agama terasa manfaatnya oleh penganut agama. Bentuk Tantangan Pendidikan Islam Pada Madrasah di Masa Modern Arus modernisasi yang telah bergerak begitu cepat dan pesat telah membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan manusia. Akibatnya umat Islam sebagai bagian dari komunitas sosial justru turut terpengaruh oleh berbagai perubahan tersebut. Modernisasi dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif. Nilai positif dari modernisasi dapat terlihat dari apa yang dianggap gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa kini. Sedangkan ekses negatifnya terlihat ketika ilmu pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan. Hal ini menurut Suadi Putro 1998:46 telah memunculkan berbagai problema-problema kompleks yang pada 51 hakekatnya merupakan suatu tantangan besar yang harus dihadapi dan ditanggulangi secara efektif dan efesien. Mastuhu 1999:xi mengungkapkan keberhasilan suatu pembangunan termasuk bidang pendidikan selalu disertai dengan tantangan-tantangan baru sekaligus dampak negatifnya. Menurutnya kehidupan manusia di era modern akan ditandai oleh dua kecendrungan yang saling bertentangan berlawanan dengan Islam. Bahkan Nurcholish Madjid menambahkan bahwa di era modern bentuk hubungan dinamis antara religiusitas dan modernisasi merupakan suatu persoalan yang banyak menimbulkan kontroversi yang menurutnya akan terjadi proses yang sifatnya saling menggusur antara proses modernisasi dengan agama. Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis kemukakan beberapa bentuk tantangan era modern yang dihadapi pendidikan agama Islam di Madrasah. Iptek Vs Imtak Ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK menurut Muhaimin 2004:86 pada dasarnya suatu kebanggaan yang dicita-citakan oleh setiap orang. Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Semua hasil temuan iptek di satu sisi harus diakui telah secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia namun disisi lain, ketergantungan kepada sains dan teknologi IPTEK yang berlebihan tersebut akan dapat menjadikan destruksi lingkungan dan politik totaliter. Menurut Eti Rochaety 2006:64 kemajuan teknologi yang tidak dapat dibendung lagi, tidak hanya berdampak pada dunia pendidikan saja, melainkan juga merambah pada nilai-nilai budaya dimasyarakat, misalnya saja budaya berpakaian fashion. Produk temuan dan kemajuan iptek telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia sehingga akan mempengaruhi nilai, sikap, atau tingkah laku kehidupan individu dan masyarakat yang akan mengakibatkan sebagian manusia modern terjauh dari nilai-nilai Islam dan juga nilai-nilai kemanusiaan sehingga akan mengalami krisis nilai-nilai spiritualitas. Dimana Harun Nasution 1995:9 mengatakan bahwa revolusi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK itu membawa problem-problem yang sulit dapat dicari pemecahannya dewasa ini. Dalam masyarakat modern Nurcholish Madjid mengatakan, masyarakat sering rentan terhadap depersonalisasi dan dehumanisasi. Akibatnya ia tidak lagi mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau alienasi. Karena itu, masalah yang perlu segera mendapat jawaban, terutama dari pendidikan Islam di madrasah adalah mampukah kegiatan pendidikan Islam di madrasah berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai 52 dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negatif dari kemajuan tersebut. Ajaran Islam Vs Sekulerisasi Ajaran Islam yang selama ini mengatur seluruh kehidupan manusia di dunia ini di era modern menghadapi tantangan yang cukup berat yakni sekulerisasi. Sekulerisasi merupakan faham yang ingin memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Sekulerisasi mengajarkan semua urusan kehidupan di dunia ini terlepas dari ajaran agama sebab agama dan kehidupan berbeda. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip ajaran Islam yang selama ini menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam bukan hanya sebatas agama yang memuat masalah hubungan manusia terhadap tuhannya saja melainkan Islam juga mengajarkan bahkan mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Sebab ajaran Islam itu holistik kaffah mencakup seluruh aspek kehidupan; ekonomi, sosial, budaya, politik, agama, seni dan lain-lain. Dalam kalimat yang padat Muhammad Abdul Karim Khayyal mengatakan : “Islam adalah aturan yang lengkap meliputi seluruh aspek kehidupan, Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat juga moral dan kekuasaan. Islam adalah rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, kekayaan materi, kerja dan harta, jihad dan dakwah, kekuatan senjata dan konsep.” Di Indonesia pengaruh sekulerisasi menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas 1979:11 sangat mencolok apabila dibandingkan dengan negara Islam lainnya di dunia, sehingga menurut M. Umar Chapra 1999:1 hal ini menyebabkan orang modern berpandangan sekuler. Menurut Fazlur Rahman 1982:43hal ini diakibatkan semakin kuatnya pengaruh Eropa terhadap dunia Islam melalui kolonialisme dan imprialisme sehingga sekulerisasi juga mulai tertanam dan tumbuh di dunia Islam. Penyebab sekulerisasi sendiri menurut Fazlur Rahman adalah kemandegan pemikiran Islam yang mendorong masyarakat Muslim untuk mengambil pemikiran yang berkembang di Barat tanpa mengikuti penjelasan ilosois yang berada dibelakangnya. Sebaliknya Mohammad Arkun berpendapat sekulerisasi telah ada dan diajarkan dalam Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Adapun ciri sekulerisasi menurut Dale F Eickelman dan J Piscatori adalah adanya pandangan bahwa masalah agama adalah masalah tersendiri terlepas dari aspek lain yang bersifat keduniaan Suhudi, 1998:60. Demikian juga pandangan yang memisahkan agama dari politik, sosial, ekonomi dan budaya adalah merupakan bagian dari sekulerisasi dimana masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 53 Spiritual Vs Material Menurut M. Noor Syam 1988:340 dewasa ini budaya modern telah mengalami krisis. Kebudayaan modern yang berintikan liberalisasi, rasionalisasi efesiensi menurut Azyumardi Azra perubahan ini secara konsisten terus melakukan proses pendangkalan kehidupan spiritual. Liberalisasi yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan tak lain adalah proses desakralisasi dan de-spiritualisasi tata nilai kehidupan. Dalam proses semacam itu, agama yang sarat dengan nilai-nilai sakral dan spiritual perlahan tapi pasti tergusur dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Terkadang agama dipandang tidak relevan dan signiikan lagi dalam kehidupan. Akibatnya, sebagaimana terlihat pada gejala umum masyarakat modern. Kehidupan rohani di era modern semakin kering dan dangkal. Dalam proses modernisasi yang sedang terjadi di madrasah ini, maka menurut Nasichah 2003:4 hal ini seringkali mengagungkan nilai-nilai yang bersifat materi dan anti rohani, dan mengabaikan nilai- nilai spiritual, benturan-benturan antara nilai-nilai materi dan unsur- unsur rohani dalam alam modern, sama halnya dengan persoalan tradisi dan modernitas. Benturan kedua nilai tersebut, secara langsung memberikan gambaran bagi sikap hidup suatu komunitas pada zaman tertentu. Menurut Tarmidzi Tahir 2008 modernisasi yang sedang berlangsung ini telah tumbuh dan berkembang dan merubah pendapatan masyarakat menengah menuju masyarakat industri. Perubahan yang terjadi terbukti tidak hanya bersifat material semata, namun sebaliknya juga menyeret perubahan pada norma dan nilai sekarang ini yang dikemas dalam slogan indah seperti demokratisasi, keterbukaan, dan hak asasi manusia. Kondisi ini menurut Husni Rahim 2001:129 telah membuka dampak krisis spiritual dan kepribadian, sehingga memunculkan juga kesenjangan dan kekerasan sosial. Salah satu ciri kehidupan sebagian masyarakat modern dewasa ini menurut Hasan Bakti Nasution 2001:179adalah berkembangnya kecendrungan pola sikap hidup material. Material sendiri berasal dari kata “materi” yaitu benda, sedangkan aliran yang menganut paham ini disebut “materialisme” yang dianut oleh aliran materialisme ini diantaranya adalah anggapan bahwa perubahan kebudayaan dan kehidupan manusia terjadi disebabkan oleh keadaan sosial, sedangkan rohani hanya pemunculan margentisme dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Revitalisasi Model Pendidikan Madrasah di Masa Modern Hal yang dapat dilakukan oleh pihak madrasah untuk mempersiapkan siswanya di masa modern adalah dengan merevitalisasi sistem pendidikannya yang tidak pro perubahan 54 kemudian mengganti atau mengakomodasi sistem pendidikannya yang sejalan dengan tuntutan perubahan, Upaya ini menurut Indra Hasbi dapat dilakukan pengelola madrasah dengan memperhatikan dan meningkatkan kemampuannya siswa dalam bidang bahasa, baik bahasa Arab maupun Inggris; penguasaan bahasa bagi pencari kerja era ini menjadi syarat mutlak. Juga penguasaan skill tertentu yang dibutuhkan dunia kerja. Idealnya, setiap madrasah memiliki laboratorium bahasa, juga memiliki sarana dan prasarana untuk meningkatkan skill siswa baik dalam bidang perbengkelan, jahit- menjahit. Untuk mengembangkan hal itu perlu pula madrasah melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan atau lembaga teknis lainnya. Siswa madrasah dapat pula dipersiapkan wawasan dan mentalnya agar memiliki mental kewirausahaan melalui pembinaan perkoperasian atau bentuk lainnya. Senada dengan Indra Hasbi, Qomar juga berpendapat berbeda dengan pesantren, Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajarannya. Oleh sebab itu Madrasah dituntut melakukan perubahan-perubahan strategis dalam bidang manajemen. Semua ini tentu saja memerlukan manajemen civitas Madrasah atau Manajemen Berbasis Sekolah MBS dengan berpedoman pada Fungsi-fungsi manajemen seperti planning perencanaan, orgnising pengorganisasian, actuating pelaksanaan, controlling pengawasan, dan evaluating penilaian serta suvervising perbaikan dalam kegiatan pendidikannya. Sedang masalah penting revitalisasi pendidikan madrasah yaitu dalam kurikulumnya diperlukan penyatuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam mata pelajaran yang diberikan ke siswa; materi ilmu agama sudah terintegrasi dalam ilmu umum. Untuk pengembangan materi lebih dalam, mereka dianjurkan mendalami berbagai literatur lainnya. Ilmu-ilmu yang sudah terintegratif itu akan semakin memperkuat keyakinan mereka tentang tauhid atau keesaan Allah, dan juga dapat mempengaruhi moralitas siswa dalam bentuk pengalaman sehari-hari di sekolah dan di rumah. Sebab selama ini materi pendidikan di pandang belum membangun sikap kritis, masih terbatas pada masalah keagamaan, serta tidak memiliki kepedulian terhadap perkembangan ilmu-ilmu umum, baik ilmu- ilmu sosial maupun ilmu alam. Padahal Rosenblith dan Bailey 2007 mengatakan bahwa pendidikan agama yang dilakukan dengan pendekatan komprehensif di sekolah umum mampu memberikan pandangan dan pemahaman baru terhadap siswa tentang perbedaan dan keharmonisan hidup dalam masyarakat plural. Pendidikan ini bertujuan untuk mengenalkan berbagai ajaran agama tentang penghormatan, perdamaian, toleransi dan kemanusiaan. Maka untuk itu Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang 55 mencerdaskan dan mempribadikan anak didik, perlu mempersiapkan siswanya bukan saja dengan ilmu agama tetapi juga ilmu umum, yang dalam pembelajarannya telah dilakukan secara pendekatan yang digunakan harus bersifat integralistik yang menyangkut semua dimensi dan ranah pembelajaran sehingga waktu yang ada dapat digunakan secara eisien dan mendapatkan hasil yang optimal. Selain itu Madrasah perlu juga membekali siswanya suatu kompetensi atau keahlian guna sebagai bekal baginya setelah lulus. Untuk mencapai hal itu, maksimalisasi manajemen berbasis sekolah sangat diperlukan Indra, 2005:202-210. Konsep pendidikan integrated learning, joyfull learning, dan cooperatif learning kiranya perlu diterapkan dalam manajemen pengajaran di Madrasah dengan guru yang professional sebab Slavin dalam Allyn and Bacon, 1994:24 mengatakan guru yang baik adalah yang menguasai materi pelajaran, memiliki keterampilan pedagogis, yang selalu mengajar secara efektif dengan penuh semangat, menyenangkan dan perhatian dalam tugasnya, memutuskan persoalan dengan menggunakan psikologi pendidikan. Visi Madrasah juga mesti diperbaharui dengan menggunakan slogal populis, Islami, berkualitas, serta mandiri. Kemudian perlunya mendirikan Madrasah berbasis standar NasionalInternasional mengingat madrasah banyak memiliki kekurangan dalam berbagai aspek. Meski demikian dewasa ini umat Islam telah memiliki madrasah yang berprestasi dan bereputasi baik semisal Insan Cendikia di Serpong Banten, MIN Malang. Kemudian Madrasah pembangunan UIN Jakarta yang siap bersaing di era modern. Penutup Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam pada Madrasah mengalami tantangan modernisasi. Modernisasi yang terjadi terjadi pada abad 19 hingga saat ini telah membawa perubahan yang cukup kompleks terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan Islam di Madrasah. Di era modern, pendidikan Islam di madrasah dan lembaga pendidikan Islam justru dituntut lebih profesional dan bukan dikelola sekedar asal-asalan, sebab masyarakat dewasa ini telah mengalami perubahan orientasi dengan mengedepankan rasionalitas. Untuk itu upaya merekonsiliasi ajaran agama dan era modern perlu dilakukan kaum Muslimin khususnya di Madrasah. Hal ini untuk menunjukkan citra Islam sesuai dan tidak bertentangan dengan era modern sebagaimana Barat tuduhkan. Usaha ini penting dilakukan sebab di era modern ini kehidupan manusia akan ditandai oleh dua kecendrungan yang saling bertentanganberlawanan dengan Islam yakni; Iptek vs Imtaq, ajaran vs sekulerisasi serta spiritual vs material. Untuk mengatasi hal itu lembaga pendidikan Madrasah 56 harus meningkatkan peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang handal yang dapat merespon dan mengantisipasi dampak negatif dari kemajuan modern saat ini, misalnya dengan merevitalisasi sistem pendidikannya sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, kemudian mempersiapkan lulusan madrasah yang handal dan siap pakai sehingga dapat menyeimbangi arus modern yang ada dan tidak ketinggalan zaman dengan tidak meninggalkan program pendidikan madrasah yang menjadi kekhasankeunggulan institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak dahulu. Daftar Pustaka Abdullah, Ibrahim, Suparman, Ma’had Aly, Proil Pendidikan Tinggi Pondok Pesantren di Indonesia, Yogyakarta : RDI Indonesia. Al-Attas, Naquib, Muhammad, Syed, Islam and Seculerisme, Kuala Lumpur : Muslim Youth Movement of Malaysia, 1979. Ashrohah, Harun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2001, Cet. Ke-2. Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Islam, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1998, Cet. Ke-1. Binder, Leonard, Islamic Liberalism, Chicago : The Universirty of Chicago Press, 1988. Chapra, M. Umar Islam dan Tantangan Ekonomi Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Surabaya : Risalah Gusti, 1999, Cet. Ke-1. Esposito, John L. ed, The Oxford Encyclopedia of the Modern World, London : Oxford University Press, 1995, Vol. 2. Khayyal, Karîm, Abdul, Muhammad, Syarh wâ Tahlîl Ushûl al-Isyrîn, Dâr al-Dakwah, Iskandariâh, Cairo, tt. Kurzman, Charles, ed, Modernist Islam 1840-1940; A Source Book, Oxford: Oxford University Press, 2002. Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997, Cet. Ke-1. _________________, Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi dalam Islam. Kemodernan dan keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1987. Masud, Khalid, Muhammad “Religius Identity and Mass Education”, dalam Johan H. Meuleman ed, Islam in the Era Globalization, 57 Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity , Jakarta : INIS, 2001. Mastuhu, Memberdayakan Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Nasution, Bakti, Hasan, Filsafat Umum, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001. Nasution, Harun, Perlunya Menghidupkan Kembali Pendidikan Moral, Jakarta : Konsorsium Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, DIKTI Depdikbud, 1995. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta : LPE3S, 1980. Peraturan Pembinaan Madrasah dalam Rangka Otonomi Daerah, Depag RI : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001. Putro, Suadi, Muhammad Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta : Paramadina, 1998, Cet. Ke-1. Qomar, Mujamil, Pesantren dan Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi , Jakarta : Eralngga, tt. Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Rochaety, Eti, Rahayuningsih Yanti, Gusti, Prima, Pontjorini Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. Ke-11. Syam, M. Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1988. Tim Perumus Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Al-Islam dan IPTEK, Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1998. Jurnal Nasichah, Da’wah Pada Masyarakat Modern Problem Kehampaan Spiritual, Jakarta : Da’wah : Jurnal Kajian Da’wah dan Budaya, Vol. X No 2. Desember 2003. 58 Majalah Wahid, Abdurrahman, Agama dan Modernisasi adalah Satu”, dalam majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No. 40tahun VI1985, 47. Website Rosenblith, Suzanne dan Bailey, Bea, “Comprehensive Religious Studies in Public Education : Educating for a Religiously Literate Society,” Jurnal Educational Studies American Educational Studies Association 42 No 2 2007, 9-111, http:vnweb.hwwilsonweb. comhwwresultgetResult.jhtml_DARG= Tahir, Tarmidzi, Umat Islam dan Tantangan Dunia Modern, Center For Moderate Muslim Indonesia, Diakses Lewat Internet Pada Tanggal 23 Juli 2008. Makalah Seminar Azra, Azyumardi, Modernisasi Pendidikan Islam dan Epistemologi Ilmu, Makalah pada peringatan 70 tahun Pondok Modern Gontor, 31 Agustus 1996. 59 URGENSI GIZI DAN KESEHATAN PESERTA DIDIK TINGKAT SDMI SEBAGAI PRASYARAT TERWUJUDNYA GENERASI EMAS Dina Rahma Fadlilah Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: drahma89gmail.com Abstrak: Dalam 100 tahun kemerdekaan Indonesia tahun 2045, Indonesia memperoleh bonus demograi berupa potensi kekayaan sumber daya manusia SDM usia produktif. Hal ini menjadi sangat berharga jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sedari dini. Pengelolaan melalui pendidikan dari jenjang pendidikan dasar SDMI dapat menghasilkan SDM yang berkualitas dan menjadi generasi emas karena memiliki karakter berlandaskan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan sosial sejak dini yang dapat diteruskan hingga dewasa. Namun, berkarakter tanpa kesehatan tidak ada artinya, karena tanpa kesehatan produktivitas menurun. Pembahasan ini bertujuan untuk mengungkapkan pentingnya pemberian pendidikan gizi guna menciptakan generasi emas yang bukan hanya berkarakter, namun juga sehat. Kata kunci: Gizi dan Kesehatan, SDMI, Generasi Emas Pendahuluan Bangsa Indonesia akan genap berusia 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045. Selain genapnya usia tersebut, mengutip dari sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2012, diperkirakan pada saat itu Bangsa Indonesia diisi oleh generasi emas, yaitu generasi yang mayoritas berusia produktif, yang sekarang berusia 0-19 tahun dan menjadi peserta didik SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi, yang karena proses dan hasil pendidikan, mereka memiliki karakter yang baik dan kuat. Generasi emas ini diharapkan dapat membawa Bangsa Indonesia menjadi Bangsa yang lebih baik dan maju di berbagai bidang sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan. Harapan tersebut tidak mungkin terwujud tanpa upaya yang sungguh-sungguh terutama dalam membangun dan mengembangkan 60 sumber daya manusia SDM yang berkualitas. SDM berkualitas adalah sumber daya manusia yang memiliki karakter berlandaskan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan sosial. Upaya yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan SDM yang berkualitas adalah pendidikan. Selain itu, upaya ini sebaiknya dilakukan sedari dini, yaitu dari jenjang pendidikan dasar SDMI, sehingga nilai- nilai yang telah ditanamkan dari SDMI dapat dilanjutkan ke tingkat selanjutnya. Tanpa kesehatan, SDM yang berkualitas tidak akan berarti karena kesehatan mempengaruhi produktivitas. Dalam proses pembelajaran pun kesehatan merupakan faktor internal yang harus terpenuhi oleh peserta didik. Bardasarkan hal tersebut, kesehatan adalah faktor yang patut diperhatikan dalam membentuk SDM yang berkualitas. Gizi buruk di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang sulit diatasi oleh Bangsa Indonesia dan merupakan hambatan dalam membentuk SDM yang berkualitas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi buruk sering terjadi pada anak usia sekolah dasar 6-14 tahun. Masalah gizi buruk ini dapat diatasi salah satunya dengan memberikan pendidikan gizi untuk peserta didik SDMI. Dengan pemberian pendidikan gizi pada peserta didik SDMI, diharapkan kesehatan pun akan meningkat dan dapat menghasilkan generasi emas yang tidak hanya berkarakter, namun juga sehat. Generasi Emas Generasi emas pertama kali digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada sambutan Peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2012. Pada tahun 2010-2035, Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Hal ini menjadi bonus demograi demographic dividend dari Tuhan YME yang sangat berharga bila dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Maka dapat dikatakan bahwa generasi emas adalah generasi usia produktif yang sangat berharga dan bernilai yang dikelola serta dimanfaatkan dengan baik agar berkualitas menjadi insan yang berkarakter, insan yang cerdas, dan insan yang kompetitif Wibowo, 2013. Ciri-Ciri Generasi Emas: Memiliki 18 Karakter Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang 61 Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan dapat dijadikan sarana yang strategis untuk membentuk generasi emas. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentiikasi dari sumber-sumber berikut, yaitu agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010. Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentiikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini. Tabel 1. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa No Nilai Deskripsi 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik- baiknya. 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 62 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis Cara berikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. S e m a n g a t Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air Cara berikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan isik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. M e n g h a r g a i Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. B e r s a h a b a t Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan amanatas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 63 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung-jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan alam, sosial dan budaya, negaradan Tuhan Yang Maha Esa. Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2010 Oleh karena itu, ciri-ciri generasi emas, generasi yang merupakan hasil tempaan proses pendidikan adalah generasi yang memiliki 18 karakter di atas. Pentingnya Kesehatan, Gizi dan Makanan Bagi Tubuh WHO dalam Syaiq 2007 mendeinisikan kesehatan sebagai: “Keadaan sempurna baik isik, mental, dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial.” Sedangkan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan juga menjelaskan tentang deinisi kesehatan, yaitu keadaan sehat, baik secara isik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Karakter adalah hal yang utama dari manusia berkualitas. Namun, karakter juga memerlukan kesehatan jiwa dan raga Manullang, 2013. Sementara itu, Adisasmito 2007 menyatakan bahwa SDM yang berkualitas dicirikan dengan isik yang tangguh, kesehatan yang prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Sedangkan Syaiq 2007 berpendapat bahwa tanpa kesehatan, tidak akan ada SDM yang intelektual dan produktif. Kesehatan juga adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi sebelum hak-hak asasi lainnya dapat dipenuhi. Syaiq, 2007. Kesehatan tubuh sangat berhubungan dengan gizi. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Zat gizi esensial adalah zat-zat gizi yang harus didatangkan dari makanan Almatsier, 2009. Apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini 64 berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak sehingga tidak mampu berfungsi dengan normal Anwar, 2008 dalam Pamularsih, 2009. Manusia memerlukan zat gizi untuk memperoleh energi guna melakukan kegiatan isik sehari-hari, untuk memelihara proses tubuh dan untuk tumbuh dan berkembang khususnya bagi yang masih dalam pertumbuhan. Berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh digolongkan ke dalam enam macam, yaitu 1 karbohidrat, 2 protein, 3 lemak, 4 vitamin, 5 mineral dan 6 air Suhardjo dan Kusharto, 1988. Tubuh yang kekurangan gizi akan berakibat buruk pada tubuh. Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat- zat gizi apa yang kurang. Kekurangan gizi secara umum makanan kurang dalam kuantitas dan kualitas menyebabkan gangguan pada beberapa proses, yaitu: pertumbuhan, produksi tenaga, pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak dan perilaku. Tubuh yang kelebihan gizi pun tidak baik bagi tubuh. Gizi lebih dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan energi yang dikonsumsi disimpan di dalam jaringan dalam bentuk lemak. Kegemukan merupakan salah satu faktor risiko dalam terjadinya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi atau tekanan darah tinggi, penyakit-penyakit diabetes, jantung koroner, hati dan kantung empedu Almatsier, 2009. Mewujudkan Manusia Sadar Kesehatan Melalui Pendidikan Gizi Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun sumber daya manusia yang bekualitas yang sehat, cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia IPM belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status kesehatan penduduk Azwar, 2004. Sejalan dengan Azwar 2004, Adisasmito 2007 juga menerangkan bahwa strategi sebuah bangsa dalam menciptakan SDM yang sehat sangat terkait dengan penanganan gizi buruk. Status gizi dan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pendidikan Atmarita, 2004. Pendidikan gizi harus menjadi bagian integral dari pendidikan formal pada sekolah dasar, sekolah menengah, serta ditingkat akademi dan universitas Suhardjo, 2006. Pada dasarnya program pendidikan gizi bertujuan merubah perilaku yang kurang sehat menjadi perilaku yang lebih sehat terutama perilaku makan Sahyoun dkk, 2004. Pendidikan gizi bisa diterapkan di sekolah dasar melalui program-program yang sudah ada misalnya dipadukan dengan program PMTAS maupun kegiatan rutin yang 65 dilakukan sekolah Zulaekah, 2009. Dengan penerapan pendidikan gizi di sekolah, penyakit yang terjadi karena kekurangan gizi dapat diatasi, sesuai dengan Zulaekah 2009 yang mengungkapkan bahwa dengan adanya pendidikan gizi yang dipadukan dengan suplementasi zat besi di sekolah masalah anemia di Indonesia dapat teratasi. Atmarita 2004 menambahkan bahwa, tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Oleh sebab itu, jika upaya peningkatan pendidikan pada masyarakat dilakukan, status gizi dan kesehatan dapat berubah secara signiikan. Perubahan status gizi sangat signiikan terjadi jika dilakukan upaya sebagai berikut, diantaranya peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada laki-laki dan peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada perempuan Atmarita, 2004. Gambar 1. Bagan penyebab kurang gizi. Kurang pendidikan merupakan salah satu faktor kurang gizi Adisasmito, 2007 66 Februhartanty 2005 memaparkan, penyampaian pendidikan gizi di sekolah dilakukan tidak cukup dengan cara memasukkan materi tentang gizi ke dalam beberapa mata pelajaran, seperti biologi, olahraga, ilmu kesehatan dan ekonomi keluarga. Menurutnya, penyampaian pendidikan gizi di sekolah formal membutuhkan kajian ulang pada berapa hal, yaitu 1 topik dan mata pelajaran sekolah, dimana gizi adalah sebuah komponen; 2 orang yang menyampaikan materi; 3 kesiapan majemen sekolah dalam memberikan proses pembelajaran yang kondusif; 4 koordinasi antara departemen kesehatan dan departemen pendidikan; 5 komitmen pemerintah Indonesia dalam memantapkan promosi kesehatan melalui sekolah di Indonesia. Penutup Untuk terciptanya generasi emas SDM yang berkualitas, berkarakter dan sehat diperlukan pendidikan gizi sedari dini, yaitu jenjang pendidikan dasar SDMI. Hal ini bertujuan agar peserta didik memiliki wawasan mengenai gizi. Wawasan tersebut dapat menjadi bekal untuk peserta didik dalam memilih asupan makanan yang baik bagi tubuhnya sehingga kesehatannya terjaga. Daftar Pustaka Adisasmito, Wiku, Ph.D., 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta: PT. RajaGraindo Persada. Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar Imu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Atmarita, Tatang S. F., 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: 1-37. Azwar, Azrul, 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang. Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi : 1-16. Februhartanty, J., 2005. Nutrition Education: It Has Never Been an Easy Case for Indonesia. Food and Nutrition Bulletin. 262: S267-S274. Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa . Manullang, Belferik, 2013. Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi 67 Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter. 31: 1-14. Pamularsih, Arni, 2009. Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa di Sekolah Dasar Negeri 2 Selo Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali . Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sahyoun, NR., Pratt, CA., Anderson, A., 2004. Evaluation of Nutrition Education Intervensions for Older Adults: a Proposed Framework. J. Am. Diet Assoc. 1041:58-69. Suhardjo Clara M Kusharto, 1988. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Suharjo, 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Petunjuk Laboratorium Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. PAU-IPB: Bogor. Syaiq, Ahmad, 2007. Tinjauan atas Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini. Makalah pada Diskusi Peningkatan Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini . Wibowo, Mungin E., 2013. Menyiapkan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Prosiding Seminar Nasional X Biologi, Sains, Lingkungan dan Pembelajarannya . Surakarta: Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Zulaekah, Siti, 2009. Peran Pendidikan Gizi Komprehensif untuk Mengatasi Masalah Anemia di Indonesia. Jurnal Kesehatan. 22: 169-178. 68 PERBEDAAN PEMIKIRAN BARAT DAN ISLAM MEMANDANG MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN Lu`luil Maknun Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : luluemaknungmail.com Abstract : There are differences between the western and Islamic thought concerning human understanding and its development theory. This will have a big impact on how people articulate education . Which in turn also has implications for models of learning , curriculum materials and other learning tools . An experiment on the stimulus for example , western thought using the dog as an experimental model . And the experimental results are used as reference the academic world . Is Islamic scientists also use the animals as a model ? Furthermore darwintheory , which says that the origin of man is great primates evolved . While Islam says that man was created irst Adam. But the most crucial difference from the western and Islamic thought is ; western thought argues that the most important body part is the brain of the human being , so that all activities are maximized to optimize brain function, whereas the most important thing in Islam is the soul , so the irst educational training to it the nature of the soul , then the physical activities performed in order to guide his spirit toward nature. Keyword : human, western, Islamic, educational Pendahuluan Pemikiran Barat di sini –sudah tentu dimaklumi bersama, adalah para ahli dari Eropa. Berangkat dari teori evolusi Charles Darwin, manusia disebut sebagai ‘human’ diambil dari kata homo sapiens. Teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak diciptakan, melainkan adalah hasil evolusi primata raksasa selama jutaan tahun. Yang membedakan nenek moyang dengan kita sekarang adalah otak dan penalaran, titik simpulan ini menyatakan bahwa bagian tubuh terpenting adalah otak, dan segala metode yang dikembangkan melalui titik ini adalah tentang pemaksimalan fungsi otak demi ketercapaian tujuan-tujuan hidup manusia. Sedangkan pemikiran Islam di sini adalah suatu pemahaman yang merujuk pada Al-Qur`an yang memaparkan secara lengkap dari 69 mulai proses manusia diciptakan, tujuan hidup manusia, dan perjalan hidupnya setelah tutup usia. Sesuatu yang terpenting dalam tubuh manusia menurut Islam adalah ruh, bukan isik semata. Ruh adalah sesuatu yang akan kembali pada penciptanya, sedangkan isik adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Jika Barat menyebut manusia sebagai ‘human’. Maka Al-qur`an menggunakan beberapa terminologi seperti; ‘basyar’, ‘insan’, dan ‘bani Adam’ . Pandangan Barat Tentang Manusia Dan Teori Perkembangannya Seorang ahli Zoologi bernama Charles Darwin, melakukan penelitian dan ekspedisi kemudian merangkum hasil penelitiannya dalam sebuah buku fenomenal yang berjudul ;‘the origin of spesies’, Darwin menulis sebagai berikut: Darwin ; dalam mempertimbangkan asal-usul spesies, sangat mungkin bawa seorang peneliti alam, dengan bercermin pada saling-kesamaan jasad-jasad organik pada hubungan embriologis, penyebaran georgrai, suksesi geologis, serta fakta- fakta lainnya yang serupa, dapat sampai pada kesimpulan bahwa spesies-spesies tidaklah diciptakan sendiri-sendiri, melainkan diturunkan sebagai varietas dari spesies-spesies lain. Melalui pernyataaan ini, jika kemudian kita cari deinisi manusia melalui kamus yang dijadikan rujukan oleh dunia barat, maka yang akan ditemui adalah kata-kata sebagai berikut : Human being Homo sapiens, a culture-bearing primate that is anatomically similar and related to the other great apes but is distinguished by a more highly developed brain and a resultant capacity for articulate speech and abstract reasoning. Manusia adalah primata besar yang berevolusi, akan tetapi memiliki otak yang lebih berkembang, kemampuan berbicara dan pemikiran yang lebih abstrak Intinya, pemikiran Barat menyimpulkan bahwa manusia tidak diciptakan langsung sebagai manusia, melainkan hasil evolusi dari primata yang dulunya berbentuk kera. Kesimpulan ini kemudian menjadi dasar pada teori perkembangan hidup manusia, dan berimplikasi pula pada persfektif hidup lainnya, termasuk pendidikan. Teori Perkembangan Manusia Perkembangan manusia dapat dibagi ke dalam beberapa aspek, yaitu perkembangan isiologis, perkembangan kognitif, perkembangan 70 psikososial, perkembangan bahasa dan komunikasi. Perkembangan isiologis berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada tubuh manusia, seperti menjadi lebih tinggi atau menjadi lebih besar. Perkembangan isiologis sejalan dengan perkembangan otak dan susunan saraf pusat, perkembangan tubuh, perkembangan gross motor otot kasar ine motor otot halus, koordinasi gerakan motorik kasar dan motorik halus, dan koordinasi gerakan visual motorik. Papalia dan Olds seperti yang dikemukakan oleh Jamaris 2005:8-9 menjelaskan perkembangan tubuh merupakan perkembangan yang berlangsung sesuai dengan prinsip yang disebut dengan cepholocaudal, prinsip perkembangan yang dimulai dari atas yaitu kepala dan berlanjut secara teratur ke bagian bawah tubuh. Jean Piaget, membagi perkembangan kognitif ke dalam empat tahap perkembangan yaitu; fase sensomotor 0-2 tahun, fase praoperasional 2-7 tahun, fase operasional kongrit 7-11 tahun dan fase operasi formal 11 tahun – sampai usia dewasa. Menurut erikson,perkembangan psikososial terbagi ke dalam delapan fase perkembangan, yaitu1 fase trust VS mistrust 0-12 -18 bulan, 2 fase autonomy vs shame and doubt 18 bulan – 3 tahun, 3 fase initiative vs guilt 3 – 6 tahun, 4 fase industry vs inferiority 6-12 tahun, 5 fase identity vs role confusion 12-18 tahun, 6 fase intimacy vs isolation 18- 40 tahun, 7 fase generativity vs stagnation 40-65 tahun, 8 fase integrity vs despair 65 tahun ke atas. Pandangan Islam Tentang Manusia Mencari pengertian manusia menurut Islam, berarti mencari makna manusia dalam kitab sucinya. Sedikitnya ada tiga kata yang digunakan Al-qur`an dalam mendeinisikan manusia; 1 menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas atau unas. 2 menggunakan kata basyar. 3 menggunakan kata Bani Adam dan zuriyat Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah .Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit. Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata nasiya lupa atau nasa yanusu berguncang. Kata insan digunakan Al-qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. 71 Inti dari pengertian di atas adalah, manusia tidak hanya terdiri dari jasad bagian-bagian tubuh, makna Basyar mungkin merujuk pada manusia secara biologis, maka implikasinya nanti adalah perkembangan manusia secara biologis. Tapi makna Insan merupakan gabungan dari isik dan metaisik nyawa, ada jiwaruh yang juga harus dikembangkan sebagai bentuk kesempurnaan manusia. Makna kata ‘lupa’ dan ‘berguncang’ juga mencerminkan bahwa manusia harus senantiasa menjaga fokus perkembangan ruhiyahnya agar mencapai tujuan hidupnya. Proses penciptaan manusia yang termaktub dalam Al-qur`an: Al-qur`an sebagai pedoman hidup ummat muslim juga memaparkan proses penciptaan manusia dan tujuan penciptaannya, berikut catatan penulis yang tentang ayat-ayat Al-qur`an yang menyinggung tentang penciptaan manusia; 1 Manusia pertama kali diciptakan Tuhan dari tanah al-hajj : 5; ar-ruum : 20; Faathir : 11; al-mu`min : 67 2 “Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air”. al- furqaan : 54 3 “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati berasal dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh rahim. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka mahasuci Allah pencipta yang paling baik Al-mu`minun : 12-14. 4 Manusia diciptakan Tuhan dengan struktur yang terbaik, baik rohani maupun jasmani at-Tiin : 4; at-taghaabun:2, dan semulia-mulianya makhluk al-Israa’ : 70, melebihi dan mengatasi makhluk-makhluk Allah lainnya al-Baqarah : 47, 122: al-Jaatsiyah: 16 ; al-israa’ : 70. 5 Status dan fungsi manusia di atas adalah sebagai khalifah untuk melaksanakan segala yang diridhai Allah SWT di atas bumi Allah ini, untuk mengulturkan natur dan pada waktu yang sama untuk meng-Islam-kan kultur al-baqarah:21; al- An`aam:165; al-Ahzaab: 72; Faathir: 39; al-Baqarah: 30-34; al- A`raaf: 31; an-Nahl: 12-14; an-Nisaa`:58; al-Jaatsiyah: 12-13; Ibrahim: 32-34. 6 Sebagai khalifah Allah di atas bumi, manusia dilengkapi Allah dengan pelbagai macam hidayah insting, indra, akal, agama 72 dan hidayat tauiq. 7 Manusia dianugerahkan Tuhan beberapa kebebasan memiliki limited free-will al-Lail:4-11, dengan konsekuensi tanggung jawab al-Israa`:71; ath-Thuur:21; al-Muddatstsir:38; an-Nuur:54 yang ditanggung secara individual pada hari akhirat al-baqarah:48, di mana segala indra dan alat badani lainnya dijadikan sebagai saksi an-Nuur:24. Baik yang berbuat kebajikan maupun yang berbuat kejahatan niscaya akan ditampakkan meskipun kecil az-zalzalah: 7-8. 8 Di samping kedudukan sebagai khalifah, pada waktu yang sama manusia juga sebagai abdullah hamba atau pengabdi Allah dengan tugas melaksanakan ibadah pengabdian dalam arti yang seluas-luaanya kepada Allah adz-Dzaariyat: 56; al-bayyinah :5; al-baqarah : 21; al-Faatihah: 4; al-Kahi: 110; al-An`aam; 102 Al-qur`an memaparkan bukan hanya proses penciptaan manusia mulai dari embrio sampai berbentuk daging dan memiliki tulang, tapi juga tujuan diciptakannya manusia oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi, sehingga perjalanan hidup manusia dibebankan pada tanggung jawab yang sangat berat; menjadi hamba Allah, menjaga kelestarian alam, dan memaksimalkan potensi yang ada untuk beramal soleh. Perbedaan Krusial Antara Pemikiran Barat Dan Islam Memandang Manusia Menurut Islam, jika seseorang meninggal dunia, maka ruhnya akan kembali kepada Allah, memasuki alam kubur dan pada akhirnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya selama di dunia melalui pengadilan akhirat. Sehingga belum cukup menggali ilmu jika hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di dunia. Pendidikan terus berlanjut sampai bisa menggiring seseorang beramal soleh sebagai bekal perjalanannya ke alam baka. Faham barat tidak akan menerima kebenaran ini, dari sebuah pelatihan tentang pendidikan, dapat disarikan perbedaan pandangan Islam dan Barat memandang manusia sebagai berikut: Islam Barat Manusia diciptakan Allah, terdiri dari ruh dan jasad, diciptakan sebagai khalifah di muka bumi sekaligus sebagai hamba Allah Manusia adalah materi yang berevolusi dari materi, tidak diciptakan atau bukanlah pen- datang asing di muka bumi 73 Mempercayai eksistensi ruh, meyakini kemusnahan jasad Menolak metaisika termasuk ruh mengimani keabadian ma- teri Mengimani kebangkitan setelah mati dan penciptaan jasad kedua di akhirat Menolak kebangkitan kembali setelah mati Ruh menjadi pusat dan poror pendidikan Otak menjadi pusat dan poros pendidikan Setiap tahap perkembangan ma- nusia memiliki konsekuensi hu- kum tersendiri yang dijelaskan dalam Al-qur`an, sunnah dan Fiqih Setiap tahap memiliki konsekue- ensi hukum tersendiri yang di- dasarkan pada hukum positif, adat, riset, sains, dsb Pandangan Barat Tentang Pendidikan Dan Teori Pembelajaran Setelah membahas tentang pengertian manusia menurut Barat dan Islam serta menemukan perbedaan krusial dari keduanya, maka untuk mendapatkan gambaran implikasi apa yang kemudian terjadi dari dua pandangan tersebut terhadap pendidikan, maka terlebih dahulu kita bahas pengertian-pengertian pendidikan dan beberapa teori pembelajaran yang berasal dari Barat dan Islam. Berikut adalah pengertian pendidikan secara umum: Education in its general sense is a form of learning in which the knowledge, skills, and habits of a group of people are transferred from one generation to the next through teaching, training, or research. Education frequently takes place under the guidance of others, but may also be autodidactic. Any experience that has a formative effect on the way one thinks, feels, or acts may be considered educational. Education is commonly divided into stages such as preschool, primary school, secondary school and then college, university or apprenticeship. Deinisi pendidikan yang telah digaris bawahi sebetulnya telah bergeser, pendidikan yang diejawantahkan dalam sebuah proses pembelajaran bukan lagi mentransfer ilmu pengetahuan, karena siswa sekarang sudah tidak dianggap lagi sebagi bejana kosong yang harus diisi, melainkan telah memiliki pengetahuan awal untuk kemudian dapat dieksplor lebih jauh lagi dalam rangka memenuhi kompetensi yang ingin dicapai. Pendidikan dalam arti umum adalah bentuk pembelajaran di mana pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan dari sekelompok 74 orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga mungkin otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang. Intinya, pendidikan adalah pembelajaran melalui pengalaman, baik itu menggunakan rasio, perasaan ataupun tindakan. Pendidikan kemudian dikemas dalam sebuah lembaga yang pada akhirnya mengeluarkan sebentuk ijazah dan gelar sebagai penahbisan bahwa orang tersebut telah mengenyam sebuah pendidikan. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dalam rangka membimbing dan mengarahkan perkembangan anak ke arah dewasa. Dewasa artinya bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya dan negaranya. Selanjutnya, bertanggung jawab terhadap segala resiko dari sesuatu yang telah menjadi pilihannya. Ini adalah deinisi pendidikan secara umum, lagi- lagi kita sebagai pendidik yang berorientasi pada agama Islam harus bisa mengintegrasikan segala aspek kehidupan –terutama pendidikan, kepada tujuan ke-ilahian, bukan kemanusiawian semata. Teori Pembelajaran Menurut Barat Belajar adalah perubahan. Belajar berarti menghasilkan perubahan perilaku maupun pemikiran. Ada tiga teori yang dapat menjelaskan proses di mana seseorang memperoleh pola perilaku, yaitu teori pengkondisian klasik, pengkondisian operan, dan pembelajaran sosial Stephen, 2007:69-79. Pengondisian klasik adalah jenis pengkondisian di mana individu merespon beberapa stimulus yang tidak biasa dan menghasilkan respons baru. Teori ini tumbuh berdasarkan eksperimen untuk mengajari anjing mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap bel yang berdering, dilakukan pada awal tahun 1900-an oleh seorang ahli isolog Rusia bernama Ivan Pavlov. Pengondisian operantadalah jenis pengkondisian di mana perilaku sukarela yang diharapkan menghasilkan penghargaan atau mencegah sebuah hukuman. Kecenderungan untuk mengulang perilaku seperti ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penegasan dari konsekuensi- konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku. Dengan demikian, penegasan akan memperkuat sebuah perilaku dan meningkatkan 75 kemungkinan perilaku tersebut diulangi.Apa yang dilakukan Pavlov untuk pengkondisian klasik, oleh psikolog Harvard, B. F. Skinner, dilakukan pengkondisian operan. Skinner mengemukakan bahwa menciptakan konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti bentuk perilaku tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut. Pembelajaran sosial adalah pandangan bahwa orang-orang dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung. Meskipun teori pembelajaran sosial adalah perluasan dari pengkondisian operan, teori ini berasumsi bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dari konsekuensi. Teori ini juga mengakui keberadaan pembelajaran melalui pengamatan dan pentingnya persepsi dalam pembelajaran. Kata-kata yang digaris bawahi seharusnya menjadi perhatian penting bagi kita dalam menyempurnakan makna pendidikan secara umum. Pada pengondisian klasik, eksperimen liur anjing mungkin awalnya adalah penelitian yang tidak disengaja, namun pada akhirnya menelurkan sebuah teori motivasi yang digunakan oleh dunia pendidikan. Pada pengondisian operan, aktivitas menyenangkan kemudian diadaptasi dalam dunia pendidikan; pengalaman berkesan melahirkan metode-metode pembelajaran having fun. Dan terakhir, pada pembelajaran sosial, dikemukakan bahwa setiap manusia dapat belajar dari pengamatan dan pengalaman langsung. Ini semua agak berbeda dengan teori pembelajaran menurut Islam. Pandangan Islam Tentang Pendidikan Secara umum, ada tiga terminologi yang digunakan Al-qur`an dan hadits berkaitan dengan konsep dasar pendidikan dalam Islam, yakni tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Tarbiyah; Term tarbiyah berasal dari kata rabb yang menurut Anis bermakna tumbuh dan berkembang. Pengertian seperti ini juga diberikan oleh al-Qurthuby yang menyatakan bahwa pengertian dasar kata rabb menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Sementara itu, menurut al-Afsahany, kata al-Rabb bisa berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaan secara bertahap. Dasar kata rabb, berarti bahwa pendidikan dimulai sejak anak masih dalam buaian, karena pendidikan di sini memiliki arti memelihara, merawat, mengatur dan mengarahkan secara bertahap sejak masih kanak-kanak hingga mencapai usia dimana ia memikul tanggung jawab sebagai individu. Pendidikan lewat term ini juga berarti menyiapkan peserta didik memaksimalkan segala potensinya dengan penuh kasih sayang. 76 Ta’lim ;Abdul Fatah Jalal 1977:17 mengemukakan bahwa Ta’lim adalah proses pemberian pengetahuan, pemahaman. pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian tazkiyah atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Makna ta`lim adalah proses pengajaran kepada peserta didik, yang digaris bawahi di sini adalah penanaman amanah, di mana setiap manusia dibekali rohani dan jasmani, anggota tubuh, keluarga dan harta sebagai amanah. Tugas kita memberi pemahaman bagi peserta didik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan berikut amanah apa yang harus diemban sebagai mahluk. Ta‘dib ; adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur- angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya. Pada aplikasinya makna ta`dib lebih ditekankan pada proses penanaman karakter, sopan santun dan kehambaan pada Tuhannya. Yang menjadi kesulitan dalam memahami makna pendidikan dari islam adalah kurangnya dukungan dari praktisi pendidikan islam itu sendiri. Perbedaan Pemikiran Barat Dan Islam Tentang Pendidikan dan Implikasinya Ada perbedaan cara pandang pemikiran Barat dan Islam mendeinisikan manusia sebagai objek pendidikan, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada deinisi pendidikan itu sendiri. Pada gilirannya, proses pendidikan yang dikembangkan melalui terminologi-terminologi yang disajikan akan berpengaruh pada teori, metode, bahkan materi pendidikan. Perbedaan-perbedaan dan implikasinya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini : 77 No. Pendidikan Menurut Barat Implikasinya 1. “Setiap pengalaman yang me- miliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pen- didikan”. Pendidikan menjadi sebuah us- aha sadar dalam mengembang- kan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Catatan : manusia terdiri dari ro- hani dan jasmani, tiga aspek di atas hanya mewakili kebutuhan jasmani intellegence dan emotional ques- tion . Belum cukup tanpa adanya spiritual question. 2. “Dewasa artinya bertanggung jawab terhadap dirinya, ke- luarganya, masyarakatnya, bangsanya dan negaranya”. Merebaknya model dan ma- teri pembelajaran seputar citi- zenship dan isu-isu global sep- erti liberalisme, demokrasi dan HAM Catatan : liberalisme adalah faham barat yang mendewakan kebebasan, efek negatifnya adalah dekadensi moral. 3. “Individu merespon beberapa stimulus yang tidak biasa dan menghasilkan respons baru”. Percobaan yang dilakukan pada hewan belum tentu cocok untuk dijadikan teori pada manusia Catatan : jika guru gagal memberi stimulus maka nilai-nilai yang in- gin diberikan tidak sampai menjadi karakter peserta didik. 4. “Menciptakan konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti bentuk perilaku tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut”. Metode pembelajaran dilaku- kan dengan memperhatikan mi- nat dan motivasi peserta didik. Catatan : kewajiban taklii bukan dilakukan atas dasar kesenangan. 5. “Perilaku adalah sebuah fung- si dari konsekuensi dan pent- ingnya persepsi dalam pembe- lajaran”. Membangun persepsi peserta didik akan pentingnya sebuah nilai. Catatan : Jika pembangunan per- sepsi gagal, maka nilai-nilai pent- ing dari sebuah tema akan sulit ter- install 78 No. Pendidikan Menurut Islam Implikasinya 1. “dasar kata rabb menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, men- gatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya”. Pendidikan islam dilakukan sejak usia kanak-kanak Catatan : Pendidikan memiliki arti yang sangat luas karena di- lakukan sejak dalam buaian ibu. Pendidikan mencakup segala aspek rohani dan jasmani serta pengembangan kompetensi dan keterampilan hidup. Pendidikan dilakukan bertahap sehingga men- gantarkan seorang anak sampai pada usia di mana ia bisa memikul amanah sebagai khalifah . 2. “proses pemberian pengeta- huan, pemahaman. pengertian, tanggung jawab, dan penana- man amanah”, Penanaman karakter islami bukan hanya teori tapi juga ap- likasi Catatan : Pendidikan tidak ber- henti pada pentransferan ilmu pengetahuan, tapi bagaimana agar pengetahuan tersebut menjadi pemahaman kemudian menjadi karakter sehingga setiap individu menjadi manusia yang bertang- gung jawab. Penanaman amanah mengindikasikan bahwa ada Tu- han di setiap gerak-geriknya. 79 3. “membimbing ke arah penge- nalan dan pengakuan kekua- saan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan ke- beradaannya”. Pelajaran tauhid, rukun iman dan rukun islam diajarkan sejak kecil dan terus berkem- bang. Catatan : Ada kekuatan besar yang menjadi poros dan tujuan hidup. Kemampuan nalar manusia terba- tas, ada hal-hal yang tidak dapat diketahui seperti masa lalu dan masa depan. Setelah kehidupan dunia ada kehidupan yang kekal, maka pendidikan bukan hanya bertujuan untuk kebahagiaan di dunia, tapi melampaui jauh ke de- pan, kebahagiaan di akhirat. 4. “penyucian tazkiyah atau pembersihan diri manusia yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah”. Niat dan adab dalam sebuah pendidikan merupakan point penting Catatan : segala model, metode dan strategi pembelajaran bo- leh digunakan selama ada etika dalam menuntut ilmu. Ilmu pen- getahuan bersumber dari Allah, untuk mendapatkan ilmu penge- tahuan harus dengan keridhoan Allah. Menurut Barat Manusia: Human being Homo sapiens, a culture-bearing primate that is anatomically similar and related to the other great apes but is distinguished by a more highly developed brain and a resultant capacity for articulate speech and abstract reasoning. Pendididkan : Education in its general sense is a form of learning in which the knowledge, skills, and habits of a group of people are transferred from one generation to the next through teaching, training, or research. Education frequently takes place under the guidance of others, but may also be autodidactic. Any experience that has a formative effect on the way one thinks, feels, or acts may be considered educational. Education is commonly divided into stages such as preschool, primary school, secondary school and then college, university or apprenticeship. 80 Menurut Islam Manusia: Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit. Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata nasiya lupa atau nasa yanusu berguncang. Kata insan digunakan Al-qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Pendidikan :Tarbiyah ; Term tarbiyah berasal dari kata rabb yang menurut Anis bermakna tumbuh dan berkembang. Pengertian seperti ini juga diberikan oleh al-Qurthuby yang menyatakan bahwa pengertian dasar kata rabb menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Sementara itu, menurut al-Afsahany, kata al-Rabb bisa berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaan secara bertahap. Ta’lim ; Abdul Fatah Jalal mengemukakan bahwa Ta’lim adalah proses pemberian pengetahuan, pemahaman. pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian tazkiyah atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Ta‘dib ; adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur- angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya. Perbedaannya Fungsi utama manusia menurut Barat adalah otak dan jaringanya, stimulus dan motivasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fungsi neuron otak. Fungsi utama manusia adalah ruh dan hidayah Allah adalah sesuatu yang sangat penting dalam rangka mengantarkan manusia kembali pada penciptanya. Pendidikan menurut Barat adalah proses belajar yang menghasilkan perubahan yang dapat membawa seseorang pada ketercapaian tujuan-tujuan hidup di dunia. Pendidikan menurut Islam adalah proses merawat, memelihara, menanamkan tanggung jawab manusia, hingga ia dapat mencapai tujuan hidupnya, yakni kembali pada Tuhannya. 81 Daftar Pustaka Endang Saifuddin Anshari Wawasan Islam : pokok-pokok pikiran tentang paradigma dan sistem Islam, ___________ al-rasyidin Falsafah pendidikan Islam,_________ http:www.britannica.comEBcheckedtopic275376human- being Charles darwin ; the origin of species-asal-usul spesies, jakarta, yayasan obor indonesia, 2003 Leakey Richard,Asal-usul manusia, KPG Kepustakaan Gramedia Populer, jakarta, 2003 Martini jamaris, orientasi baru dalam psikologi pendidikan, yayasan penamas murni, jakarta, 2010 M.Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur`an: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka JamarisMartini, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Yayaan Penamas Murni, Jakarta, 2010 Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi Buku 1, 2007, Jakarta: Salemba Empat Pavlov, I. P. InggrisThe Work of the Digestive Glands, London: Charles Grifin, 1902 Skinner, B. F. Contingencies of Reinforcement, East Norwalk, CT: Appleton, 1971, Bandura, A. InggrisSocial Learning Theory, Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1977 Ibrahim Anis, al-Mu`jam al-wasith Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972 Ibn ‘Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Kairo: dar al-Sya’bi, tt Al-Raghib al-Asfahany, Mu`jam Mufradat Alfadz al-Qur`an Bairut : Dar al-Fikr t.t Abd al-Fatah Jalal, Min al-Ushul al-Tarbawiyyah i al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub al-Mushriyyah, 1977 Al-Attas, Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1992 82 HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN ADVERSITY DAN SUPPORT SYSTEM DUKUNGAN DOSEN DAN TEMAN SEBAYA DENGAN TINGKAT KECEMASAN CALON GURU DALAM MENGHADAPI PRAKTEK PROFESI KEGURUAN TERPADU Sujiyo Miranto Universitas Islam Negeri UIN Jakarta Email : sujiyoubjmirantorocketmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kecerdasan adversity dan support system dosen dan teman sebaya dengan tingkat kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan Praktek Profesi Keguruan Terpadu PPKT pada tahun akademik 2014-2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik studi korelasional dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 60 mahasiswa peserta mata kuliah Pengajaran Mikro pada Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik simple random sampling. Kesimpulan penelitian Pertama Terdapat hubungan negatif yang signiikan antara kecerdasan adversity dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan PPKT dengan nilai r = -0,86; Kedua Terdapat hubungan negatif yang signiikan antara support system dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan PPKT dengan nilai r = -0,605 dan Ketiga Terdapat hubungan negatif yang signiikan antara kecerdasan adversity dan support system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan PPKT dengan niali R = -0,867. Kata Kunci: kecemasan, kecerdasan adversity dan support system 83 Pendahuluan Sudah sejak tahun 2005 14 tahun FITK sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mencetak calon guru menerapkan mata kuliah PPKT. Kegiatan yang dilakukan adalah menempatkan mahasiswa semester 7 atau 8 di sekolah-sekolah sekitar wilayah Jakarta dan Tangerang. Dengan program ini mahasiswa diharapkan dapat mengetahui permasalahan-permasalahan yang nantinya dijumpai pada saat menjadi guru yang sesungguhnya sekaligus dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah. Kondisi lingkungan sekolah yang baru dan memilki banyak perbedaan dengan kondisi lingkungan kampus dapat menganggu kestabilan emosi mahasiswa. Hal ini karena kondisi lingkungan sekolah tersebut belum tentu menyenangkan, tetapi ada kalanya muncul situasi yang membawa kecemasan. Sulitnya untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan baru dan kemungkinan adanya ketidaksukaan dengan kehadiran mahasiswa praktikan ini dapat menyebabkan kecemasan bagi mahasiswa. Jika dirinci permasalahan yang umum dijumpai oleh mahasiswa peserta PPKT adalah: 1 kekhawatiran mendapatkan nilai kurang maksimal; 2 keluhan mahasiswa pada dosen pamong terutama kesulitan dalam beradaptasi, 3 jumlah kunjungan dosen yang kurang ke sekolah tempat PPKT dilaksanakan, sehingga menyebabkan mahasiswa merasa berjuang sendiri, 4 waktu kegiatan PPKT selama 4 bulan yang dirasakan cukup lama, 5 waktu keberadaan di sekolah yang cukup lama dari mulai jam 6.30 WIB sampai dengan 15.00 WIB yang sesuai dengan kehadiran guru-guru lainya yang sudah tetap, 6 dibutuhkannya biaya yang cukup banyak diantaranya untuk acara pembukaan, membeli pakaian yang harus sesuai dengan tuntutan sekolah, membeli peralatan dan bahan-bahan lainnya untuk persiapan pembelajaran dan membuat media, serta pengeluaran untuk biaya penutupan PPKT, 7 kewajiban datang pagi hari 6.30 WIB yang berbeda dengan waktu kuliah 7.30 WIB membuat mahasiswa peserta PPKT harus ekstra keras bangun pagi hari dan memilih jalan yang tidak macet agar dapat hadir tepat waktu, 8 adanya perasaan tidak nyaman selama disekolah akibat lingkungan sekolah yang baru. Crow dan Crow dalam Hartanti, 1997 mengemukakan bahwa kecemasan adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan yang di alami oleh individu yang dapat mempengaruhi keadaan isiknya. Sedangkan Nawangsari 2000 menyatakan kecemasan adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan meliputi rasa takut, rasa tegang, khawatir, bingung, tidak suka yang sifatnya subjektif dan timbul karena adanya perasaan tidak aman terhadap bahaya yang diduga akan terjadi. 84 Respon kecemasan menurut Stuart Sundeen 1998 dapat terjadi berbagai perubahan yang meliputi: 1 respon isiologis yang meliputi: Sistem kardiovaskuler, sistem respiratori, sistem neuromuskuler, sistem gastrointestinal, sistem urinaria, sistem integumen. 2 respon perilaku kelelahan, ketegangan isik, tremor, reaksi tibatiba, bicara cepat, koordinasi kurang, sering terjadi kecelakaan; 3 respon kognitif: gangguan perhatian, konsentrasi berkurang, pelupa, selalu salah dalam mengambil keputusan, blocking, penurunan lapang pandang, penurunan produktiitas, penurunan kreatiitas, menarik diri, kebingungan, objektiitas kurang, takut mati; 4 respon afektif: gelisah, tidak sabar, tegang, mudah terganggu, ketakutan, mudah tersinggung. Tingkat kecemasan yang dikemukakan oleh Townsend 2005 ada empat tingkat yaitu; 1 Kecemasan Ringan: yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatiitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, kesadaran meningkat, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai dengan situasi; 2 Kecemasan Sedang yang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, mampu untuk belajar namun tidak terfokus pada rangsang yang tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis. 3 Kecemasan Berat Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan perhatian pada sesuatu yang terinci dan spesiik serta tidak dapat berikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur insomnia, sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya, bingung dan disorientasi; 4 Panik, yang berhubungan dengan terperangah, ketakutan, teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak-teriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Panik 85 dapat mengakibatkan peningkatan motorik, penurunan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan tidak mampu berikir rasional. tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan perubahan berat badan. Surekha 2001 menyatakan bahwa Adversity adalah kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan. Menurut Stoltz 2000, kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu memiliki empat dimensi, yaitu CO2RE Control, Origin Ownership, Reach, Endurance. a. Control C Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya. b. Origin dan Ownership O2 Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya. c. Reach R Dimensi ini merupakan bagian dari kecerdasan adversity yang mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya. d. Endurance E Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan indivuduterhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya. Pengertian teman sebaya menurut St.Vembriarto 1993: 55 adalah: 1 kelompok sebaya adalah kelompok primer yang hubungan diantara 86 anggota intim. 2 anggota kelompok teman sebaya terdiri atas sejumlah individu-individu yang mempunyai persamaan usia dan status atau posisi sosial. 3 istilah kelompok dapat menunjuk kelompok anak-anak, kelompok remaja. Perkembangan teman sebaya dengan pengaruh yang cukup kuat merupakan hal penting dalam masa-masa remaja. Fungsi kelompok teman sebaya peer group tersebut dapat dijelaskan sebagai berkut: 1 memberi perhatian yang positif dan saran dengan cara mengunjungi, memberikan kejutanhadiah, saran, menawarkan bantuan, tersenyum, membentuk seseorang dari anak lain yang membutuhkan, percakapan umum; 2 memberikan sikap dan penerimaan pribadi: secara isik dan lisan; 3 sikap tunduk: penerimaan pasif, meniru, sharing, menerima ide orang lain, mengikuti anak lain yang bermain, berkompromi, mengikuti teman yang lain meminta dengan keenagan dan kerjasama kooperatif. Peranan kelompok teman sebaya peer group merupakan hubungan sosial antara individu satu dengan individu lain dalam kelompok yang memiliki persamaan usia dan status sosial yang memberikan pengaruh dalam pergaulan. Kebutuhan akan adanya penyesuaian diri remaja dalam kelompok teman sebaya muncul akibat adanya keinginan bergaul remaja dengan teman sebaya mereka. Remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan kehadiran teman sebaya. Kelompok teman sebaya peer group akan mempengaruhi kedisiplinan belajar. Remaja dalam kelompok sebaya merasa mendapatkan dukungan dari teman-temannya. Kelompok yang memberikan pengaruh baik akan memberikan motivasi pada siswa untuk disiplin dalam belajar, sedangkan kelompok yang memberikan pengaruh yang negatif adalah kelompok yang memberikan contoh yang tidak baik bahkan sering melakukan tindakan yang menyimpang. Interaksi mahasiswa dalam kelompoknya merupakan hubungan timbal balik antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya, dimana diantara individu saling mempengaruhi, mengubah untuk memenuhi kebutuhan. Interaksi ini merupakan interaksi yang intensif baik secara kualitas maupun kuantitas. Interaksi antara teman sebaya sangat diperlukan dalam kehidupan, karena interaksi yang baik dapat membentuk kerjasama antar teman sebaya tersebut. Mahasiswa yang memiliki kelompok teman sebaya peer group yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula bagi mahasiswa tersebut dalam penanaman kedisiplinan, bertindak dan beretika, sebaliknya mahasiswa yang mempunyai kelompok teman sebaya yang tidak baik akan memberikan dampak yang negatif bagi diri mahasiswa tersebut bahkan sering melakukan tindakan yang menyimpang. Interaksi yang baik antara sesama mahasiswa sangat 87 diperlukan dalam mencegah tingkat stress anggota kelompok tersebut karena dapat membentuk kerjasama antara sesama mahasiswa anggota kelompok, sehingga tujuan yang ingin dicapai akan terwujud. Oleh karena itu, dimungkinkan peranan kelompok teman sebaya dan interaksi sesama mahasiswa secara bersama-sama terjadi hubungan dengan stress mahasiswa tersebut dalam menghadapi sesuatu yang baru misalnya menghadapi kegiatan PPKT. Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Setiap Variabel Pembahasan Jika dilihat dari komposisi jenis kelamin, dapat diketahui bahwa sebagaian besar responden atau 82.5 responden memiliki jenis wanita. Sedangkan sisanya 17.65 berjenis kelamin pria. Hal ini menunjukkan responden wanita lebih banyak dibanding responden pria. Kondisi ini hampir sama dengan kondisi prodi-prodi Pendidikan lainnya dimana jurusan pendidikan lebih banyak diminati oleh wanita. Alasan mengapa prodi pendidikan banyak diminati oleh wanita, karena dalam pelaksanaanya dalam pembelajaran, yaitu saat mengajar tidak diperlukan kegiatan isik yang banyak dan lebih mementingkan aspek psikis dan manajemen. Untuk pekerjaan seperti itu wanita dirasa paling sesuai. Tabel 2. Deskripsi Data Kecerdasan Adversity Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian 88 Dari data tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata kecerdasan adversity sebesar 25.97. Nilai ini lebih rendah dari nilai median 27. Bila dibuat kurva normal data ini lebih cenderung condong ke arah kiri atau lebih kecil dari nilai mediannya. Jika nilai median dibandingkan dengan nilai rata-ratanya memliki selisih sebesar 1.03. Selisih antara median dengan rata-rata yang tidak terlalu besar tersebut dapat dikatakan bahwa data tersebut memiliki sebaran normal. Tabel 3. Deskripsi Data Support Sistem Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Dari data yang tersaji pada tabel 3 tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata data support sistem sebesar 25. 92. Nilai rata-rata ini jika dibandingkan dengan nilai modus memiliki selisih yang sebesar 4, 08. Selisih median dengan rata rata sebesar 0.02. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa data tersebut jika disusun dalam kurva normal lebih cenderung melenceng ke arah sebelah kiri. Data yang melenceng kekiri jika tidak terlalu jauh dari nilai mediannya dapat dikatakan bahwa data tersebut masih termasuk katagori data yang berdistribusi normal. 89 Tabel 4. Deskripsi Data Kecemasan Mahasiswa Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Dari hasil penelitian tentang kecemasan mahasiswa diperoleh nilai rata-rata sebesar 24.25. Jika dibandingkan dengan data kecerdasan adversity 25.97 dan data support sistem 25.92 maka nilai rata-rata kecemasan mahasiswa adalah yang paling rendah. Tabel 5. Hubungan Natara Variabel Penelitian Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Dari hasil perhitungan menggunakan SPSS versi 17 seperti tersaji pada tabel 5 di atas, diperoleh nilai korelasi parsial r antara variabel kecerdasan adversity dengan kecemasan mahasiswa sebesar -0.866 dan signiikansi. Sedangkan hasil perhitungan korelasi parsial r antara variabel suport system dengan kecemasan mahasiswa adalah sebesar -0. 605. dan signiikansi Sementara itu perhitungan korelasi ganda antara variabel kecerdasan adversity dan support system secara 90 simultan dengan kecemasan mahasiswa diperoleh nilai R= -0.867. Nilai korelasi ganda R antara antara variabel kecerdasan adversity dan support system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa ini menunjukkan hubungan yang sangat signiikan. Hasil uji signiikansi hubungan antara masing-masing variabel penelitian tersaji dalam tabel di bawah ini. Tabel 6. Hasil Uji Signiikansi Hubungan Antara Variabel Penelitian Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan mahasiswa dalam kegiatan PPKT selain faktor isik juga faktor kesiapan psikologis mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu persiapan kegiatan PPKT perlu penanganan secara baik dan komprehensip. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola– pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa–peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan. Oleh sebab itu dengan memiliki kecerdasan adversity yang baik seorang mahasiswa mampu mengatasi bahkah mengelola hambatan yang dialami selama PPKT tersebut menjadi sebuah peluang. Dengan demikian mahasiswa yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi akan berhasil mengatasi tingkat kecemasannya sehingga akan berhasil 91 dalam mengikuti kegiatan PPKT. Dosen pembimbing termasuk ketua program ptudi, penasehat akademik maupun dosen pembimbing PPKT mempunyai fungsi yang sangat kuat pengaruhnya terhadap pendewasaan mahasiswa. Mereka tersebut mempunyai peran yang besar dalam pembentukan pola kepribadian mahasiswa. Adanya ikatan emosional yang kuat antara mahasiswa dengan dosen akan lebih mudah dalam memberikan pengaruh tentang berbagai hal kepada mahasiswa termasuk dalam pelaksanaan kegiatan PPKT. Pengaruh dosen baik yang bersifat langsung ataupun tidak langsung sangat diperlukan mahasiswa selama menjalankan kegiatan ini. Kelompok teman sebaya merupakan tempat untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan dan pengetahuan seseorang. Rasa solidaritas dan kebersamaan akan tumbuh apabila mahasiswa mempunyai teman bergaul yang baik. Lingkungan pergaulan remaja tidak lepas dari kelompok, karena selalu memberikan motivasi dan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pribadinya, sehingga mahasiswa bisa bersikap positif atau negatif. Dengan teman bergaul yang baik maka akan dapat memberikan pengaruh yang positif pada mahasiswa, sehingga jika mahasiswa tersebut menghdapi kendala dia dapat meminta saran kepada teman sebaya tersebut. Penutup Pertama, Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan adversity dengan kecemasan mahasiswa dalam mengijuti kegiatan PPKT; Kedua Terdapat hubungan negatif antara support system dengan kecemasan mahasiswa dalam mengijuti kegiatan PPKT; Ketiga, Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan adversity dan support system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa dalam mengikuti kegiatan PPKT. Daftar Pustaka Buku Pedoman Praktek Profesi Keguruan Terpadu PPKT. 2013. Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. LeDoux Joseph. 1996. The Emotional Brain. New York: Simon and Schuster. Bimo Walgito. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. 92 Burns, B. Robert. 2000. Introduction to Research Methods. London: Sage Publication, Ltd. Crow and Crow. 1990. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin Goleman, Daniel. 2000. Emitional Intelligence terjemahan. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama. Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence terjemahan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Gottman, John. 2001. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional terjemahan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Horton, B. Paul and Hunt, L. Chester. 1996. Sosiologi. Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: PT. Erlangga Hurlock, B. Elizabet. 1999. Psikologi Perkembangan. Terjemahan Isti Widayanti dan Soejarwo Jakarta: PT. Erlangga Salovey, Peter and D.J. Sulyster, 1997. Emotional Development and Emotional Intelegence. New York: Basic Books. Sevilla, Consuelo G, et all. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan Alimuddin Tuwu . Jakarta: UI-Press Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta. Slamet Santoso. 1999. Dinamika Kelompok Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.. Vembriarto. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia. Zaviera, F., 2007, Teori Kepribadian Sigmund Freud, Prismasophie : Yogyakarta. 93 MENGATASI KESULITAN MEMBACA PADA ANAK SEKOLAH DASAR KELAS RENDAH Ryan Dwi Puspita STKIP Sebelas April Sumedang Abstract: Parents and teachers can assist children by spending a lot of time to help them learn to read, by mean to build the concept or to create speciic mental schemes. This opinion the same as Bachrudin 2014 thought who said about the emergence of literacy sphere for children literacy development. The surroundings give the facts for the writer, especially after having an observation in rural area and town elementary schools, many students in the irst and the second grade had reading dificulty. According to the problem above, the writer would like to focus on overcoming early elementary students reading dificulty. One of the efforts to overcome students’ reading dificulty is a speciic intervention on reading, targeting on phonemic awareness training, guiding literacy awareness by parents and teachers, traditional lashcard drill, and practice method. Keywords : reading dificulty, low grade primary school children Pendahuluan Membaca merupakan hal penting untuk keberhasilan dalam masyarakat kita. Kemampuan membaca sangat dihargai dan penting bagi kemajuan sosial dan ekonomi. Tentu saja, sebagian besar anak-anak belajar membaca dengan cukup baik. Catherin 1998 menggambarkan “keprihatinan dengan sejumlah besar anak-anak di Amerika yang karier pendidikannya terancam karena mereka tidak memiliki keterampilan membaca yang cukup baik untuk memastikan pemahaman dan untuk memenuhi tuntutan dari perekonomian yang semakin kompetitif”. Belajar membaca merupakan tujuan pendidikan yang sangat penting. Untuk anak-anak dan orang dewasa, kemampuan untuk membaca membuka dunia baru dan peluang. Hal ini memungkinkan anak untuk mendapatkan pengetahuan baru, menikmati sastra, dan melakukan hal sehari-hari 94 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dalam konteks pemahaman kita banyak alasan yang menyebabkan anak-anak merasa sulit untuk belajar membaca. Penundaan pengembangan keterampilan membaca mempengaruhi pertumbuhan kosakata Cunningham Stanovich dalam Joseph K. Togersen,2012,hlm.8, mengubah sikap dan motivasi anak- anak untuk membaca Oka Paris, 1986, dan mengarah ke kehilangan kesempatan untuk mengembangkan strategi pemahaman Brown, Palincsar, Purcell, 1986. Jika anak-anak berada dalam situasi seperti ini maka akan terhambat perkembangan keterampilan membaca awal, dan mereka hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berlatih membaca. Lebih dari 40 negara telah melakukan penelitian untuk mendeteksi kemampuan membaca permulaan pada anak usia Taman Kanak- kanak sampai anak SD kelas 1 dan 2, melalui keterampilan literasi yaitu Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills DIBELS, dan kesulitan membaca potensial pada anak kelas 3 SD. Beberapa negara juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening Tests PALS sebagai alternatif. Mengingat kurangnya konsensus mengenai langkah-langkah yang paling tepat untuk mengidentiikasi kemajuan membaca permulaan pada anak Taman Kanak-kanak sampai SD kelas 3. Dan hasilnya menunjukkan bahwa anak dengan kesulitan membaca mungkin sebenarnya terdiri dari berbagai sub-kelompok atau subtipe, masing-masing dengan proil perkembangan yang berbeda mewujudkan dari perbedaan tidak hanya dalam hasil, tetapi juga mungkin dalam etiologi. Perkembangan anak itu bervariasi, hal ini senada dengan penjelasan dalam basic principles of development, yaitu : “Domains of childern’s development-psysical,social,emotional and cognitive-are closely related. Development in one domain inluences and is inluenced by development in other domains.Development advances when children have opportunities to practice newly acquired skills, as well as when they experience a challenge just beyond the level of their present mastery” Gestwicki, 2006, hlm.12. Jika dikaitkan dengan kesulitan membaca pada anak, maka dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan membaca pada anak sangat dipengaruhi oleh aspek perkembangan yang lain dan anak harus diberi kesempatan mengembangkannya. Orang tua dan guru dapat membantu anak dengan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membantu anak belajar membaca, baik dalam arti umum 95 bangunan konsep dan arti spesiik untuk menciptakan skema mental. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bachrudin 2014 menyatakan bahwa tentang pentingnya lingkungan yang literat bagi perkembangan literasi anak. Sebagian dari orang tua dan guru ada yang berusaha untuk menciptakan kebiasaan praktek literasi bagi anak-anak mereka. Dari berbagai rujukan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengupas masalah kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah dan bagaimana cara mengatasinya. Analisis dan Pembahasan Dalam masyarakat teknologi, tuntutan untuk melek huruf yang lebih tinggi semakin meningkat, menciptakan konsekuensi yang lebih pedih bagi mereka yang gagal. Membaca yang efektif dibangun di atas fondasi yang mengakui bahwa kemampuan membaca ditentukan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan membaca, untuk menjelaskan hal itu banyak pengalaman yang berkontribusi untuk perkembangan membaca Snow,1998:3. Kemampuan untuk membaca sangat penting dalam kehidupan seorang anak sekolah karena bentuk fondasi yang kuat untuk prestasi akademik di masa depan. Sebagai tahun awal di sekolah dasar, anak menghabiskan banyak waktu untuk membaca agar mendapatkan informasi Ogmebudia,2014. Untuk lebih memahami pembahasan ini maka penulis akan mulai mengupas permasalahan ini sebagai berikut : Deinisi Kesulitan Membaca Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa “Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis”. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik. Membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk memahami yang tersirat dalam yang tersurat, yakni memahami makna yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis. Makna bacaan tidak terletak pada halaman tertulis tetapi berada pada pikiran pembaca. Demikianlah makna itu akan berubah, karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang dipergunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut. Deinisi operasional kesulitan membaca dalam tulisan ini 96 adalah anak tidak mampu memenuhi instruksi prasyarat membaca permulaan yang mengharuskan anak mampu membaca untuk memperoleh makna dari buku teks, memahami hubungan antara ejaan dengan suara, belajar tentang sifat dari sistem penulisan abjad, dan memahami struktur kata-kata yang diucapkan. Ciri-Ciri Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah Snow, dkk. 2014 menjelaskan bahwa ada tiga ciri-ciri yang diketahui anak-anak tidak terampil membaca yaitu ciri pertama kesulitan muncul pada awal akuisisi membaca, kesulitan memahami dan menggunakan prinsip-ide abjad bahwa ejaan yang ditulis secara sistematis merupakan kata yang diucapkan sekarang, sulit untuk memahami teks terhubung jika pengenalan kata tidak akurat atau melelahkan. Ciri kedua adalah kegagalan untuk mentransfer pemahaman tersebut, keterampilan bahasa lisan untuk membaca dan untuk memperoleh strategi baru yang mungkin secara khusus dibutuhkan untuk membaca. Ciri yang ketiga adalah kesulitan membaca akan memperbesar ciri pertama dan kedua yaitu tidak adanya atau hilangnya motivasi awal untuk membaca atau kegagalan untuk mengembangkan apresiasi dari manfaat membaca. Dalam setiap domain pembelajaran, motivasi sangat penting. meskipun kebanyakan anak-anak mulai sekolah dengan sikap dan harapan positif untuk sukses, pada akhir tingkat dasar dan sesudahnya, beberapa anak menjadi puas. Mayoritas masalah membaca yang dihadapi oleh anak SD kelas rendah saat ini adalah hasil dari masalah yang mungkin telah dihindari atau diselesaikan pada awal tahun masa kanak-kanak mereka. Sangat penting bahwa langkah-langkah harus diambil untuk memastikan bahwa anak-anak mengatasi hambatan tersebut. Identiikasi Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah Identiikasi awal kesulitan membaca menggunakan Heterogeneous Developmental Trajectories Boscardin,dkk.2001:1. Masalah konseptual dan prosedural serius yang berhubungan dengan metode diagnostik saat ini merupakan pendekatan alternatif untuk menilai dan mendiagnosa anak dengan masalah membaca. Dalam penelitian Boscardin, dkk. menyajikan model analitik baru untuk meningkatkan klasiikasi dan prediksi membaca anak-anak pada kelas awal. 411 anak- anak di TK sampai kelas 2 Sekolah Dasar diberikan ukuran kesadaran fonologi, pengenalan kata, dan keterampilan penamaan yang cepat. 97 Kehadiran pola perkembangan yang heterogen dan bertugas untuk mengetahui satu kelompok anak dengan pola perkembangan yang berbeda yang paling berisiko untuk kesulitan membaca. Hasil menunjukkan bahwa keterampilan membaca prekursor seperti kesadaran fonologi dan penamaan yang cepat adalah sangat prediktif untuk membangun keterampilan membaca pada anak dan proil perkembangan yang dibentuk pada pembelajaran di TK secara langsung berhubungan dengan perkembangan anak di kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar. Anak yang diidentiikasi memiliki kesulitan memperoleh kesadaran fonologi dalam usia dini diprediksi memiliki pola lambat dalam perkembangan dalam keterampilan pengenalan kata untuk pembelajaran berikutnya. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan Francis et al., 1994; Boscardin, dkk, 2002, hasil dari studi ini mendukung gagasan bahwa kesulitan membaca dicirikan oleh deisit dalam keterampilan prasyarat yang menyebabkan deisit dalam perkembangan membaca. Identiikasi sekelompok anak dengan deisit terus-menerus selama periode tiga tahun atau kelas awal menunjukkan bahwa mereka akan terus tertinggal di belakang. Temuan ini menggaris bawahi perlunya untuk identiikasi awal dan intervensi khusus menargetkan deisit keterampilan. Re-konseptualisasi identiikasi kesulitan membaca menggunakan langkah-langkah yang merangsang pertanyaan lebih lanjut mengenai implikasi dari praktek penilaian awal. Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills DIBELS digunakan untuk memantau kemajuan membaca, lebih dari 40 negara, pada pelajaran membaca permulaan, banyak Sekolah Dasar sekarang sedang menggunakan DIBELS untuk anak kelas 3 yang mengalami kesulitan membaca potensial. Beberapa negara juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening Tests PALS sebagai alat alternatif Boscardin,dkk.2002:24. Faktor-Faktor Penyebab Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah Mengalami Kesulitan dalam Membaca Sejumlah besar anak-anak usia Sekolah Dasar, termasuk anak-anak dari semua kelas sosial, mengalami kesulitan yang signiikan dalam belajar membaca. Faktor yang paling utama penyebab anak Sekolah Dasar kelas rendah mengalami kesulitan membaca adalah faktor literasi atau pemerolehan bahasa dari rumah. Selaras dengan pendapat Musthafa 2014 menyatakan tentang pentingnya lingkungan yang literat bagi perkembangan literasi anak. Sebagian dari orang tua ada yang berusaha untuk menciptakan kebiasaan praktek literasi bagi anak-anak mereka. Namun ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil dalam memberikan dukungan literasi bagi anak-anak mereka. Baik dalam bentuk praktek 98 literasi kongkret atau penyediaan artefak dan suasana yang mendukung. Kesenjangan literasi diantara anak-anak dikarenakan keragaman latar belakang literasi dari rumah, yaitu ada anak yang datang dari lingkungan rumah yang kaya literasi dan mereka yang datang dari keluarga yang tidak beruntung. Dalam hal ini dijelaskan bahwa perkembangan literasi dini merupakan proses belajar membaca dan menulis secara informal dalam keluarga yang umumnya bercirikan seperti demonstrasi baca- tulis, kerjasama interaktif antara orang tua dan anak, berbasis pada kebutuhan sehari-hari, dan dengan cara pengajaran yang minimal tetapi langsung. Brashear dalam Musthafa, 2014:2 menyatakan bahwa lingkungan literat sangat mempengaruhi proses belajar anak karena dalam lingkungan literat anak dilibatkan secara langsung dalam literasi. Pada lingkungan ini, anak didorong menjelajah dunia mereka dan mengungkapkan perasaannya menggunakan semua cara yang tersedia bagi mereka. Fitgerald dkk dalam Musthafa, 2014: 5 menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kemampuan dan pendidikan literasi orang tua dan tingkat apresiasi mereka terhadap lingkungan literasi. Anak-anak yang sangat mungkin mengalami kesulitan membaca di kelas- kelas dasar adalah mereka yang mulai sekolah dengan kurang pengetahuan sebelumnya dan keterampilan yang relevan, terutama kemampuan verbal, kemampuan untuk memahami suara bahasa yang berbeda dengan maknanya. Anak-anak dari lingkungan miskin, anak-anak dengan keterbatasan kemahiran dalam bahasa, anak-anak dengan gangguan pendengaran, anak-anak dengan gangguan bahasa prasekolah, dan anak-anak yang orang tuanya mengalami kesulitan belajar membaca sangat beresiko dengan kelemahan di daerah ini. Dalam sebuah studi pada pencegahan kesulitan membaca, tidak cukup bukti untuk menilai kesulitan membaca yang sebenarnya. Idealnya, kita ingin tahu mana anak-anak atau kelompok anak-anak akan memiliki masalah belajar untuk membaca ketika mereka berada di sekolah dan instruksi membaca yang diberikan. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar membaca, yaitu : 1 Faktor intrinsik individu, 2 Lingkungan keluarga, 3 Lingkungan sekolah dan komunitas dimana anak tinggal Snow,dkk. 1998. 99 Upaya untuk Mengatasi Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah Banyak anak-anak belajar membaca dengan instruksi yang baik, tapi beberapa tidak. Dan banyak anak memiliki masalah belajar membaca karena instruksi yang buruk. Dalam semua kasus, pertanyaannya adalah apa jenis instruksi tambahan biasanya disebut “Intervensi” karena ini bukan bagian dari instruksi bacaan sekolah. reguler untuk membantu. Tujuan memberikan waktu pembelajaran tambahan untuk membantu anak-anak mencapai tingkat keaksaraan yang akan memungkinkan mereka untuk menjadi sukses melalui karir sekolah mereka dan seterusnya. Hal ini tidak hanya untuk meningkatkan prestasi literasi awal. Ada kemungkinan bahwa anak-anak yang telah memiliki intervensi di tingkat dasar perlu pengalaman pelengkap tambahan di kelas-kelas atas juga. Kita tahu bahwa tuntutan keaksaraan bersifat berbeda untuk anak-anak, mereka diharapkan untuk belajar mengetahui informasi dari teks yang mungkin mereka miliki dari beberapa pengalaman di kelas-kelas utama Fisher dan Hiebert, 1990; Snow, 1998 mereka diharapkan untuk menggunakan teks secara mandiri; dan mereka diharapkan untuk menggunakan teks untuk tujuan pemikiran dan penalaran. Upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah intervensi yang spesiik untuk membaca, menargetkan pelatihan kesadaran fonologis phonemic awareness , bimbingan literasi oleh guru di sekolah dan orang tua, dan metode traditional lashcard drill and practice. Adapun pembahasannya sebagai berikut : 1 Pelatihan pada kesadaran fonologi. Kesadaran fonologi, apresiasi suara tanpa memperhatikan maknanya, sangat penting untuk menemukan abjad tersebut. Prinsip gagasan bahwa huruf biasanya mewakili suara dalam segmen kecil yang disebut fonem. Manfaat dari pelatihan kesadaran fonologi untuk anak-anak yang belum belajar dengan instruksi membaca secara formal. Di sini kita bisa memeriksa bukti efektivitas pelatihan untuk dua kelompok anak-anak: yang pertama anak yang beresiko untuk kesulitan membaca dan yang kedua anak-anak sekolah dengan kesulitan membaca yaitu memiliki prestasi yang sangat rendah. Kegiatan ini melibatkan identiikasi awal, tengah, dan berakhir dengan suara membaca serta blending, segmentasi, dan mengkategorikan suara. Penguasaan keterampilan ini adalah prediktor kuat untuk 100 membaca dasar Ball Blachman, 1991; Bentin Leshem, 1993; Bryne Fielding-Barnsley, 1991;Joseph,Laurice, M.,2005. Pelatihan kesadaran fonologi ini dapat menggunakan teknik- teknik sebagai berikut : a Sound manipulation activities yaitu sejumlah kegiatan manipulasi suara yang mendorong anak-anak untuk beroperasi pada elemen suara yang diucapkan. Anak-anak dapat diajarkan untuk beroperasi pada suara dan struktur bahasa lisan dalam berbagai cara. Mereka dapat segmen suara dari kata yang diucapkan oleh bertepuk tangan karena mereka mengartikulasikan setiap suara dalam kata atau sesuai setiap suku kata dalam kata. Guru dapat mengajarkan blending suara dengan mengatakan kata dimulai dengan f dan diakhiri dengan an , dan ketika mereka disatukan, itu membuat fan. Berbagai kegiatan manipulasi suara atau permainan membantu anak-anak mengembangkan keterampilan kesadaran fonemik Wagner, Torgesen, Laughon, Simmons, Raschotte, 1993; Yopp Yopp, 2000;Joseph, Laurice M.,2005. b Kotak suara. Segmentasi keterampilan fonem dapat di scaffolding menggunakan kotak suara atau apa yang biasa disebut sebagai Kotak Elkonin kotak Elkonin, 1973; Laurice M.,2005. Sebuah persegi panjang digambar di papan, selembar kertas, atau kardus. Serangkaian kotak terhubung diciptakan oleh menggambar garis vertikal di dalam persegi panjang sehingga dibagi sesuai dengan jumlah kata dan suara yang terdengar. Token atau benda kecil lainnya yang dapat dengan mudah meluncur ke dalam kotak yang ditempatkan di bagian bawah dibagi dari persegi panjang atau kotak yang terhubung. Instruktur secara lisan menyajikan kata, dan anak-anak diperintahkan untuk menempatkan token di bagian masing-masing dari persegi panjang karena setiap suara dalam kata perlahan diartikulasikan. Misalnya, kata panci disajikan secara lisan kepada anak dan anak akan menempatkan token pertama kotak pertama saat ia sekaligus mengartikulasikan p , tempat tanda di kotak tengah karena ia mengartikulasikan a ,dan menempatkan tanda lain dalam kotak terakhir karena ia mengatakan n . Setelah token ditempatkan di kotak, siswa mungkin diminta untuk berulang-ulang menggerakkan jari hanya di bawah kotak terhubung dan suara berbaur bersama-sama dan anak mengartikulasikan setiap suara pada 101 kata dengan cepat dan mudah. Teknik ini telah terbukti efektif untuk membantu anak-anak mengembangkan keterampilan kesadaran fonemik Ball Blachman, 1991; Hohn Ehri, 1983; Maslanka Yusuf, 2002; Laurice M.,2005. 2 Bimbingan literasi oleh guru di sekolah Pada bagian ini, penulis menggambarkan intervensi tambahan yang mengambil bentuk les. Seperti studi pelatihan kesadaran fonologi, anak-anak diberikan waktu tambahan dalam belajar membaca dengan les anak-anak secara individual. Dan kegiatannya dilakukan dengan reading recovery pemulihan membaca. Reading recovery, dipilih karena banyak yang memberikan review dan menarik perhatian guru-guru di Amerika Serikat. Reading discovery ini membutuhkan pelatihan yang ekstensif dari guru, serta instruksi intensif satu-satu atau secara individu dengan anak-anak, rendering itu cukup mahal. Program ini dirancang oleh Marie untuk tujuan intervensi anak-anak di Selandia Baru yang diidentiikasi memiliki masalah membaca Clay,1985 dan Pinnell et al., 1988 ;Snow,dkk.1998. Program ini memiliki kerangka tertentu untuk memberikan instruksi ke anak. Untuk 10 hari pertama partisipasi anak dalam reading recovery ini, guru mengumpulkan informasi tentang keterampilan keaksaraan dan pengetahuan anak saat itu. Setelah periode ini, disebut sebagai “roaming known”, setiap pelajaran meliputi a anak terlibat dalam kegiatan pra membaca b membaca buku secara independen guru mengambil catatan berjalan untuk menilai kefasihan; c latihan identiikasi huruf, apabila diperlukan; d menulis dan membaca menggunakan kalimat sendiri; e pemasangan kembali kalimat anak yang tidak dipotong menjadi kata-kata individu; f buku pengantar baru ; dan g mendukung membaca buku baru. Kegiatan ini dilaksanakan selama 30 menit setiap hari. Dukungan guru diberikan selama kegiatan tersebut dan dirancang untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman anak yaitu, anak-anak didorong untuk menggunakan berbagai sumber informasi saat membaca dan untuk terlibat dalam kegiatan keaksaraan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah, pemantauan efektivitas melalui teks. Buku teks yang digunakan oleh anak-anak telah diurutkan berdasarkan tingkat kesulitan. Setelah anak telah mencapai tingkat yang sesuai dengan standar kompetensi yang diharapkan, kegiatan ini dilakukan 30 menit per sesi selama 12 periode atau 16 minggu DeFord et al. 1987; Pinnell et al. 1994; Pinnel et al. 1995;Snow,dkk. 1998. 102 3 Bimbingan literasi oleh orang tua di rumah Lingkungan literat sangat mempengaruhi proses belajar anak karena dalam lingkungan literat anak dilibatkan secara langsung dalam literasi. Pada lingkungan ini, anak didorong menjelajah dunia mereka dan mengungkapkan perasaannya menggunakan semua cara yang tersedia bagi mereka. Dalam poin literasi dini, Musthafa 2014 menjelaskan berbagai cara untuk melibatkan anak dalam literasi, yaitu : a menyediakan beragam artefak literasi untuk anak, b mendemonstrasikan beragam kegiatan literasi dan anak ikut dilibatkan, c mendemonstrasikan beragam peristiwa literasi dan melibatkan anak didalamnya, d mendemonstrasikan interaksi dan libatkan anak-anak didalamnya. 4Teknik traditional lashcard drill and practice. Teknik ini yang digunakan untuk mengajar anak-anak untuk membaca kata-kata secara akurat dan cepat. Model instruktur membaca kata dicetak pada lashcard dan meminta anak untuk membaca kata diikuti dengan umpan balik. Mungkin ada 10 atau lebih lashcards dengan kata-kata yang dicetak. Setelah setiap kata telah dimodelkan, guru dapat meminta anak untuk membacanya. Prosedur ini dapat terjadi sampai anak mencapai penguasaan dalam membaca. Prosedur ini telah dinyatakan efektif untuk membantu anak-anak mendapatkan pemahaman kata-kata Tan Nicholson, 1997. Temuan bahkan lebih menarik adalah bahwa prosedur lashcard tradisional lebih eisien untuk membantu anak-anak membaca dan mengeja kata-kata. Dari penjelasan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa banyak pihak yang harus ikut terlibat dalam mengaplikasikan upaya mengatasi kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah. Faktor utama dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan anak Sekolah Dasar kelas rendah dalam belajar membaca adalah pemerolehan bahasa literacy dari rumah, disini yang paling berperan adalah orang tua. Tetapi literasi di Taman Kanak-kanak pun menentukan keterampilan membaca anak ketika ia mulai memasuki kelas 1 Sekolah Dasar. Dan guru Sekolah Dasar kelas rendah berperan untuk mengintervensi pembelajaran membaca anak di sekolah dengan menggunakan berbagai metode dan media yang tepat. Kerjasama yang perlu yang perlu dibangun dalam menangani masalah ini terutama dari pihak guru dengan orang tua anak. Jadi harus ada kerjasama dalam membimbing anak belajar membaca misalnya setelah anak belajar membaca di sekolah, hal ini harus ditindak lanjuti oleh orang tua di rumah. Dan orang tua harus meluangkan waktunya untuk membimbing anak. 103 Penutup Deinisi operasional kesulitan membaca dalam tulisan ini adalah anak tidak mampu memenuhi instruksi prasyarat membaca permulaan yang mengharuskan anak mampu membaca untuk memperoleh makna dari buku teks, memahami hubungan antara ejaan dengan suara, belajar tentang sifat dari sistem penulisan abjad, dan memahami struktur kata-kata yang diucapkan. Ciri-ciri kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah ciri pertama kesulitan muncul pada awal akuisisi membaca, kesulitan memahami dan menggunakan prinsip-ide abjad bahwa ejaan yang ditulis secara sistematis merupakan kata yang diucapkan sekarang, sulit untuk memahami teks terhubung jika pengenalan kata tidak akurat atau melelahkan. Ciri kedua adalah kegagalan untuk mentransfer pemahaman tersebut, keterampilan bahasa lisan untuk membaca dan untuk memperoleh strategi baru yang mungkin secara khusus dibutuhkan untuk membaca. Ciri yang ketiga adalah kesulitan membaca akan memperbesar ciri pertama dan kedua yaitu tidak adanya atau hilangnya motivasi awal untuk membaca atau kegagalan untuk mengembangkan apresiasi dari manfaat membaca. Anak yang diidentiikasi memiliki kesulitan membaca dan kesulitan memperoleh kesadaran fonologi dalam usia dini diprediksi memiliki pola lambat dalam perkembangan dalam keterampilan pengenalan kata untuk pembelajaran berikutnya. Identiikasi awal kesulitan membaca bisa menggunakan Heterogeneous Developmental Trajectories , dan Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills DIBELS digunakan untuk memantau kemajuan membaca, lebih dari 40 negara pada pelajaran membaca permulaan, banyak Sekolah Dasar sekarang sedang menggunakan DIBELS untuk anak kelas 3 yang mengalami kesulitan membaca potensial. Beberapa negara juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening Tests PALS sebagai alat alternatif. Faktor yang paling utama penyebab anak Sekolah Dasar kelas rendah mengalami kesulitan membaca adalah faktor literasi atau pemerolehan bahasa dari rumah. Anak-anak yang sangat mungkin mengalami kesulitan membaca di kelas-kelas dasar adalah mereka yang mulai sekolah dengan kurang pengetahuan sebelumnya dan keterampilan yang relevan, terutama kemampuan verbal, kemampuan untuk memahami suara bahasa yang berbeda dengan maknanya. Upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah intervensi yang spesiik untuk membaca, menargetkan pelatihan kesadaran fonologis phonemic awareness , bimbingan literasi oleh guru di sekolah dan orang tua, dan 104 metode traditional lashcard drill and practice. Kerjasama yang perlu yang perlu dibangun dalam menangani masalah kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah dari pihak guru dengan orang tua. Jadi harus ada kerjasama dalam membimbing anak belajar membaca. Daftar Pustaka Andriana, Elga. Problema Anak Usia Dini Berbasis Gender. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Boscardin,Christy K. And Bengt O. Muthen.Tanpa tahun.Early Identiication of reading Dificulties. Los Angeles: University of California. Bredekamp, Sue. 1987. Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving Children from Birth Through Age 8 . Washington,DC: National Association for the Education of Young Children. Briggs, A., Austin, R., Underwood, G. 1984. Phonological coding in good and poor readers. Reading Research Quarterly,20,54–66. Brown, A. L., Palincsar, A. S., Purcell, L. l986. Poor readers: Teach, don’t label. In U. Neisser Ed.,The school achievement of minority children: New perspectives pp. 105–143. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Bryne, B., Fielding-Barnsley, R. 1991. Evaluation of a program to teach phonemic awareness to young children. Journal of Educational Psychology , 83, 451–455. Calhoon, M. B. 2005. Effects of a peer-mediated phonological skill and reading comprehension program on reading skill acquisition for middle school students with reading disabilities. Journal of Learning Disabilities , 38, 424–433. Carver, R. P. 1997. Reading for one second, one minute, or one year from the perspective of rauding theory. Scientiic Studies of Reading , 1, 3–43. Clark, Eve V. Dan Herbert H. Clark. 1977. Psychology and Language. New York : Harcourt Brace Jovanovich. Conor, Carol M.dkk. 2014. Improving Reading Outcomes for Students with or at Risk for Reading Disabilities: A Synthesis of the Contributions from the Institute of Education Sciences Research Centers ,hlm 1-78. 105 Crain, William. 2011. Theories of Development Concepts and Application. USA: Pearson. Deliana, Sri M.,dkk. Permasalah anak TK. Jakarta : Depdikbud Dehart, Ganie B.,dkk. 2004. Child Development its Nature and Course. Boston : Mc Graw Hill. Denton, Carolyn A.2012. Children’s Learning Institute University of Texas Health Science Center Houston : RTI For Reading Dificulties in the Primary Grades : Some Answers ang Lingering Question, 453: 232–243. DePorter, Bobbi dkk. 1999. Quantum Learning. Bandung : Kaifa. Dhieni, Nurbiana. .2008.Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta : UT Dzaldov, B.S., Peterson, S. 2005. Book leveling and readers. The Reading Teacher , 59, 222–229. Gail T. Gilon,Language, Speech, and Hearing Services in Schools, The Eficacy of Phonological Awareness Intervention for Children With Spoken Language Impairment April 2000, Vol. 31, 126-141. doi:10.10440161-1461.3102.126 History: Received September 22, 1999; Accepted December 17, 1999 Gestwicki, Carol. 2007. Developmentally Appropriate Practice Curriculum and Development in early Education . Australia : Thomson. Gunarti, Winda,dkk.2008. Metode Pengembangan dan Kemampuan Dasar AUD. Jakarta: UT. Hatcher, P. J., Goetz, K., Snowling, M. J., Hulme, C., Gibbs, S., Smith, G. 2006a. Evidence for the effectiveness of the Early Literacy Support Programme. British Journal of Educational Psychology 73, 351–367. doi:10.1348000709905X39170. Hoover, W. A., Gough, P. B. 1990. The simple view of reading. Reading and Writing,2, 127–160. Humphreys, Alexandra H.2013. Reading Dificulty Levels of Selected Articles in the Journal of Research in Music Education and Journal of Historical Research in Music Education. Volume 6. Hurlock, Elizabeth B., 1991. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : PT. Erlangga. Iversen, S., Tunmer, W. E. 1993. Phonological processing skills and the reading recovery program. Journal of Educational Psychology, 85, 112–126. 106 Izzaty, Rita Eka. 2005. Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia Dini . Jakarta : Depdiknas. Kispal,Anne.2008. Effective Teaching of Inference Skills for ReadingLiterature Review. National Foundation for Educational Research. N. J. Smelser P. B. Baltes Eds.. 2001. International encyclopedia of the social behavioral sciences pp. 12800-12805. Oxford: Pergamon. Moats, Louisa, Committee Chair,Suzanne Carreker,Rosalie Davis,Phyllis Meisel,Louise Spear฀Swerling,Barbara Wilson. 2010. Knowledge and Practice Standards forTeachers of Reading. International Dyslexia Association, Professional Standards and Practices Committee. Musthafa, Bachrudin. 2008. Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi. Bandung : CREST. Pinnell, Gay Su, Irene C. Fountas. Research Base for Guided Reading as an Instructional Approach. www.scholastic.comguidedreading. Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak Jilid 1 dan 2. Jakarta : Penerbit Erlangga. Simpson, G. B., Lorsbach, T., Whitehouse, D. 1983. Encoding and contextual components of word recognition in good and poor readers. Journal of Experimental Child Psychology, 35, 161–171. Snowling, Margaret J. and Charles Hulme.2010. Evidence-based interventions for reading and language dificulties: Creating a virtuous circle. British Journal of Educational Psychology 2011, 81, 1–23 Tarigan, Henri G. 2009. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung : Angkasa. __________ 2013. Membaca. Bandung : Penerbit Angkasa. Torgesen,Joseph K.2002. The Prevention of Reading Dificulties. Journal of School Psychology , Vol. 40, No. 1, pp. 7–26. Torgesen, J. K., Mathes, P. 2000. A basic guide to understanding, assessing, and teaching phonological awarenes s. Austin, TX: PRO- ED. Tzinivikou, Sotiria. 2002. Strengs and Weakness of Screening Reading Dificulty. Departement of Early Chilhood Education, Greece. Vellutino, Frank R. 2010, “ Learning to be Learning Disabled:” Marie 107 ADAPTASI KURIKULUM PENDIDIKAN INKLUSIF SISWA DENGAN HAMBATAN SOSIAL EMOSIONAL DI SEKOLAH DASAR Suharsiwi Universitas Muhammadiyah Jakarta Email: suharsiwisoeratmangmail.com Abstrack: Title this paper is curculum adaption in Inclusive Education for children with Emotional Social disorder in elementary school, is the result of description qualitative research in elementary SD Semut-semut Depok. The aim of research is to see how the efforts of primary teachers to adapt the curriculum, with a focus on the dificulties faced by children, how to make the curriculum adaptation, and what efforts were made to overcome the problems of teachers in learning. Handling children with special needs done in Learning Support départemant LSD, a unit that supports children with special needs in play, practice, and interact with friends in SD Semut- semut, so hopefully they can acquire a variety of skills to interact with the surrounding environment. Children with emotional social disruption there, have an IQ below average, dificulty interacting, communicating and independence. They were in the average grade is in regular classes between 50 s d 75, most of the other time was in grade LSD, studying individually or about 3-4 children. As seen from the curriculum adaptations of existing capabilities in children, that will be developed, even though these capabilities are still limited. While other abilities are not developed, the teacher does not force a child to do so. Children who are not yet able to adapt in the regular classroom, the program is intended for them is to develop the social aspects and debrieing of reading, writing, and counting for their preparation in the regular classroom. Keywords: Adaptation of curriculum, Learning Support départemant LSD. 108 Pendahuluan Upaya pemenuhan hak azasi anak berkebutuhan khusus ABK untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak dirasakan masih mengalami kendala, pelaksanaannya masih belum sepenuh hati. Hal tersebut terlihat dari keberadaan ABK yang masih terbatas penerimaannya di sekolah umum, padahal ide pendidikan inklusif sudah lama dilontarkan oleh berbagai pihak dan pakar pendidikan. Kita masih mendengar bahwa sebagian ABK masih memperoleh pendidikan yang diskriminatif dan pengabaian, demikian juga belum banyak masyarakat yang bisa menerima dengan baik keberadaan ABK bersekolah bersama-sama anak-anak normal lainnya. Kenyataan tersebut membuat sebagian Orang tua ABK menjadi malu dan merasa rendah diri karena merasa ditolak oleh lingkungannya, sehingga ada juga yang cenderung menyembunyikan tidak mempedulikan pendidikan buah hatinya, terlebih bagi orangtua yang kondisi ekonominya miskin dan kurang mampu membiayai sekolah anaknya. Slogan yang selalu dikedepankan adalah sekolah untuk semua berarti semua seharusnya bisa sekolah, tetapi pada kenyataannya tidak semua ABK bisa mendapatkan sekolah yang memudahkan mereka melakukan penyesuaian sosial yang dapat mencegah ABK dari perasaan rendah diri. Bagi orangtua yang ingin ABK-nya dapat mandiri, masih cukup sulit mendapatkan sekolah yang tidak diskriminatif seperti sekolah inklusif, kalaupun ada, sekolah inklusif yang ideal masih jauh dari harapan, akan tetapi seting sekolah inklusif ini merupakan hal yang ideal bagi ABK untuk melakukan pengembangan program individual, terutama bagi mereka yang mengalami masalah perilaku dan sosial emosional seperti anak autis, ADHD. ADD dan gangguan perilaku lainnya, sekolah inklusif memungkinkan mereka dapat berimitasi dengan lingkungannya. Anak ADHD dan ADD adalahAnak dengan gangguan pemusatan perhatian dalam dunia kedokteran dikenal dengan terminologi ADD Attention - Deicit Disorder. Pada tahun 1980 Asosiasi Psikiater Amerika Serikat menyarankan penggunaan terminology ADD sebagai pengganti MOD Minimal Brain Dysfunction. Sebelumnya, terminology yang digunakan adalah brain injured ini selanjutnya dibagi menjadi dua tipe yaitu ADHD Attention-Diicit Hyperactivity Disorder dan ADD Attention Deicit Disorder Without Hyperactivity Dikemukakan oleh Task Force on DSM-IV tahun 1991 yang dikutip oleh Azwandi 2005:14. Pada UUD 1945 pasal 31 1 yaitu Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. UU No.2 tahun 1989 pasal 5 dijelaskan bahwa 109 setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mernperoleh pendidikan. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia, dalam upaya mewujudkan tujuan Nasional. UUD 1945 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. UU RI No 20 tahun 2003 Berdasarkan hal itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan difabel yang disahkan pada Maret 2007 Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol, 2012 . Pada pasal 24 adalah salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dalam konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol, 2012 Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Tetapi sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan kemampuan baik isik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Dampaknya segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan difabel, disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis perbedaan kemampuannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa SLB.Sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusiisme bagi anak- anak berkebutuhan khusus. Tembok eksklusiisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi terasingkan dari dinamika sosial di masyarakat. 110 Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Slogan sekolah untuk semua yang sering didengungkan pakar pendidikan, berarti semua bisa sekolah termasuk ABK bisa sekolah bercampur dengan anak-anak normal, sistem pendidikan yang mencampurkan ABK dengan anak normal adalah sistem pendidikan inklusif yang harus menerapkan kurikulum adaptif. Hal ini juga yang menandakan bahwa pendidikan tersebut menganut sistem berkeadilan sosial yang berprinsip pada keseimbangan dan pemerataan hak serta kewajiban bagi setiap warga Negara. Pemerataan tersebut berlaku untuk semua warga negara, termasuk bagi mereka yang memiliki hambatan belajar atau berkebutuhan khusus. Pembahasan Hasil Penelitian SD Semut-semut adalah sekolah inklusif yang memberikan kepedulian pada anak-anak berkebutuhan khusus. Jumlah anak berkebutuhan khusus di sana berjumlah sekitar 28 anak dengan berbagai hambatan seperti tuna rungu, tuna grahita atau mental retarded , speech delayed, kesulitan belajar, dan anak-anak dengan hambatan sosial emosional seperti anak dengan kasus ADD ADHD dan ASD. Adapun yang menjadi fokus penelitian kami adalah anak dengan hambatan sosial emosional seperti anak ADD ADHD dan ASD. Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, bahwa anak-anak dengan gangguang seosial emosional berjumlah 6 anak, selebihnya adalah tuna rungu, tuna grahita atau mental retarded, speech delayed, kesulitan belajar. SD Semut-semut adalah sekolah dengan setting pendidikan inklusif, dengan memperhatikan kebutuhan individual masing-masing anak sesuai kemampuannya. Penanganan anak berkebutuhan khusus demikian pula dengan anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial ditangani oleh Learning Support Departemant . Lerning Support Departemant adalah unit yang mendukung anak-anak berkebutuhan khusus dalam bermain, berlatih, dan berinteraksi dengan teman-temannya di SD Semut- semut, sehingga diharapkan mereka dapat memperoleh berbagai keterampilan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Learning Support Departemant adalah satu unit yang mendukung anak-anak istimewa di Sekolah Semut-semut untuk bermain, berlatih, belajar dan berinteraksi dengan teman-teman lainnya yang ada di lingkungan Sekolah Semut-semut maupun lingkungan tempat tinggalnya. 111 LSD memiliki 11 guru pendamping yang melakukan pendampingan di kelas ataupun di ruang LSD. LSD memiliki 2 dua koordinator yang memimpin guru-guru pendamping di sekolah. Dua koordinator terdiri dari ketua dan wakilnya yang memiliki background pendidikan S1 Psikologi dan terapi okupasi. Mereka berdua memiliki pengalaman menangani anak-anak di sekolah inklusif, membuat program dan melakukan kegiatan terapi buat anak-anak berkebutuan khusus. Mekanisme penanganan anak dilakukan dalam beberapa hal yaitu: a. Pengidentiikasian, yaitu kegiatan menemukenali anak-anak yang terindikasi mengalami masalah dalam berinteraksi, mengenal konsep, menerima pelajaran, berkomunikasi dan masalah-masalah lain yang tidak dapat ditangani hanya dalam kelas biasa, namun harus melakukan kegiatan penanganan di LSD. Informasi yang didapat biasanya melalui orangtua dan observasi awal, namun dapat juga dari informasi yang didapat dari guru setelah anak masuk dan bersekolah ternyata baru terlihat memiliki masalah- masalah dalam perkembangannya. b. Melakukan Assesmen, kegiatan assesmen dilakukan untuk melihat lebih rinci kemampuan dan masalah yang dihadapi anak berkaitan dengan perilaku dan kemampuan awal anak. Kegiatan assesmen melibatkan Guru koordinator, guru kelas, dan psikolog. Hasil assesmen menjadi informasi yang berharga bagi guru koordinator untuk membuat program untuk anak-anak. Target atau tujuan disesuaikan dengan masalah yang dihadapi anak-anak. Khusus untuk anak-anak yang memiliki masalah perilaku dan gangguan emosional, maka program yang dilakukan adalah mengembangkan kemampuan sosial dan interaksinya dengan lingkungan. Anak dilatih untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, tanpa harus berupa kemampuan akademik. Tujuannya bukan prestasi akademik melainkan kompetensi lain yang bernilai yang dapat dibanggakan. c. Program IEP, adalah program individual agar siswa mendapatkan perlakuan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Program IEP dibuat oleh guru pendamping dengan mendapat arahan dari guru koordinator. Informasi pembuatan program IEP juga dari guru kelas dan kepala sekola yang memahami kurikulum TK dan SD sesuai jenjangnya. Program IEP kemudian dilaksanakan oleh guru pendamping dibantu oleh guru kelas. d. Kegiatan kelas, anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak- anak dengan gangguan perilaku dan emosi, masuk dalam kegiatan 112 kelas seperti anak-anak lainnya dan juga melakukan kegiatan sebagian waktunya di LSD. e. Kegiatan pengembangan, yaitu kegiatan buat anak-anak yang tujuannya mengembangkan potensi anak yang lain bukan pada kejaran prestasi akademik. Kegiatan tersebut berupa kegiatan olah tubuh seperti senam, berenang, bersepeda, wiragamenari. Ada juga berupa kegiatan kesenian, seperti seni Musik vokal, angklung, perkusi, biola dan kegiatan Seni Rupa berupa Art, serta kegiatan life skill yaitu AKS, Citra rasa kuliner, gardening, computer. Bagaimana bentuk kesulitan anak gangguan sosial-emosional? Anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SD Semut- semut rata-rata mengalami masalah hambatan intelektual dengan IQ di bawah rata-rata yaitu antara 80 – 40. Anak dengan gangguan sosial emosional, secara umum mengalami masalah kurang dapat berinteraksi dengan teman dan guru. Masih fokus pada diri sendiri, mudah frustasi, kurang dapat mengendalikan emosinya saat frustasi, melakukan kebiasaan-kebiasaan a sosial seperti mengambil makanan orang lain tanpa izin, berbicara sendiri tanpa tujuan, tersenyum sendiri, melamun, berteriak dan acuh saja pada orang yang menegur atau berdiri di dekatnya. Secara isik mereka tidak memiliki masalah, rata-rata mereka sehat dan cukup asupan gizinya. Setiap hari mereka membawa snack dan makan siang sendiri, walau ada juga beberapa yang menggunakan fasilitas catering dari sekolah. Anak-anak yang mengalami gangguan sosial emosional, dikarenakan adanya gangguan autisme, ADHD, ADD dan ada yang dikarenakan masalah pola asuh. Meski mereka sering memperlihatkan perilaku yang menarik diri dari lingkungan dan asyik dengan dirinya, seperti anak autis, namun rata-rata mereka jarang melakukan tindakan agresif yang dapat melukai orang lain. Kadang mereka juga merajuk atau menangis karena sebab tertentu atau marah, namun masih bisa dikendalikan oleh guru kelas, ataupun guru pendampingnya. Selain masalah interaksi dan keterampilan sosial lainnya, anak- anak dengan gangguan sosial emosional, juga mengalami masalah penerimaan dalam pelajarannya. Beberapa mereka dapat mengikuti pelajaran tertentu, namun beberapa pelajaran tidak dapat diterimanya dan membutuhkan modiikasi dalam kurikulumnya, seperti keluasan materi, tingkat kesulitan dan cara mengajarkannya. 113 Dalam hal komunikasi, mereka juga mengalami masalah sehingga kurang memahami apa yang dibicarakan oleh teman-temannya. Kebanyakan mereka belum dapat bermain bersama teman-teman di kelasnya, terbatas pada teman-teman yang ada di LSD. Mereka membutuhkan arahan dan bimbingan agar dapat bersikap yang diterima oleh teman-temannya. Konsentrasi mereka juga sering tidak fokus dan mudah terganggu, juga sering melakukan hhal-hal yang tidak perleu, seperti memukul-mukul pensil ke meja, berjalan mondar-mandir, bermain crayon, pensil, menggambar atau hal lain di luar kegiatan yang diminta. Bagaimana model adaptasi kurikulum yang diterapkan? Model adaptasi kurikulum yang diterapkan masih belum sepenuhnya menggunakan model pendidikan inklusif. Anak berkebutuhan khusus di semut-semut rata-rata berada di kelas reguler antara 50 sd 75 , sebagian waktu lainnya adalah di kelas LSD, belajar secara individual atau sekitar 3 – 4 anak. Adapun adaptasi kurikulum dilihat dari kemampuan yang ada pada anak, itulah yang akan dikembangkan, meski kemampuan tersebut masih terbatas. Sementara kemampuan-kemampuan lain yang belum berkembang, guru tidak memaksakan anak untuk melakukannya. Anak-anak yang memang belum dapat beradaptasi di kelas reguler, maka program yang diperuntukkan untuk mereka adalah mengembangkan aspek-aspek sosial dan pembekalan calistung untuk persiapan mereka di kelas reguler. Adapun contoh program individual adalah sebagai berikut : 114 Program Pembelajaran Individual Periode Januari– Maret 2014 Identitas Siswa Nama : CP Inisial Kelas : 5 Jenis Kelamin : Perempuan Gambaran Umum : Bagaimana pelaksanaan program kegiatan pembelajaran ABK di sekolah inklusif? Adapun program kegiatan LSD adalah sebagai berikut : Program Terapi, Program IEP, Program Remedial, Program KBI Kecil dan KBI Besar, dan Program Pengembangan. Program terapi tidak diwajibkan oleh semua anak dan merupakan pilihan bagi orangtua. Rata-rata mereka memang masih mengikuti terapi, namun ada yang melakukannya di luar sekolah dan setelah mereka pulang sekolah. Waktu terapi dilakukan setelah anak selesai jam sekolahnya, namun ada juga siswa di luar Sekolah semut-semut yang mengikuti program terapi dan biasanya mereka lakukan sebagai persiapan untuk masuk ke sekolah semut-semut. Mengingat peminat siswa ke sekolah semut-semut cukup banyak, maka siswa baru dikenakan waiting list, demikian juga anak berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus yang belum dapat masuk, dapat ikut dalam kegiatan di LSD. Program terapi di Dalam kesehariannya Lesti terlihat ceria, riang, dan berseman- gat. Juga ramah dan sopan terhadap teman, kakak kelas, mau- pun guru. Lesti merupakan anak yang murah hati. Ia sering berbagi makanan dengan teman lain. Tak jarang berbagi pula dengan guru di kelasnya. Lesti masih perlu diberikan pemahaman dan juga contoh ten- tang bagaimana cara bersikap agar dapat disukai oleh teman- temannya yang lain, Lesti perlu banyak berlatih untuk dapat fokus dengan pekerjaannya, tidak terlalu banyak melakukan hal-hal lain yang tidak perlu, seperti bermain pensil, sibuk menggambar, ataupun hal lain di luar materi pelajaran. Perlu intruksi berulang, masih perlu penguatan untuk bisa fokus dan memperhatikan. Kepercayaan diri Lesti perlu di mo- tivasi. Membaca merupakan 115 LSD adalah Terapi Okupasi, Motorik Halus, SI, Behavior, AKS, dan Terapi Wicara. Program terapi dijalankan oleh 2 koordinator LSD. Program IEP, dilaksanakan oleh LSD dengan melibatkan koordinator, wali kelas dan guru pendamping. IEP adalah kepanjangan dari Individual Educational Program, atau dimaksudkan sebagai program pendidikan individual. IEP adalah program yang dirancang untuk memfasilitasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus mengingat kemampuan mereka tidak bisa disamakan dengan usia kronologisnya, baik berkaitan dengan kemampuannya maupun gaya belajarnya dan juga disesuaikan dengan karakteristik kebutuhannya yang istimewa. Program Remedial, adalah program pembelajaran yang bersifat pengulangan dan diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan pengulangan materi dan tidak cukup dengan apa yang disampaikan di kelas regulernya. Program remedial, disesuaikan dengan materi apa yang diperlukan siswa untuk dilakukan remedial. Sehingga masing- masing anak akan berbeda dan bersifat individual. Kegiatan remedia dilakukan di ruang LSD, dan dilakukan oleh guru pendampingnya. Program KBI Kecil dan KBI Besar, adalah singkatan dari Program kelas Bintang Indonesia. Program tersebut terdiri dari KBI Kecil yaitu program persiapan dimana siswa berada di kelas LSD yang mempersiapkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk masuk di kelas reguler bersama anak-anak lainnya. Program persiapan disesuaikan dengan kebutuhan anak sebagai bentuk bekal mereka masuk ke kelas regulernya. Kelas persiapan masuk ke kelas reguler bukan berdasarkan kematangan secara akademis, namun dilihat umur dan quota di kelas regulernya, mengingat ada ketentuan dan pertimbangan lain di dalan satu kelas reguler ada berapa anak berkebutuhan khusus. KBI besar merupakan program yang dilakukan pada akhir semester 1 atau semester 2 dan diperuntukan untuk melatih kemampuan beradaftasi terhadap orang dewasa baru dan teman-teman kecil kelas reguler untuk mendapatkan tauladan yang lebih baik. Prioritas utama bukan nilai atau hasil akhir, melainkan proses dimana teman-teman KBI dapat mengembangkan atau terstimulasi perkembangan mereka dari berbagai macam aspek. Program Pengembangan dibagi dalam berbagai kategori yaitu : • Mampu didik: teman-teman yang dapat mengikuti materi pelajaran dikelas reguler, sesuai dengan kompetensi siswa • Mampu latih: teman-teman yang tidak dapat mengikuti materi pelajaran dikelas reguler • Teman kecil istimewa dapat dikatakan mampu didik atau mampu latih berdasarkan : 116 Kategori ini dilihat dari hasil evaluasi belajar yang sudah berjalan dan juga hasil Tes IQ anak. Program pengembangan yaitu kegiatan Olah tubuh : Olah raga, berenang, bersepeda, wiragamenari, Seni Musik : vokal, angklung, perkusi, biola , Seni Rupa: Art dan Life Skill : AKS, Citra rasa kuliner, gardening, computer. Penutup Maraknya kepedulian sekolah untuk menerima anak berkebutuhan khusus memang harus dibarengi dengan semangat untuk memberi bantuan kepada mereka dengan cara yang tepat Banyak model yang dilakukan sekolah dalam melakukan modiikasi kurikulum untuk tiap anak dengan memperhatikan kebutuhan, keunikan dan kekuatannya. Adaptasi kurikulum yang dilakukan di SD Semut-semut dapat menjadi salah satu model penanganan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Dasar. Adaptasi kurikulum yang dilakukan di sekolah, telah menjadi sistem yang cukup signiikan dalam mengembangkan kemampuan individu anak dengan gangguan sosial emosional di SD Semut-semut. Mengingat ini adalah sebuah penelitian kualitatif, yang tidak bisa di generalisasi, namun ke depan diharapkan dapat menjadi awal untuk penelitian lebih lanjut seperti riset pengembangan model atau eksperimen, untuk bagaimenjadikan adaptasi kurikulum sebagai sebuah model yang dapat di lakukan di Sekolah-sekolah dasar di Indonesia baik Negeri maupun Swasta. Keterlibatan pemerintah, orangtua, masyarakat sangat penting dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang ramah untuk semua, juga mengembangkan system pendidikan yang dapat memberi jalan keluar bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus dimanapun berada. Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, dapat berkontribusi baik moril dan meteriil, dan pro pada peningkatan pendidikan anak- anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Membuat kebijakan pada sistem kurikulum anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusif, bagaimana pelaksanaan ujian nasional dan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan lainnya. 117 Daftar Pustaka Beauchamp, George A.. Curriculum Theory. Willmette, Illionis: The KAAG Press. 1968. Bogdan, Robert C. Qualitative Research for Education, An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacond, 1992. Daley, Cook.Klein.Tesser..AdaptingEarly Childhood Curricula For Children in Inclusive Setting. New Jersey:Pearson Merril Prentice, 2004 Denis Ny, Enrica., Inklusif, 2006 Gagne, R.M. Harlen. Principles of Instructional Design. New York: Rinehort and Winston, 1990. Hall, G.E. Jones, H.L. Competency-based education: A process for the improvement of education. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc, 1976. Hallahan Kauffman. Exceptional Children Introduction to Special Education . London: Prentice Hall, 1988. Hidayat..Model Pembelajaran Yang Ramah Bagi Semua Anak Dalam Seting Inklusif. Purwokerto: Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto, 2009 Katalog Dalam Terbitan KDT. UUD1945. Jakarta: Visi Media, 2007. Lawrence, Grayson. On a Methodolog for Curriculum Design, Engineering Education . 1978. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 2000. Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. 2000. Robert M, Smith dkk, The Exceptional child : a functional approach, New York: McGraw-Hill, 1975 Spradley, James HAL. Participant Obsevation, New York : Holt, Rinehart and Windson, 1980. Stainback, W. Stainback, S...Support networks for inclusive schooling: Interdependent integrated education. Baltimoe: Paul H. Brookes, 1990 118 MENGENAL SCHOOL REFUSAL; MENGAPA ANAK MENOLAK BERSEKOLAH? Fatkhul Ariin Universitas Pendidikan Indonesia UPI Bandung Email: ikayiepgmail.com Abstrak: Seorang anak yang telah mencapai usia sekolah, kehidupan rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan sekolah. Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi dengan cepat. School refusal adalah masalah emosional yang dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak untuk menghadiri sekolah dengan menunjukkan simptom isik, yang disebabkan karena kecemasan berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif di sekolah atau karena punya masalah dalam keluarga. Keterlibatan orang tua dan guru merupakan faktor dalam penanganan masalah school refusal. Kata kunci : school refusal, pengalaman tidak menyenangkan, anak Pendahuluan Sekolah merupakan sarana pendidikan yang bertujuan untuk menyempurnakan perkembangan jasmani dan rohani anak. Masuk sekolah pertama kali bagi anak merupakan sebuah langkah maju dalam kehidupannya. Peristiwa ini dapat menjadi suatu peristiwa yang menegangkan, menakjubkan, menakutkan, menyenangkan atau menimbulkan rasa asing bagi anak Sukadji, 2000. Sekolah dasar adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Selain itu Sekolah Dasar merupakan jenjang pendidikan yang paling penting keberadaannya karena proses dimulainya seseorang dalam menempuh dunia pendidikan diawali dari jenjang sekolah dasar. Siswa tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke SLTP dan SLTA tanpa menyelesaikan pendidikan dijenjang Sekolah Dasar. Saat seorang anak yang telah mencapai usia sekolah, kehidupan 119 rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan sekolah. Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi dengan cepat Mahfuzh, 2001. Beban-beban emosional tertentu yang dirasakan anak ketika menginjakkan kaki pertama kali di lingkungan sekolah seperti rasa cemas atau takut akan berpotensi menghalangi anak untuk berangkat ke sekolah dan bila dibiarkan, maka akan menimbulkan beberapa tingkah laku yang tidak normal, yang salah satunya adalah school refusal. Pembahasan Pengertian School Refusal School refusal atau penolakan sekolah mengacu pada gangguan emosional yang dialami anak dalam hal kehadiran di sekolah. Anak- anak yang menolak sekolah biasanya tidak terlibat dalam perilaku antisosial yang berhubungan dengan pembolosan, seperti berbohong, mencuri atau merusak properti. Sebagian besar anak-anak kadang- kadang enggan untuk pergi ke sekolah atau memiliki beberapa kecemasan tentang kegiatan sekolah. Selain itu, pengertian School Refusal adalah masalah emosional yang serius yang dihubungkan dengan akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang yang signiikan Fremont, 2003. Pendapat lain mengemukakan bahwa school refusal adalah masalah emosional yang dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak untuk menghadiri sekolah dengan menunjukkan symptom isik, yang disebabkan karena kecemasan berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif di sekolah atau karena punya masalah dalam keluarga. Seorang anak dikatakan mengalami school refusal jika anak tersebut tidak mau pergi ke sekolah atau mengalami distres yang berat berkaitan dengan kehadiran di sekolah. Anak yang mengalami school refusal merasa tidak nyaman karena perasaan cemas terhadap sesuatu yang berkaitan dengan sekolah sehingga mereka dapat kehilangan kemampuan untuk menguasai tugas-tugas perkembangan pada berbagai tahap pada masa perkembangan mereka Davison, John Ann, 2006. Menurut Nicole Setzer Ph.D dan Amanda Salzhauer, C.S.W Setzer, 2001 ada beberapa tingkatan school refusal dari yang tingkatan yang ringan sampai yang berat, yaitu: 1 Initial school refusal behaviour, 120 2 Substantial school refusal behavior, 3 Acute school refusal behavior dan 4 Chronic school refusal behavior. Pada hasil penelitian Rini 2006 di tiga sekolah dasar yang berada di Surakarta, anak-anak yang ingin memasuki usia sekolah lebih banyak mengalami substantial school refusal behavior sikap penolakan sekolah yang berlangsung selama minimal 2 minggu yang berkisar sekitar 65 anak perempuan 40 dan anak laki-laki 25. Anak yang mengalami Acute school refusal behavior sikap penolakan sekolah yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah berkisar sekitar 35 anak perempuan 17,5 dan anak laki-laki 17,5. School refusal behavior adalah perilaku penolakan sekolah yang terjadi pada anak saat waktu sekolah tiba. Sedangkan menurut Arjana 2006 penolakan untk bersekolah dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu tipe ringan tak masuk sekolah dalam kurun waktu beberapa hari, tipe sedang tak masuk sekolah dalam waktu satu minggu, dan tipe berat hampir setiap hari tak sekolah dalam kurun waktu tiga minggu. Penolakan sekolah adalah masalah serius yang memerlukan penanganan dari awal. Ketika seorang anak absen yang berkepanjangan berarti bahwa anak-anak kehilangan bagian penting dari kurikulum, yang merugikan pembelajaran dan perkembangan mereka. Anak- anak yang bolos sekolah sebagai akibat dari penolakan mungkin juga menghadapi masalah jangka panjang. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penolakan sekolah dapat memberikan kontribusi untuk masalah kesehatan mental, masalah emosional dan sosial, keluar sekolah di kemudian hari. Karakteristik Siswa yang Mengalami Masalah School Refusal Beberapa karakteristik umum siswa yang mengalami masalah School Refusal karena alasan emosional bervariasi, diantaranya meliputi: 1 Kecemasan Berpisah Separation anxiety Anak yang menolak sekolah karena kecemasan berpisah khawatir tentang keselamatan dan takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada siswa. Umumnya anak-anak mengeluh pada saat pergi ke sekolah dan terlibat perdebatan dipagi hari sebelum berangkat sekolah, hal ini biasanya dilakukan anak dengan menangis, 121 berteriak, menendang, atau melarikan diri. 2 Kecemasan kinerja Performance anxiety. Biasanya anak yang mengalami kecemasan ini dikarenakan karena mereka memiliki masalah ketidak mampuan anak dalam melakukan sesuatu yang ditugaskan oleh gurunya. Hal ini menimbulkan anak menjadi malas ke sekolah karena takut ditunjuk oleh gurunya untuk melakukan hal yang ditugaskan tersebut. Selain itu, pada saat mereka tidak bisa melakukan hal yang tidak mampu dilakukan, teman sekolah akan memberikan cibiran negative, ini yang menimbulkan anak merasa minder dan tidak percaya diri. 3 Kecemasan sosial Social anxiety. Beberapa siswa mungkin merasa kecemasan sosial atau khawatir tentang interaksi sosial dengan teman sebaya dan atau guru. Mereka tidak nyaman dalam situasi sosial dan mungkin takut bersosialisasi dengan teman di sekitarnya. 4 Kecemasan umum Generalized anxiety. Beberapa siswa memiliki kecenderungan untuk melihat lingkungan luar sebagai ancaman dan memiliki kekhawatiran umum tentang sesuatu yang buruk terjadi. Mungkin anak tersebut juga memiliki ketakutan tertentu terhadap bencana seperti tornado atau perang. 5 Depresi Depression. Beberapa siswa mengalami depresi dan kecemasan atau keduanya, termasuk gejala kesedihan, kurangnya minat dalam kegiatan, kesulitan tidur, perasaan lelah, merasa tidak berharga, perasaan bersalah, dan mudah tersinggung. Gejala yang sangat serius dari depresi adalah bunuh diri. Seorang anak yang mempunyai gejala depresi yang serius harus segera dikonsultasikan dengan pihak yang terkait, karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. 6 Intimidasi Bullying. Beberapa siswa takut ditindas oleh temannya. Anak yang mengalami hal tersebut ingin menghindari sekolah karena mereka merasa situasi di sekitar mereka sudah tidak nyaman. Secara isik mereka merasa terancam, tertindas, atau ditinggalkan oleh anak-anak lain. 7 Masalah kesehatan Health-related concerns. Beberapa siswa memiliki keluhan isik. Dokter dan perawat sekolah dapat 122 membantu orang tua dan staf sekolah dalam menentukan apakah seorang anak memiliki isik yang baik atau masalah jika terkait dengan kecemasan. Dalam suber lain, tingkah laku school refusal dapat dilihat dari satu atau kombinasi dari beberapa karakteristik Kearney, 2001, yaitu : a Absen dari sekolah, menolak pergi ke sekolah, tidak mau pergi ke sekolah, b Hadir di sekolah tapi kemudian meninggalkannya sebelum jam sekolah usai, c Hadir di sekolah tapi menunjukkan tingkah laku yang tidak diharapkan, dari tingkah laku menyendiri, tidak ingin pisah dari igure attachment-nya orang terdekat, agresif, tidak kooperatif sampai temper tantrum rewel dan mengamuk, dan d Mengemukakan keluhan isik dan keluhan lain di luar keluhan isik dengan tujuan agar tidak pergi ke sekolah. Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak mulai dituntut dan kadangkala menuntut dirinya agar selalu berbuat sebaik mungkin dan menyesuaikan dirinya dengan standar tingkah laku tertentu. Standar tingkah laku tersebut dipandang sesuai dengan tuntutan guru sekolah, orang tua maupun teman. Adakalanya anak tidak dapat memenuhi tuntutan yang dikenakan kepada mereka atau berkaitan dengan kegiatan belajar, terutama dalam hal prestasi akademik.. Keadaan ini menimbulkan tekanan pada anak dan dapat menjadi pemicu timbulnya masalah dalam kegiatan belajar dan proses belajar anak, antara lain menghindari atau menolak pergi ke sekolah. Perilaku tersebut juga digolongkan sebagai School Phobia atau School Refusal. Anak yang mengalami School Refusal menunjukkan penolakan untuk hadir di sekolah dengan cara mengungkapkan berbagai keluhan isik dalam upaya menyakinkan orang tua agar dirinya diijinkan tetap tinggal di rumah. Misalnya: sakit kepala, sakit perut, sakit tenggorokan, diare, muntah, dan sebagainya. Disamping itu mereka sering pula mengungkapkan keluhan sehubungan dengan keadaan-keadaan di sekolah yang dirasa tidak nyaman bagi mereka dan membuat mereka menolak ke sekoIah. Misalnya: guru yang galak, tugas-tugas terlalu sukar atau terlalu mudah, teman-teman yang tidak menyenangkan, dan lain-lain. Pada umumnya school refusal disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu 1 pola asuh orang tua yang menimbulkan kecemasan berpisah separation anxiety pada anak, dan 2 adanya peristiwa-peristiwa 123 pencetus yang dapat menimbulkan kecemasan anak untuk berada di sekolah ataupun berada terpisah dari orang tua. Penyebab terjadinya school refusal bervariasi, Setzer Salzhauer 2006 menyebutkan empat alasan untuk menghindari sekolah yaitu: 1 untuk menghindari objek –objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang mendatangkan distress; 2 untuk menghindar dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik; 3 untuk mencari perhatian dari signiicant others di luar sekolah; dan 4 untuk mengejar kesenangan di luar sekolah. Penanganan Bagi Anak yang Mengalami Masalah School Refusal Berdasarkan Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012 berjudul School Refusal Pada Anak Sekolah Dasar yang ditulis oleh Nazwa Manurung, penanganan pada anak-anak yang mengalami school refusal harus ditujukan untuk mengembalikan mereka ke sekolah seawal mungkin Fremont, 2003. Penanganan yang efektif sebaiknya segera dilakukan untuk mencegah permasalahan-permasalahan yang akan timbul di kemudian hari, sehingga school phobia harus ditangani sedini mungkin Hogan, 1996. Dalam Fremont 2003 disebutkan bahwa pilihan tritmen antara lain meliputi edukasi dan konsultasi, pendekatan, perilaku, intervensi yang melibatkan keluarga, dan mungkin juga dengan cara farmakoterapi. Selain itu keterlibatan orang tua dan guru merupakan faktor yang membantu untuk mencapai tritmen yang efektif. Personil yang ada di sekolah sebaiknya merupakan orang pertama yang dilibatkan dalam menangani permasalahan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua terhadap anak yang memiliki masalah school refusal, yaitu menekankan pentingnya bersekolah, berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak sekolah, konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter, bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah, luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan anak, lepaskan anak secara bertahap, dan konsultasi pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi. Anak yang mengalami school refusal masih bisa terus sekolah asalkan orangtua dan guru mau bekerjasama untuk mengetahui penyebabnya dan membantu anak yang mengalami school refusal untuk dapat mengatasi masalahnya, yaitu dengan menjalin komunikasi untuk mengetahui perkembangan anak baik di sekolah 124 maupun di rumah, sehingga masalah yang dihadapi anak, khususnya school refusal dapat segera diketahui dan dapat pula dengan segera diatasi bersama. Penutup Masalah school refusal sering muncul ketika anak pertama kali memasuki sekolah. Seorang anak yang telah mencapai usia sekolah, kehidupan rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan sekolah. Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi dengan cepat. Daftar Pustaka Davison, G. C., John, M. N., Ann, M. K. 2006.Psikologi abnormal Edisi ke-9. Jakarta: PT. Raja GraindoPersada. Kearney, C. A. 2001.School Refusal Behavior In Youth A Functional Approach To Assessment And Treatment Washington, DC : American Psychological Association. Nazwa, Manurung. School Refusal pada Anak Sekolah Dasar. Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012. Mahfuzh, S M J. 2001. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta :Pustaka Al-Kautsar Sukadji,S.2000. Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikolog L.P.S.P3. Fakultas Psikolog Universitas Indonesia. Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012 berjudul School Refusal Pada Anak Sekolah Dasar yang ditulis oleh Nazwa Manurung http:www.nasponline.orgfamiliesschoolrefusal.pdf PEMBELAJARAN INTEGRATIF BERBASIS SOFT SKILL DAN HARD SKILL 3 126 127 PEMBELAJARAN GOTONG ROYONG INOVATIF BERBASIS SOFT SKILL DAN HARD SKILL UNTUK MEWUJUDKAN INDONESIA EMAS Zaenul Slam Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : zaenul_slamyahoo.com Abstract: This study is based on the fact that the implementation of the teaching for all subjects is less on student centre and it has not developed hard skill and soft skill yet. The main of this study are 1 inovation of cooperative learning based on hard skill and soft skill to aim the Indonesian Gold, 2 hard skill and soft skill are as the result of the instructional effect and nurturant effect from innovation of cooperative learning. This learning can enhance the result of students’learn and students’ social skill. So, hard skill and soft skill can be developed by the innovation of cooperative learning for the vision of Indonesian Gold 2045, the glory of moral, spiritual and economic for all nation dimension The keyword : inovation of cooperative learning, hard skill, soft skill, Indonesian Gold Pendahuluan Salah satu di antara masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya pengetahuan dan kemampuan teknis hard skill dan kemampuan mengelola diri termasuk karakter dan orang lain soft skill . Masalah lain adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran masih terlalu didominasi peran guru teacher centered. Guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan potensi-potensi peserta didik memiliki kemampuan berpikir holistik menyeluruh, kreatif, objektif, dan logis, belum memanfaatkan quantum learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang mengembangkan hard skill dan soft skill dalam pembelajaran secara terpadu sebagai hasil belajar. 128 Seperti dinyatakan oleh Indrajati 2001: 27, sebagian besar suasana pembelajaran di kelas yang digunakan para guru masih analog dengan “menabung”. Dengan paradigma pembelajaran seperti ini, peserta didik hanya disiapkan untuk mendengarkan, mau menerima seluruh informasi, dan mentaati segala peraturan gurunya yang mengakibatkan mereka tidak memiliki keberanian mengemukakan pendapat, tidak kreatif, tidak mandiri apalagi untuk berpikir inovatif dan problem solving. Budaya dan mentalitas peserta didik seperti ini berkorelasi dengan low outcome learning quality, yaitu budaya dan mentalitas masyarakat secara luas yang belum bisa mandiri, dan rendahnya daya saing Sumber Daya Manusia SDM, dan mulai kehilangan niat untuk mematuhi hukum seperti mentaati peraturan yang paling sederhana, yaitu peraturan lalu lintas. Selain menggunakan metode ‘gaya menabung’ sepertinya para guru sering pula menggunakan metode pembelajaran dengan sistem persaingan, misalnya dalam mengerjakan soal-soal Lembar Kerja Siswa LKS. Nasution 2004: 147-148 mengemukakan beberapa keburukan pembelajaran dengan sistem persaingan, yaitu: Pertama, peserta didik melakukan persaingan dengan tujuan memperoleh angka atau pujian perorangan. Mereka belajar semata-mata didorong oleh motivasi ekstrinsik dan kepentingan perseorangan saja. Kedua, persaingan dapat menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam kelas yang memburukkan hubungan antara peserta didik. Tujuan mengalahkan lawan dan memperoleh kemenangan untuk sendiri merusak suasana. Ketiga, yang menang dalam persaingan merasa dirinya terpandai dan menganggap orang lain bodoh. Dampak negatifnya timbul gejala- gejala superioritas padanya. Mereka merasa lebih dan orang lain lemah. Sifat ini merusak pribadi anak itu sendiri. Keempat, peserta didik yang kalah dalam persaingan menderita rasa kegagalan sence of failure prustasi dan rendah diri. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lie 2007: 24 menjelaskan bahwa ”model pembelajaran persaingan menciptakan suasana permusuhan di kelas”. Untuk bisa berhasil dalam sistem ini, seorang peserta didik harus mengalahkan teman-teman sekelasnya. Sering peserta didik yang berhasil nilai tinggi dimusuhi karena dianggap menaikan rata- rata kelas dan menjatuhkan teman. Budaya dan mentalitas persaingan seperti ini juga setidaknya berkorelasi dengan sering munculnya konlik antar berbagai golongan dalam masyarakat. Seperti tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa di beberapa kota besar menjadi tradisi dan membentuk pola yang tetap sehingga diantara mereka membentuk musuh bubuyutan”. Kerapuhan karakter peserta didik seperti ini tentunya berdampak pada bergesernya nilai etika dalam 129 kehidupan berbangsa dan bernegara. Nampaknya kita kehilangan rasa keIndonesiaan kita. Perilaku mereka makin menonjolkan kepentingan individu, daerah, dan golongan. Apabila hal ini dibiarkan tentunya Kita akan kehilangan cita-cita bersama in group feeling sebagai bangsa. Menurut Suryadi dan Budimanstah 2009: 316 tidak ada lagi ”Indonesia dream” yang mengikat bersama yang lebih menonjol adalah cita-cita individu atau golongan untuk mengalahkan golongan lain. Akan tetapi pembelajaran sistem persaingan ada pula beberapa kebaikan, sebab persaingan juga memperbesar motivasi peserta didik untuk mencapai tujuan belajar. Sekalipun banyak keburukan dari pada kebaikannya, persaingan tetap perlu, di samping kerjasama, asal untuk kepentingan bersama. Berbagai persoalan kurikuler seperti tersebut di atas, menunjukkan banyaknya kendala learning process yang secara umum belum mendukung visi Indonesia Emas tahun 2045. Karena itu, Pembelajaran Gotong Royong Inovatif berbasis soft skill dan hard skill adalah salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas. Apa itu Pembelajaran Gotong Royong Inovatif? Bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen Rusman, 2010: 215. Peserta didik yang bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya dan juga dampak positif lainnya, yakni dapat menghubungkan antar kelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah, dan meningkatkan rasa harga diri Slavin, 2008: 4-5 Merujuk dari apa yang disampaikan oleh para ahli tersebut setidaknya kita mendapatkan hal penting untuk dapat memahami dampak pembelajaran kooperatif cooperative learning effect dan dampak pengiringnya nurturant effect bahwa pembelajaran kooperatif tidak hanya memberi kontribusi terhadap peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknis hard skill akan tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan mengelola diri yang di dalamnya termasuk karakter dan orang lain soft skill. Karena itu, pengembangan pembelajaran kooperatif berbasis hard skill dan soft skill diharapkan dapat menyokong terwujudnya visi Indonesia Emas 2045, yakni cita-cita yang akan kita wujudkan bersama di mana pada tahun 2045 bangsa Indonesia sudah terlepas dari krisis moral dan seluruh komponen bangsa telah berhati emas dan mengaplikasikan tujuh nilai dasar, yaitu jujur, visioner, tanggung jawab, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli. Jadi yang kita tuju dalam Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara moral dan 130 spiritual, bukan hanya kejayaan secara ekonomi. Untuk terwujudnya visi Indonesia Emas 2045 seratus tahun kemerdekaan Republik Indonesia tersebut kita mendapatkan beragam tantangan khususnya tantangan internal. Misalnya, Pertama bagaimana mengelola Sumber Daya Manusia usia produktif agar menjadi bonus demograi sebagai modal pembangunan. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif 15-64 tahun lebih banyak dari usia tidak produktif anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas. Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70 Kemdikbud, 2012: 8. Ini berarti bahwa pada tahun 2020-2035 sumber daya manusia SDM Indonesia usia produktif akan melimpah. SDM yang melimpah ini apabila memiliki kompetensi dan keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban pembangunan. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban pembangunan. Tentang perlunya Pembelajaran Gotong Royong Inovatif berbasis hard skill dan soft skill untuk mendukung SDM Indonesia Emas tahun 2045 sebagai modal pembangunan perlu saya kuatkan dengan beberapa pendapat ahli dan atau hasil penelitian. Seperti dinyatakan oleh Isjoni 2007: 13 Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dapat memotivasi peserta didik berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat sharing ideas. Selain itu, Pembelajaran Gotong Royong Inovatif mengembangkan peserta didik dapat bekerjasama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapinya Lickona 2012: 276-278 menyatakan enam keuntungan kalau metode ini mampu dipraktikan secara baik, yaitu : 1 melalui proses Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, peserta didik akan diajarkan bagaimana karakter-karakter kerjasama, 2 melalui proses belajar kooperatif, peserta didik dibantu untuk saling mengenal dengan cara membangun komunikasi di dalam kelas. 3 melalui proses belajar kooperatif, peserta didik diajari keterampilan dasar kehidupan dengan tujuan mampu mendengarkan pandangan-pandangan orang lain dan berkomunikasi secara efektif, 4 melalui proses belajar kooperatif, peserta didik akan diarahkan untuk memperbaiki pencapaian akademik, rasa percaya diri, dan penyikapan terhadap sekolah, 5 melalui belajar kooperatif, peserta didik diberikan tawaran-tawaran 131 alternatif dalam pencatatan, yakni tidak ada pembeda antara sikaya dan simiskin atau si pandai atau si bodoh, mereka akan belajar bekerjasama serta memperdulikan orang lain, dan 6 melalui belajar kooperatif, peserta didik akan memiliki potensi untuk mengontrol efek negatif dan persaingan. Keenam keuntungan pembelajaran kooperatif tidak saja di dalam kelas, tetapi kelihatan pengaruhnya yang sangat signiikan, yaitu ketika para peserta didik melakukannya di luar kelas pada jam-jam latihan. Pembelajaran Gotong Royong Inovatif juga sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi yang menyatakan bahwa pembelajaran perlu dilaksanakan sebagai berikut : Pertama, menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: a belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, b belajar untuk memahami dan menghayati, c belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, d belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan e belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Kedua, pembelajaran dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan. Ketiga, pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru semua yang terjadi, tergelar, dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan. Keempat, pembelajaran dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial, dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal. Berangkat dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka dipandang urgen dan rasional apabila penulis tertarik untuk mengkaji masalah tentang pembelajaran kooperatif berbasis hard skill dan soft skill untuk mewujudkan Indonesia Emas? Pembelajaran Kooperatif berbasis Hard Skill dan Soft Skill Pembelajaran Gotong Royong Inovatif PGRI Pembelajaran Gotong Royong Inovatif PGRI adalah pembelajaran dengan memanfaatkan kelompok kecil dalam pengajaran yang 132 memungkinkan peserta didik bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut Johnson, et al, dalam Triyanto at al 2010. Anita Lie dalam Slam, 2009: 61 menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong royong. Atas inspirasi tersebut penulis menyebut dengan istilah Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, yaitu: sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan peserta didik lain dengan tugas-tugas terstruktur”. Lebih jauh Beliau mengatakan bahwa Pembelajaran Gotong Royong Inovatif hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang didalamnya peserta didik bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. Slam 2009: 62 menyatakan ciri dari pembelajaran kooperatif, yaitu a setiap anggota memiliki peran, b terjaadi interaksi langsung di antara peserta didik, c setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, d guru membantu mengembangkan keterampilan- keterampilan interpersonal kelompok, dan e guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Di dalam Pembelajaran Gotong Royong Inovatif kelompok peserta didik akan memperoleh pengetahuan baru yang bermakna dengan mutu yang lebih baik, bersifat kontekstual yang relevan bila dibandingkan dengan pembelajaran individual atau independen. Sementara itu pada saat yang sama, setiap anggota kelompok dalam pembelajaran kooperatif menunjukkan sikap positif, teguh pada pendiriannya tetapi tetap dalam kerangka kerjasama, dan saling menghargai Felder Brent dalam Triyanto et al. 2010: 76. Teori yang melandasi Pembelajaran Gotong Royong Inovatif adalah teori kontruktivisme, yaitu suatu pandangan bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada Isjoni, 2007: 30. Menurut Slavin 2008: 10 Pembelajaran Gotong Royong Inovatif menggalakan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini membolehkan pertukaran ide dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam sesuai dengan falsafah kontruktivisme. Dengan pembelajaran kooperatif akan menyumbangkan ide bahwa siswa yang bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan, dan membangkitkan potensi peserta didik, menumbuhkan aktivitas dan kreativitas, sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam 133 proses pembelajaran. Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dikembangkan dari teori belajar kontruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky yang dikenal sebagai “Piaget Kontruktivisme Kognitif” dan “Vygotsky Kontruktivism Sosial. Johnson Johnson dalam Isjoni, 2007: 30 menyatakan teori Piaget berdasarkan kepada premis, apabila individu bekerjasama atas persekitarnya, konlik sosio-kognitif akan berlaku dan akan mewujudkan ketidakseimbangan kognitif dan seterusnya menciptakan perkembangan kognitif. Teori Vygotsky pula berdasarkan kepada premis bahwa pengetahuan terbina daripada interaksi kumpulan dalam penyelesaian masalah. Teori perlakuan menekankan peranan penting ganjaran dalam Pembelajaran Gotong Royong Inovatif. Pembelajaran Gotong Royong Inovatif digunakan untuk menanamkan unsur-unsur antara lain “saling ketergantungan positif” Misalnya, teknik jigsaw dalam metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif pada mulanya diperkenalkan di sekolah-sekolah di Amerika Serikat dimana ada ketegangan rasialis antara siswa keturunan Eropa, Afrika dan Hispanik. Siswa-siswa ini diajar untuk bisa dibalik kuatnya rasa individualis mereka berinteraksi secara positif dengan siswa- siswa lain dengan latar belakang berbeda dalam kegiatan akademis. Memang selang beberapa waktu konlik rasialis berhasil dikurangi secara drastis dan prestasi akademik pun meningkat Lie, 2007: 20. Ternyata orang Amerika mulai menyadari bahwa individualisme saja tidaklah cukup. Keberhasilan orang-orang Amerika di berbagai bidang kehidupan sudah mendapat pengakuan di seluruh dunia, namun patut dipertanyakan apakah artinya keberhasilan pribadi jika tidak bisa ditindak lanjuti dan diterapkan dalam masyarakat. Karena itu, kerjasama, komunikasi, interaksi sebuah kebutuhan esensial dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan dalam pergaulan internasional. Slavin 2008: 4-5 menyatakan ada banyak alasan yang membuat Pembelajaran Gotong Royong Inovatif memasuki jalur utama praktik pendidikan. Salah satunya adalah untuk meningkatkan pencapain prestasi para siswa, dan juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa para peserta didik perlu belajar untuk berikir, menyelesaikan masalah, dan mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka, dan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang sangat baik untuk mencapai hal-hal semacam itu. 134 Lie 2007:28 menegaskan bahwa: “bekerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup”. Tanpa bekerjasama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah”. Ironisnya, model pembelajaran bekerjasama belum banyak diterapkan dalam pembelajaran di sekolah walaupun orang Indonesia: a sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat; b sering munculnya komplik antar suku, agama, ras, dan antargolongan. Kebanyakan guru enggan menerapkan sistem bekerjasama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekhawatian bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan peserta didik tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam kelompok. Selain itu, banyak orang mempunyai kesan negatif mengenai bekerjasama atau belajar dalam kelompok. Banyak peserta didik juga tidak senang disuruh bekerjasama dengan yang lain. Peserta didik yang tekun merasa harus bekerja melebihi peserta didik yang lain, sedangkan peserta didik yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam satu kelompok dengan peserta didik yang lebih pandai. Peserta didik yang tekun juga merasa temannya yang kurang mampu hanya menumpang saja pada hasil jerih payah mereka. Kesan negatif dari Pembelajaran Gotong Royong Inovatif ini juga bisa timbul karena ada perasaan waswas dan anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok. Sebenarnya, pembagian kerja yang kurang adil tidak perlu terjadi dalam keria kelompok jika guru benar-benar menerapkan prosedur metode PGRI. Banyak guru hanya membagi peserta didik dalam kelompok lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu tanpa pedoman mengenai pembagian tugas. Akibatnya, peserta didik merasa ditinggal sendiri dan karena mereka belum berpengalaman, merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerja sama menyelesaikan tugas tersebut. Kekacauan dan kegaduhanlah yang teriadi. Metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif terstruktur tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Johnson Johnson Lie, 2007: 18 menyatakan yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok, yaitu “saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerjasama, dan proses kelompok”. Itulah unsur-unsur dasar pembelajaran bekerjasama yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal- asalan. Pelaksanaan prosedur metode PGRI terstruktur dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif. Dengan demikian, metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif didesain sebagai pola pembelajaran yang dibangun oleh lima 135 elemen penting sebagai prasyarat, sebagai berikut: Pertama, saling ketergantungan secara positif positive interdependence, yaitu setiap anggota tim saling membutuhkan untuk sukses. Kedua, interaksi langsung face-to-face interaction. artinya memberikan kesempatan kepada peserta didik secara individual untuk saling membantu dalam memecahkan masalah, memberikan umpan balik yang diperlukan antar anggota untuk semua individu, dan mewujudkan rasa hormat, perhatian, dan dorongan di antara individu-individu sehinga mereka termotivasi untuk terus bekerja pada tugas yang dihadapi. Ketiga, tanggung jawab individu dan kelompok individual group accountability, artinya tujuan belajar bersama adalah untuk menguatkan kemampuan akademis siswa, sehingga kontribusi siswa harus adil, Kempat, keterampilan interpersonal dan kelompok kecil interpersonal small-group Skills, artinya asumsi bahwa siswa akan secara aktif mendengarkan, menjadi hormat dan perhatian, berkomunikasi secara efektif, dan dapat dipercaya.Untuk suksesnya Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, guru perlu megajarkan keterampilan sosial seperti kepemimpinan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, keterampilan manajemen konlik. Kelima, proses kerja kelompok group processing, artinya proses kerja kelompok memberikan umpan balik kepada anggota kelompok tentang partisipasi mereka, memberikan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan pembelajaran kolaboratif anggota, membantu untuk mempertahankan hubungan kerja yang baik antara anggota, dan menyediakan sarana untuk merayakan keberhasilan kelompok. Menurut Lie 2007: 55-72 terdapat beragam teknik Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, yaitu :” mencari pasangan, bertukar pasangan, berpikir berpasangan berempat, berkirim salam dan soal, kepala bernomor, kepala bernomor terstruktur, dua tinggal dua tamu, keliling kelompok, kancing gemerincing, keliling kelas, lingkaran kecil lingkaran besar, tari bamboo, jigsaw, dan bercerita berpasangan. Misalnya, metode pembelajaran kooperatif. Guru membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian. Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam pelajaran untuk hari itu. Guru bisa menuliskan di papan tulis dan menanyakan apa yang peserta didik ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata peserta didik agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru. Peserta didik dibagi dalam kelompok berempat atau berlima. 136 Bagian pertama bahan diberikan kepada peserta didik yang pertama. Sedangkan peserta didik yang kedua menerima yang kedua, demikian seterusnya. Kemudian, peserta didik disuruh membaca mengerjakan bagian mereka masing-masing.Setelah selesai, peserta didik saling berbagi mengenai bagian-bagian yang dibacadikerjakan masing- masing. Dalam kegiatan ini peserta didik bisa saling melengkapi dan berinteraksi antara satu dengan yang lain. Khusus untuk kegiatan membaca, kemudian guru membagikan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing peserta didik. Peserta didik membaca bagian tersebut. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas Aronson et al. dalam Lie, 2007: 69 Metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif merupakan metode mengajar yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh ahli pendidikan. Seperti Slavin dalam Rusman, 2010: 218 mengemukakan bahwa 1 penggunaan metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain, 2 pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan peserta didik akan berikir kritis, memecahkan masalah, mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman. Slam 2009: 18 menyatakan bahwa metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif memberikan dampak pengiring nurturant effect, yaitu peserta didik dapat dibina “keterampilan sosial social skills antara lain: “kepemimpinan leadership, pengambilan keputusan decision making, membangun kepercayaan diri trust building, komunikasi communication, mengelola komplik comlict management skill. Dengan alasan tersebut metode pembelajaran tersebut diharapkan mampu mengembangkan hard skill dan soft skill untuk mewujudkan Indonesia Emas. Hard Skill dan Soft Skill Sebagai Hasil Belajar Istilah hard skill dan soft skill pertama kali penulis ketahui dari hasil penelitian Ibrahim dalam Adisusilo, 2011: 79 di Harvard university Amerika Serikat yang memaparkan bahwa kesuksesan hidup seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis hard skill yang diperoleh lewat pendidikan, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri yang didalamnya termasuk karakter dan orang lain soft skill. Penelitian ini mengungkapkan bahwa hanya ditentukan sekitar 20 oleh hard skill dan sisanya 80 oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil 137 dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembelajaran gotong royong inovatif yang berbasis hard skill dan soft skill sangat penting untuk dikembangkan. Berdasar rujukan tersebut, bahwa pembelajaran perlu mengintegrasikan hard skill dan soft skill. Penulis mencoba memaknai soft skill dengan istilah kecerdasan emosional yang dilontarkan pertama kali tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovery dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire Shapire, dalam Aunurrahman, 2013: 85. Beberapa bentuk kualitas soft skill yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu: 1 empati, 2 mengungkapkan dan memahami perasaan, 3 mengendalikan amarah, 4 kemandirian, 5 kemampuan menyesuaikan diri, 6 disukai, 7 kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, 8 ketekunan, 9 kesetiakawanan, 10 keramahan, dan 11 sikap hormat. Daniel Goleman, pengarang buku Emotional Intelligence pada bagian buku yang diberi judul working with Emotional Intelligence mencoba menjelaskan beberapa konsep keliru yang paling lazim terjadi dan harus diluruskan. Pertama, kecerdasan emosi tidak hanya berarti ‘bersikap ramah’ melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa “memanjakan perasaan-perasaan, melainkan mengelola perasaan- perasaan sedemikian rupa sehingga terekpersikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancer menuju sasaran bersama. Tingkat Soft skill tidak terikat dengan factor genetis, tidak juga hanya dapat berkembang pada masa kanak-kanak. Tidak seperti hard skill yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja, soft skill lebih banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri sehingga kecakapan-kecakapan itu dalam hal ini dapat terus tumbuh Goleman dalam Aunurrahman, 2012: 86. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa soft skill akan mampu membuat anak-anak bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai teman-temannya di tempat-tempat bermain, dan juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika ia telah masuk dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga. Dalam sebuah survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja baru, keterampilan- keterampilan teknik khusus hard skill tidak seberapa penting dibanding soft skill untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan Goleman dalam Aunurrahman, 2012: 86. Selain itu keterampilan- keterampilan lainnya adalah; 1 mendengarkan dan komunikasi 138 lisan, 2 adaptabilitas dan tanggapan kreatif terhadap kegagalan dan halangan, 3 manajemen pribadi, kepercayaan diri, memotivasi untuk bekerja meraih sasaran, keinginan mengembangkan karir, dan bangga dengan prestasi yang dicapai., 4 efektiitas kelompok dan antar pribadi, kerjasama dalam kelompok, keterampilan merundingkan pendapat-pendapat, 5 efektivitas dalam perusahaan, keinginan member kontribusi, potensi-potensi kepemimpinan. Solovey dan Meyer dalam Aunurrahman, 2012: 87 mendeinisikan soft skill sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Pendapat keduanya memberi isyarat bahwa keterampilan soft skill bukanlah lawan dari hard skill atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun pada maupun empiric. Idelanya seseorang dapat dapat menguasai hard skill keterampilan kognitif sekaligus soft skill keterampilan sosialemosional. Perbedaan yang paling mendasar antara hard skill IQ dan soft skill EQ adalah soft skill tidak dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para guru untuk melanjutkan apa yang telah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Dengan demikian maka soft skill lebih merupakan hasil dari aktivitas individu dalam melatih fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga lebih merupakan hasil belajar. Goleman Aunurrahman, 2012: 89 menggambarkan beberapa ciri soft skill yang terdapat pada diri seseoarang berupa: 1 kemampuan memotivasi diri sendiri, 2 ketahanan menghadapi prustasi, 3 kemampuan mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih lebihkan kesenangan,4 kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar bebas stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdo’a. Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, bahwa hard skill dan soft skill sebagai dampak pembelajaran instructional effect dan dampak pengiring nurturant effect dapat disokong dengan pembelajaran gotong royong inovatif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045, di antaranya terlepas dari krisis moral dan seluruh komponen bangsa telah berhati emas dan mengaplikasikan tujuh nilai dasar, yaitu kejujuran honesty, visioner, tanggung jawab responsibility, disiplin, kerjasama cooperation, adil fairness dan peduli caring. Jadi yang kita tuju dalam Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara moral dan spiritual, bukan hanya kejayaan ekonomi bagi seluruh 139 komponen bangsa. Perwujudan visi Indonesia Emas dapat disokong melalui gerakan implementasi Pembelajaran Gotong Royong Inovatif. Penutup Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dapat: 1 meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan sekaligus meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain 2 memenuhi kebutuhan peserta didik akan berikir kritis, memecahkan masalah, mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman. 3 meningkatkan “keterampilan sosial social skills, yakni kepemimpinan leadership, pengambilan keputusan decision making, membangun kepercayaan diri trust building, komunikasi communication ,mengelola komplik comlict management skill. Hard skill dan soft skill sebagai hasil belajar peserta didik dapat disokong dengan pembelajaran gotong royong inovatif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045, yakni kejayaan secara moral dan spiritual dan sekaligus kejayaan ekonomi bagi seluruh komponen bangsa. Daftar Pustaka Adisusilo, Sutarjo. 2011. Pembelajaran Nilai karakter, Jakarta: PT Raja Graindo Persada Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta Budimansyah, Dasim dan Suryadi, Ace. 2008. Paradigma Pembangunan Pendidikan nasional , Bandung: Widya Aksara Press Isjoni. 2007. Cooperative learning, Bandung: Alfabeta Lickona. 2002. Educating For Character. How aour School Can teach Respect and Responsibility. Terjemahan Wamaungo, Jakarta: PT Bumi Lie, Anita. 2007. Cooperative learning, Jakarta, PT Gramedia Rusman. 2010. Model-Model pembelajaran, Bandung: Mulia mandiri Press Sidi, Indradjati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu Slam, Zaenul. 2009.Pengaruh Pembelajaran PKn Melalui Penerapan Cooperative Terhadap Peningkatan Kompetensi kewarganegaraan Peserta Didik Tesis. SPs, UPI. Slavin. 2008. Cooperative learning, Bandung: Nusa Media Triyanto et al. 2010. Inovasi Pembelajaran Pancasila Di Perguruan Tinggi. 140 LESSON STUDY SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU KELAS DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF Penelitian Tindakan di MIN 2 Kota Metro Lampung Siti Annisah STAIN Metro Lampung. Email: sitiannisah_80yahoo.co.id Abstract: The purpose of this research is to improve the competence of teachers in integrative thematic learning through Lesson Study in MIN 2 Metro Lampung. This research was initiated on the issue of readiness of teachers in implementing the thematic integrative learning. Readiness of teachers with regard to competencies required are pedagogical, personality, social, and professional. Some training has been followed, but in practice there are still many problems so few are applied in the classroom and training results only become knowledge. Therefore, there should be assistance activities implementation of thematic integrative learning, one of the activities that can be done is the Lesson Study. Stages of the Lesson Study includes plan, do, and see. In other words, the lesson study is a way of improving the quality of education that never ends continuous improvement. Lesson Study group consists of educators teachers, lecturers, and students. The determination of the group members was based on a desire, interest and commitment to innovate and improve the quality of education. From the observation and relection can be explained that the implementation of Lesson Study can improve the competence of teachers in teaching thematic integrative curriculum in 2013. This can be seen from the increasing competence of teachers pedagogical, professional, social, and personality before and during the implementation of Lesson Study. In Lesson Study, the usual activities of the teachers studied, analyzed, documented, evaluated, and developed jointly so that all potentials can be empowered and produce a higher quality learning activities from previous activities. Key Word: Lesson Study, Teacher Competence 141 Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kemajuan suatu bangsa. Karena salah satu fungsi pendidikan adalah mengembangkan pengetahuan untuk mencerdaskan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan diantaranya adalah menyempurnakan kurikulum tingkat satuan pendidikan menjadi kurikulum 2013. Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk mengantisipasi kebutuhan kompetensi Abad 21. Kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan pada Kurikulum 2013 merupakan hasil akhir yang harus dicapai dan dimiliki oleh peserta didik secara komprehensif. Pencapaian kompetensi terpadu tersebut, menuntut pendekatan pembelajaran tematik terpadu atau integratif, yaitu mempelajari semua mata pelajaran secara terpadu melalui tema-tema kehidupan yang dijumpai peserta didik sehari-hari. Dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif dibutuhkan kemampuan guru yang tidak biasa, artinya guru harus benar-benar memiliki kemampuan untuk merencanakan pembelajaran tematik, merumuskan tema yang dapat mengikat beberapa matapelajaran sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan, melaksanakan pembelajaran tematik integratif dengan mengaitkan beberapa matapelajaran dalam sebuah tema, mengevaluasi pembelajaran secara mendalam atau dengan penilaian outentik. Pertanyaan yang muncul adalah sudah siapkah guru-guru di lapangan melaksanakan pembelajaran tematik integratif pada kelas I – VI di SDMI? Guru mutu guru menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan pembelajaran tematik integratif pada kurikulum 2013. Mutu guru berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Kompetensi yang dimaksud tersebut adalah kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, 142 pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif, guru harus mampu membuat perencanaan pembelajaran yang jelas, merumuskan tema yang mengaitkan beberapa mata pelajaran, menyiapkan media dan alat yang digunakan dalam pembelajaran, menyiapkan instrument evaluasi yang dapat mengukur aspek sikap, psikomotor, dan pengetahuan siswa secara komprehensif, serta melaksanakan pembelajaran tematik integratif sesuai dengan yang telah direncanakan. Permasalahan di lapangan menggambarkan bahwa masih banyak guru dalam melaksanakan pembelajaran tanpa membuat perencanaan dengan matang sehingga pelaksanaan pembelajarannya kurang maksimal, dan belum melakukan evaluasi yang mendalam. Kompetensi kepribadian adalah memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Gurupendidik harus dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Kenyataan di lapangan menjelaskan bahwa masih banyak guru yang sering berkata kasar tidak pantas kepada siswa, berperilaku layaknya bukan seorang pendidik, dan sebagainya. Kompetensi profesional, adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Dalam penerapan pembelajaran tematik integratif, pengetahuan guru secara luas dan mendalam mutlak diperlukan, karena guru harus mampu mengaitkan beberapa matapelajaran dalam sebuah tema sehingga kompetensi terpadu yang diharapkan dapat tercapai. Kenyataan di lapangan, masih banyak guru belum memiliki penguasaan materi secara mendalam pada bidang masing-masing, ditambah lagi harus menguasai materi secara terpadu. Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tuawali, dan masyarakat sekitar. Untuk dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik, kompetensi ini merupakan syarat mutlak dimiliki oleh pendidik. Pertanyaan di atas dijawab oleh pemerintah baik melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Agama dengan melakukan berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran tematik integratif. Namun usaha ini kurang berdampak terhadap peningkatan mutu guru. Setelah dilakukan pengkajian dan analisis, ada dua hal penting mengapa pendidikan dan pelatihan guru kurang efektif, pertama materi pelatihan tidak berbasis pada masalah di kelas. Materi pelatihan yang sama diberikan pada semua guru tanpa mengenal daerah asal padahal kondisi suatu daerah 143 belum tentu sama. Kedua, hasil pelatihan hanya menjadi pengetahuan saja, sedikit yang diterapkan di kelas karena tidak ada monitoring setelah pelatihan. Sebagai upaya untuk menjawab semua kekurangan dari fakta- fakta di atas dibutuhkan suatu kegiatan pendampingan pelaksanaan pembelajaran tematik integratif. Kegiatan pendampingan tersebut adalah lesson study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dalam lesson study bukan hanya guru yang melaksanakan pembelajaran saja yang dapat memetik manfaat, namun terlebih lagi para observer guru lainmitra, mahasiswa, dosen dan pihak-pihak lain yang hadir pada saat pembelajaran. Dengan mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan seorang guru, observer didorong untuk mereleksikan pembelajaran yang dilaksanakannya dan bagaimana meningkatkan kualitasnya. Oleh karena itu, lesson study sesungguhnya merupakan forum belajar bersama untuk saling belajar dari pengalaman guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi guru kelas dalam pembelajaran tematik integratif melalui pelaksanaan Lesson Study di MIN 2 Kota Metro Lampung. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan action research dalam bentuk Lesson Study LS. Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu variabel bebasnya adalah Lesson Study dan variabel terikatnya adalah kompetensi guru kelas. Lesson Study LS yang dimaksud pada penelitian ini adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar Sumar Hendayana: 2006:10. Adapun tahapan pelaksanaan Lesson Study adalah plan atau merencanakan, do atau melaksanakan, dan see atau mereleksi Sumar Hendayana: 2006:10.. Dengan kata lain lesson study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tidak pernah berakhir continous improvement. Berikut ini merupakan skema kegiatan lesson study . 144 Gambar 1. Adapun variabel terikat pada penelitian ini adalah kompetensi guru kelas yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sesuai permendiknas no 16 tahun 2007 tentang standar kualiikasi akademik dan kompetensi guru. Sebelum melakukan lesson study dengan tahapan di atas, terlebih dahulu dilakukan kegiatan pra lesson yaitu membentuk kelompok lesson study dan menfokuskan lesson study. Langkah pertama adalah membentuk kelompok Lesson Study. Penentuan anggota kelompok didasarkan pada kemauan, minat dan komitmen untuk melakukan inovasi dan memperbaiki kualitas pendidikan. Adapun anggota kelompok LS meliputi pendidik, dosen, dosen mahasiswa yaitu MS. Mustofa, S.Ag, Siti Fauziyah, S.Pd.I, Siti Annisah, M.Pd, Nurul Aifah, M.Pd,I., Yunita Wildaniati, M.Pd., Nasip Sukardi, Siti Yulaikah, Dara Wahyu Kusuma Sari, Dewi Indah Syah, Muslikah, Nur Asih Puji Astuti. Selanjutnya, setiap anggota kelompok Lesson Study harus memiliki komitmen untuk menyediakan waktu khusus untuk mewujudkan atau mengimplementasikan Lesson Study. Langkah kedua adalah menfokuskan lesson study. Dari sekian banyak permasalahan, akhirnya mengerucut pada kemampuan guru kelas dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif pada implementasi kurikulum 2013 yang akan diberlakukan pada semester ganjil Tahun Pelajaran 20142015 di lingkungan Kementerian Agama. Hal yang menjadi topik adalah kesiapan dan kemampuan guru kelas dalam menerapkan pembelajaran tematik integratif yang tentunya sangat berbeda dengan pembelajaran sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2014 atau pada semester ganjil TP. 20142015. Pengumpulan data penelitian menggunakan lembar observasi dan wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Lembar observasi digunakan untuk untuk mendapatkan data tentang kompetensi guru, kegiatan siswa belajar, dan proses pembelajaran tematik integratif, wawancara 145 digunakan untuk untuk mendapatkan data tentang pendapat guru, sikap guru, kendala-kendala yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif, catatan lapangan digunakan untuk mencatat hal-hal penting selama proses pembelajaran berlangsung. Kemudian data hasil observasi, wawancara, catatan lapangan dianalisis secara kualitatif. Hasil Penelitian Pelaksanaan lesson study dalam pembelajaran tematik integratif ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

a. Perencanaan pembelajaran plan