24
Berdasarkan Tabel 6. dapat dideskripsikan bahwa secara umum memiliki persentase yang termasuk dalam kualiikasi tidak
berpengaruh, artinya bahwa siswa memiliki bahan ajar yang dapat menunjang pembelajaran kimia dan siswa merasa alat-alat yang
digunakan di laboratorium cukup lengkap.
d. Lingkungan Masyarakat
Indikator lingkungan masyarakat terdiri dari sub indikator wilayah tempat tinggal. Dibawah ini disajikan tabel persentase
indikator lingkungan sekolah untuk setiap butir pernyataan sebagai berikut:
Tabel 7. Persentase Pernyataan Indikator Lingkungan Masyarakat
Sub Indi- kator
Nomor Pernyata-
an Pernyataan
Persen- tase
Kriteria
Wilayah tempat
tinggal 15
Saya sering terganggu dengan suara bising
yang ada disekitar rumah saya ketika
belajar. 56,88
Cukup Berpen-
garuh
Berdasarkan Tabel 7. pada pernyataan nomor 15 yakni “Saya sering terganggu dengan suara bising yang ada disekitar rumah saya
ketika belajar” memiliki nilai persentase 56,88. Nilai persentase ini menunjukkan bahwa pada umumnya siswa merasa sering terganggu
dengan suara bising yang ada disekitar rumah mereka ketika belajar, sehingga dapat dikatakan pada pernyataan ini termasuk dalam
kualiikasi cukup berpengaruh. Berdasarkan penjelasan dari tiap pernyataan di masing-masing
sub indikator, kemudian ditentukan persentase rata-rata untuk mendapatkan kriteria tiap indikator yang kemudian disajikan dalam
tabel berikut:
25
Tabel 8. Persentase Rata-Rata Tiap Indikator No
Indikator Persentase
Rata-Rata Kriteria
1. Diri Sendiri
72,4 Tidak Berpengaruh
2. Lingkungan Keluarga
68,44 Tidak Berpengaruh
3. Lingkungan Sekolah
71,56 Tidak Berpengaruh
4. Lingkungan Masyara-
kat 56,88
Cukup Berpengaruh Dari Tabel 8. didapatkan persentase rata-rata pada setiap indikator
sebagai berikut: a. Diri Sendiri
Pada indikator diri sendiri persentase rata-rata yang didapatkan yakni 72,4. Hal ini menunjukkan bahwa indikator diri sendiri
termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh.
b. Lingkungan Keluarga Pada indikator lingkungan keluarga persentase rata-rata yang
didapatkan yakni 68,44. Hal ini menunjukkan bahwa indikator lingkungan keluarga termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh.
c. Lingkungan Sekolah Pada indikator lingkungan sekolah persentase rata-rata yang
didapatkan yakni 71,56. Hal ini menunjukkan bahwa indikator lingkungan sekolah termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh.
d. Lingkungan Masyarakat Pada indikator lingkungan masyarakat persentase rata-rata yang
didapatkan yakni 56,88. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria indikator lingkungan masyarakat termasuk dalam kriteria cukup
berpengaruh.
Penutup
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada kelas XI MIA Reguler SMA Al-Hasra, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
kesulitan pada materi larutan penyangga yang telah dilaksanakan dengan pemberian tes berupa soal pilihan ganda dengan jumlah
20 soal kepada siswa. Dari 40 siswa yang mengikuti tes, hanya 12 siswa yang dapat memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal KKM
dan 28 siswa lainnya belum dapat mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal KKM. Menurut Abin Syamsuddin 2005, jika mayoritas
26
siswa nilai prestasinya tidak dapat mencapai batas lulus minimum acceptable performance
, kita dapat menyimpulkan bahwa kelas yang bersangkutan patut diduga sebagai kasus yang mengalami kesulitan
belajar. Tes yang diberikan ke siswa terdiri dari 3 tingkat kognitif yang
berupa pengetahuan C1, pemahaman C2 dan penerapan C3. Berdasarkan jawaban siswa, diperoleh hasil bahwa dari 40 siswa
ternyata secara keseluruhan siswa memperoleh nilai rata-rata sebesar 57,13. Kemudian, berdasarkan perhitungan hasil yang diperoleh
siswa pada tiap-tiap aspek yang diukur yaitu berupa pengetahuan C1 sebesar 55,56 dengan kriteria sedang. Pada aspek pemahaman
C2 sebesar 33,75 dengan kriteria rendah. Pada aspek penerapan C3 sebesar 32,22 dengan kriteria rendah.
Menurut Suwarto 2013, kesulitan karena mata pelajaran mungkin berkenaan dengan keabstrakan konsep. Suatu mata pelajaran yang
bersifat hierarki, yaitu dimulai dari yang paling mudah hingga yang paling sukar akan memerlukan pemahaman yang berkesinambungan.
Apabila kesulitan di suatu konsep yang mendasar tidak diatasi, maka akan menimbulkan kesulitan untuk memahami konsep yang
berikutnya. Berdasarkan pendapat ini, kesulitan belajar adalah kekurangmampuan siswa dalam menguasai materi.
Berdasarkan Tabel 3. persentase kesulitan tertinggi yaitu pada aspek pengetahuan C1 yakni
mengidentiikasi komponen dan sifat larutan penyangga
. Dalam memahami konsep larutan penyangga, siswa sebelumnya harus mengetahui pengertian larutan penyangga,
senyawa asam lemah, basa lemah, asam kuat dan basa kuat. Prasyarat tersebut perlu diketahui dan dipahami siswa agar tidak mengalami
kesulitan dalam aspek ini.
Menurut Caryono dan Suhartono 2012, Kesulitan belajar sering terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan antara pengetahuan
baru dengan pengetahuan lamanya sehingga menimbulkan ketidakpahaman atau ketidakjelasan suatu pelajaran.
Pada hakikatnya pembelajaran yang sesuai untuk kelompok siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah dengan mendapatkan
perlakuan analisis kesulitan belajar dan pelayanan remedial. Namun kenyataannya analisis kesulitan belajar dan pelayanan remedial ini
tidak dilakukan oleh guru. Analisis kesulitan belajar siswa merupakan salah satu tugas guru dalam mengajar. Selain sebagai model yang
dijadikan dasar dalam rangka menyesuaikan program pembelajaran
27
yang didasarkan atas individualitas siswa, juga untuk menemukan anak yang memerlukan analisis yang lebih rinci tentang kesulitan
belajar mereka Djamarah, 2011.
Selain pemberian tes, kesulitan belajar siswa dapat dilihat berdasarkan hasil pemberian angket tentang faktor-faktor yang
menyebabkan kesulitan belajar siswa berdasarkan beberapa indikator, diantaranya:
1. Indikator Diri Sendiri
Indikator diri sendiri memperoleh persentase sebesar 72,4 dengan kriteria tidak berpengaruh. Namun berdasarkan sub
indikator Kesiapan dan Perhatian serta sub indikator Minat dalam indikator diri sendiri, memperoleh persentase sebesar 57,5 dan
51,88. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator diri sendiri tidak berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa, tapi
beberapa siswa merasa bahwa indikator diri sendiri berpengaruh dalam kesulitan belajar.
2. Indikator Lingkungan Keluarga Indikator lingkungan keluarga memperoleh persentase sebesar
68,44 dengan kriteria tidak berpengaruh. Namun berdasarkan sub indikator Perhatian dan Dukungan Orang tua dalam indikator
lingkungan keluarga, memperoleh persentase sebesar 57,5. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator lingkungan
keluarga tidak berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa, tapi beberapa siswa merasa bahwa indikator lingkungan keluarga
berpengaruh dalam kesulitan belajar.
3. Indikator Lingkungan Sekolah Indikator lingkungan sekolah memperoleh persentase sebesar
71,56 dengan kriteria tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator lingkungan sekolah tidak
berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa.
4. Indikator Lingkungan masyarakat Indikator lingkungan masyarakat memperoleh persentase sebesar
56,88 dengan kriteria cukup berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator lingkungan masyarakat
berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa.
Berdasarkan pembahasan dari hasil tes dan angket dapat dihubungkan bahwa rendahnya nilai siswa disebabkan oleh
faktor lingkungan masyarakat, sehingga menyebabkan 70 siswa
28
mendapatkan nilai di bawah KKM. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan masyarakat saat ini dapat memberikan dampak buruk
terhadap prestasi belajar siswa.
Menurut Sabri 2007, terdapat beberapa faktor yang dapat menyababkan kesulitan belajar bagi siswa, yaitu: rendahnya
kemampuan intelektual atau kecerdasan anak, gangguan-gangguan perasaan atau emosi, kurangnya motivasi dalam belajar, kurangnya
kematangan untuk belajar, latar belakang sosial yang tidak menunjang, kebiasaan belajar yang kurang baik, kemampuan mengingat yang
lemah atau rendah, terganggunya alat indera, proses belajar mengajar yang tidak sesuai, dan tidak adanya dukungan dari lingkungan belajar.
Menurut pendapat lain yaitu Djamarah 2011 menyatakan bahwa: “Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak didik tidak dapat
belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan, ataupun gangguan dalam belajar.” Oleh sebab itu, dapat dikatakan siswa
kelas XI MIA Reguler SMA Al-Hasra cenderung mengalami kesulitan belajar karena mendapatkan gangguan dari lingkungan masyarakat
yang tidak kondusif.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan kesulitan
belajar siswa adalah lingkungan masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari persentase tiap-tiap indikator faktor-faktor penyebab kesulitan
belajar siswa yang meliputi : 1. Diri Sendiri dengan persentase 72,4 termasuk dalam kriteria
tidak berpengaruh. 2. Lingkungan Keluarga dengan persentase 68,44 termasuk dalam
kriteria tidak berpengaruh. 3. Lingkungan Sekolah dengan persentase 71,56 termasuk dalam
kriteria tidak berpengaruh. 4. Lingkungan Masyarakat dengan persentase 56,88 termasuk
dalam kriteria cukup berpengaruh.
29
Daftar Pustaka
Caryono, Suhas dan Suhartono. 2012. Analisis Deskriptif Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Mata Pelajaran Matematika di
SMA Negeri 8 Purworejo Tahun Pelajaran 20122013. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA
UNY
. Makalah di Presentasikan dalam seminar nasional matematika dengan tema “Kontribusi Pendidikan Matematika
dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa” pada tanggal 10 november 2012 di jurusan pendidikan
matematika FMIPA UNY.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Faika, Siti dan Side, Sumiati. 2011. Analisis Kesulitan Mahasiswa
dalam Perkuliahan Kimia Dasar di Jurusan Kimia. Jurnal Chemica
Vol. 2 Nomor 2. Kalsum, Siti dan Devi, Poppy K
. 2009. KIMIA 2 SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Kurnia, Feni, Zulherman dan Fathurohman, Apit. 2014. Analisis Bahan Ajar Fisika SMA Kelas XI di Kecamatan Indralaya
Utara Berdasarkan Kategori Literasi Sains. Jurnal Inovasi dan Pembelajaran Fisika Vol.1 No.1, ISSN : 2355-7109.
Universitas Sriwijaya.
Marsita, Resti A, Priatmoko, Sigit dan Kusuma, Ersanghono. 2010. Analisis Kesulitan belajar Kimia Siswa SMA dalam Memahami
Materi Larutan Penyangga dengan menggunakan Two- Tier Multiple Choice Diagnostic Instrument. Jurnal Inovasi
Pendidikan Kimia
Vol. 4, No.1. Permana, Irvan. 2009. Memahami Kimia SMAMA Kelas XI Semester 1
dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Alam . Jakarta: Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional. Sabri, Alisuf. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Sapuroh, Siti. 2010. “Analisis Kesulitan Belajar Siswa dalam
Memahami Konsep Biologi pada Konsep Monera”. Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salmeto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
30
Somadoyo, Samsu. 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudijono, Anas. 2011. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Suwarto. 2013. Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran Penduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syamsudin, Abin. 2005. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Zuliani. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.
TANTANGAN IMPLEMENTASI
PROFESSIONAL LEARNING
2
32
33
FOBIA SEKOLAH PADA ANAK SEKOLAH DASAR DAN UPAYA GURU UNTUK
MENGATASINYA
Sri Wuryastuti
Universitas Pendidikan Indonesia UPI Bandung
Abstrak: Anak yang mengalami fobia sekolah akan cenderung mengalami kesulitan dalam berhubungan secara sosial. Anak
yang memiliki kemampuan berhubungan dengan teman sebaya cenderung lebih mudah untuk bergaul, bermain dan
menyesuaikan diri. Sebaliknya anak yang tidak memiliki kemampuan untuk berhubungan sosial cenderung mengalami
kesulitan berhubungan secara sosial dengan teman sebayanya.
Anak usia sekolah dianggap lebih dewasa secara isik dan psikologis dan dalam hal kematanagan emosi. Sehingga ketika
saat pertama masuk ke sekolah, seharusnya hal itu menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan karena anak akan
melihat dan mengalami hal-hal yang baru. Misalnya anak akan memakai seragam, tas serta peralatan sekolah yang baru,
teman-teman baru, guru baru serta lingkungan yang baru. Hal itu merupakan harapan dari orang tua dan guru. Harapan
orang tua atau guru tersebut tidak selalu menjadi kenyataan, karena ada beberapa anak yang mengalami kekhawatiran
atau ketakutan untuk ke sekolah. Ketakutan pada anak untuk bersekolah sebenarnya merupakan suatu hal yang biasa terjadi.
Rasa takut anak pada umumnya sebagai tanggapan untuk melindungi diri dari suatu hal. Namun pada beberapa anak,
ketakutan tersebut dapat menjadi suatu hal yang irrasional dan berdampak sangat besar pada keinginan untuk tidak sekolah.
Hal irrasional seperti inilah yang dinamakan fobia sekolah.
Kata kunci: Fobia Sekolah, Upaya Guru
34
Pendahuluan
Selain masalah konlik sosial, anak yang mengalami Attention Deicit Hyperactivity Disorder ADHD juga dapat mengalami
kesulitan berperilaku dan kesulitan bersosialisasi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kosasih 2012: 7 bahwa ADHD memberikan
gambaran tentang suatu kondisi medis yang mencakup disfungsi otak. Jika terjadi pada seorang anak, keadaan tersebut dapat menyebabkan
berbagai kesulitan belajar, kesulitan berperilaku dan kesulitan bersosialisasi.
Selain masalah konlik sosial, masalah perkembangan sosial lainnya yang terjadi pada anak-anak adalah gejala fobia sosial social
auxiety disorder. Anak yang mengalami gejala fobia sosial, merasakan
kecemasan sosial yang irrasional, rasa takut dan malu yang berlebihan dalam interaksi sehari-hari. Menurut Tirtojiwo 2002, ganngguan
kecemasan sosial mempengaruhi emosi dan perilaku. Hal ini juga dapat menyebabkan gejala isik yang signiikan. Tanda-tanda gejala
emosi dan perilaku kecemasan sosial termasuk: 1
Takut secara berlebihan ketika berinteraksi dengan orang lain. 2
Takut situasi dimana orang tersebut merasa dinilai. 3
Takut memalukan diri sendiri 4
Takut bahwa orang lain akan melihat bahwa dirinya cemas 5
Kecemasan yang mengganggu rutinitas, sekolah atau pekerjaan lain.
6 Menghindari melakukan sesuatu atau berbicara dengan orang
karena takut malu. 7
Menghindari situasi dimana yang bersangkutan menjadi pusat perhatian.
8 Kesulitan membuat kontak mata.
9 Kesulitan berbicara.
Sedangkan menurut Ayub, fobia sosial merupakan gangguan yang biasanya mulai timbul sejak dini dan bersifat kronik. Bila
tidak diobati akan cepat menimbulkan berbagai keterbatasan dalam kehidupan sosial, aktiitas profesional, kemampuan mencari nafkah dan
berkontribusi pada masyatakat luas. Sedangkan menurut Stravynski 2007 orang yang mengalami fobia sosial mempunyai gejala-gejala
yaitu detak jantung lebih cepat, pernafasan lebih cepat, otot tegang, dan ingin buang air kecil. Menurut Soemanto 2012:188, kecemasan-
kecemasn tersebut yang menggambarkan keadaan emosional peserta didik dapat meyebabkan anak menolak untuk pergi ke sekolah atau
fobia sekolah.
Anak yang mengalami fobia sekolah akan cenderung mengalami
35
kesulitan dalam berhubungan secara sosial. Anak yang memiliki kemampuan berhubungan dengan teman sebaya cenderung lebih
mudah untuk bergaul, bermain dan menyesuaikan diri. Sebaliknya anak yang tidak memiliki kemampuan untuk berhubungan sosial
cenderung mengalami kesulitan berhubungan secara sosial dengan teman sebayanya.
Berdasarkan penelitian Ahman Aianti, 2014 diketahui bahwa siswa sekolah dasar cenderung lemah dalam kemampuan menghargai
teman sebaya, belum memiliki kemampuan untuk bersaing dengan teman sebaya secara sportif dan kurang setia kawan. Padahal
disisi lain anak memiliki keinginginan untuk diperhitungkan dan mendapatkan mendapatkan tempat dalam kelompok sebayanya.
Kondisi yang dikemukakan Ahman dari hasil penelitiannya tersebut menurut penulis dapat menimbulkan terjadinya konlik sosial yang
terjadi diantara teman sebaya. Dari konlik sosial akan menyebabkan terjadinya bulying dan dampak selanjutnya adalah fobia sekolah.
Anak usia sekolah dianggap lebih dewasa secara isik dan psikologis dan dalam hal kematanagan emosi. Sehingga ketika saat
pertama masuk ke sekolah, seharusnya hal itu menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan karena anak akan melihat dan mengalami
hal-hal yang baru. Misalnya anak akan memakai seragam, tas serta peralatan sekolah yang baru, teman-teman baru, guru baru serta
lingkungan yang baru. Hal itu merupakan harapan dari orang tua dan guru. Harapan orang tua atau guru tersebut tidak selalu menjadi
kenyataan, karena ada beberapa anak yang mengalami kekhawatiran atau ketakutan untuk ke sekolah. Ketakutan pada anak untuk
bersekolah sebenarnya merupakan suatu hal yang biasa terjadi. Rasa takut anak pada umumnya sebagai tanggapan untuk melindungi
diri dari suatu hal. Namun pada beberapa anak, ketakutan tersebut dapat menjadi suatu hal yang irrasional dan berdampak sangat besar
pada keinginan untuk tidak sekolah. Hal irrasional seperti inilah yang dinamakan fobia sekolah.
Menurut Tridhonanto 2014 fobia sekolah biasanya terjadi pada masa transisi seperti menjelang kenanikan kelas, awal tahun ajaran
atau masuk sekolah baru TK SD. Epidemiologi fobia sekolah terjadi antara 1 sampai 5 terjadi pada hampir semua sekolah, presentase
kejadian sama, antara anak laki-laki dengan anak perempuan, walauppun fobia sekolah terjadi pada semua umur sekolah tetapi
hanya terjadi pada usia 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 11 tahun, tidak ada perbedaan sosial ekonomi yang memengaruhi fobia sekolah Fremont
dalam Handayanti dkk, 2007.
Sedangkan menurut Hurlock 1996, anak perempuan biasanya
36
lebih banyak mengalami fobia sekolah. berkisar sekitar 75 dibandingkan anak laki-laki yang hanya 25. Hal ini terjadi karena
anak perempuan biasanya lebih memperlihatkan rasa takutnya akan sekolah dibandingkan anak laki-laki. Sedangkan menurut Davidson
1960 kemungkinan terjadinya fobia sekolah pada anak laki-laki dan perempuan adalah sama.
Pengertian Fobia Sekolah
Secara lebih detil Miller, Barret dan Hamped Rini; 2013: 4.11 mendeinisikan fobia sebagai jenis tertentu dari ketakutan yang tidak
proporsional terhadap realitas dari situasi, tidak dapat dikontrol secara disengaja, menyebabkan individu menghindari situasi yang
di takuti, bertahan dalam periode waktu yang lama, dan bersifat maladaptif.
Berikut ini pengertian fobia sekolah oleh beberapa pakar. Harlock 1993 mendeskripsikan fobia sekolah sebagai keengganan bersekolah
secara total atau sebagian dan dinyatakan dengan gejala isik misalnya rasa mual, tidak ingin makan, dan sedikit demam. Anak itu mungkin
pergi kesekolah lalu mengeluh tentang masalah somatik seperti sakit perut atau sakit kepala. Sedangkan Kelly 2005 berpendapat bahwa
school phobia
berkenaan dengan rasa keengganan yang luar biasa dari anak untuk pergi ke sekolah yang merupakan dampak dari
kecemasan yang hebat dan rasa takut yang tidak wajar. Hal ini disertai dengan gejala somatik yang selalu digunakan sebagai alasan untuk
tetap dirumah dan sering hilang setelah anak tersebut yakin bahwa dia tidak harus bersekolah. Sedangkan menurut C’soti 2013 fobia
sekolah bukanlah “fobia” sebenarnya. Hal ini jauh lebih kompleks dan melibatkan gangguan termasuk
“separation anxiety”, “agora phobia” dan fobia sosial, meskipun kecemasan ini berpusat disekitar lingkungan
sekolah. Pada kenyataannya, anak fobia sekolah takut meniggalkan rumah yang aman.
Jadi fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah. Anak merasakan tidak aman, sensitif dan seringkali tidak
tahu bagaimana harus menghadapi emosi yang mereka rasakan. Mereka merasa tegang dan sakit secara isik setiap saat masuk sekolah.
Proses Terjadinya Fobia Sekolah
Menurut Mahendratto dalam Armaliani 2008, fobia sekolah dapat terbentuk oleh sugesti negatif yang terjadi di sekolah, adanya
serangkaian peristiwa yang sangat buruk, menakutkan ataupun menyakitkan di masa lalu. Semakin ekstrim intensitas peristiwanya,
semakin kuat potensi fobianya. Kebanyakan fobia terjadi pada masa
37
kanak-kanak walaupun dapat juga terjadi saat dewasa. Ciri-ciri psikis antara lain muncul rasa cemas atau takut, tetapi tanpa dasar yang jelas
dan cenderung panik. Ciri isik antara lain gemetar, nafas menjadi cepat dan jantung berdebar debar. Saat seseorang mengalami serangkaian
peristiwa buruk traumatis ataupun ekstrim, timbul ketegangan luar biasa. Karena tubuh manusia tidak mungkin terus menerus tegang,
upaya peredaan ketegangan biasanya dilakukan manusia secara tanpa sadar melalui mekanisme pertahanan diri dengan cara penekanan
repression gangguan tersebut ke bawah sadar.
Jika seseorang tidak mampu mengatasi peristiwa traumatis tersebut, praktis pertumbuhan normal mentalnya mengalami
penurunan degradasi ataupun terhenti iksasi. Pada peristiwa iksasi tersebut, mental kita membentuk konigurasi tertentu dan
relatif permanen. Di kemudian hari jika terdapat stimulan yang sama atau mirip, maka pola respon yang akan dipakai adalah pola respon
yang terakhir dikenal atau biasa disebut regresi. Pada kebanyakan orang, fobia dianggap tidak penting ataupun mengganggu dirinya.
Sesungguhnya fobia sangat merugikan pertumbuhan normal mental seseorang dan biasanya kerugian tersebut baru disadari saat
semuanya sudah sangat terlambat kehilangan waktu, kesempatan dan kehidupan sosial.
Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci yang disebabkan oleh ketidak mampuan orang yang
bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya.
Faktor-faktor penyebab terjadinya fobia sekolah 1 Bullying
Bullying mengarah pada tindakan yang menggagu orang lain,
dilakukan secara sengaja dan sifatnya tekanan isik ataupun psikologis. Agar lebih lengkap pemahaman tentang bullying
penulis kemukakan tentang bullying dari beberapa pakar. Erling Rolland Brendan Bryne,1994:13 berpendapat bahwa bullying
adalah kekerasan yang terjadi dalam waktu lama, secara isik atau psikologi yang dikondisikan secara individu atau kelompok yang
tidak dapat membela dirinya sendiri dalam situasi yang nyata.
Sedangkan Delwyin Tattum Brendan Bryne,1994:12 menyatakan bahwa bullying mencakup tindakan anti sosial seperti serangan,
pemerasan, intimidasi dan kekerasan. Bullying merupakan kekerasan yang terjadi secara kontinum dan dilakakukan secara
sadar dan disengaja.
Sebagai korban bullying, secara psikologis akan merasa cemas dan takut. Dampak lain yang dirasakan oleh korban bullying adalah:
38
depresi, rendahnya kepercayaan diri atau minder, pemalu dan penyendiri, merosotnya prestasi akademik, merasa terisolasi
dalam pergaulan, terpikir atau mencoba untuk bunuh diri. Penderita mental yang dirasakan menyebabkan anak korban
bullying mempunyai kenginan untuk terus menerus tinggal di rumah dan mogok ke sekolah, kerena masa ketakutan dan
kecemasan yang sangat mendalam kepada pelaku bullying. Jadi bullying yang terjadi di sekolah menyebabkan anak korban
bullying mengalami fobia sekolah. Selain bullying, ada kekerasan lain yang terjadi pada anak
yang dinamakan Child abuse. Child abuse adalah tindakan melukai yang berulang-ulang baik secara isik maupun emosinal
kepada anak yang harusnya dilindungi, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi, dan cemoohan
yang permanen, atau kekerasan seksual dimana hal ini biasanya dilakukan oleh para orang tua atau pihak lain yang seharusnya
merawat dan melindungi anak-anak itu Suyanto, 2013:90.
2 Tidak suka pada guru Terdapat beberapa anak yang tidak menyukai perilaku guru
terutama guru yang galak. Sebagai bentuk rasa ketidaksukaannya pada guru maka ia menjadi malas ke sekolah. Dalam hal ini
guru harus mengintropeksi diri. Guru harus mengubah perilaku tersebut, guru harus bersikap empatik, menerima, hangat dan
terbuka kepada peserta didik. Seperti yang diungkapkan oleh Mulyasa 2005: 172 bahwa guru harus bersikap positif dan
bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan di sekolah dan melibatkan peserta didik secara optimal dalam pembelajaran.
Jika guru tidak bersikap demikian berarti guru tersebut tidak bertanggung jawab dan membiarkan peserta didik malas ke
sekolah.
3 Tidak bisa lepas dari ibu Hal ini terjadi pada anak-anak yang memppunyai ibu yang
tinggal di rumah. Berbeda dengan anak yang mempunyai ibu yang bekerja, anak sudah terbiasa dan menyadari bahwa mereka
harus ditinggal untuk bekerja. Seandainya ibu sering di rumah, maka ia seringkali kalah melawan kemauan anaknya yang selalu
ingin dekat dengan anaknya. Dalam hal ini ibu tidak berhasil meyakinkan anak bahwa pergi ke sekolah adalah suatu yang
menyenangkan.
4 Merasa tak mampu Karena kemampuan kognitif yang tidak mempu untuk menerima
pelajaran dari guru, maka anak akan butuh waktu yang lebih lama
39
dalam menangkap apa-apa yang diberikan guru. Akibatnya ia menolak semua tugas yang diberikan pedanya dan jika kondisi
ini tidak teratasi maka ia tidak segan untuk mogok sekolah. 5 Beban sekolah yang terlalu berat
Menurut Seto Mulyadi, dalam Har 2008 akibat beban kurikulum yang terlalu berat tidak mengherankan bila sebagian anak saat
ini mengidap fobia sekolah. Manifestasinya bisa bermacam- macam, misalnya anak sering mengaku pusing tidak enak badan
menjelang sekolah serta “sejuta” alasan lain agar tidak sekolah pada hari itu. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Diana
Patter 2008 bahwa kecemasan pada anak yang menimbulkan fobia sekolah disebabkan oleh tuntutan sekolah seperti tes, tugas
pekerjaan rumah dan adanya pengganggu.
6 Pola asuh orang tua. Hubungan anak dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan
dasar bagi perkembangan emosional dan sosial sekolah anak. Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang orang tua
merupakan kunci utama perkembangan sosial anak Desmita, 2012: 144.
Fobia sekolah dapat disebabkan dari faktor orang tua yang selalu memanjakan atau sangat menyayangi anaknya. Akibatnya anak tidak
mandiri dan tergantung pada orang tua. Hal ini ikut menyumbang perilaku anak yang menolak pergi ke sekolah. Hal senada diperkuat
oleh pendapat Richard M. Suinn 1970 bahwa perilaku menyimpang seperti fobia sekolah dilakukan oleh anak-anak dan diperkuat oleh
orang lain yang masih terkait.
Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency
ketergantungan, rasa kurang percaya diri dan kekawatiran yang berlebihan Meilina, 2010. Hal ini didukung oleh pernyataan Inger
Olsen dan H. Coleman 1964 bahwa fobia sekolah yang terjadi pada anak-anak biasanya disebabkan oleh kecemasan untuk berpisah dan
ketergantungan antara orang tua dan anak terutama ibu.
Saat ini memang kejahatan terhadap anak semakin marak, seperti masalah penculikan atau penganiayaan anak. Namun perlu diketahui
oleh orang tua agar jangan samapai kekawatiran itu terlalu berlebihan sehingga anak juga merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa
menghadapi masalah tersebut.
Selain hal-hal tersebut diatas menurut Nunik 2007 dari hasil penelitiannya, ada hubungan negatif antara harga diri dengan
kecenderungan fobia sekolah pada anak sekolah dasar. Anak yang
40
memiliki harga diri tinggi akan memilki kecenderungan fobia sekolah yang rendah.
Penanganan Fobia Sekolah Pada Anak Sekolah Dasar
Setiap individu dalam kehidupannya pasti mengalami tantangan kesulitan ataupun masalah dan tidak ada seseorang yang hidup
di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan terutama di zaman global ini. Tekanan akibat peristiwa hidup sehari-hari ketika
terakumulasi akan menjadi sumber gangguan dalam diri seseorang Mountheit dan Gilboe dalam Ariyani, 2012. Demikian juga dengan
anak, dilingkungan sekolah anak akan mengalami berbagai peristiwa baik positif atau negatif. Peristiwa positif seperti kegiatan yang
menyenangkan, guru dan teman yang baik. Sedangkan peristiwa yang negatif seperti teman yang bandel, guru yang galak dan tugas
sekolah yang memberatkan, dan sebagainya. Jika peserta didik yang mendapat tantangan yang besifat negatif dan pulih kembali dari
pengalaman tersebut serta meneruskan hidup dengan normal bahkan mampu meningkatkan kompetensinya, itulah yang diharapkan oleh
orang tua dan guru.
Seperti sudah penulis paparkan di atas bahwa, dari beberapa kasus yang menimpa pada anak, baik itu kekerasan isik maupun psikologis
atau beban tugas yang terlalu berat dapat mengakibatkan anak trauma untuk pergi ke sekolah. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak usia
sekolah dasar saja tetapi juga terjadi pada anak yang usianya lebih dewasa. Seperti yang diungkapkan oleh Antono 2012 yaitu fenomena
yang ada pada anak MTs Al Uswah Kabupaten Semarang, antara lain masih banyak anak yang terlambat masuk sekolah karena takut belum
mengerjakann pekerjaan rumah PR. Kasus tersebut dapat memicu terjadinya fobia sekolah pada anak.
Secara kuantitas, berdasarkan hasil penelitian, kasus fobia sekolah sudah sangat meresahkan bagi orang tua dan guru. Untuk itu perlu
penanganan yang serius, agar anak dapat melewati masa sekolah dengan nyaman tanpa kekerasan sehingga dapat menjadi anak yang
mandiri, berkualitas dan berkarakter.
Sebelum membahas tentang penanganan fobia sekolah pada anak sekolah dasar, penulis perlu membahas dulu tentang persiapan
mental pada anak untuk masuk ke jenjang sekolah dasar, menurut Al Tridhonanto 2014 sebagai berikut :
1 Teman baru Memberitahukan kepada anak bahwa nanti di sekolah baru
mereka akan bertemu dengan banyak teman sehingga anak akan
41
merasa dia tidak sendirian. Mereka akan bertemu dengan teman sebayanya sehingga rasa takut bertemu dengan orang asing, dan
guru-guru serta lingkungan baru bisa sedikit dikurangi. 2 Baju sekolah baru
Biasanya jika anak dibelikan baju baru untuk sekolah maka ia akan termotivasi untuk segera berangkat ke sekolah dengan semangat
dan rasa ingin tahu yang lebih. 3 Lingkungan sekolah
Pastikan anak sudah menganal daerah dan lingkungan sekolahnya sebelum sekolah dimulai. Hal ini dilakukan agar anak tidak merasa
asing dan merasa sudah mengenal sekolahnya jauh lebih dulu dari teman-temannya dan ini bisa membangkitkan rasa percaya
diri pada anak.
4 Hari pertama sekolah Jangan membiarkan anak sendirian di hari pertama sekolahnya.
Sehingga anak akan merasa canggung dengan lingkungan barunya meskipun ada juga sebagian anak yang sudah berani ditinggalkan
orang tuanya. Orang tua bisa perlahan meninggalkan sekolah jika sudah memasuki hari kedua atau ketiga.
5 Mandiri Sebelum anak masuk sekolah sebaiknya orang tua sudah
mengajarkan konsep kemandirian semenjak di rumah. Orang tua bisa mulai mengajarkan memasang sepatu sendiri, dan memasang
baju dan celana sendiri. Latihan ini dilakukan agar anak bisa melakukan sendiri tanpa bantuan orang tua.
Hal ini bertujuan untuk melatih kemadirian siswa karena seperti yang dikemukakan oleh Adawiyah 2012 bahwa kemandirian
yang dimiliki oleh siswa diwujudkan melalui kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang
lain.
6 Motivasi Orang tua sebaiknya selalu memberi pujian sebagai motivasi
bagi anak setiap kali mau ke sekolah dan setiap kali ia pulang dari sekolah.
Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa tindakan sekolah terutama guru, ketika ada kasus peserta didik yang mengalami fobia
sekolah: 1 Berusaha mendapat kejelasan tentang penyebabnya dan
meyakinkan bahwa hal tersebut bukan kesalahan anak. 2 Membantu peserta didik mengurangi ketidaknyamanan yang ia
rasakan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah
42
dimengerti. Peserta didik yang sudah merasa nyaman dengan dirinya sendiri
akan membuat dia nyaman berhubugan dengan orang lain. Hal ini berkaitan erat dengan kecerdasan interpersonal. Menurut
Erham Wildan 2014 bahwa kecerdasan interpersonal bukanlah tumbuh dengan sendirinya, tetapi merupakan kecakapan yang
dipelajari yang memungkinkan orang berhubungan dengan orang lain dengan cara yang saling menguntungkan. Kecerdasan
interpersonal merupakan kecerdasan yang tidak bisa dilepaskan dari kecerdasan intrapersonal, karena anak yang bisa berhubungan
secara baik dengan dirinya sendiri akan mampu memiliki kebutuhan pribadinya sehingga nyaman secara psikologis.
Demikian juga apabila dia merasa terlindungi dalam situasi sosial dia akan mampu bertindak dengan cara yang tepat tanpa merasa
terancam.
3 Meminta bantuan pihak ketiga yaitu konselor untuk membantu mengembalikan anak ke kondisi normal jika dirasakan perlu.
Untuk itu guru harus bisa menerima masukan dari pihak ketiga. Merupakan hal sangat penting apabila guru menerima masukan
dari pihak konselor atau guru bimbingan dan konseling karena seperti yang di kemukakan oleh Ruff dalam Bau Ratu 2012 bahwa
Asosiasi Konselor Sekolah Amerika ASCA mendeskripsikan peran konselor adalah menyediakan pelayanan bagi pendidik,
siswa, dan komunitas pendidikan untuk membentuk sekolah yang efektif. 80 dari waktu profesi konselor secara langsung
berhubungan dengan pelayanan siswa, dan tujuan utama dari konselor adalah memaksimalkan prestasi siswa melalui
peningkatan keadilan bagi siswa, kesempatan memperoleh pendidikan, dan menjamin keamanan dan kesehatan lingkungan
belajar.
4 Dengan bekerja sama dengan pihak keluarga, mengamati perilaku dan emosi peserta didik. Guru perlu mewaspadai perbedaan
ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan peserta didik di rumah dan di sekolah.
5 Membina kedekatan dengan peserta didik dan mau mendengarkan cerita mereka. Dari penjelasan diatas maka sangat wajar apabila
dibutuhkan hubungan yang harmonis antara guru dan siswa, seperti yang dikemukakan oleh Nana Syaodih 2013 bahwa hasil
dan kemajuan belajar siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara guru dan siswa. Hubungan guru dan siswa menjadi syarat
mutlak, bukan hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Karena itu guru
43
harus memahami siswa yang dibimbingnya dan sebaliknya siswa harus mengakui kewibawaan pembimbingnya.
6 Melakukan home visit dengan membawa teman sebaya. Dengan cara ini, peserta didik akan merasa dibutuhkan oleh teman-teman
sehingga dia akan merindukan lingkungan sekolah. Dari situ akan timbul keinginan untuk kembali ke sekolah.
7 Tetap menekankan pentingnya sekolah Menurut para ahli terapi yang paling tepat untuk mengatasi anak
yang mengalami fobia sekolah adalah mengajurkan untuk tetap kembali kesekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin
berkurang. Makin lama dia diizinkan tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikan lagi ke sekolah dan bahkan keluhannya
akan makin meningkat. Selain itu semakin lama dia absen akan semakin ketinggalan pelajaran dan makin sulit menyesuaikan diri
dengan teman-temannya.
8 Dalam proses pembelajaran sebaiknya guru menerapkan metode kolaboratif yang memungkinkan terjadinya hubungan timbal
balik yang harmonis antara siswa sehingga kebutuhan sosial siswa terpenuhi. Hal ini yang diungkapkan oleh Melvin 2009:30
yaitu menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut mereka bergantung satu sama
lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Pendapat yang sama
didukung oleh Vygotsky Florence Beetlestone, 2001: 25 yang sangat memperhatikan masalah bagaimana bahasa mempengaruhi
pembelajaran dan bagaimana pembelajaran ditingkatkan melalui interaksi sosial.
Berkaitan dengan metode pembelajaran kolaboratif , Davidson Whorson Wahidin,2006:143 berpendapat bahwa pembelajaran
ini dilakukan dengan cara mengelompokkan siswa dengan tujuan untuk menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif atau
mengintegrasikan ketramplilan sosial yang bermuatan akademik. Dalam metode pembelajaran kolaboratif, guru harus dapat menciptakan
situasi yang menimbulkan kerjasama dalam belajar antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru. Sadulloh,2007: 192.
Penutup
Dari uraian dan pembahasan diatas penulis akan memaparkan kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, pengertian fobia sekolah adalah ketakutan dan kecemasan yang irrasonal seorang anak untuk pergi kesekolah dengan gejal-
44
gelaja demam, sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal, berkeringat dan sebagainya. Jenis-jenis fobia sekolah mulai dari yang ringan sampai
yang berat adalah: initial school refusal behavior, substantial school refusal behavior, acute school refusal behavior,
dan chronic school refusal behavior. Kedua, proses terjadinya fobia sekolah yaitu : pertama-tama
muncul sugesti negatif yang terjadi di sekolah sehingga terjadi ketegangan yang luar biasa. Kemudian apabila ketegangan itu
terus menerus terjadi maka untuk meredakan ketegangan tersebut anak akan melakukan represi melalui alam bawah sadar. Sehingga
pertumbuhan normal mentalnya mengalami penurunan degradasi
ataupun terhenti iksasi. Ketiga , faktor-faktor terjadinya fobia sekolah antara lain adalah
: bullying, pola asuh orang tua, beban tugas yang terlalu berat dari sekolah, ketidaksukaan pada guru, dan sebagainya.
Kempat, cara penanganan kapada anak yang mengalami fobia sekolah antara lain adalah: mencarai informasi yang jelas
tentang penyebabnya, membantu anak home visit untuk mengatasi ketidaknyamanan, meminta bantuan konselor, mengamati perilaku
dan emosi peserta didik, membina kedekatan pesrta didik, melakukan dan menekankan anak untuk kembali ke sekolah.
Daftar Pustaka
Adawiyah, R. 2012. Pengembangan Model Konseling Behavior dengan Teknik Modelling untuk Meningkatkan Kemandirian
Belajar Siswa SMP N 4 Wanasari Brebes. Jurnal Bimbingan Konseling
, 21-26. Ariyani, A. M. 2012. Model Bimbingan Kelompok Berdasarkan
Pendekatan Sistem untuk Meningkatkan Resiliensi Siswa . Jurnal Bimbingan Konseling
, 14-20. Armaliani, R. 2008. Fobia Sekolah pada Anak Sekolah Dasar. Jakarta:
Universitas Gunadarma. C’soti, M. 2003. School Phobia, Panic Attacks and Auxciety in Children .
London and New York : Jessica Kingsly Publisher. Depdikbud. n.d.. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya. Eugene W. Kelly, J. 2005. School Phobia . The Journal of School Nursing,
45
147-151. Har. 2008. Beban Kurikulum Terlalu Berat, Anak Idap Fobia Sekolah.
Gemari Edisi 91Tahun IX .
Hurlock, E. 1993. Psikologi anak jilid 2, terjemahan Med Meitasari Tjandrasa Muslichah Zarkasih.
Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. 1996. Perkembangan Anak. Alih bahasa : Meitasari Tjandrasa
dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Kosasih, E. 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus . Bandung : Yrama Widya.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya . Nunik N, d. 2007. Hubungan Antara Harga Diri dengan Kecenderungan
Fobia Sekolah pada Anak Sekolah Dasar. Jogjakarta: Universitas
Islam Indonesia. Sharp, P. K. 1994. School Bullying, Insights and Perspectives . London:
Routledge. Soemanto, W. 2012. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan . Jakarta : Rineka Cipta.
Stevenson, I. 1990 . Phobias in children Who Claim to Remember Previous Lives .
Jurnal of Scientiic Exploration , 243-254. Straviynski, A. 2007. The Nature and Treatment of Social Phobia.
Cambridge: Cambridge University Press. Tridhonanto, A. 2014. Mengapa Anak Mogok Sekolah . Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional . n.d..
Yani, S. A. n.d.. Memahami Anak dan Remaja dengan Kasus Mogok Sekolah : Penyebab, Struktur Kepribadian, Proil Keluarga dan
Keberhasilan Penanganan. Jurnar Psikologi Volum 34, 55-75.
46
TANTANGAN DAN REVITALISASI PENDIDIKAN ISLAM PADA MADRASAH DI
MASA MODERN ABAD 21
Syamsul Aripin
Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : syamsul_aripin1981yahoo.com
Abstrak: Modernisasi yang terjadi pada abad 19 hingga saat ini telah membawa perubahan terhadap berbagai aspek bidang
kehidupan termasuk pendidikan Islam di Madrasah. Di era modern pendidikan Islam di madrasah dan lembaga pendidikan
Islam lainnya dituntut profesional, sebab masyarakat telah mengalami perubahan dengan mengedepankan rasionalitas.
Upaya merekonsiliasi ajaran agama dan era modern terus dilakukan kaum muslimin di madrasah hal ini untuk
menunjukkan bahwa Islam sesuai dan tidak bertentangan dengan era modern. Sebab di era modern kehidupan
manusia akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentanganberlawanan dengan Islam yakni IPTEK vs
IMTAQ, ajaran vs sekulerisasi serta spiritual vs material. Untuk itu pendidikan Islam pada madrasah juga harus meningkatkan
peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam untuk merespon kemajuan modernisasi saat ini, misalnya dengan merevitalisasi
sistem pendidikannya yang pro perubahan sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, mempersiapkan lulusan
madrasah yang handal sehingga dapat mengimbangi arus modernisasi yang ada dan tidak ketinggalan zaman dengan
tidak meninggalkan program pendidikan madrasah yang sudah ada sejak dahulu dan compatible dengan era modern abad 21 ini.
Kata kunci : Tantangan, Revitalisasi, Pendidikan Islam, Madrasah, Era Modern
Pendahuluan
Madrasahsebagai bentuk lain dari Pendidikan Islam yang menggunakan sistem kelas dan pembelajaran klasikal Nata, 2004. Sejak
awal berdirinya dikenal dominan mengajarkan muatan keagamaan, sehingga biasa disebut madrasah diniyah. Masa pertumbuhannya di
Indonesia, jam pembelajaran di madrasah umumnya dilaksanakan sore hari. Di era 70-an madrasah dipandang setara dengan sekolah
umum dengan konsekwensi kurikulumnya harus memuat seluruh
47
mata pelajaran yang ada di sekolah umum, Di Indonesia eksistensi madrasah cukup banyak. Jumlahnya diketahui sebagai berikut :
Tabel 1. Data Kuantitatif Madrasah No
Jenjang Status Negeri
Status Swasta Jumlah
1 Ibtidaiyah
1.025 23.625
24.650 2
Tsanawiyah 853
7.547 8.600
3 Aliyah
57 2.701
2.758 Madrasah merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam modern,
sebab pendidikan Islam madrasah merupakan pendidikan yang sudah menyerap sistem pendidikan modern, baik pengelolaannya maupun
proses pembelajaran serta materi pelajaran yang bukan saja belajar agama tetapi juga belajar ilmu-ilmu umum. Hal itu disebabkan bahwa
munculnya model pendidikan madrasah karena adanya persentuhan atau kontak langsung dengan model pendidikan Barat melalui Kyai
dan Ulama yang pernah belajar di Timur Tengah. Pendidikan Islam madrasah telah ada pada awal-awal kemerdekaan yang didalam
kurikulum pembelajarannya, di samping memberikan mata pelajaran agama juga mata pelajaran umum.
Sedang Madrasah di Indonesia merupakan fenomena modern yang tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari proses pembaharuan
pendidikan Islam di negeri ini. Meskipun secara kelembagaan sekolah, kandungan pendidikan madrasah terutama pada masa awal
perkembangannya mengacu pada ilmu-ilmu ke-islaman.
Meski Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam modern, Namun dalam kenyataannya menghadapi era modern Madrasah
masih menghadapi beberapa persoalan antara lain masalah kesetaraan equality,
pemerataan equity, mutu quality, kurikulum curriculum, sarana pendidikan facility dan pengelolaan governance sehingga
perlu revitalisasi. Berikut pembahasannya.
Modernisasi dan Pendidikan
Modernisasi yang terjadi sekarang ini telah merambah berbagai bidang kehidupan umat manusia dan memberikan perubahan terhadap
dunia pendidikan sehingga pendidikan mengalami modernisasi. Modernisasi semacam ini memang tidak bisa dihindarkan, bahkan
merupakan tuntutan. Tuntutan perubahan ini bukan saja berasal dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK
48
serta globalisasi, ataupun tuntutan pembangunan nasional, melainkan tuntutan masyarakat Depag RI : Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 2001. Modernisasi pendidikan yang terjadi di dunia Islam tidak lebih dari
respon positif para modernis Muslim terhadap ketertinggalan umat Islam dari kemajuan Barat modern. Modernisasi sendiri merupakan
sebuah gerakan Islam yang mencakup gerakan-gerakan “pembaruan Islam” Esposito, 1995. Menurut Fazlur Rahman modernisasi di
dunia Islam terjadi pada abad ke sembilan belas yang digerakkan oleh elit penguasa birokrat dengan tujuan menciptakan keseimbangan
equilibrium
antara masyarakat Barat dan Islam . Untuk terwujudnya hal tersebut masyarakat Muslim harus belajar dan mengadopsi
kemajuan-kemajuan yang dicapai masyarakat Barat Esposito, 1995. Salah satu karakter penting gerakan modernisasi Islam menurut
Charles Kurzman 2002 adalah muncul dan menguatnya kesadaran untuk mengadopsi nilai-nilai modern dikalangan kaum Muslim dimana
Nilai-nilai modern yang dimaksud disini antara lain rasionalitas, sains, konstitusi, konsep-konsep baru tentang nilai-nilai egalitarian
dan sebagainya. Sehingga menurut Muhammad Khalid Masud 2001 ketika lembaga pendidikan melakukan modernisasi dengan
mengambil elemen-elemen modern Barat, termasuk mengajarkan sains modern, maka kesadaran akan identitas Islam-lebih sempit lagi
dan ideologi keagamaan Islam yang mereka anut menjadi agenda yang mengemuka.
Sebaliknya, untuk modernisasi pendidikan di Indonesia, Harun Ashrohah 2001 mengatakan bahwa pada permulaan abad ke-20
masyarakat Islam Indonesia telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun
pencerahan yang diakibatkan adalah dorongan untuk melawan penjajah bangsa Belanda. Sebab tidak mungkin bangsa Indonesia
harus mempertahankan segala aktivitas dengan cara tradisional untuk melawan kekuatan-kekuatan kolonialisme Belanda.
Menurut Nurcholish Madjid 1997, modernisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia tidak bersumber dari kalangan Muslim
sendiri tetapi justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya Azyumardi Azra 1996 berpendapat bahwa modernisasi
di Indonesia berasal dari para pelajar Indonesia yang pulang dari
Mekkah yang berhasil melakukan intensiikasi Islam, maka para pelajar tersebut melakukan modernisasi di Indonesia dengan pembentukan
lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem pendidikan Belanda dengan mengambil elemen-elemen modern
Barat. Menurutnya, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan Islam Madrasah harus diperbaharui agar sesuai dengan
kerangka kemodernan dalam rangka memberdayakan masyarakat
49
Muslim menghadapi kemajuan dan tantangan dunia modern. Pola pemikiran dan kelembagaan madrasah yang modern dengan
aktivitas keagamaan, akan mewujudkan siswa yang berwawasan ilmu pengetahuan dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat sehingga
siswa siap menghadapi tantangan dunia global dengan tetap menjaga nilai-nilai religinya.
Pemrakarsa pertama modernisasi pendidikan di Indonesia dalam hal ini menurut Deliar Noer adalah organisasi-organisasi modernis
Islam seperti Jami’at al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah, dan lain- lain Azra, 1998:90. Sedangkan tokoh-tokoh modernisasi di Indonesia
antara lain Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jalaluddin, Syeh Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, dan Abdullah Ahmad Noer,
1980:5.
Pendidikan Islam dan Modernisasi
Diskursus mengenai modernisasi sebagaimana yang sedang penulis bahas ini menimbulkan tanggapan yang berbeda-beda.
Sebagian kalangan tertentu merasa bahwa modernisasi merupakan ancamam bagi eksistensi kebudayaan lokal tertentu, mengingat
modernisasi meniscayakan proses globalisasi yang menganggap bahwa dunia sebagai one world-one globe sehingga menghancurkan
sekat-sekat pembeda yang ada di dunia ini. Hal inilah yang menurut Nurcholis Madjid perlu diwaspadai dalam rangka melestarikan
mempertahankan keberagamaan manusia. Menurut Nurcholis Madjid 1987:141-142 modernisasi sering dipahami sebagai suatu
proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari satu sistem sosial praindustrial misal agraris ke sistem sosial
industrial.
Kadang-kadang juga disejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Sehingga
dalam konteks keagamaan menurutnya kehidupan industrial yang menjadi ciri modern dapat menimbulkan efek negatif dan sekaligus
menyimpan kandungan makna yang positif.
Di era modern pendidikan agama Islam dan lembaga pendidikan seperti madrasah menurut Suparman Ibrahim Abdullah dituntut
untuk dapat memberikan jawaban atas berbagai problema yang kini dihadapi seluruh umat manusia, kehidupan masyarakat yang
terus berubah dan berkembang berdampak pada pola penganutan keagamaan yang lebih rasional dan fungsional. Kemajuan dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi telah melahirkan fasilitas kehidupan dan sekaligus sistem nilai baru yang menjanjikan. Tuntutan masyarakat
akan profesionalisme semakin berkembang dalam berbagai sektor kehidupan. Otoritas ulama dalam bidang keagamaan berhadapan
dengan aneka keahlian masyarakat dalam bidang-bidang lain yang lebih pragmatis. Dalam waktu yang bersamaan, perkembangan
50
telah memudahkan pengetahuan akses masyarakat termasuk ilmu- ilmu keagamaan, yang luas dan beragama. Upaya merekonsiliasikan
ajaran-ajaran agama di madrasah dengan nilai-nilai pragmatis yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi agenda utama kaum
Muslimin sejak awal abad 20. Tujuan pokok dari usaha ini adalah menunjukkan kompitibilitas ajaran Islam yang ada di madrasah
terhadap perubahan peradaban modern di satu sisi diupayakan penyegaran dan pembaharuan pemahaman ajaran agama sejalan
dengan perkembangan aktual, dan di sisi lain dilakukan langkah spiritualisasi masyarakat modern agar tidak mengalami kehampaan
moral dan mental secara terus menerus.
Upaya ini bisa dilakukan sebab menurut Leonard Binder 1988:221 pendidikan agama Islam di madrasah dan era modern bisa
sesuai sebab nilai-nilai Islam sehingga tidak sedikitpun bertentangan dengan peradaban modern. Oleh karena itu, umat Islam yang ada
dilingkungan madrasah tanpa harus meninggalkan keyakinannya terhadap ajaran Islam dapat memasuki kemajuan yang telah diperoleh
peradaban modern. Hal senada dikemukakan Abdurrahman Wahid 1985:47 yang mengatakan bahwa antara modernisasi dan agama
adalah menyatu, menurutnya andaikata modernisasi dilepaskan dari agama maka modernisasi akan tumbuh secara bebas nilai free
of value
dan kalau ini terjadi, maka akan meruntuhkan nilai-nilai agama yang sudah ditetapkan agama. Sebab saat ilmu pengetahuan
dan teknologi berkembang pesat serta disaat ilsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan saat perdagangan bebas
dunia sudah berjalan, maka posisi dan keberadaan pendidikan agama di madrasah tampak makin dibutuhkan Rahardjo, 2008. Bahkan
di masa modern agama diharapkan dapat memberikan arahan dan perspektif baru, sehingga kehadiran agama terasa manfaatnya oleh
penganut agama.
Bentuk Tantangan Pendidikan Islam Pada Madrasah di Masa Modern
Arus modernisasi yang telah bergerak begitu cepat dan pesat telah membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan manusia.
Akibatnya umat Islam sebagai bagian dari komunitas sosial justru turut terpengaruh oleh berbagai perubahan tersebut. Modernisasi
dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif.
Nilai positif dari modernisasi dapat terlihat dari apa yang dianggap gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa
kini. Sedangkan ekses negatifnya terlihat ketika ilmu pengetahuan dan teknologi diper-Tuhan-kan. Hal ini menurut Suadi Putro 1998:46
telah memunculkan berbagai problema-problema kompleks yang pada
51
hakekatnya merupakan suatu tantangan besar yang harus dihadapi dan ditanggulangi secara efektif dan efesien. Mastuhu 1999:xi
mengungkapkan keberhasilan suatu pembangunan termasuk bidang pendidikan selalu disertai dengan tantangan-tantangan baru sekaligus
dampak negatifnya. Menurutnya kehidupan manusia di era modern akan ditandai oleh dua kecendrungan yang saling bertentangan
berlawanan dengan Islam. Bahkan Nurcholish Madjid menambahkan bahwa di era modern bentuk hubungan dinamis antara religiusitas dan
modernisasi merupakan suatu persoalan yang banyak menimbulkan kontroversi yang menurutnya akan terjadi proses yang sifatnya saling
menggusur antara proses modernisasi dengan agama. Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis kemukakan beberapa bentuk tantangan
era modern yang dihadapi pendidikan agama Islam di Madrasah.
Iptek Vs Imtak
Ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK menurut Muhaimin 2004:86 pada dasarnya suatu kebanggaan yang dicita-citakan oleh
setiap orang. Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat
manusia. Semua hasil temuan iptek di satu sisi harus diakui telah secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu
hidup manusia namun disisi lain, ketergantungan kepada sains dan teknologi IPTEK yang berlebihan tersebut akan dapat menjadikan
destruksi lingkungan dan politik totaliter.
Menurut Eti Rochaety 2006:64 kemajuan teknologi yang tidak dapat dibendung lagi, tidak hanya berdampak pada dunia pendidikan
saja, melainkan juga merambah pada nilai-nilai budaya dimasyarakat, misalnya saja budaya berpakaian fashion. Produk temuan dan
kemajuan iptek telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia sehingga akan mempengaruhi nilai, sikap, atau tingkah
laku kehidupan individu dan masyarakat yang akan mengakibatkan sebagian manusia modern terjauh dari nilai-nilai Islam dan juga
nilai-nilai kemanusiaan sehingga akan mengalami krisis nilai-nilai spiritualitas. Dimana Harun Nasution 1995:9 mengatakan bahwa
revolusi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK itu membawa problem-problem yang sulit dapat dicari pemecahannya
dewasa ini.
Dalam masyarakat modern Nurcholish Madjid mengatakan, masyarakat sering rentan terhadap depersonalisasi dan dehumanisasi.
Akibatnya ia tidak lagi mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau alienasi. Karena itu, masalah yang perlu segera
mendapat jawaban, terutama dari pendidikan Islam di madrasah adalah mampukah kegiatan pendidikan Islam di madrasah berdialog
dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai
52
dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negatif dari kemajuan tersebut.
Ajaran Islam Vs Sekulerisasi
Ajaran Islam yang selama ini mengatur seluruh kehidupan manusia di dunia ini di era modern menghadapi tantangan yang
cukup berat yakni sekulerisasi. Sekulerisasi merupakan faham yang ingin memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Sekulerisasi
mengajarkan semua urusan kehidupan di dunia ini terlepas dari ajaran agama sebab agama dan kehidupan berbeda. Hal ini bertolak
belakang dengan prinsip ajaran Islam yang selama ini menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam bukan hanya sebatas agama yang memuat
masalah hubungan manusia terhadap tuhannya saja melainkan Islam juga mengajarkan bahkan mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia dan hubungan manusia dengan alam. Sebab ajaran Islam itu holistik kaffah mencakup seluruh aspek kehidupan; ekonomi, sosial,
budaya, politik, agama, seni dan lain-lain. Dalam kalimat yang padat Muhammad Abdul Karim Khayyal mengatakan :
“Islam adalah aturan yang lengkap meliputi seluruh aspek kehidupan, Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan
masyarakat juga moral dan kekuasaan. Islam adalah rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan
hukum, kekayaan materi, kerja dan harta, jihad dan dakwah, kekuatan senjata dan konsep.”
Di Indonesia pengaruh sekulerisasi menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas 1979:11 sangat mencolok apabila dibandingkan
dengan negara Islam lainnya di dunia, sehingga menurut M. Umar Chapra 1999:1 hal ini menyebabkan orang modern berpandangan
sekuler. Menurut Fazlur Rahman 1982:43hal ini diakibatkan semakin kuatnya pengaruh Eropa terhadap dunia Islam melalui kolonialisme
dan imprialisme sehingga sekulerisasi juga mulai tertanam dan tumbuh di dunia Islam. Penyebab sekulerisasi sendiri menurut Fazlur Rahman
adalah kemandegan pemikiran Islam yang mendorong masyarakat Muslim untuk mengambil pemikiran yang berkembang di Barat tanpa
mengikuti penjelasan ilosois yang berada dibelakangnya. Sebaliknya Mohammad Arkun berpendapat sekulerisasi telah ada dan diajarkan
dalam Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Adapun ciri sekulerisasi menurut Dale F Eickelman dan J Piscatori adalah adanya pandangan bahwa masalah agama adalah masalah
tersendiri terlepas dari aspek lain yang bersifat keduniaan Suhudi, 1998:60. Demikian juga pandangan yang memisahkan agama dari
politik, sosial, ekonomi dan budaya adalah merupakan bagian dari sekulerisasi dimana masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
53
Spiritual Vs Material
Menurut M. Noor Syam 1988:340 dewasa ini budaya modern telah mengalami krisis. Kebudayaan modern yang berintikan liberalisasi,
rasionalisasi efesiensi menurut Azyumardi Azra perubahan ini secara konsisten terus melakukan proses pendangkalan kehidupan spiritual.
Liberalisasi yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan tak lain adalah proses desakralisasi dan de-spiritualisasi tata nilai kehidupan. Dalam
proses semacam itu, agama yang sarat dengan nilai-nilai sakral dan spiritual perlahan tapi pasti tergusur dari berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Terkadang agama dipandang tidak relevan dan signiikan lagi dalam kehidupan. Akibatnya, sebagaimana terlihat pada gejala
umum masyarakat modern. Kehidupan rohani di era modern semakin kering dan dangkal.
Dalam proses modernisasi yang sedang terjadi di madrasah ini, maka menurut Nasichah 2003:4 hal ini seringkali mengagungkan
nilai-nilai yang bersifat materi dan anti rohani, dan mengabaikan nilai- nilai spiritual, benturan-benturan antara nilai-nilai materi dan unsur-
unsur rohani dalam alam modern, sama halnya dengan persoalan tradisi dan modernitas. Benturan kedua nilai tersebut, secara langsung
memberikan gambaran bagi sikap hidup suatu komunitas pada zaman tertentu.
Menurut Tarmidzi Tahir 2008 modernisasi yang sedang berlangsung ini telah tumbuh dan berkembang dan merubah
pendapatan masyarakat menengah menuju masyarakat industri. Perubahan yang terjadi terbukti tidak hanya bersifat material semata,
namun sebaliknya juga menyeret perubahan pada norma dan nilai sekarang ini yang dikemas dalam slogan indah seperti demokratisasi,
keterbukaan, dan hak asasi manusia. Kondisi ini menurut Husni Rahim 2001:129 telah membuka dampak krisis spiritual dan kepribadian,
sehingga memunculkan juga kesenjangan dan kekerasan sosial.
Salah satu ciri kehidupan sebagian masyarakat modern dewasa ini menurut Hasan Bakti Nasution 2001:179adalah berkembangnya
kecendrungan pola sikap hidup material. Material sendiri berasal dari kata “materi” yaitu benda, sedangkan aliran yang menganut paham
ini disebut “materialisme” yang dianut oleh aliran materialisme ini diantaranya adalah anggapan bahwa perubahan kebudayaan dan
kehidupan manusia terjadi disebabkan oleh keadaan sosial, sedangkan rohani hanya pemunculan margentisme dari kondisi sosial ekonomi
masyarakat.
Revitalisasi Model Pendidikan Madrasah di Masa Modern
Hal yang dapat dilakukan oleh pihak madrasah untuk mempersiapkan siswanya di masa modern adalah dengan
merevitalisasi sistem pendidikannya yang tidak pro perubahan
54
kemudian mengganti atau mengakomodasi sistem pendidikannya yang sejalan dengan tuntutan perubahan, Upaya ini menurut Indra
Hasbi dapat dilakukan pengelola madrasah dengan memperhatikan dan meningkatkan kemampuannya siswa dalam bidang bahasa,
baik bahasa Arab maupun Inggris; penguasaan bahasa bagi pencari kerja era ini menjadi syarat mutlak. Juga penguasaan skill tertentu
yang dibutuhkan dunia kerja. Idealnya, setiap madrasah memiliki laboratorium bahasa, juga memiliki sarana dan prasarana untuk
meningkatkan skill siswa baik dalam bidang perbengkelan, jahit- menjahit. Untuk mengembangkan hal itu perlu pula madrasah
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan atau lembaga teknis lainnya. Siswa madrasah dapat pula dipersiapkan wawasan dan
mentalnya agar memiliki mental kewirausahaan melalui pembinaan perkoperasian atau bentuk lainnya.
Senada dengan Indra Hasbi, Qomar juga berpendapat berbeda dengan pesantren, Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang
lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajarannya. Oleh sebab itu Madrasah dituntut melakukan perubahan-perubahan
strategis dalam bidang manajemen. Semua ini tentu saja memerlukan manajemen civitas Madrasah atau Manajemen Berbasis Sekolah MBS
dengan berpedoman pada Fungsi-fungsi manajemen seperti planning perencanaan, orgnising pengorganisasian, actuating pelaksanaan,
controlling
pengawasan, dan evaluating penilaian serta suvervising perbaikan dalam kegiatan pendidikannya.
Sedang masalah penting revitalisasi pendidikan madrasah yaitu dalam kurikulumnya diperlukan penyatuan antara ilmu agama
dan ilmu umum. Dalam mata pelajaran yang diberikan ke siswa; materi ilmu agama sudah terintegrasi dalam ilmu umum. Untuk
pengembangan materi lebih dalam, mereka dianjurkan mendalami berbagai literatur lainnya. Ilmu-ilmu yang sudah terintegratif itu
akan semakin memperkuat keyakinan mereka tentang tauhid atau keesaan Allah, dan juga dapat mempengaruhi moralitas siswa dalam
bentuk pengalaman sehari-hari di sekolah dan di rumah. Sebab selama ini materi pendidikan di pandang belum membangun sikap
kritis, masih terbatas pada masalah keagamaan, serta tidak memiliki kepedulian terhadap perkembangan ilmu-ilmu umum, baik ilmu-
ilmu sosial maupun ilmu alam. Padahal Rosenblith dan Bailey 2007 mengatakan bahwa pendidikan agama yang dilakukan dengan
pendekatan komprehensif di sekolah umum mampu memberikan pandangan dan pemahaman baru terhadap siswa tentang perbedaan
dan keharmonisan hidup dalam masyarakat plural. Pendidikan ini bertujuan untuk mengenalkan berbagai ajaran agama tentang
penghormatan, perdamaian, toleransi dan kemanusiaan.
Maka untuk itu Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang
55
mencerdaskan dan mempribadikan anak didik, perlu mempersiapkan siswanya bukan saja dengan ilmu agama tetapi juga ilmu umum,
yang dalam pembelajarannya telah dilakukan secara pendekatan yang digunakan harus bersifat integralistik yang menyangkut semua
dimensi dan ranah pembelajaran sehingga waktu yang ada dapat
digunakan secara eisien dan mendapatkan hasil yang optimal. Selain itu Madrasah perlu juga membekali siswanya suatu kompetensi atau
keahlian guna sebagai bekal baginya setelah lulus. Untuk mencapai hal itu, maksimalisasi manajemen berbasis sekolah sangat diperlukan
Indra, 2005:202-210.
Konsep pendidikan integrated learning, joyfull learning, dan cooperatif learning
kiranya perlu diterapkan dalam manajemen pengajaran di Madrasah dengan guru yang professional sebab Slavin dalam
Allyn and Bacon, 1994:24 mengatakan guru yang baik adalah yang menguasai materi pelajaran, memiliki keterampilan pedagogis, yang
selalu mengajar secara efektif dengan penuh semangat, menyenangkan dan perhatian dalam tugasnya, memutuskan persoalan dengan
menggunakan psikologi pendidikan.
Visi Madrasah juga mesti diperbaharui dengan menggunakan slogal populis, Islami, berkualitas, serta mandiri. Kemudian perlunya
mendirikan Madrasah berbasis standar NasionalInternasional mengingat madrasah banyak memiliki kekurangan dalam berbagai
aspek. Meski demikian dewasa ini umat Islam telah memiliki madrasah yang berprestasi dan bereputasi baik semisal Insan Cendikia
di Serpong Banten, MIN Malang. Kemudian Madrasah pembangunan UIN Jakarta yang siap bersaing di era modern.
Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam pada Madrasah mengalami tantangan modernisasi. Modernisasi
yang terjadi terjadi pada abad 19 hingga saat ini telah membawa perubahan yang cukup kompleks terhadap berbagai aspek kehidupan
termasuk pendidikan Islam di Madrasah. Di era modern, pendidikan Islam di madrasah dan lembaga pendidikan Islam justru dituntut
lebih profesional dan bukan dikelola sekedar asal-asalan, sebab masyarakat dewasa ini telah mengalami perubahan orientasi dengan
mengedepankan rasionalitas. Untuk itu upaya merekonsiliasi ajaran agama dan era modern perlu dilakukan kaum Muslimin khususnya
di Madrasah. Hal ini untuk menunjukkan citra Islam sesuai dan tidak bertentangan dengan era modern sebagaimana Barat tuduhkan. Usaha
ini penting dilakukan sebab di era modern ini kehidupan manusia akan ditandai oleh dua kecendrungan yang saling bertentanganberlawanan
dengan Islam yakni; Iptek vs Imtaq, ajaran vs sekulerisasi serta spiritual vs material. Untuk mengatasi hal itu lembaga pendidikan Madrasah
56
harus meningkatkan peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang handal yang dapat merespon dan mengantisipasi dampak negatif
dari kemajuan modern saat ini, misalnya dengan merevitalisasi sistem pendidikannya sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran,
kemudian mempersiapkan lulusan madrasah yang handal dan siap pakai sehingga dapat menyeimbangi arus modern yang ada dan tidak
ketinggalan zaman dengan tidak meninggalkan program pendidikan madrasah yang menjadi kekhasankeunggulan institusi pendidikan
Islam yang sudah ada sejak dahulu.
Daftar Pustaka
Abdullah, Ibrahim, Suparman, Ma’had Aly, Proil Pendidikan Tinggi
Pondok Pesantren di Indonesia, Yogyakarta : RDI Indonesia.
Al-Attas, Naquib, Muhammad, Syed, Islam and Seculerisme, Kuala Lumpur : Muslim Youth Movement of Malaysia, 1979.
Ashrohah, Harun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2001, Cet. Ke-2.
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Islam, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1998, Cet. Ke-1.
Binder, Leonard, Islamic Liberalism, Chicago : The Universirty of Chicago Press, 1988.
Chapra, M. Umar Islam dan Tantangan Ekonomi Islamisasi Ekonomi Kontemporer,
Surabaya : Risalah Gusti, 1999, Cet. Ke-1. Esposito, John L. ed, The Oxford Encyclopedia of the Modern World,
London : Oxford University Press, 1995, Vol. 2. Khayyal, Karîm, Abdul, Muhammad, Syarh wâ Tahlîl Ushûl al-Isyrîn,
Dâr al-Dakwah, Iskandariâh, Cairo, tt. Kurzman, Charles, ed, Modernist Islam 1840-1940; A Source Book,
Oxford: Oxford University Press, 2002. Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta : Paramadina, 1997, Cet. Ke-1. _________________, Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi
dalam Islam. Kemodernan dan keindonesiaan, Bandung : Mizan,
1987. Masud, Khalid, Muhammad
“Religius Identity and Mass Education”, dalam Johan H. Meuleman ed, Islam in the Era Globalization,
57
Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity , Jakarta : INIS,
2001. Mastuhu, Memberdayakan Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999. Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2004. Nasution, Bakti, Hasan, Filsafat Umum, Jakarta : Gaya Media Pratama,
2001. Nasution, Harun, Perlunya Menghidupkan Kembali Pendidikan Moral,
Jakarta : Konsorsium Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, DIKTI Depdikbud, 1995.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta : LPE3S, 1980.
Peraturan Pembinaan Madrasah dalam Rangka Otonomi Daerah, Depag RI
: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001. Putro, Suadi, Muhammad Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta
: Paramadina, 1998, Cet. Ke-1. Qomar, Mujamil, Pesantren dan Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi , Jakarta : Eralngga, tt.
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition
Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Rochaety, Eti, Rahayuningsih Yanti, Gusti, Prima, Pontjorini Sistem
Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2006,
Cet. Ke-11. Syam, M. Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Surabaya
: Usaha Nasional, 1988. Tim Perumus Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta,
Al-Islam dan IPTEK, Jakarta, Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 1998.
Jurnal
Nasichah, Da’wah Pada Masyarakat Modern Problem Kehampaan Spiritual, Jakarta : Da’wah : Jurnal Kajian Da’wah dan Budaya, Vol. X No
2. Desember 2003.
58
Majalah
Wahid, Abdurrahman, Agama dan Modernisasi adalah Satu”, dalam
majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No. 40tahun VI1985, 47.
Website
Rosenblith, Suzanne dan Bailey, Bea, “Comprehensive Religious Studies in Public Education : Educating for a Religiously Literate
Society,” Jurnal Educational Studies American Educational Studies Association 42 No 2
2007, 9-111, http:vnweb.hwwilsonweb. comhwwresultgetResult.jhtml_DARG=
Tahir, Tarmidzi, Umat Islam dan Tantangan Dunia Modern, Center For Moderate Muslim Indonesia, Diakses Lewat Internet Pada
Tanggal 23 Juli 2008.
Makalah Seminar
Azra, Azyumardi, Modernisasi Pendidikan Islam dan Epistemologi Ilmu, Makalah pada peringatan 70 tahun Pondok Modern Gontor, 31
Agustus 1996.
59
URGENSI GIZI DAN KESEHATAN PESERTA DIDIK TINGKAT SDMI SEBAGAI PRASYARAT
TERWUJUDNYA GENERASI EMAS
Dina Rahma Fadlilah
Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: drahma89gmail.com
Abstrak: Dalam 100 tahun kemerdekaan Indonesia tahun
2045, Indonesia memperoleh bonus demograi berupa potensi kekayaan sumber daya manusia SDM usia produktif. Hal ini
menjadi sangat berharga jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sedari dini. Pengelolaan melalui pendidikan dari jenjang
pendidikan dasar SDMI dapat menghasilkan SDM yang berkualitas dan menjadi generasi emas karena memiliki karakter
berlandaskan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan sosial sejak dini yang dapat diteruskan hingga dewasa. Namun,
berkarakter tanpa kesehatan tidak ada artinya, karena tanpa kesehatan produktivitas menurun. Pembahasan ini bertujuan
untuk mengungkapkan pentingnya pemberian pendidikan gizi guna menciptakan generasi emas yang bukan hanya berkarakter,
namun juga sehat.
Kata kunci: Gizi dan Kesehatan, SDMI, Generasi Emas Pendahuluan
Bangsa Indonesia akan genap berusia 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045. Selain genapnya usia tersebut, mengutip dari
sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2012, diperkirakan pada saat itu Bangsa
Indonesia diisi oleh generasi emas, yaitu generasi yang mayoritas berusia produktif, yang sekarang berusia 0-19 tahun dan menjadi
peserta didik SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi, yang karena proses dan hasil pendidikan, mereka memiliki karakter yang baik dan
kuat. Generasi emas ini diharapkan dapat membawa Bangsa Indonesia menjadi Bangsa yang lebih baik dan maju di berbagai bidang sehingga
mampu mewujudkan masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan.
Harapan tersebut tidak mungkin terwujud tanpa upaya yang sungguh-sungguh terutama dalam membangun dan mengembangkan
60
sumber daya manusia SDM yang berkualitas. SDM berkualitas adalah sumber daya manusia yang memiliki karakter berlandaskan
kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan sosial. Upaya yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan SDM yang berkualitas
adalah pendidikan. Selain itu, upaya ini sebaiknya dilakukan sedari dini, yaitu dari jenjang pendidikan dasar SDMI, sehingga nilai-
nilai yang telah ditanamkan dari SDMI dapat dilanjutkan ke tingkat selanjutnya.
Tanpa kesehatan, SDM yang berkualitas tidak akan berarti karena kesehatan mempengaruhi produktivitas. Dalam proses pembelajaran
pun kesehatan merupakan faktor internal yang harus terpenuhi oleh peserta didik. Bardasarkan hal tersebut, kesehatan adalah faktor yang
patut diperhatikan dalam membentuk SDM yang berkualitas.
Gizi buruk di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang sulit diatasi oleh Bangsa Indonesia dan merupakan hambatan dalam
membentuk SDM yang berkualitas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi buruk sering terjadi pada anak usia sekolah dasar
6-14 tahun. Masalah gizi buruk ini dapat diatasi salah satunya dengan memberikan pendidikan gizi untuk peserta didik SDMI. Dengan
pemberian pendidikan gizi pada peserta didik SDMI, diharapkan kesehatan pun akan meningkat dan dapat menghasilkan generasi
emas yang tidak hanya berkarakter, namun juga sehat.
Generasi Emas
Generasi emas pertama kali digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada sambutan Peringatan Hari Pendidikan Nasional
pada tanggal 2 Mei 2012. Pada tahun 2010-2035, Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang
jumlahnya luar biasa. Hal ini menjadi bonus demograi demographic dividend
dari Tuhan YME yang sangat berharga bila dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Maka dapat dikatakan bahwa generasi
emas adalah generasi usia produktif yang sangat berharga dan bernilai yang dikelola serta dimanfaatkan dengan baik agar berkualitas menjadi
insan yang berkarakter, insan yang cerdas, dan insan yang kompetitif Wibowo, 2013.
Ciri-Ciri Generasi Emas: Memiliki 18 Karakter
Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
61
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Berdasarkan hal tersebut, pendidikan dapat dijadikan sarana yang strategis untuk membentuk generasi emas.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentiikasi dari sumber-sumber berikut, yaitu
agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Kurikulum, 2010. Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentiikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai
berikut ini.
Tabel 1. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
No Nilai
Deskripsi 1.
Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-
baiknya.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
62
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. S e m a n g a t
Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian,
dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan isik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa. 12.
M e n g h a r g a i Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
13. B e r s a h a b a t
Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan amanatas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
63
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
alam, sosial dan budaya, negaradan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2010
Oleh karena itu, ciri-ciri generasi emas, generasi yang merupakan hasil tempaan proses pendidikan adalah generasi yang memiliki 18
karakter di atas.
Pentingnya Kesehatan, Gizi dan Makanan Bagi Tubuh
WHO dalam Syaiq 2007 mendeinisikan kesehatan sebagai:
“Keadaan sempurna baik isik, mental, dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan
sosial.” Sedangkan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan juga menjelaskan tentang deinisi kesehatan, yaitu keadaan sehat, baik
secara isik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Karakter adalah hal yang utama dari manusia berkualitas. Namun, karakter juga memerlukan kesehatan jiwa dan raga Manullang, 2013.
Sementara itu, Adisasmito 2007 menyatakan bahwa SDM yang berkualitas dicirikan dengan isik yang tangguh, kesehatan yang
prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Sedangkan Syaiq 2007 berpendapat bahwa tanpa kesehatan, tidak akan ada
SDM yang intelektual dan produktif. Kesehatan juga adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi sebelum hak-hak asasi lainnya dapat
dipenuhi. Syaiq, 2007. Kesehatan tubuh sangat berhubungan dengan gizi. Makanan
sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan
tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Zat gizi esensial adalah zat-zat gizi yang harus
didatangkan dari makanan Almatsier, 2009. Apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini
64
berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak sehingga tidak mampu berfungsi dengan normal Anwar, 2008
dalam Pamularsih, 2009.
Manusia memerlukan zat gizi untuk memperoleh energi guna melakukan kegiatan isik sehari-hari, untuk memelihara proses tubuh
dan untuk tumbuh dan berkembang khususnya bagi yang masih dalam pertumbuhan. Berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh digolongkan
ke dalam enam macam, yaitu 1 karbohidrat, 2 protein, 3 lemak, 4 vitamin, 5 mineral dan 6 air Suhardjo dan Kusharto, 1988.
Tubuh yang kekurangan gizi akan berakibat buruk pada tubuh. Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat-
zat gizi apa yang kurang. Kekurangan gizi secara umum makanan kurang dalam kuantitas dan kualitas menyebabkan gangguan pada
beberapa proses, yaitu: pertumbuhan, produksi tenaga, pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak dan perilaku. Tubuh yang kelebihan
gizi pun tidak baik bagi tubuh. Gizi lebih dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan energi yang dikonsumsi disimpan di dalam jaringan dalam
bentuk lemak. Kegemukan merupakan salah satu faktor risiko dalam terjadinya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi atau
tekanan darah tinggi, penyakit-penyakit diabetes, jantung koroner, hati dan kantung empedu Almatsier, 2009.
Mewujudkan Manusia Sadar Kesehatan Melalui Pendidikan Gizi
Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun sumber daya manusia yang bekualitas yang sehat, cerdas,
dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia IPM belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh
rendahnya status gizi dan status kesehatan penduduk Azwar, 2004. Sejalan dengan Azwar 2004, Adisasmito 2007 juga menerangkan
bahwa strategi sebuah bangsa dalam menciptakan SDM yang sehat sangat terkait dengan penanganan gizi buruk.
Status gizi dan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pendidikan Atmarita, 2004. Pendidikan gizi harus
menjadi bagian integral dari pendidikan formal pada sekolah dasar, sekolah menengah, serta ditingkat akademi dan universitas Suhardjo,
2006. Pada dasarnya program pendidikan gizi bertujuan merubah perilaku yang kurang sehat menjadi perilaku yang lebih sehat terutama
perilaku makan Sahyoun dkk, 2004. Pendidikan gizi bisa diterapkan di sekolah dasar melalui program-program yang sudah ada misalnya
dipadukan dengan program PMTAS maupun kegiatan rutin yang
65
dilakukan sekolah Zulaekah, 2009. Dengan penerapan pendidikan gizi di sekolah, penyakit yang terjadi karena kekurangan gizi dapat
diatasi, sesuai dengan Zulaekah 2009 yang mengungkapkan bahwa dengan adanya pendidikan gizi yang dipadukan dengan suplementasi
zat besi di sekolah masalah anemia di Indonesia dapat teratasi.
Atmarita 2004 menambahkan bahwa, tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya
dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Oleh sebab itu, jika upaya peningkatan pendidikan
pada masyarakat dilakukan, status gizi dan kesehatan dapat berubah
secara signiikan. Perubahan status gizi sangat signiikan terjadi jika dilakukan upaya sebagai berikut, diantaranya peningkatan pendidikan
sampai jenjang SLTP pada laki-laki dan peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada perempuan Atmarita, 2004.
Gambar 1. Bagan penyebab kurang gizi. Kurang pendidikan merupakan salah satu faktor kurang gizi Adisasmito, 2007
66
Februhartanty 2005 memaparkan, penyampaian pendidikan gizi di sekolah dilakukan tidak cukup dengan cara memasukkan materi
tentang gizi ke dalam beberapa mata pelajaran, seperti biologi, olahraga, ilmu kesehatan dan ekonomi keluarga. Menurutnya, penyampaian
pendidikan gizi di sekolah formal membutuhkan kajian ulang pada berapa hal, yaitu 1 topik dan mata pelajaran sekolah, dimana gizi
adalah sebuah komponen; 2 orang yang menyampaikan materi; 3 kesiapan majemen sekolah dalam memberikan proses pembelajaran
yang kondusif; 4 koordinasi antara departemen kesehatan dan departemen pendidikan; 5 komitmen pemerintah Indonesia dalam
memantapkan promosi kesehatan melalui sekolah di Indonesia.
Penutup
Untuk terciptanya generasi emas SDM yang berkualitas, berkarakter dan sehat diperlukan pendidikan gizi sedari dini, yaitu
jenjang pendidikan dasar SDMI. Hal ini bertujuan agar peserta didik memiliki wawasan mengenai gizi. Wawasan tersebut dapat
menjadi bekal untuk peserta didik dalam memilih asupan makanan yang baik bagi tubuhnya sehingga kesehatannya terjaga.
Daftar Pustaka
Adisasmito, Wiku, Ph.D., 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta: PT. RajaGraindo Persada.
Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar Imu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Atmarita, Tatang S. F., 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII:
1-37. Azwar, Azrul, 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan
di Masa Datang. Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi
: 1-16. Februhartanty, J., 2005. Nutrition Education: It Has Never Been an Easy
Case for Indonesia. Food and Nutrition Bulletin. 262: S267-S274. Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya
untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa .
Manullang, Belferik, 2013. Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi
67
Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter. 31: 1-14. Pamularsih, Arni, 2009. Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar
Siswa di Sekolah Dasar Negeri 2 Selo Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali
. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sahyoun, NR., Pratt, CA., Anderson, A., 2004. Evaluation of Nutrition
Education Intervensions for Older Adults: a Proposed Framework. J. Am. Diet Assoc. 1041:58-69.
Suhardjo Clara M Kusharto, 1988. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Suharjo, 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Petunjuk Laboratorium Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. PAU-IPB: Bogor.
Syaiq, Ahmad, 2007. Tinjauan atas Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini. Makalah pada Diskusi Peningkatan Kesehatan dan Gizi Anak
Usia Dini .
Wibowo, Mungin E., 2013. Menyiapkan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Prosiding Seminar Nasional X Biologi, Sains, Lingkungan
dan Pembelajarannya . Surakarta: Program Studi Pendidikan
Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Zulaekah, Siti, 2009. Peran Pendidikan Gizi Komprehensif untuk Mengatasi Masalah Anemia di Indonesia. Jurnal Kesehatan. 22:
169-178.
68
PERBEDAAN PEMIKIRAN BARAT DAN ISLAM MEMANDANG MANUSIA DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PENDIDIKAN
Lu`luil Maknun
Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : luluemaknungmail.com
Abstract : There are differences between the western and Islamic thought concerning human understanding and its development
theory. This will have a big impact on how people articulate education . Which in turn also has implications for models of
learning , curriculum materials and other learning tools . An experiment on the stimulus for example , western thought using
the dog as an experimental model . And the experimental results are used as reference the academic world . Is Islamic scientists
also use the animals as a model ? Furthermore darwintheory , which says that the origin of man is great primates evolved .
While Islam says that man was created irst Adam. But the most crucial difference from the western and Islamic thought is ;
western thought argues that the most important body part is the brain of the human being , so that all activities are maximized
to optimize brain function, whereas the most important thing in
Islam is the soul , so the irst educational training to it the nature of the soul , then the physical activities performed in order to
guide his spirit toward nature. Keyword : human, western, Islamic, educational
Pendahuluan
Pemikiran Barat di sini –sudah tentu dimaklumi bersama, adalah para ahli dari Eropa. Berangkat dari teori evolusi Charles Darwin,
manusia disebut sebagai ‘human’ diambil dari kata homo sapiens. Teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak diciptakan, melainkan adalah
hasil evolusi primata raksasa selama jutaan tahun. Yang membedakan nenek moyang dengan kita sekarang adalah otak dan penalaran, titik
simpulan ini menyatakan bahwa bagian tubuh terpenting adalah otak, dan segala metode yang dikembangkan melalui titik ini adalah
tentang pemaksimalan fungsi otak demi ketercapaian tujuan-tujuan hidup manusia.
Sedangkan pemikiran Islam di sini adalah suatu pemahaman yang merujuk pada Al-Qur`an yang memaparkan secara lengkap dari
69
mulai proses manusia diciptakan, tujuan hidup manusia, dan perjalan hidupnya setelah tutup usia. Sesuatu yang terpenting dalam tubuh
manusia menurut Islam adalah ruh, bukan isik semata. Ruh adalah sesuatu yang akan kembali pada penciptanya, sedangkan isik adalah
sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Jika Barat menyebut manusia sebagai ‘human’. Maka Al-qur`an
menggunakan beberapa terminologi seperti; ‘basyar’, ‘insan’, dan ‘bani Adam’
.
Pandangan Barat Tentang Manusia Dan Teori Perkembangannya
Seorang ahli Zoologi bernama Charles Darwin, melakukan penelitian dan ekspedisi kemudian merangkum hasil penelitiannya
dalam sebuah buku fenomenal yang berjudul ;‘the origin of spesies’, Darwin menulis sebagai berikut:
Darwin ; dalam mempertimbangkan asal-usul spesies, sangat mungkin bawa seorang peneliti alam, dengan bercermin
pada saling-kesamaan jasad-jasad organik pada hubungan embriologis, penyebaran georgrai, suksesi geologis, serta fakta-
fakta lainnya yang serupa, dapat sampai pada kesimpulan bahwa spesies-spesies tidaklah diciptakan sendiri-sendiri, melainkan
diturunkan sebagai varietas dari spesies-spesies lain.
Melalui pernyataaan ini, jika kemudian kita cari deinisi manusia melalui kamus yang dijadikan rujukan oleh dunia barat, maka yang
akan ditemui adalah kata-kata sebagai berikut :
Human being Homo sapiens, a culture-bearing primate that is anatomically similar and related to the other great apes but is
distinguished by a more highly developed brain and a resultant capacity for articulate speech and abstract reasoning.
Manusia adalah primata besar yang berevolusi, akan tetapi memiliki otak yang lebih berkembang, kemampuan berbicara dan
pemikiran yang lebih abstrak Intinya, pemikiran Barat menyimpulkan bahwa manusia tidak
diciptakan langsung sebagai manusia, melainkan hasil evolusi dari primata yang dulunya berbentuk kera. Kesimpulan ini kemudian
menjadi dasar pada teori perkembangan hidup manusia, dan berimplikasi pula pada persfektif hidup lainnya, termasuk pendidikan.
Teori Perkembangan Manusia
Perkembangan manusia dapat dibagi ke dalam beberapa aspek, yaitu perkembangan isiologis, perkembangan kognitif, perkembangan
70
psikososial, perkembangan bahasa dan komunikasi.
Perkembangan isiologis berkaitan dengan perubahan yang terjadi
pada tubuh manusia, seperti menjadi lebih tinggi atau menjadi lebih besar. Perkembangan isiologis sejalan dengan perkembangan otak
dan susunan saraf pusat, perkembangan tubuh, perkembangan gross motor
otot kasar ine motor otot halus, koordinasi gerakan motorik
kasar dan motorik halus, dan koordinasi gerakan visual motorik. Papalia dan Olds seperti yang dikemukakan oleh Jamaris 2005:8-9
menjelaskan perkembangan tubuh merupakan perkembangan yang berlangsung sesuai dengan prinsip yang disebut dengan cepholocaudal,
prinsip perkembangan yang dimulai dari atas yaitu kepala dan berlanjut secara teratur ke bagian bawah tubuh.
Jean Piaget, membagi perkembangan kognitif ke dalam
empat tahap perkembangan yaitu; fase sensomotor 0-2 tahun, fase praoperasional 2-7 tahun, fase operasional kongrit 7-11 tahun dan
fase operasi formal 11 tahun – sampai usia dewasa.
Menurut erikson,perkembangan psikososial terbagi ke dalam
delapan fase perkembangan, yaitu1 fase trust VS mistrust 0-12 -18 bulan, 2 fase autonomy vs shame and doubt 18 bulan – 3 tahun, 3 fase
initiative vs guilt 3 – 6 tahun, 4 fase industry vs inferiority 6-12 tahun, 5 fase identity vs role confusion 12-18 tahun, 6 fase intimacy vs isolation 18-
40 tahun, 7 fase generativity vs stagnation 40-65 tahun, 8 fase integrity vs despair 65 tahun ke atas.
Pandangan Islam Tentang Manusia
Mencari pengertian manusia menurut Islam, berarti mencari makna manusia dalam kitab sucinya. Sedikitnya ada tiga kata yang digunakan
Al-qur`an dalam mendeinisikan manusia; 1 menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas atau
unas. 2 menggunakan kata basyar. 3 menggunakan kata Bani Adam
dan zuriyat Adam.
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah
.Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini terambil
dari kata nasiya lupa atau nasa yanusu berguncang. Kata insan digunakan Al-qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
71
Inti dari pengertian di atas adalah, manusia tidak hanya terdiri dari jasad bagian-bagian tubuh, makna Basyar mungkin merujuk
pada manusia secara biologis, maka implikasinya nanti adalah perkembangan manusia secara biologis. Tapi makna Insan merupakan
gabungan dari isik dan metaisik nyawa, ada jiwaruh yang juga harus dikembangkan sebagai bentuk kesempurnaan manusia. Makna
kata ‘lupa’ dan ‘berguncang’ juga mencerminkan bahwa manusia harus senantiasa menjaga fokus perkembangan ruhiyahnya agar
mencapai tujuan hidupnya.
Proses penciptaan manusia yang termaktub dalam Al-qur`an:
Al-qur`an sebagai pedoman hidup ummat muslim juga memaparkan proses penciptaan manusia dan tujuan penciptaannya,
berikut catatan penulis yang tentang ayat-ayat Al-qur`an yang menyinggung tentang penciptaan manusia;
1 Manusia pertama kali diciptakan Tuhan dari tanah al-hajj : 5; ar-ruum : 20; Faathir : 11; al-mu`min : 67
2 “Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air”. al- furqaan : 54
3 “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati berasal dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati
itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh rahim. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka mahasuci
Allah pencipta yang paling baik Al-mu`minun : 12-14.
4 Manusia diciptakan Tuhan dengan struktur yang terbaik, baik rohani maupun jasmani at-Tiin : 4; at-taghaabun:2,
dan semulia-mulianya makhluk al-Israa’ : 70, melebihi dan mengatasi makhluk-makhluk Allah lainnya al-Baqarah : 47,
122: al-Jaatsiyah: 16 ; al-israa’ : 70.
5 Status dan fungsi manusia di atas adalah sebagai khalifah untuk melaksanakan segala yang diridhai Allah SWT di atas
bumi Allah ini, untuk mengulturkan natur dan pada waktu yang sama untuk meng-Islam-kan kultur al-baqarah:21; al-
An`aam:165; al-Ahzaab: 72; Faathir: 39; al-Baqarah: 30-34; al- A`raaf: 31; an-Nahl: 12-14; an-Nisaa`:58; al-Jaatsiyah: 12-13;
Ibrahim: 32-34.
6 Sebagai khalifah Allah di atas bumi, manusia dilengkapi Allah dengan pelbagai macam hidayah insting, indra, akal, agama
72
dan hidayat tauiq. 7 Manusia dianugerahkan Tuhan beberapa kebebasan memiliki
limited free-will al-Lail:4-11, dengan konsekuensi tanggung jawab al-Israa`:71; ath-Thuur:21; al-Muddatstsir:38;
an-Nuur:54 yang ditanggung secara individual pada hari akhirat al-baqarah:48, di mana segala indra dan alat badani
lainnya dijadikan sebagai saksi an-Nuur:24. Baik yang berbuat kebajikan maupun yang berbuat kejahatan niscaya
akan ditampakkan meskipun kecil az-zalzalah: 7-8.
8 Di samping kedudukan sebagai khalifah, pada waktu yang sama manusia juga sebagai abdullah hamba atau pengabdi
Allah dengan tugas melaksanakan ibadah pengabdian dalam arti yang seluas-luaanya kepada Allah adz-Dzaariyat:
56; al-bayyinah :5; al-baqarah : 21; al-Faatihah: 4; al-Kahi: 110; al-An`aam; 102
Al-qur`an memaparkan bukan hanya proses penciptaan manusia mulai dari embrio sampai berbentuk daging dan memiliki tulang, tapi
juga tujuan diciptakannya manusia oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi, sehingga perjalanan hidup manusia dibebankan pada
tanggung jawab yang sangat berat; menjadi hamba Allah, menjaga kelestarian alam, dan memaksimalkan potensi yang ada untuk beramal
soleh.
Perbedaan Krusial Antara Pemikiran Barat Dan Islam Memandang Manusia
Menurut Islam, jika seseorang meninggal dunia, maka ruhnya akan kembali kepada Allah, memasuki alam kubur dan pada akhirnya
harus mempertanggung jawabkan perbuatannya selama di dunia melalui pengadilan akhirat. Sehingga belum cukup menggali ilmu
jika hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di dunia. Pendidikan terus berlanjut sampai bisa menggiring seseorang
beramal soleh sebagai bekal perjalanannya ke alam baka. Faham barat tidak akan menerima kebenaran ini, dari sebuah pelatihan tentang
pendidikan, dapat disarikan perbedaan pandangan Islam dan Barat memandang manusia sebagai berikut:
Islam Barat
Manusia diciptakan Allah, terdiri dari ruh dan jasad, diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi sekaligus sebagai hamba Allah
Manusia adalah materi yang berevolusi dari materi, tidak
diciptakan atau bukanlah pen- datang asing di muka bumi
73
Mempercayai eksistensi ruh, meyakini kemusnahan jasad
Menolak metaisika termasuk ruh mengimani keabadian ma-
teri
Mengimani kebangkitan setelah mati dan penciptaan jasad kedua
di akhirat Menolak kebangkitan kembali
setelah mati
Ruh menjadi pusat dan poror pendidikan
Otak menjadi pusat dan poros pendidikan
Setiap tahap perkembangan ma- nusia memiliki konsekuensi hu-
kum tersendiri yang dijelaskan dalam Al-qur`an, sunnah dan
Fiqih Setiap tahap memiliki konsekue-
ensi hukum tersendiri yang di- dasarkan pada hukum positif,
adat, riset, sains, dsb
Pandangan Barat Tentang Pendidikan Dan Teori Pembelajaran
Setelah membahas tentang pengertian manusia menurut Barat dan Islam serta menemukan perbedaan krusial dari keduanya, maka
untuk mendapatkan gambaran implikasi apa yang kemudian terjadi dari dua pandangan tersebut terhadap pendidikan, maka terlebih
dahulu kita bahas pengertian-pengertian pendidikan dan beberapa teori pembelajaran yang berasal dari Barat dan Islam. Berikut adalah
pengertian pendidikan secara umum:
Education in its general sense is a form of learning in which the knowledge, skills, and habits of a group of people are transferred from
one generation to the next through teaching, training, or research. Education frequently takes place under the guidance of others, but may
also be autodidactic. Any experience that has a formative effect on the way one thinks, feels, or acts may be considered educational. Education
is commonly divided into stages such as preschool, primary school, secondary school and then college, university or apprenticeship.
Deinisi pendidikan yang telah digaris bawahi sebetulnya telah bergeser, pendidikan yang diejawantahkan dalam sebuah proses
pembelajaran bukan lagi mentransfer ilmu pengetahuan, karena siswa sekarang sudah tidak dianggap lagi sebagi bejana kosong yang harus
diisi, melainkan telah memiliki pengetahuan awal untuk kemudian dapat dieksplor lebih jauh lagi dalam rangka memenuhi kompetensi
yang ingin dicapai.
Pendidikan dalam arti umum adalah bentuk pembelajaran di
mana pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan dari sekelompok
74
orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di
bawah bimbingan orang lain, tetapi juga mungkin otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir,
merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar,
sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.
Intinya, pendidikan adalah pembelajaran melalui pengalaman, baik itu menggunakan rasio, perasaan ataupun tindakan. Pendidikan
kemudian dikemas dalam sebuah lembaga yang pada akhirnya mengeluarkan sebentuk ijazah dan gelar sebagai penahbisan bahwa
orang tersebut telah mengenyam sebuah pendidikan.
Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar
dalam rangka membimbing dan mengarahkan perkembangan anak ke arah dewasa. Dewasa artinya bertanggung jawab terhadap dirinya,
keluarganya, masyarakatnya, bangsanya dan negaranya. Selanjutnya, bertanggung jawab terhadap segala resiko dari sesuatu yang telah
menjadi pilihannya. Ini adalah deinisi pendidikan secara umum, lagi- lagi kita sebagai pendidik yang berorientasi pada agama Islam harus
bisa mengintegrasikan segala aspek kehidupan –terutama pendidikan, kepada tujuan ke-ilahian, bukan kemanusiawian semata.
Teori Pembelajaran Menurut Barat
Belajar adalah perubahan. Belajar berarti menghasilkan perubahan perilaku maupun pemikiran. Ada tiga teori yang dapat menjelaskan
proses di mana seseorang memperoleh pola perilaku, yaitu teori pengkondisian klasik, pengkondisian operan, dan pembelajaran sosial
Stephen, 2007:69-79.
Pengondisian klasik adalah jenis pengkondisian di mana individu
merespon beberapa stimulus yang tidak biasa dan menghasilkan respons baru. Teori ini tumbuh berdasarkan eksperimen untuk
mengajari anjing mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap bel yang berdering, dilakukan pada awal tahun 1900-an oleh seorang ahli
isolog Rusia bernama Ivan Pavlov.
Pengondisian operantadalah jenis pengkondisian di mana perilaku
sukarela yang diharapkan menghasilkan penghargaan atau mencegah sebuah hukuman. Kecenderungan untuk mengulang perilaku seperti
ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penegasan dari konsekuensi- konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku. Dengan demikian,
penegasan akan memperkuat sebuah perilaku dan meningkatkan
75
kemungkinan perilaku tersebut diulangi.Apa yang dilakukan Pavlov untuk pengkondisian klasik, oleh psikolog Harvard, B. F. Skinner,
dilakukan pengkondisian operan. Skinner mengemukakan bahwa menciptakan konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti bentuk
perilaku tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut.
Pembelajaran sosial adalah pandangan bahwa orang-orang dapat
belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung. Meskipun teori pembelajaran sosial adalah perluasan dari pengkondisian
operan, teori ini berasumsi bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dari konsekuensi. Teori ini juga mengakui keberadaan pembelajaran
melalui pengamatan dan pentingnya persepsi dalam pembelajaran.
Kata-kata yang digaris bawahi seharusnya menjadi perhatian penting bagi kita dalam menyempurnakan makna pendidikan secara
umum. Pada pengondisian klasik, eksperimen liur anjing mungkin awalnya adalah penelitian yang tidak disengaja, namun pada akhirnya
menelurkan sebuah teori motivasi yang digunakan oleh dunia pendidikan. Pada pengondisian operan, aktivitas menyenangkan
kemudian diadaptasi dalam dunia pendidikan; pengalaman berkesan melahirkan metode-metode pembelajaran having fun. Dan terakhir,
pada pembelajaran sosial, dikemukakan bahwa setiap manusia dapat belajar dari pengamatan dan pengalaman langsung. Ini semua agak
berbeda dengan teori pembelajaran menurut Islam.
Pandangan Islam Tentang Pendidikan
Secara umum, ada tiga terminologi yang digunakan Al-qur`an dan hadits berkaitan dengan konsep dasar pendidikan dalam Islam,
yakni tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Tarbiyah; Term tarbiyah berasal dari kata rabb yang menurut
Anis bermakna tumbuh dan berkembang. Pengertian seperti ini juga diberikan oleh al-Qurthuby yang menyatakan bahwa pengertian dasar
kata rabb menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Sementara itu, menurut al-Afsahany, kata al-Rabb bisa berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau
membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaan secara bertahap.
Dasar kata rabb, berarti bahwa pendidikan dimulai sejak anak masih dalam buaian, karena pendidikan di sini memiliki arti
memelihara, merawat, mengatur dan mengarahkan secara bertahap sejak masih kanak-kanak hingga mencapai usia dimana ia memikul
tanggung jawab sebagai individu. Pendidikan lewat term ini juga berarti menyiapkan peserta didik memaksimalkan segala potensinya
dengan penuh kasih sayang.
76
Ta’lim ;Abdul Fatah Jalal 1977:17 mengemukakan
bahwa Ta’lim adalah proses pemberian pengetahuan, pemahaman. pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga
terjadi penyucian tazkiyah atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi
yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
Makna ta`lim adalah proses pengajaran kepada peserta didik, yang digaris bawahi di sini adalah penanaman amanah, di
mana setiap manusia dibekali rohani dan jasmani, anggota tubuh, keluarga dan harta sebagai amanah. Tugas kita memberi
pemahaman bagi peserta didik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan berikut amanah apa yang harus diemban sebagai
mahluk.
Ta‘dib ; adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-
angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
Pada aplikasinya makna ta`dib lebih ditekankan pada proses penanaman karakter, sopan santun dan kehambaan pada Tuhannya.
Yang menjadi kesulitan dalam memahami makna pendidikan dari islam adalah kurangnya dukungan dari praktisi pendidikan islam itu
sendiri.
Perbedaan Pemikiran Barat Dan Islam Tentang Pendidikan dan Implikasinya
Ada perbedaan cara pandang pemikiran Barat dan Islam mendeinisikan manusia sebagai objek pendidikan, yang pada
akhirnya juga berimplikasi pada deinisi pendidikan itu sendiri. Pada gilirannya, proses pendidikan yang dikembangkan melalui
terminologi-terminologi yang disajikan akan berpengaruh pada teori, metode, bahkan materi pendidikan.
Perbedaan-perbedaan dan implikasinya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :
77
No. Pendidikan Menurut Barat
Implikasinya
1. “Setiap pengalaman yang me-
miliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau
tindakan dapat dianggap pen- didikan”.
Pendidikan menjadi sebuah us- aha sadar dalam mengembang-
kan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Catatan : manusia terdiri dari ro- hani dan jasmani, tiga aspek di atas
hanya mewakili kebutuhan jasmani intellegence dan emotional ques-
tion . Belum cukup tanpa adanya spiritual question.
2. “Dewasa artinya bertanggung
jawab terhadap dirinya, ke- luarganya, masyarakatnya,
bangsanya dan negaranya”. Merebaknya model dan ma-
teri pembelajaran seputar citi- zenship
dan isu-isu global sep- erti liberalisme, demokrasi dan
HAM Catatan : liberalisme adalah faham
barat yang mendewakan kebebasan, efek negatifnya adalah dekadensi
moral.
3. “Individu merespon beberapa
stimulus yang tidak biasa dan menghasilkan respons baru”.
Percobaan yang dilakukan pada hewan belum tentu cocok untuk
dijadikan teori pada manusia Catatan : jika guru gagal memberi
stimulus maka nilai-nilai yang in- gin diberikan tidak sampai menjadi
karakter peserta didik.
4. “Menciptakan konsekuensi
yang menyenangkan untuk mengikuti bentuk perilaku
tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut”.
Metode pembelajaran dilaku- kan dengan memperhatikan mi-
nat dan motivasi peserta didik. Catatan : kewajiban taklii bukan
dilakukan atas dasar kesenangan. 5.
“Perilaku adalah sebuah fung- si dari konsekuensi dan pent-
ingnya persepsi dalam pembe- lajaran”.
Membangun persepsi peserta didik akan pentingnya sebuah
nilai. Catatan : Jika pembangunan per-
sepsi gagal, maka nilai-nilai pent- ing dari sebuah tema akan sulit ter-
install
78
No. Pendidikan Menurut Islam
Implikasinya
1. “dasar kata rabb menunjukkan
makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, men-
gatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya”.
Pendidikan islam dilakukan sejak usia kanak-kanak
Catatan : Pendidikan memiliki arti yang sangat luas karena di-
lakukan sejak dalam buaian ibu. Pendidikan mencakup segala
aspek rohani dan jasmani serta pengembangan kompetensi dan
keterampilan hidup. Pendidikan dilakukan bertahap sehingga men-
gantarkan seorang anak sampai pada usia di mana ia bisa memikul
amanah sebagai khalifah
. 2.
“proses pemberian pengeta- huan, pemahaman. pengertian,
tanggung jawab, dan penana- man amanah”,
Penanaman karakter islami bukan hanya teori tapi juga ap-
likasi Catatan : Pendidikan tidak ber-
henti pada pentransferan ilmu pengetahuan, tapi bagaimana agar
pengetahuan tersebut menjadi pemahaman kemudian menjadi
karakter sehingga setiap individu menjadi manusia yang bertang-
gung jawab. Penanaman amanah mengindikasikan bahwa ada Tu-
han di setiap gerak-geriknya.
79
3. “membimbing ke arah penge-
nalan dan pengakuan kekua- saan dan keagungan Tuhan di
dalam tatanan wujud dan ke- beradaannya”.
Pelajaran tauhid, rukun iman dan rukun islam diajarkan
sejak kecil dan terus berkem- bang.
Catatan : Ada kekuatan besar yang menjadi poros dan tujuan hidup.
Kemampuan nalar manusia terba- tas, ada hal-hal yang tidak dapat
diketahui seperti masa lalu dan masa depan. Setelah kehidupan
dunia ada kehidupan yang kekal, maka pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk kebahagiaan di dunia, tapi melampaui jauh ke de-
pan, kebahagiaan di akhirat.
4. “penyucian
tazkiyah atau
pembersihan diri manusia yang memungkinkan untuk
menerima al-hikmah”.
Niat dan adab dalam sebuah pendidikan merupakan point
penting Catatan : segala model, metode
dan strategi pembelajaran bo- leh digunakan selama ada etika
dalam menuntut ilmu. Ilmu pen- getahuan bersumber dari Allah,
untuk mendapatkan ilmu penge- tahuan harus dengan keridhoan
Allah.
Menurut Barat Manusia: Human being Homo sapiens, a culture-bearing primate that
is anatomically similar and related to the other great apes but is distinguished by a more highly developed brain and a resultant capacity for articulate speech
and abstract reasoning.
Pendididkan : Education in its general sense is a form of learning in
which the knowledge, skills, and habits of a group of people are transferred from one generation to the next through teaching, training, or research.
Education frequently takes place under the guidance of others, but may also be autodidactic. Any experience that has a formative effect on the way one
thinks, feels, or acts may be considered educational. Education is commonly divided into stages such as preschool, primary school, secondary school and
then college, university or apprenticeship.
80
Menurut Islam Manusia: Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya
berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit. Kata insan terambil dari
kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata nasiya lupa atau nasa
yanusu
berguncang. Kata insan digunakan Al-qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
Pendidikan :Tarbiyah ; Term tarbiyah berasal dari kata rabb
yang menurut Anis bermakna tumbuh dan berkembang. Pengertian seperti ini juga diberikan oleh al-Qurthuby yang menyatakan bahwa
pengertian dasar kata rabb menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau
eksistensinya. Sementara itu, menurut al-Afsahany, kata al-Rabb bisa berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan
bertahap atau membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaan secara bertahap.
Ta’lim ; Abdul Fatah Jalal mengemukakan bahwa Ta’lim adalah
proses pemberian pengetahuan, pemahaman. pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi
penyucian tazkiyah atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi
yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
Ta‘dib ; adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-
angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
Perbedaannya
Fungsi utama manusia menurut Barat adalah otak dan jaringanya, stimulus dan motivasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
fungsi neuron otak. Fungsi utama manusia adalah ruh dan hidayah Allah adalah sesuatu yang sangat penting dalam rangka mengantarkan
manusia kembali pada penciptanya.
Pendidikan menurut Barat adalah proses belajar yang menghasilkan perubahan yang dapat membawa seseorang pada
ketercapaian tujuan-tujuan hidup di dunia. Pendidikan menurut Islam adalah proses merawat, memelihara, menanamkan tanggung jawab
manusia, hingga ia dapat mencapai tujuan hidupnya, yakni kembali pada Tuhannya.
81
Daftar Pustaka
Endang Saifuddin Anshari Wawasan Islam : pokok-pokok pikiran tentang paradigma dan sistem Islam, ___________
al-rasyidin Falsafah pendidikan Islam,_________ http:www.britannica.comEBcheckedtopic275376human-
being Charles darwin ; the origin of species-asal-usul spesies, jakarta, yayasan
obor indonesia, 2003 Leakey Richard,Asal-usul manusia, KPG Kepustakaan Gramedia
Populer, jakarta, 2003 Martini jamaris, orientasi baru dalam psikologi pendidikan, yayasan
penamas murni, jakarta, 2010 M.Quraish Shihab,
“Membumikan” Al-Qur`an: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat,
Mizan Pustaka JamarisMartini, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Yayaan
Penamas Murni, Jakarta, 2010 Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi Buku 1, 2007, Jakarta: Salemba
Empat Pavlov, I. P. InggrisThe Work of the Digestive Glands, London: Charles
Grifin, 1902 Skinner, B. F. Contingencies of Reinforcement, East Norwalk, CT:
Appleton, 1971, Bandura, A. InggrisSocial Learning Theory, Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 1977 Ibrahim Anis, al-Mu`jam al-wasith Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972
Ibn ‘Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Kairo: dar al-Sya’bi, tt
Al-Raghib al-Asfahany, Mu`jam Mufradat Alfadz al-Qur`an Bairut : Dar
al-Fikr t.t Abd al-Fatah Jalal,
Min al-Ushul al-Tarbawiyyah i al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub al-Mushriyyah, 1977
Al-Attas, Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1992
82
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN ADVERSITY DAN SUPPORT SYSTEM DUKUNGAN DOSEN DAN
TEMAN SEBAYA DENGAN TINGKAT KECEMASAN CALON GURU DALAM MENGHADAPI PRAKTEK
PROFESI KEGURUAN TERPADU
Sujiyo Miranto
Universitas Islam Negeri UIN Jakarta Email : sujiyoubjmirantorocketmail.com
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kecerdasan adversity dan support
system dosen dan teman sebaya dengan tingkat kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan Praktek Profesi
Keguruan Terpadu PPKT pada tahun akademik 2014-2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif dengan teknik studi korelasional dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Subjek penelitian ini adalah 60 mahasiswa peserta mata kuliah Pengajaran Mikro pada Program Studi Pendidikan Biologi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik
simple random sampling. Kesimpulan penelitian Pertama Terdapat hubungan negatif
yang signiikan antara kecerdasan adversity dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan PPKT dengan nilai
r = -0,86; Kedua Terdapat hubungan negatif yang signiikan antara support system dengan kecemasan mahasiswa dalam
menghadapi perkuliahan PPKT dengan nilai r = -0,605 dan Ketiga Terdapat hubungan negatif yang signiikan antara
kecerdasan adversity dan support system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan
PPKT dengan niali R = -0,867. Kata Kunci: kecemasan, kecerdasan adversity dan support
system
83
Pendahuluan
Sudah sejak tahun 2005 14 tahun FITK sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mencetak calon guru menerapkan mata kuliah PPKT.
Kegiatan yang dilakukan adalah menempatkan mahasiswa semester 7 atau 8 di sekolah-sekolah sekitar wilayah Jakarta dan Tangerang.
Dengan program ini mahasiswa diharapkan dapat mengetahui permasalahan-permasalahan yang nantinya dijumpai pada saat
menjadi guru yang sesungguhnya sekaligus dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah.
Kondisi lingkungan sekolah yang baru dan memilki banyak perbedaan dengan kondisi lingkungan kampus dapat menganggu
kestabilan emosi mahasiswa. Hal ini karena kondisi lingkungan sekolah tersebut belum tentu menyenangkan, tetapi ada kalanya muncul situasi
yang membawa kecemasan. Sulitnya untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan baru dan kemungkinan adanya ketidaksukaan
dengan kehadiran mahasiswa praktikan ini dapat menyebabkan kecemasan bagi mahasiswa. Jika dirinci permasalahan yang umum
dijumpai oleh mahasiswa peserta PPKT adalah: 1 kekhawatiran mendapatkan nilai kurang maksimal; 2 keluhan mahasiswa pada
dosen pamong terutama kesulitan dalam beradaptasi, 3 jumlah kunjungan dosen yang kurang ke sekolah tempat PPKT dilaksanakan,
sehingga menyebabkan mahasiswa merasa berjuang sendiri, 4 waktu kegiatan PPKT selama 4 bulan yang dirasakan cukup lama, 5 waktu
keberadaan di sekolah yang cukup lama dari mulai jam 6.30 WIB sampai dengan 15.00 WIB yang sesuai dengan kehadiran guru-guru
lainya yang sudah tetap, 6 dibutuhkannya biaya yang cukup banyak diantaranya untuk acara pembukaan, membeli pakaian yang harus
sesuai dengan tuntutan sekolah, membeli peralatan dan bahan-bahan lainnya untuk persiapan pembelajaran dan membuat media, serta
pengeluaran untuk biaya penutupan PPKT, 7 kewajiban datang pagi hari 6.30 WIB yang berbeda dengan waktu kuliah 7.30 WIB membuat
mahasiswa peserta PPKT harus ekstra keras bangun pagi hari dan memilih jalan yang tidak macet agar dapat hadir tepat waktu, 8
adanya perasaan tidak nyaman selama disekolah akibat lingkungan sekolah yang baru.
Crow dan Crow dalam Hartanti, 1997 mengemukakan bahwa kecemasan adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan yang di alami
oleh individu yang dapat mempengaruhi keadaan isiknya. Sedangkan Nawangsari 2000 menyatakan kecemasan adalah suatu kondisi
yang tidak menyenangkan meliputi rasa takut, rasa tegang, khawatir, bingung, tidak suka yang sifatnya subjektif dan timbul karena adanya
perasaan tidak aman terhadap bahaya yang diduga akan terjadi.
84
Respon kecemasan menurut Stuart Sundeen 1998 dapat terjadi berbagai perubahan yang meliputi: 1 respon isiologis yang meliputi:
Sistem kardiovaskuler, sistem respiratori, sistem neuromuskuler, sistem gastrointestinal, sistem urinaria, sistem integumen. 2
respon perilaku kelelahan, ketegangan isik, tremor, reaksi tibatiba, bicara cepat, koordinasi kurang, sering terjadi kecelakaan; 3 respon
kognitif: gangguan perhatian, konsentrasi berkurang, pelupa, selalu salah dalam mengambil keputusan, blocking, penurunan lapang
pandang, penurunan produktiitas, penurunan kreatiitas, menarik diri, kebingungan, objektiitas kurang, takut mati; 4 respon afektif:
gelisah, tidak sabar, tegang, mudah terganggu, ketakutan, mudah tersinggung.
Tingkat kecemasan yang dikemukakan oleh Townsend 2005 ada empat tingkat yaitu; 1 Kecemasan Ringan: yang berhubungan dengan
ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatiitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, kesadaran meningkat,
mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai dengan situasi; 2 Kecemasan Sedang yang memungkinkan seseorang
untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun
dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, denyut jantung dan pernapasan
meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, mampu untuk belajar namun tidak terfokus pada rangsang yang
tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis. 3 Kecemasan Berat Seseorang dengan
kecemasan berat cenderung untuk memusatkan perhatian pada sesuatu
yang terinci dan spesiik serta tidak dapat berikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk memusatkan
pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur
insomnia, sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya, bingung
dan disorientasi; 4 Panik, yang berhubungan dengan terperangah, ketakutan, teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang
sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah
susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana,
berteriak-teriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Panik
85
dapat mengakibatkan peningkatan motorik, penurunan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan tidak mampu berikir rasional.
tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan perubahan berat badan.
Surekha 2001 menyatakan bahwa Adversity adalah kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk
suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan
atau kesulitan.
Menurut Stoltz 2000, kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu memiliki empat dimensi, yaitu CO2RE Control, Origin
Ownership, Reach, Endurance. a. Control C
Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan
kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam
peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya.
b. Origin dan Ownership O2 Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan
kesulitan dan sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan
seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya.
c. Reach R Dimensi ini merupakan bagian dari kecerdasan adversity yang
mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti
hambatan akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya.
d. Endurance E Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi
yang mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan
indivuduterhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan
cepat dan sebagainya.
Pengertian teman sebaya menurut St.Vembriarto 1993: 55 adalah: 1 kelompok sebaya adalah kelompok primer yang hubungan diantara
86
anggota intim. 2 anggota kelompok teman sebaya terdiri atas sejumlah individu-individu yang mempunyai persamaan usia dan status atau
posisi sosial. 3 istilah kelompok dapat menunjuk kelompok anak-anak, kelompok remaja. Perkembangan teman sebaya dengan pengaruh yang
cukup kuat merupakan hal penting dalam masa-masa remaja.
Fungsi kelompok teman sebaya peer group tersebut dapat dijelaskan sebagai berkut: 1 memberi perhatian yang positif dan
saran dengan cara mengunjungi, memberikan kejutanhadiah, saran, menawarkan bantuan, tersenyum, membentuk seseorang dari anak
lain yang membutuhkan, percakapan umum; 2 memberikan sikap dan
penerimaan pribadi: secara isik dan lisan; 3 sikap tunduk: penerimaan pasif, meniru, sharing, menerima ide orang lain, mengikuti anak lain
yang bermain, berkompromi, mengikuti teman yang lain meminta dengan keenagan dan kerjasama kooperatif.
Peranan kelompok teman sebaya peer group merupakan hubungan sosial antara individu satu dengan individu lain dalam
kelompok yang memiliki persamaan usia dan status sosial yang memberikan pengaruh dalam pergaulan. Kebutuhan akan adanya
penyesuaian diri remaja dalam kelompok teman sebaya muncul akibat adanya keinginan bergaul remaja dengan teman sebaya mereka.
Remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan kehadiran teman sebaya. Kelompok teman sebaya peer group akan
mempengaruhi kedisiplinan belajar. Remaja dalam kelompok sebaya merasa mendapatkan dukungan dari teman-temannya. Kelompok yang
memberikan pengaruh baik akan memberikan motivasi pada siswa untuk disiplin dalam belajar, sedangkan kelompok yang memberikan
pengaruh yang negatif adalah kelompok yang memberikan contoh yang tidak baik bahkan sering melakukan tindakan yang menyimpang.
Interaksi mahasiswa dalam kelompoknya merupakan hubungan timbal balik antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya,
dimana diantara individu saling mempengaruhi, mengubah untuk memenuhi kebutuhan. Interaksi ini merupakan interaksi yang intensif
baik secara kualitas maupun kuantitas. Interaksi antara teman sebaya sangat diperlukan dalam kehidupan, karena interaksi yang baik dapat
membentuk kerjasama antar teman sebaya tersebut.
Mahasiswa yang memiliki kelompok teman sebaya peer group yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula bagi
mahasiswa tersebut dalam penanaman kedisiplinan, bertindak dan beretika, sebaliknya mahasiswa yang mempunyai kelompok teman
sebaya yang tidak baik akan memberikan dampak yang negatif bagi diri mahasiswa tersebut bahkan sering melakukan tindakan yang
menyimpang. Interaksi yang baik antara sesama mahasiswa sangat
87
diperlukan dalam mencegah tingkat stress anggota kelompok tersebut karena dapat membentuk kerjasama antara sesama mahasiswa
anggota kelompok, sehingga tujuan yang ingin dicapai akan terwujud. Oleh karena itu, dimungkinkan peranan kelompok teman sebaya dan
interaksi sesama mahasiswa secara bersama-sama terjadi hubungan dengan stress mahasiswa tersebut dalam menghadapi sesuatu yang
baru misalnya menghadapi kegiatan PPKT.
Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Setiap Variabel
Pembahasan
Jika dilihat dari komposisi jenis kelamin, dapat diketahui bahwa sebagaian besar responden atau 82.5 responden memiliki jenis
wanita. Sedangkan sisanya 17.65 berjenis kelamin pria. Hal ini menunjukkan responden wanita lebih banyak dibanding responden
pria. Kondisi ini hampir sama dengan kondisi prodi-prodi Pendidikan lainnya dimana jurusan pendidikan lebih banyak diminati oleh
wanita. Alasan mengapa prodi pendidikan banyak diminati oleh wanita, karena dalam pelaksanaanya dalam pembelajaran, yaitu
saat mengajar tidak diperlukan kegiatan isik yang banyak dan lebih mementingkan aspek psikis dan manajemen. Untuk pekerjaan seperti
itu wanita dirasa paling sesuai.
Tabel 2. Deskripsi Data Kecerdasan Adversity
Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian
88
Dari data tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata kecerdasan adversity sebesar 25.97. Nilai ini lebih rendah dari nilai median 27.
Bila dibuat kurva normal data ini lebih cenderung condong ke arah kiri atau lebih kecil dari nilai mediannya. Jika nilai median dibandingkan
dengan nilai rata-ratanya memliki selisih sebesar 1.03. Selisih antara median dengan rata-rata yang tidak terlalu besar tersebut dapat
dikatakan bahwa data tersebut memiliki sebaran normal.
Tabel 3. Deskripsi Data Support Sistem
Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Dari data yang tersaji pada tabel 3 tersebut diketahui bahwa nilai
rata-rata data support sistem sebesar 25. 92. Nilai rata-rata ini jika dibandingkan dengan nilai modus memiliki selisih yang sebesar 4, 08.
Selisih median dengan rata rata sebesar 0.02. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa data tersebut jika disusun dalam kurva normal lebih
cenderung melenceng ke arah sebelah kiri. Data yang melenceng kekiri jika tidak terlalu jauh dari nilai mediannya dapat dikatakan
bahwa data tersebut masih termasuk katagori data yang berdistribusi normal.
89
Tabel 4. Deskripsi Data Kecemasan Mahasiswa
Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Dari hasil penelitian tentang kecemasan mahasiswa diperoleh nilai
rata-rata sebesar 24.25. Jika dibandingkan dengan data kecerdasan adversity 25.97 dan data support sistem 25.92 maka nilai rata-rata
kecemasan mahasiswa adalah yang paling rendah.
Tabel 5. Hubungan Natara Variabel Penelitian
Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Dari hasil perhitungan menggunakan SPSS versi 17 seperti tersaji
pada tabel 5 di atas, diperoleh nilai korelasi parsial r antara variabel kecerdasan adversity dengan kecemasan mahasiswa sebesar -0.866
dan signiikansi. Sedangkan hasil perhitungan korelasi parsial r antara variabel suport system dengan kecemasan mahasiswa adalah
sebesar -0. 605. dan signiikansi Sementara itu perhitungan korelasi ganda antara variabel kecerdasan adversity dan support system secara
90
simultan dengan kecemasan mahasiswa diperoleh nilai R= -0.867. Nilai korelasi ganda R antara antara variabel kecerdasan adversity dan
support system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa ini menunjukkan hubungan yang sangat signiikan.
Hasil uji signiikansi hubungan antara masing-masing variabel penelitian tersaji dalam tabel di bawah ini.
Tabel 6. Hasil Uji Signiikansi Hubungan Antara Variabel Penelitian
Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian Faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan mahasiswa dalam
kegiatan PPKT selain faktor isik juga faktor kesiapan psikologis mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu persiapan kegiatan PPKT perlu
penanganan secara baik dan komprehensip.
Kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang
keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–
pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa–peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan. Oleh
sebab itu dengan memiliki kecerdasan adversity yang baik seorang mahasiswa mampu mengatasi bahkah mengelola hambatan yang
dialami selama PPKT tersebut menjadi sebuah peluang. Dengan demikian mahasiswa yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi
akan berhasil mengatasi tingkat kecemasannya sehingga akan berhasil
91
dalam mengikuti kegiatan PPKT. Dosen pembimbing termasuk ketua program ptudi, penasehat
akademik maupun dosen pembimbing PPKT mempunyai fungsi yang sangat kuat pengaruhnya terhadap pendewasaan mahasiswa. Mereka
tersebut mempunyai peran yang besar dalam pembentukan pola kepribadian mahasiswa. Adanya ikatan emosional yang kuat antara
mahasiswa dengan dosen akan lebih mudah dalam memberikan pengaruh tentang berbagai hal kepada mahasiswa termasuk dalam
pelaksanaan kegiatan PPKT. Pengaruh dosen baik yang bersifat langsung ataupun tidak langsung sangat diperlukan mahasiswa
selama menjalankan kegiatan ini.
Kelompok teman sebaya merupakan tempat untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan dan pengetahuan seseorang.
Rasa solidaritas dan kebersamaan akan tumbuh apabila mahasiswa mempunyai teman bergaul yang baik. Lingkungan pergaulan remaja
tidak lepas dari kelompok, karena selalu memberikan motivasi dan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pribadinya, sehingga
mahasiswa bisa bersikap positif atau negatif. Dengan teman bergaul yang baik maka akan dapat memberikan pengaruh yang positif pada
mahasiswa, sehingga jika mahasiswa tersebut menghdapi kendala dia dapat meminta saran kepada teman sebaya tersebut.
Penutup
Pertama, Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan adversity dengan kecemasan mahasiswa dalam mengijuti kegiatan PPKT;
Kedua Terdapat hubungan negatif antara support system dengan kecemasan mahasiswa dalam mengijuti kegiatan PPKT; Ketiga,
Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan adversity dan support system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa dalam
mengikuti kegiatan PPKT.
Daftar Pustaka
Buku Pedoman Praktek Profesi Keguruan Terpadu PPKT. 2013. Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
LeDoux Joseph. 1996. The Emotional Brain. New York: Simon and Schuster.
Bimo Walgito. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
92
Burns, B. Robert. 2000. Introduction to Research Methods. London: Sage Publication, Ltd.
Crow and Crow. 1990. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin
Goleman, Daniel. 2000. Emitional Intelligence terjemahan. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence terjemahan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John. 2001. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional terjemahan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. Horton, B. Paul and Hunt, L. Chester. 1996. Sosiologi. Terjemahan
Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: PT. Erlangga Hurlock, B. Elizabet. 1999. Psikologi Perkembangan. Terjemahan Isti
Widayanti dan Soejarwo Jakarta: PT. Erlangga Salovey, Peter and D.J. Sulyster, 1997. Emotional Development and
Emotional Intelegence. New York: Basic Books. Sevilla, Consuelo G, et all. 1993. Pengantar Metode Penelitian.
Terjemahan Alimuddin Tuwu . Jakarta: UI-Press Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta. Slamet Santoso. 1999. Dinamika Kelompok Sosial. Jakarta: Bumi
Aksara.. Vembriarto. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Zaviera, F., 2007, Teori Kepribadian Sigmund Freud, Prismasophie : Yogyakarta.
93
MENGATASI KESULITAN MEMBACA PADA ANAK SEKOLAH DASAR KELAS RENDAH
Ryan Dwi Puspita
STKIP Sebelas April Sumedang
Abstract: Parents and teachers can assist children by spending a lot of time to help them learn to read, by mean to build the
concept or to create speciic mental schemes. This opinion the same as Bachrudin 2014 thought who said about the emergence
of literacy sphere for children literacy development. The surroundings give the facts for the writer, especially after having
an observation in rural area and town elementary schools, many
students in the irst and the second grade had reading dificulty. According to the problem above, the writer would like to focus
on overcoming early elementary students reading dificulty. One of the efforts to overcome students’ reading dificulty is a speciic
intervention on reading, targeting on phonemic awareness training, guiding literacy awareness by parents and teachers,
traditional lashcard drill, and practice method.
Keywords
: reading dificulty, low grade primary school children
Pendahuluan
Membaca merupakan hal penting untuk keberhasilan dalam masyarakat kita. Kemampuan membaca sangat dihargai dan penting
bagi kemajuan sosial dan ekonomi. Tentu saja, sebagian besar anak-anak belajar membaca dengan cukup baik. Catherin 1998
menggambarkan “keprihatinan dengan sejumlah besar anak-anak di Amerika yang karier pendidikannya terancam karena mereka tidak
memiliki keterampilan membaca yang cukup baik untuk memastikan pemahaman dan untuk memenuhi tuntutan dari perekonomian yang
semakin kompetitif”.
Belajar membaca merupakan tujuan pendidikan yang sangat penting. Untuk
anak-anak dan orang dewasa, kemampuan untuk membaca membuka dunia baru
dan peluang. Hal ini memungkinkan anak untuk mendapatkan pengetahuan baru, menikmati sastra, dan melakukan hal sehari-hari
94
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dalam konteks pemahaman kita banyak alasan yang menyebabkan
anak-anak merasa sulit untuk belajar membaca. Penundaan pengembangan keterampilan membaca mempengaruhi
pertumbuhan kosakata Cunningham Stanovich dalam Joseph K. Togersen,2012,hlm.8, mengubah sikap dan motivasi anak-
anak untuk membaca Oka Paris, 1986, dan mengarah ke
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan strategi pemahaman Brown, Palincsar, Purcell,
1986. Jika anak-anak berada dalam situasi seperti ini maka akan terhambat perkembangan keterampilan membaca awal,
dan mereka hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berlatih membaca.
Lebih dari 40 negara telah melakukan penelitian untuk mendeteksi kemampuan membaca permulaan pada anak usia Taman Kanak-
kanak sampai anak SD kelas 1 dan 2, melalui keterampilan literasi yaitu Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills DIBELS, dan
kesulitan membaca potensial pada anak kelas 3 SD. Beberapa negara juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening Tests
PALS sebagai alternatif. Mengingat kurangnya konsensus mengenai
langkah-langkah yang paling tepat untuk mengidentiikasi kemajuan membaca permulaan pada anak Taman Kanak-kanak sampai SD
kelas 3. Dan hasilnya menunjukkan bahwa anak dengan kesulitan membaca mungkin sebenarnya terdiri dari berbagai sub-kelompok
atau subtipe, masing-masing dengan proil perkembangan yang berbeda mewujudkan dari perbedaan tidak hanya dalam hasil, tetapi
juga mungkin dalam etiologi.
Perkembangan anak itu bervariasi, hal ini senada dengan penjelasan dalam basic principles of development, yaitu :
“Domains of childern’s development-psysical,social,emotional and cognitive-are closely related. Development in one domain inluences
and is inluenced by development in other domains.Development advances when children have opportunities to practice newly acquired
skills, as well as when they experience a challenge just beyond the level of their present mastery” Gestwicki, 2006, hlm.12.
Jika dikaitkan dengan kesulitan membaca pada anak, maka dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan membaca
pada anak sangat dipengaruhi oleh aspek perkembangan yang lain dan anak harus diberi kesempatan mengembangkannya. Orang tua
dan guru dapat membantu anak dengan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membantu anak belajar membaca, baik dalam arti umum
95
bangunan konsep dan arti spesiik untuk menciptakan skema mental. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bachrudin 2014 menyatakan
bahwa tentang pentingnya lingkungan yang literat bagi perkembangan literasi anak. Sebagian dari orang tua dan guru ada yang berusaha
untuk menciptakan kebiasaan praktek literasi bagi anak-anak mereka.
Dari berbagai rujukan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengupas masalah kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas
rendah dan bagaimana cara mengatasinya.
Analisis dan Pembahasan
Dalam masyarakat teknologi, tuntutan untuk melek huruf yang lebih tinggi semakin meningkat, menciptakan konsekuensi yang lebih
pedih bagi mereka yang gagal. Membaca yang efektif dibangun di atas fondasi yang mengakui bahwa kemampuan membaca ditentukan oleh
beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan membaca, untuk menjelaskan hal itu banyak pengalaman yang berkontribusi untuk
perkembangan membaca Snow,1998:3. Kemampuan untuk membaca sangat penting dalam kehidupan seorang anak sekolah karena bentuk
fondasi yang kuat untuk prestasi akademik di masa depan. Sebagai tahun awal di sekolah dasar, anak menghabiskan banyak waktu untuk
membaca agar mendapatkan informasi Ogmebudia,2014. Untuk lebih memahami pembahasan ini maka penulis akan mulai mengupas
permasalahan ini sebagai berikut :
Deinisi Kesulitan Membaca
Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa “Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis”. Suatu proses yang menuntut agar
kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan
dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan
proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik.
Membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk memahami yang tersirat dalam yang tersurat, yakni memahami makna
yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis. Makna bacaan tidak terletak pada halaman tertulis tetapi berada pada pikiran pembaca.
Demikianlah makna itu akan berubah, karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang dipergunakan sebagai
alat untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut.
Deinisi operasional kesulitan membaca dalam tulisan ini
96
adalah anak tidak mampu memenuhi instruksi prasyarat membaca permulaan yang mengharuskan anak mampu membaca untuk
memperoleh makna dari buku teks, memahami hubungan antara ejaan dengan suara, belajar tentang sifat dari sistem penulisan abjad,
dan memahami struktur kata-kata yang diucapkan.
Ciri-Ciri Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah
Snow, dkk. 2014 menjelaskan bahwa ada tiga ciri-ciri yang diketahui anak-anak tidak terampil membaca yaitu ciri pertama
kesulitan muncul pada awal akuisisi membaca, kesulitan memahami dan menggunakan prinsip-ide abjad bahwa ejaan yang ditulis
secara sistematis merupakan kata yang diucapkan sekarang, sulit untuk memahami teks terhubung jika pengenalan kata tidak akurat
atau melelahkan. Ciri kedua adalah kegagalan untuk mentransfer pemahaman tersebut, keterampilan bahasa lisan untuk membaca
dan untuk memperoleh strategi baru yang mungkin secara khusus dibutuhkan untuk membaca. Ciri yang ketiga adalah kesulitan
membaca akan memperbesar ciri pertama dan kedua yaitu tidak adanya atau hilangnya motivasi awal untuk membaca atau kegagalan
untuk mengembangkan apresiasi dari manfaat membaca. Dalam setiap domain pembelajaran, motivasi sangat penting.
meskipun kebanyakan anak-anak mulai sekolah dengan sikap dan harapan positif untuk sukses, pada akhir tingkat dasar dan sesudahnya,
beberapa anak menjadi puas. Mayoritas masalah membaca yang dihadapi oleh anak SD kelas rendah saat ini adalah hasil dari masalah
yang mungkin telah dihindari atau diselesaikan pada awal tahun masa kanak-kanak mereka. Sangat penting bahwa langkah-langkah harus
diambil untuk memastikan bahwa anak-anak mengatasi hambatan tersebut.
Identiikasi Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah
Identiikasi awal kesulitan membaca menggunakan Heterogeneous Developmental Trajectories
Boscardin,dkk.2001:1. Masalah konseptual dan prosedural serius yang berhubungan dengan metode diagnostik
saat ini merupakan pendekatan alternatif untuk menilai dan mendiagnosa anak dengan masalah membaca. Dalam penelitian
Boscardin, dkk. menyajikan model analitik baru untuk meningkatkan
klasiikasi dan prediksi membaca anak-anak pada kelas awal. 411 anak- anak di TK sampai kelas 2 Sekolah Dasar diberikan ukuran kesadaran
fonologi, pengenalan kata, dan keterampilan penamaan yang cepat.
97
Kehadiran pola perkembangan yang heterogen dan bertugas untuk mengetahui satu kelompok anak dengan pola perkembangan
yang berbeda yang paling berisiko untuk kesulitan membaca. Hasil menunjukkan bahwa keterampilan membaca prekursor seperti
kesadaran fonologi dan penamaan yang cepat adalah sangat prediktif untuk membangun keterampilan membaca pada anak
dan proil perkembangan yang dibentuk pada pembelajaran di TK secara langsung berhubungan dengan perkembangan anak di kelas
1 dan 2 Sekolah Dasar. Anak yang diidentiikasi memiliki kesulitan memperoleh kesadaran fonologi dalam usia dini diprediksi memiliki
pola lambat dalam perkembangan dalam keterampilan pengenalan kata untuk pembelajaran berikutnya. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan Francis et al., 1994; Boscardin, dkk, 2002, hasil dari studi ini mendukung gagasan bahwa kesulitan membaca dicirikan
oleh deisit dalam keterampilan prasyarat yang menyebabkan deisit dalam perkembangan membaca. Identiikasi sekelompok anak dengan
deisit terus-menerus selama periode tiga tahun atau kelas awal menunjukkan bahwa mereka akan terus tertinggal di belakang.
Temuan ini menggaris bawahi perlunya untuk identiikasi awal dan intervensi khusus menargetkan deisit keterampilan.
Re-konseptualisasi identiikasi kesulitan membaca menggunakan langkah-langkah yang merangsang pertanyaan lebih lanjut mengenai
implikasi dari praktek penilaian awal. Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills
DIBELS digunakan untuk memantau kemajuan membaca, lebih dari 40 negara, pada pelajaran membaca permulaan,
banyak Sekolah Dasar sekarang sedang menggunakan DIBELS untuk anak kelas 3 yang mengalami kesulitan membaca potensial. Beberapa
negara juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening Tests
PALS sebagai alat alternatif Boscardin,dkk.2002:24.
Faktor-Faktor Penyebab Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah Mengalami Kesulitan dalam Membaca
Sejumlah besar anak-anak usia Sekolah Dasar, termasuk anak-anak dari semua kelas sosial, mengalami kesulitan yang signiikan dalam belajar
membaca. Faktor yang paling utama penyebab anak Sekolah Dasar kelas rendah mengalami kesulitan membaca adalah faktor literasi atau
pemerolehan bahasa dari rumah. Selaras dengan pendapat Musthafa 2014 menyatakan tentang pentingnya lingkungan yang literat bagi
perkembangan literasi anak. Sebagian dari orang tua ada yang berusaha untuk menciptakan kebiasaan praktek literasi bagi anak-anak mereka.
Namun ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil dalam memberikan dukungan literasi bagi anak-anak mereka. Baik dalam bentuk praktek
98
literasi kongkret atau penyediaan artefak dan suasana yang mendukung. Kesenjangan literasi diantara anak-anak dikarenakan keragaman latar
belakang literasi dari rumah, yaitu ada anak yang datang dari lingkungan rumah yang kaya literasi dan mereka yang datang dari keluarga yang
tidak beruntung.
Dalam hal ini dijelaskan bahwa perkembangan literasi dini merupakan proses belajar membaca dan menulis secara informal
dalam keluarga yang umumnya bercirikan seperti demonstrasi baca- tulis, kerjasama interaktif antara orang tua dan anak, berbasis pada
kebutuhan sehari-hari, dan dengan cara pengajaran yang minimal tetapi langsung.
Brashear dalam Musthafa, 2014:2 menyatakan bahwa lingkungan literat sangat mempengaruhi proses belajar anak karena dalam
lingkungan literat anak dilibatkan secara langsung dalam literasi. Pada lingkungan ini, anak didorong menjelajah dunia mereka dan
mengungkapkan perasaannya menggunakan semua cara yang tersedia bagi mereka. Fitgerald dkk dalam Musthafa, 2014: 5 menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kemampuan dan pendidikan literasi orang tua dan tingkat apresiasi mereka terhadap
lingkungan literasi.
Anak-anak yang sangat mungkin mengalami kesulitan membaca di kelas- kelas dasar adalah mereka yang mulai sekolah dengan kurang pengetahuan
sebelumnya dan keterampilan yang relevan, terutama kemampuan verbal, kemampuan untuk memahami suara bahasa yang berbeda dengan maknanya.
Anak-anak dari lingkungan miskin, anak-anak dengan keterbatasan
kemahiran dalam bahasa, anak-anak dengan gangguan pendengaran, anak-anak
dengan gangguan bahasa prasekolah, dan anak-anak yang orang tuanya mengalami kesulitan belajar membaca sangat beresiko dengan kelemahan di
daerah ini.
Dalam sebuah studi pada pencegahan kesulitan membaca, tidak cukup bukti untuk menilai kesulitan membaca yang sebenarnya.
Idealnya, kita ingin tahu mana anak-anak atau kelompok anak-anak akan memiliki masalah belajar untuk membaca ketika mereka berada
di sekolah dan instruksi membaca yang diberikan. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan
anak mengalami kesulitan belajar membaca, yaitu :
1 Faktor intrinsik individu, 2 Lingkungan keluarga,
3 Lingkungan sekolah dan komunitas dimana anak tinggal Snow,dkk. 1998.
99
Upaya untuk Mengatasi Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah
Banyak anak-anak belajar membaca dengan instruksi yang baik, tapi beberapa tidak. Dan banyak anak memiliki masalah
belajar membaca karena instruksi yang buruk. Dalam semua kasus, pertanyaannya adalah apa jenis instruksi tambahan biasanya
disebut “Intervensi” karena ini bukan bagian dari instruksi bacaan sekolah. reguler untuk membantu. Tujuan memberikan waktu
pembelajaran tambahan untuk membantu anak-anak mencapai tingkat keaksaraan yang akan memungkinkan mereka untuk menjadi
sukses melalui karir sekolah mereka dan seterusnya. Hal ini tidak hanya untuk meningkatkan prestasi literasi awal. Ada kemungkinan
bahwa anak-anak yang telah memiliki intervensi di tingkat dasar perlu pengalaman pelengkap tambahan di kelas-kelas atas juga.
Kita tahu bahwa tuntutan keaksaraan bersifat berbeda untuk anak-anak, mereka diharapkan untuk belajar mengetahui
informasi dari teks yang mungkin mereka miliki dari beberapa pengalaman di kelas-kelas utama Fisher dan Hiebert,
1990; Snow, 1998 mereka diharapkan untuk menggunakan teks secara mandiri; dan mereka diharapkan untuk menggunakan teks untuk
tujuan pemikiran dan penalaran. Upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesulitan membaca
pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah intervensi yang spesiik untuk membaca, menargetkan pelatihan kesadaran fonologis phonemic
awareness , bimbingan literasi oleh guru di sekolah dan orang tua, dan
metode traditional lashcard drill and practice. Adapun pembahasannya
sebagai berikut : 1 Pelatihan pada kesadaran fonologi.
Kesadaran fonologi, apresiasi suara tanpa memperhatikan maknanya, sangat penting untuk menemukan abjad tersebut. Prinsip
gagasan bahwa huruf biasanya mewakili suara dalam segmen kecil yang disebut fonem. Manfaat dari pelatihan kesadaran
fonologi untuk anak-anak yang belum belajar dengan instruksi membaca secara formal. Di sini kita bisa memeriksa bukti efektivitas
pelatihan untuk dua kelompok anak-anak: yang pertama anak yang beresiko untuk
kesulitan membaca dan yang kedua anak-anak sekolah dengan kesulitan membaca yaitu memiliki prestasi yang sangat rendah.
Kegiatan ini melibatkan identiikasi awal, tengah, dan berakhir dengan suara membaca serta blending, segmentasi, dan mengkategorikan
suara. Penguasaan keterampilan ini adalah prediktor kuat untuk
100
membaca dasar Ball Blachman, 1991; Bentin Leshem, 1993; Bryne Fielding-Barnsley, 1991;Joseph,Laurice, M.,2005.
Pelatihan kesadaran fonologi ini dapat menggunakan teknik- teknik sebagai berikut :
a Sound manipulation activities yaitu sejumlah kegiatan manipulasi suara yang mendorong anak-anak untuk beroperasi pada
elemen suara yang diucapkan. Anak-anak dapat diajarkan untuk beroperasi pada suara dan struktur bahasa lisan
dalam berbagai cara. Mereka dapat segmen suara dari kata yang diucapkan oleh bertepuk tangan karena mereka
mengartikulasikan setiap suara dalam kata atau sesuai setiap suku kata dalam kata. Guru dapat mengajarkan
blending suara dengan mengatakan kata dimulai dengan f dan diakhiri dengan an , dan ketika mereka disatukan,
itu membuat fan. Berbagai kegiatan manipulasi suara atau permainan membantu anak-anak mengembangkan
keterampilan kesadaran fonemik Wagner, Torgesen, Laughon, Simmons, Raschotte, 1993; Yopp Yopp,
2000;Joseph, Laurice M.,2005.
b Kotak suara. Segmentasi keterampilan fonem dapat di scaffolding menggunakan kotak suara atau apa yang biasa
disebut sebagai Kotak Elkonin kotak Elkonin, 1973; Laurice M.,2005. Sebuah persegi panjang digambar di papan,
selembar kertas, atau kardus. Serangkaian kotak terhubung diciptakan oleh menggambar garis vertikal di dalam persegi
panjang sehingga dibagi sesuai dengan jumlah kata dan suara yang terdengar. Token atau benda kecil lainnya yang dapat
dengan mudah meluncur ke dalam kotak yang ditempatkan di bagian bawah dibagi dari persegi panjang atau kotak
yang terhubung. Instruktur secara lisan menyajikan kata, dan anak-anak diperintahkan untuk menempatkan
token di bagian masing-masing dari persegi panjang karena setiap suara dalam kata perlahan diartikulasikan. Misalnya,
kata panci disajikan secara lisan kepada anak dan anak akan menempatkan token pertama kotak pertama saat ia
sekaligus mengartikulasikan p , tempat tanda di kotak tengah karena ia mengartikulasikan a ,dan menempatkan
tanda lain dalam kotak terakhir karena ia mengatakan n . Setelah token ditempatkan di kotak, siswa
mungkin diminta untuk berulang-ulang menggerakkan jari hanya di bawah kotak terhubung dan suara berbaur
bersama-sama dan anak mengartikulasikan setiap suara pada
101
kata dengan cepat dan mudah. Teknik ini telah terbukti efektif untuk membantu anak-anak mengembangkan keterampilan
kesadaran fonemik Ball Blachman, 1991; Hohn Ehri, 1983; Maslanka Yusuf, 2002; Laurice M.,2005.
2 Bimbingan literasi oleh guru di sekolah Pada bagian ini, penulis menggambarkan intervensi tambahan
yang mengambil bentuk les. Seperti studi pelatihan kesadaran fonologi, anak-anak diberikan waktu tambahan dalam belajar membaca dengan
les anak-anak secara individual. Dan kegiatannya dilakukan dengan reading recovery
pemulihan membaca. Reading recovery, dipilih karena banyak yang memberikan review dan menarik perhatian guru-guru
di Amerika Serikat. Reading discovery ini membutuhkan pelatihan yang ekstensif dari guru, serta instruksi intensif satu-satu atau secara individu
dengan anak-anak, rendering itu cukup mahal. Program ini dirancang oleh Marie untuk tujuan intervensi anak-anak di Selandia Baru
yang diidentiikasi memiliki masalah membaca Clay,1985 dan Pinnell et al., 1988 ;Snow,dkk.1998. Program ini memiliki kerangka
tertentu untuk memberikan instruksi ke anak. Untuk 10 hari pertama partisipasi anak dalam reading recovery ini, guru mengumpulkan
informasi tentang keterampilan keaksaraan dan pengetahuan anak saat itu. Setelah periode ini, disebut sebagai “roaming known”, setiap
pelajaran meliputi a anak terlibat dalam kegiatan pra membaca b membaca buku secara independen guru mengambil catatan berjalan
untuk menilai kefasihan; c latihan identiikasi huruf, apabila diperlukan; d menulis dan membaca menggunakan kalimat sendiri;
e pemasangan kembali kalimat anak yang tidak dipotong menjadi kata-kata individu; f buku pengantar baru ; dan g mendukung
membaca buku baru. Kegiatan ini dilaksanakan selama 30 menit setiap hari. Dukungan guru diberikan selama kegiatan tersebut dan
dirancang untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman anak yaitu, anak-anak didorong untuk menggunakan berbagai sumber
informasi saat membaca dan untuk terlibat dalam kegiatan keaksaraan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah, pemantauan
efektivitas melalui teks. Buku teks yang digunakan oleh anak-anak telah diurutkan berdasarkan tingkat kesulitan. Setelah anak telah
mencapai tingkat yang sesuai dengan standar kompetensi yang diharapkan, kegiatan ini dilakukan 30 menit per sesi selama 12 periode
atau 16 minggu DeFord et al. 1987; Pinnell et al. 1994; Pinnel et al. 1995;Snow,dkk. 1998.
102
3 Bimbingan literasi oleh orang tua di rumah Lingkungan literat sangat mempengaruhi proses belajar anak
karena dalam lingkungan literat anak dilibatkan secara langsung dalam literasi. Pada lingkungan ini, anak didorong menjelajah dunia
mereka dan mengungkapkan perasaannya menggunakan semua cara yang tersedia bagi mereka. Dalam poin literasi dini, Musthafa
2014 menjelaskan berbagai cara untuk melibatkan anak dalam literasi, yaitu : a menyediakan beragam artefak literasi untuk anak,
b mendemonstrasikan beragam kegiatan literasi dan anak ikut dilibatkan, c mendemonstrasikan beragam peristiwa literasi dan
melibatkan anak didalamnya, d mendemonstrasikan interaksi dan libatkan anak-anak didalamnya.
4Teknik traditional lashcard drill and practice.
Teknik ini yang digunakan untuk mengajar anak-anak untuk membaca kata-kata secara akurat dan cepat. Model instruktur membaca
kata dicetak pada lashcard dan meminta anak untuk membaca kata diikuti dengan umpan balik. Mungkin ada 10 atau lebih lashcards
dengan kata-kata yang dicetak. Setelah setiap kata telah dimodelkan, guru dapat meminta anak untuk membacanya. Prosedur ini dapat
terjadi sampai anak mencapai penguasaan dalam membaca. Prosedur ini telah dinyatakan efektif untuk membantu anak-anak mendapatkan
pemahaman kata-kata Tan Nicholson, 1997. Temuan bahkan lebih
menarik adalah bahwa prosedur lashcard tradisional lebih eisien untuk membantu anak-anak membaca dan mengeja kata-kata.
Dari penjelasan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa banyak pihak yang harus ikut terlibat dalam mengaplikasikan
upaya mengatasi kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah. Faktor utama dalam menentukan keberhasilan dan
kegagalan anak Sekolah Dasar kelas rendah dalam belajar membaca adalah pemerolehan bahasa literacy dari rumah, disini yang paling
berperan adalah orang tua. Tetapi literasi di Taman Kanak-kanak pun menentukan keterampilan membaca anak ketika ia mulai memasuki
kelas 1 Sekolah Dasar. Dan guru Sekolah Dasar kelas rendah berperan untuk mengintervensi pembelajaran membaca anak di sekolah dengan
menggunakan berbagai metode dan media yang tepat.
Kerjasama yang perlu yang perlu dibangun dalam menangani masalah ini terutama dari pihak guru dengan orang tua anak. Jadi harus
ada kerjasama dalam membimbing anak belajar membaca misalnya setelah anak belajar membaca di sekolah, hal ini harus ditindak lanjuti
oleh orang tua di rumah. Dan orang tua harus meluangkan waktunya untuk membimbing anak.
103
Penutup
Deinisi operasional kesulitan membaca dalam tulisan ini adalah anak tidak mampu memenuhi instruksi prasyarat membaca
permulaan yang mengharuskan anak mampu membaca untuk memperoleh makna dari buku teks, memahami hubungan antara
ejaan dengan suara, belajar tentang sifat dari sistem penulisan abjad, dan memahami struktur kata-kata yang diucapkan.
Ciri-ciri kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah ciri pertama kesulitan muncul pada awal akuisisi membaca,
kesulitan memahami dan menggunakan prinsip-ide abjad bahwa ejaan yang ditulis secara sistematis merupakan kata yang diucapkan
sekarang, sulit untuk memahami teks terhubung jika pengenalan kata tidak akurat atau melelahkan. Ciri kedua adalah kegagalan untuk
mentransfer pemahaman tersebut, keterampilan bahasa lisan untuk membaca dan untuk memperoleh strategi baru yang mungkin secara
khusus dibutuhkan untuk membaca. Ciri yang ketiga adalah kesulitan membaca akan memperbesar ciri pertama dan kedua yaitu tidak
adanya atau hilangnya motivasi awal untuk membaca atau kegagalan untuk mengembangkan apresiasi dari manfaat membaca.
Anak yang diidentiikasi memiliki kesulitan membaca dan kesulitan memperoleh kesadaran fonologi dalam usia dini diprediksi
memiliki pola lambat dalam perkembangan dalam keterampilan pengenalan kata untuk pembelajaran berikutnya. Identiikasi awal
kesulitan membaca bisa menggunakan Heterogeneous Developmental Trajectories
, dan Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills DIBELS digunakan untuk memantau kemajuan membaca, lebih dari 40 negara
pada pelajaran membaca permulaan, banyak Sekolah Dasar sekarang sedang menggunakan DIBELS untuk anak kelas 3 yang mengalami
kesulitan membaca potensial. Beberapa negara juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening Tests
PALS sebagai alat alternatif.
Faktor yang paling utama penyebab anak Sekolah Dasar kelas rendah mengalami kesulitan membaca adalah faktor literasi atau
pemerolehan bahasa dari rumah. Anak-anak yang sangat mungkin mengalami kesulitan membaca di kelas-kelas dasar adalah mereka
yang mulai sekolah dengan kurang pengetahuan sebelumnya dan keterampilan yang relevan, terutama kemampuan verbal, kemampuan
untuk memahami suara bahasa yang berbeda dengan maknanya.
Upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah intervensi yang spesiik
untuk membaca, menargetkan pelatihan kesadaran fonologis phonemic awareness
, bimbingan literasi oleh guru di sekolah dan orang tua, dan
104
metode traditional lashcard drill and practice. Kerjasama yang perlu
yang perlu dibangun dalam menangani masalah kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah dari pihak guru dengan
orang tua. Jadi harus ada kerjasama dalam membimbing anak belajar membaca.
Daftar Pustaka
Andriana, Elga. Problema Anak Usia Dini Berbasis Gender. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Boscardin,Christy K. And Bengt O. Muthen.Tanpa tahun.Early Identiication of reading Dificulties. Los Angeles: University of
California. Bredekamp, Sue. 1987. Developmentally Appropriate Practice in Early
Childhood Programs Serving Children from Birth Through Age 8 .
Washington,DC: National Association for the Education of Young Children.
Briggs, A., Austin, R., Underwood, G. 1984. Phonological coding in good and poor readers.
Reading Research Quarterly,20,54–66. Brown, A. L., Palincsar, A. S., Purcell, L. l986. Poor readers: Teach,
don’t label. In U. Neisser Ed.,The school achievement of minority children: New perspectives
pp. 105–143. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Bryne, B., Fielding-Barnsley, R. 1991. Evaluation of a program
to teach phonemic awareness to young children. Journal of Educational Psychology
, 83, 451–455. Calhoon, M. B. 2005. Effects of a peer-mediated phonological skill and
reading comprehension program on reading skill acquisition for middle school students with reading disabilities. Journal of
Learning Disabilities , 38, 424–433.
Carver, R. P. 1997. Reading for one second, one minute, or one year from the perspective of rauding theory.
Scientiic Studies of Reading
, 1, 3–43. Clark, Eve V. Dan Herbert H. Clark. 1977. Psychology and Language.
New York : Harcourt Brace Jovanovich. Conor, Carol M.dkk. 2014. Improving Reading Outcomes for Students with
or at Risk for Reading Disabilities: A Synthesis of the Contributions from the Institute of Education Sciences Research Centers
,hlm 1-78.
105
Crain, William. 2011. Theories of Development Concepts and Application. USA: Pearson.
Deliana, Sri M.,dkk. Permasalah anak TK. Jakarta : Depdikbud Dehart, Ganie B.,dkk. 2004. Child Development its Nature and Course.
Boston : Mc Graw Hill. Denton, Carolyn A.2012. Children’s Learning Institute University
of Texas Health Science Center Houston : RTI For Reading Dificulties in the Primary Grades : Some Answers ang Lingering
Question, 453: 232–243. DePorter, Bobbi dkk. 1999.
Quantum Learning. Bandung : Kaifa. Dhieni, Nurbiana. .2008.Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta : UT
Dzaldov, B.S., Peterson, S. 2005. Book leveling and readers. The Reading Teacher
, 59, 222–229. Gail T. Gilon,Language, Speech, and Hearing Services in Schools,
The Eficacy of Phonological Awareness Intervention for Children With Spoken Language Impairment
April 2000, Vol. 31, 126-141. doi:10.10440161-1461.3102.126 History: Received September 22,
1999; Accepted December 17, 1999 Gestwicki, Carol. 2007. Developmentally Appropriate Practice Curriculum
and Development in early Education . Australia : Thomson.
Gunarti, Winda,dkk.2008. Metode Pengembangan dan Kemampuan Dasar AUD.
Jakarta: UT. Hatcher, P. J., Goetz, K., Snowling, M. J., Hulme, C., Gibbs, S., Smith,
G. 2006a. Evidence for the effectiveness of the Early Literacy Support Programme. British Journal of Educational Psychology
73, 351–367. doi:10.1348000709905X39170.
Hoover, W. A., Gough, P. B. 1990. The simple view of reading. Reading and Writing,2,
127–160.
Humphreys, Alexandra H.2013.
Reading Dificulty Levels of Selected Articles in the Journal of Research in Music Education and Journal
of Historical Research in Music Education. Volume 6.
Hurlock, Elizabeth B., 1991. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : PT. Erlangga.
Iversen, S., Tunmer, W. E. 1993. Phonological processing skills and the reading recovery program. Journal of Educational Psychology,
85, 112–126.
106
Izzaty, Rita Eka. 2005. Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia Dini
. Jakarta : Depdiknas.
Kispal,Anne.2008. Effective Teaching of Inference Skills for
ReadingLiterature Review. National Foundation for Educational
Research. N. J. Smelser P. B. Baltes Eds.. 2001. International encyclopedia of the
social behavioral sciences pp. 12800-12805. Oxford: Pergamon.
Moats, Louisa, Committee Chair,Suzanne Carreker,Rosalie Davis,Phyllis Meisel,Louise SpearSwerling,Barbara Wilson.
2010. Knowledge and Practice Standards forTeachers of Reading. International Dyslexia Association, Professional Standards and
Practices Committee.
Musthafa, Bachrudin. 2008. Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi. Bandung : CREST.
Pinnell, Gay Su, Irene C. Fountas. Research Base for Guided Reading as an Instructional Approach.
www.scholastic.comguidedreading. Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak Jilid 1 dan 2. Jakarta :
Penerbit Erlangga. Simpson, G. B., Lorsbach, T., Whitehouse, D. 1983. Encoding and
contextual components of word recognition in good and poor readers. Journal of Experimental Child Psychology, 35, 161–171.
Snowling, Margaret J. and Charles Hulme.2010. Evidence-based interventions for reading and language dificulties: Creating a
virtuous circle. British Journal of Educational Psychology 2011,
81, 1–23 Tarigan, Henri G. 2009. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa.
Bandung : Angkasa. __________ 2013. Membaca. Bandung : Penerbit Angkasa.
Torgesen,Joseph K.2002.
The Prevention of Reading Dificulties. Journal of School Psychology
, Vol. 40, No. 1, pp. 7–26. Torgesen, J. K., Mathes, P. 2000. A basic guide to understanding,
assessing, and teaching phonological awarenes s. Austin, TX: PRO-
ED. Tzinivikou, Sotiria. 2002. Strengs and Weakness of Screening Reading
Dificulty. Departement of Early Chilhood Education, Greece. Vellutino, Frank R. 2010, “
Learning to be Learning Disabled:” Marie
107
ADAPTASI KURIKULUM PENDIDIKAN INKLUSIF SISWA DENGAN HAMBATAN
SOSIAL EMOSIONAL DI SEKOLAH DASAR
Suharsiwi
Universitas Muhammadiyah Jakarta Email: suharsiwisoeratmangmail.com
Abstrack: Title this paper is curculum adaption in Inclusive Education for children with Emotional Social disorder in
elementary school, is the result of description qualitative research in elementary SD Semut-semut Depok. The aim of
research is to see how the efforts of primary teachers to adapt the curriculum, with a focus on the dificulties faced by children,
how to make the curriculum adaptation, and what efforts were made to overcome the problems of teachers in learning.
Handling children with special needs done in Learning Support départemant LSD, a unit that supports children with special
needs in play, practice, and interact with friends in SD Semut- semut, so hopefully they can acquire a variety of skills to interact
with the surrounding environment. Children with emotional
social disruption there, have an IQ below average, dificulty interacting, communicating and independence. They were in
the average grade is in regular classes between 50 s d 75, most of the other time was in grade LSD, studying individually
or about 3-4 children. As seen from the curriculum adaptations of existing capabilities in children, that will be developed, even
though these capabilities are still limited. While other abilities are not developed, the teacher does not force a child to do so.
Children who are not yet able to adapt in the regular classroom, the program is intended for them is to develop the social aspects
and debrieing of reading, writing, and counting for their preparation in the regular classroom.
Keywords: Adaptation of curriculum, Learning Support départemant LSD.
108
Pendahuluan
Upaya pemenuhan hak azasi anak berkebutuhan khusus ABK untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak dirasakan masih
mengalami kendala, pelaksanaannya masih belum sepenuh hati. Hal tersebut terlihat dari keberadaan ABK yang masih terbatas
penerimaannya di sekolah umum, padahal ide pendidikan inklusif sudah lama dilontarkan oleh berbagai pihak dan pakar pendidikan.
Kita masih mendengar bahwa sebagian ABK masih memperoleh pendidikan yang diskriminatif dan pengabaian, demikian juga belum
banyak masyarakat yang bisa menerima dengan baik keberadaan ABK bersekolah bersama-sama anak-anak normal lainnya.
Kenyataan tersebut membuat sebagian Orang tua ABK menjadi malu dan merasa rendah diri karena merasa ditolak oleh
lingkungannya, sehingga ada juga yang cenderung menyembunyikan tidak mempedulikan pendidikan buah hatinya, terlebih bagi orangtua
yang kondisi ekonominya miskin dan kurang mampu membiayai sekolah anaknya. Slogan yang selalu dikedepankan adalah sekolah
untuk semua berarti semua seharusnya bisa sekolah, tetapi pada kenyataannya tidak semua ABK bisa mendapatkan sekolah yang
memudahkan mereka melakukan penyesuaian sosial yang dapat mencegah ABK dari perasaan rendah diri.
Bagi orangtua yang ingin ABK-nya dapat mandiri, masih cukup sulit mendapatkan sekolah yang tidak diskriminatif seperti sekolah
inklusif, kalaupun ada, sekolah inklusif yang ideal masih jauh dari harapan, akan tetapi seting sekolah inklusif ini merupakan hal yang
ideal bagi ABK untuk melakukan pengembangan program individual, terutama bagi mereka yang mengalami masalah perilaku dan sosial
emosional seperti anak autis, ADHD. ADD dan gangguan perilaku lainnya, sekolah inklusif memungkinkan mereka dapat berimitasi
dengan lingkungannya.
Anak ADHD dan ADD adalahAnak dengan gangguan pemusatan perhatian dalam dunia kedokteran dikenal dengan terminologi ADD
Attention - Deicit Disorder. Pada tahun 1980 Asosiasi Psikiater Amerika Serikat menyarankan penggunaan terminology ADD sebagai
pengganti MOD Minimal Brain Dysfunction. Sebelumnya, terminology yang digunakan adalah brain injured ini selanjutnya dibagi menjadi
dua tipe yaitu ADHD
Attention-Diicit Hyperactivity Disorder dan ADD
Attention Deicit Disorder Without Hyperactivity Dikemukakan oleh Task Force on DSM-IV tahun 1991 yang dikutip oleh Azwandi
2005:14. Pada UUD 1945 pasal 31 1 yaitu Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran. UU No.2 tahun 1989 pasal 5 dijelaskan bahwa
109
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mernperoleh pendidikan. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia, dalam upaya mewujudkan tujuan Nasional. UUD
1945
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. UU RI No 20
tahun 2003 Berdasarkan hal itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap
warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan difabel yang disahkan pada Maret 2007 Convention
on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol, 2012
. Pada pasal 24 adalah salah satu kesepakatan Internasional
yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dalam konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol,
2012
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Tetapi
sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan
yang berdasar pada perbedaan kemampuan baik isik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Dampaknya segmentasi lembaga pendidikan
ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini anak-anak
yang memiliki perbedaan kemampuan difabel, disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis perbedaan
kemampuannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa SLB.Sistem
pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusiisme bagi anak- anak berkebutuhan khusus. Tembok eksklusiisme tersebut selama
ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel. Akibatnya dalam
interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi terasingkan dari dinamika sosial di masyarakat.
110
Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Slogan sekolah untuk semua yang sering didengungkan pakar
pendidikan, berarti semua bisa sekolah termasuk ABK bisa sekolah bercampur dengan anak-anak normal, sistem pendidikan yang
mencampurkan ABK dengan anak normal adalah sistem pendidikan inklusif yang harus menerapkan kurikulum adaptif. Hal ini juga yang
menandakan bahwa pendidikan tersebut menganut sistem berkeadilan sosial yang berprinsip pada keseimbangan dan pemerataan hak serta
kewajiban bagi setiap warga Negara. Pemerataan tersebut berlaku untuk semua warga negara, termasuk bagi mereka yang memiliki
hambatan belajar atau berkebutuhan khusus.
Pembahasan Hasil Penelitian
SD Semut-semut adalah sekolah inklusif yang memberikan kepedulian pada anak-anak berkebutuhan khusus. Jumlah anak
berkebutuhan khusus di sana berjumlah sekitar 28 anak dengan berbagai hambatan seperti tuna rungu, tuna grahita atau mental
retarded , speech delayed, kesulitan belajar, dan anak-anak dengan
hambatan sosial emosional seperti anak dengan kasus ADD ADHD dan ASD. Adapun yang menjadi fokus penelitian kami adalah anak
dengan hambatan sosial emosional seperti anak ADD ADHD dan ASD.
Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, bahwa anak-anak dengan gangguang seosial emosional berjumlah 6 anak, selebihnya
adalah tuna rungu, tuna grahita atau mental retarded, speech delayed, kesulitan belajar. SD Semut-semut adalah sekolah dengan setting
pendidikan inklusif, dengan memperhatikan kebutuhan individual masing-masing anak sesuai kemampuannya.
Penanganan anak berkebutuhan khusus demikian pula dengan anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial ditangani oleh
Learning Support Departemant . Lerning Support Departemant adalah unit
yang mendukung anak-anak berkebutuhan khusus dalam bermain, berlatih, dan berinteraksi dengan teman-temannya di SD Semut-
semut, sehingga diharapkan mereka dapat memperoleh berbagai keterampilan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Learning Support Departemant adalah satu unit yang mendukung
anak-anak istimewa di Sekolah Semut-semut untuk bermain, berlatih, belajar dan berinteraksi dengan teman-teman lainnya yang ada
di lingkungan Sekolah Semut-semut maupun lingkungan tempat tinggalnya.
111
LSD memiliki 11 guru pendamping yang melakukan pendampingan di kelas ataupun di ruang LSD. LSD memiliki 2 dua
koordinator yang memimpin guru-guru pendamping di sekolah. Dua koordinator terdiri dari ketua dan wakilnya yang memiliki background
pendidikan S1 Psikologi dan terapi okupasi. Mereka berdua memiliki pengalaman menangani anak-anak di sekolah inklusif, membuat
program dan melakukan kegiatan terapi buat anak-anak berkebutuan khusus.
Mekanisme penanganan anak dilakukan dalam beberapa hal yaitu: a.
Pengidentiikasian, yaitu kegiatan menemukenali anak-anak yang terindikasi mengalami masalah dalam berinteraksi, mengenal
konsep, menerima pelajaran, berkomunikasi dan masalah-masalah lain yang tidak dapat ditangani hanya dalam kelas biasa, namun
harus melakukan kegiatan penanganan di LSD. Informasi yang didapat biasanya melalui orangtua dan observasi awal, namun
dapat juga dari informasi yang didapat dari guru setelah anak masuk dan bersekolah ternyata baru terlihat memiliki masalah-
masalah dalam perkembangannya.
b. Melakukan Assesmen, kegiatan assesmen dilakukan untuk melihat lebih rinci kemampuan dan masalah yang dihadapi anak berkaitan
dengan perilaku dan kemampuan awal anak. Kegiatan assesmen melibatkan Guru koordinator, guru kelas, dan psikolog. Hasil
assesmen menjadi informasi yang berharga bagi guru koordinator untuk membuat program untuk anak-anak. Target atau tujuan
disesuaikan dengan masalah yang dihadapi anak-anak. Khusus untuk anak-anak yang memiliki masalah perilaku dan gangguan
emosional, maka program yang dilakukan adalah mengembangkan kemampuan sosial dan interaksinya dengan lingkungan. Anak
dilatih untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, tanpa harus berupa kemampuan akademik. Tujuannya bukan
prestasi akademik melainkan kompetensi lain yang bernilai yang dapat dibanggakan.
c. Program IEP, adalah program individual agar siswa mendapatkan perlakuan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Program
IEP dibuat oleh guru pendamping dengan mendapat arahan dari guru koordinator. Informasi pembuatan program IEP juga dari
guru kelas dan kepala sekola yang memahami kurikulum TK dan SD sesuai jenjangnya. Program IEP kemudian dilaksanakan oleh
guru pendamping dibantu oleh guru kelas.
d. Kegiatan kelas, anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak- anak dengan gangguan perilaku dan emosi, masuk dalam kegiatan
112
kelas seperti anak-anak lainnya dan juga melakukan kegiatan sebagian waktunya di LSD.
e. Kegiatan pengembangan, yaitu kegiatan buat anak-anak yang tujuannya mengembangkan potensi anak yang lain bukan pada
kejaran prestasi akademik. Kegiatan tersebut berupa kegiatan olah tubuh seperti senam, berenang, bersepeda, wiragamenari. Ada
juga berupa kegiatan kesenian, seperti seni Musik vokal, angklung, perkusi, biola dan kegiatan Seni Rupa berupa Art, serta kegiatan
life skill yaitu AKS, Citra rasa kuliner, gardening, computer.
Bagaimana bentuk kesulitan anak gangguan sosial-emosional?
Anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SD Semut- semut rata-rata mengalami masalah hambatan intelektual dengan
IQ di bawah rata-rata yaitu antara 80 – 40. Anak dengan gangguan sosial emosional, secara umum mengalami masalah kurang dapat
berinteraksi dengan teman dan guru. Masih fokus pada diri sendiri, mudah frustasi, kurang dapat mengendalikan emosinya saat frustasi,
melakukan kebiasaan-kebiasaan a sosial seperti mengambil makanan orang lain tanpa izin, berbicara sendiri tanpa tujuan, tersenyum
sendiri, melamun, berteriak dan acuh saja pada orang yang menegur atau berdiri di dekatnya.
Secara isik mereka tidak memiliki masalah, rata-rata mereka sehat dan cukup asupan gizinya. Setiap hari mereka membawa snack dan
makan siang sendiri, walau ada juga beberapa yang menggunakan fasilitas catering dari sekolah. Anak-anak yang mengalami gangguan
sosial emosional, dikarenakan adanya gangguan autisme, ADHD, ADD dan ada yang dikarenakan masalah pola asuh. Meski mereka
sering memperlihatkan perilaku yang menarik diri dari lingkungan dan asyik dengan dirinya, seperti anak autis, namun rata-rata mereka
jarang melakukan tindakan agresif yang dapat melukai orang lain. Kadang mereka juga merajuk atau menangis karena sebab tertentu
atau marah, namun masih bisa dikendalikan oleh guru kelas, ataupun guru pendampingnya.
Selain masalah interaksi dan keterampilan sosial lainnya, anak- anak dengan gangguan sosial emosional, juga mengalami masalah
penerimaan dalam pelajarannya. Beberapa mereka dapat mengikuti pelajaran tertentu, namun beberapa pelajaran tidak dapat diterimanya
dan membutuhkan modiikasi dalam kurikulumnya, seperti keluasan materi, tingkat kesulitan dan cara mengajarkannya.
113
Dalam hal komunikasi, mereka juga mengalami masalah sehingga kurang memahami apa yang dibicarakan oleh teman-temannya.
Kebanyakan mereka belum dapat bermain bersama teman-teman di kelasnya, terbatas pada teman-teman yang ada di LSD. Mereka
membutuhkan arahan dan bimbingan agar dapat bersikap yang diterima oleh teman-temannya. Konsentrasi mereka juga sering
tidak fokus dan mudah terganggu, juga sering melakukan hhal-hal yang tidak perleu, seperti memukul-mukul pensil ke meja, berjalan
mondar-mandir, bermain crayon, pensil, menggambar atau hal lain di luar kegiatan yang diminta.
Bagaimana model adaptasi kurikulum yang diterapkan?
Model adaptasi kurikulum yang diterapkan masih belum sepenuhnya menggunakan model pendidikan inklusif. Anak
berkebutuhan khusus di semut-semut rata-rata berada di kelas reguler antara 50 sd 75 , sebagian waktu lainnya adalah di kelas LSD,
belajar secara individual atau sekitar 3 – 4 anak.
Adapun adaptasi kurikulum dilihat dari kemampuan yang ada pada anak, itulah yang akan dikembangkan, meski kemampuan
tersebut masih terbatas. Sementara kemampuan-kemampuan lain yang belum berkembang, guru tidak memaksakan anak untuk
melakukannya. Anak-anak yang memang belum dapat beradaptasi di kelas reguler, maka program yang diperuntukkan untuk mereka
adalah mengembangkan aspek-aspek sosial dan pembekalan calistung untuk persiapan mereka di kelas reguler.
Adapun contoh program individual adalah sebagai berikut :
114
Program Pembelajaran Individual Periode Januari– Maret 2014
Identitas Siswa Nama
: CP Inisial Kelas
: 5 Jenis Kelamin
: Perempuan
Gambaran Umum :
Bagaimana pelaksanaan program kegiatan pembelajaran ABK di sekolah inklusif?
Adapun program kegiatan LSD adalah sebagai berikut : Program Terapi, Program IEP, Program Remedial, Program KBI Kecil dan
KBI Besar, dan Program Pengembangan. Program terapi tidak diwajibkan oleh semua anak dan merupakan pilihan bagi orangtua.
Rata-rata mereka memang masih mengikuti terapi, namun ada yang melakukannya di luar sekolah dan setelah mereka pulang sekolah.
Waktu terapi dilakukan setelah anak selesai jam sekolahnya, namun ada juga siswa di luar Sekolah semut-semut yang mengikuti program
terapi dan biasanya mereka lakukan sebagai persiapan untuk masuk ke sekolah semut-semut.
Mengingat peminat siswa ke sekolah semut-semut cukup banyak, maka siswa baru dikenakan waiting list, demikian juga anak
berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus yang belum dapat masuk, dapat ikut dalam kegiatan di LSD. Program terapi di
Dalam kesehariannya Lesti terlihat ceria, riang, dan berseman- gat. Juga ramah dan sopan terhadap teman, kakak kelas, mau-
pun guru. Lesti merupakan anak yang murah hati. Ia sering berbagi makanan dengan teman lain. Tak jarang berbagi pula
dengan guru di kelasnya. Lesti masih perlu diberikan pemahaman dan juga contoh ten-
tang bagaimana cara bersikap agar dapat disukai oleh teman- temannya yang lain, Lesti perlu banyak berlatih untuk dapat
fokus dengan pekerjaannya, tidak terlalu banyak melakukan hal-hal lain yang tidak perlu, seperti bermain pensil, sibuk
menggambar, ataupun hal lain di luar materi pelajaran. Perlu intruksi berulang, masih perlu penguatan untuk bisa
fokus dan memperhatikan. Kepercayaan diri Lesti perlu di mo- tivasi. Membaca merupakan
115
LSD adalah Terapi Okupasi, Motorik Halus, SI, Behavior, AKS, dan Terapi Wicara. Program terapi dijalankan oleh 2 koordinator LSD.
Program IEP, dilaksanakan oleh LSD dengan melibatkan koordinator, wali kelas dan guru pendamping. IEP adalah kepanjangan
dari Individual Educational Program, atau dimaksudkan sebagai program pendidikan individual. IEP adalah program yang dirancang
untuk memfasilitasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus mengingat kemampuan mereka tidak bisa disamakan dengan usia kronologisnya,
baik berkaitan dengan kemampuannya maupun gaya belajarnya dan juga disesuaikan dengan karakteristik kebutuhannya yang istimewa.
Program Remedial, adalah program pembelajaran yang bersifat pengulangan dan diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan
pengulangan materi dan tidak cukup dengan apa yang disampaikan di kelas regulernya. Program remedial, disesuaikan dengan materi apa
yang diperlukan siswa untuk dilakukan remedial. Sehingga masing- masing anak akan berbeda dan bersifat individual. Kegiatan remedia
dilakukan di ruang LSD, dan dilakukan oleh guru pendampingnya.
Program KBI Kecil dan KBI Besar, adalah singkatan dari Program kelas Bintang Indonesia. Program tersebut terdiri dari KBI Kecil
yaitu program persiapan dimana siswa berada di kelas LSD yang mempersiapkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk masuk di kelas
reguler bersama anak-anak lainnya. Program persiapan disesuaikan dengan kebutuhan anak sebagai bentuk bekal mereka masuk ke kelas
regulernya. Kelas persiapan masuk ke kelas reguler bukan berdasarkan kematangan secara akademis, namun dilihat umur dan quota di kelas
regulernya, mengingat ada ketentuan dan pertimbangan lain di dalan satu kelas reguler ada berapa anak berkebutuhan khusus.
KBI besar merupakan program yang dilakukan pada akhir semester 1 atau semester 2 dan diperuntukan untuk melatih kemampuan
beradaftasi terhadap orang dewasa baru dan teman-teman kecil kelas reguler untuk mendapatkan tauladan yang lebih baik. Prioritas utama
bukan nilai atau hasil akhir, melainkan proses dimana teman-teman KBI dapat mengembangkan atau terstimulasi perkembangan mereka
dari berbagai macam aspek.
Program Pengembangan dibagi dalam berbagai kategori yaitu : • Mampu didik: teman-teman yang dapat mengikuti materi
pelajaran dikelas reguler, sesuai dengan kompetensi siswa • Mampu latih: teman-teman yang tidak dapat mengikuti materi
pelajaran dikelas reguler • Teman kecil istimewa dapat dikatakan mampu didik atau
mampu latih berdasarkan :
116
Kategori ini dilihat dari hasil evaluasi belajar yang sudah berjalan dan juga hasil Tes IQ anak. Program pengembangan yaitu kegiatan
Olah tubuh : Olah raga, berenang, bersepeda, wiragamenari, Seni Musik : vokal, angklung, perkusi, biola , Seni Rupa: Art dan Life Skill :
AKS, Citra rasa kuliner, gardening, computer.
Penutup
Maraknya kepedulian sekolah untuk menerima anak berkebutuhan khusus memang harus dibarengi dengan semangat untuk memberi
bantuan kepada mereka dengan cara yang tepat Banyak model yang dilakukan sekolah dalam melakukan modiikasi kurikulum untuk tiap
anak dengan memperhatikan kebutuhan, keunikan dan kekuatannya. Adaptasi kurikulum yang dilakukan di SD Semut-semut dapat
menjadi salah satu model penanganan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Dasar. Adaptasi kurikulum yang dilakukan di sekolah,
telah menjadi sistem yang cukup signiikan dalam mengembangkan kemampuan individu anak dengan gangguan sosial emosional di SD
Semut-semut.
Mengingat ini adalah sebuah penelitian kualitatif, yang tidak bisa di generalisasi, namun ke depan diharapkan dapat menjadi awal
untuk penelitian lebih lanjut seperti riset pengembangan model atau eksperimen, untuk bagaimenjadikan adaptasi kurikulum sebagai
sebuah model yang dapat di lakukan di Sekolah-sekolah dasar di Indonesia baik Negeri maupun Swasta.
Keterlibatan pemerintah, orangtua, masyarakat sangat penting dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang ramah untuk semua,
juga mengembangkan system pendidikan yang dapat memberi jalan keluar bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus dimanapun berada.
Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, dapat berkontribusi baik moril dan meteriil, dan pro pada peningkatan pendidikan anak-
anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Membuat kebijakan pada sistem kurikulum anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusif,
bagaimana pelaksanaan ujian nasional dan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan lainnya.
117
Daftar Pustaka
Beauchamp, George A.. Curriculum Theory. Willmette, Illionis: The KAAG Press. 1968.
Bogdan, Robert C. Qualitative Research for Education, An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacond, 1992.
Daley, Cook.Klein.Tesser..AdaptingEarly Childhood Curricula For Children in Inclusive Setting.
New Jersey:Pearson Merril Prentice, 2004
Denis Ny, Enrica., Inklusif, 2006 Gagne, R.M. Harlen. Principles of Instructional Design. New
York: Rinehort and Winston, 1990. Hall, G.E. Jones, H.L. Competency-based education: A process for the
improvement of education. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall,
Inc, 1976. Hallahan Kauffman. Exceptional Children Introduction to Special
Education . London: Prentice Hall, 1988.
Hidayat..Model Pembelajaran Yang Ramah Bagi Semua Anak Dalam Seting Inklusif.
Purwokerto: Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto, 2009
Katalog Dalam Terbitan KDT. UUD1945. Jakarta: Visi Media, 2007. Lawrence, Grayson. On a Methodolog for Curriculum Design, Engineering
Education . 1978.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2003. Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya. 2000. Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin. 2000. Robert M, Smith dkk, The Exceptional child : a functional approach, New
York: McGraw-Hill, 1975 Spradley, James HAL. Participant Obsevation, New York : Holt, Rinehart
and Windson, 1980. Stainback, W. Stainback, S...Support networks for inclusive schooling:
Interdependent integrated education. Baltimoe: Paul H. Brookes,
1990
118
MENGENAL SCHOOL REFUSAL; MENGAPA ANAK MENOLAK BERSEKOLAH?
Fatkhul Ariin
Universitas Pendidikan Indonesia UPI Bandung Email: ikayiepgmail.com
Abstrak: Seorang anak yang telah mencapai usia sekolah, kehidupan rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan
sekolah. Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika
ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi dengan cepat. School refusal adalah masalah
emosional yang dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak untuk menghadiri sekolah dengan menunjukkan simptom
isik, yang disebabkan karena kecemasan berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif di sekolah atau karena
punya masalah dalam keluarga. Keterlibatan orang tua dan guru merupakan faktor dalam penanganan masalah school refusal.
Kata kunci : school refusal, pengalaman tidak menyenangkan, anak
Pendahuluan
Sekolah merupakan sarana pendidikan yang bertujuan untuk menyempurnakan perkembangan jasmani dan rohani anak. Masuk
sekolah pertama kali bagi anak merupakan sebuah langkah maju dalam kehidupannya. Peristiwa ini dapat menjadi suatu peristiwa
yang menegangkan, menakjubkan, menakutkan, menyenangkan atau menimbulkan rasa asing bagi anak Sukadji, 2000. Sekolah dasar
adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Selain itu Sekolah Dasar merupakan jenjang pendidikan yang paling
penting keberadaannya karena proses dimulainya seseorang dalam menempuh dunia pendidikan diawali dari jenjang sekolah dasar.
Siswa tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke SLTP dan SLTA tanpa menyelesaikan pendidikan dijenjang Sekolah Dasar.
Saat seorang anak yang telah mencapai usia sekolah, kehidupan
119
rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan sekolah. Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan
orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi
dengan cepat Mahfuzh, 2001. Beban-beban emosional tertentu yang dirasakan anak ketika menginjakkan kaki pertama kali di lingkungan
sekolah seperti rasa cemas atau takut akan berpotensi menghalangi anak untuk berangkat ke sekolah dan bila dibiarkan, maka akan
menimbulkan beberapa tingkah laku yang tidak normal, yang salah satunya adalah school refusal.
Pembahasan Pengertian School Refusal
School refusal atau penolakan sekolah mengacu pada gangguan
emosional yang dialami anak dalam hal kehadiran di sekolah. Anak- anak yang menolak sekolah biasanya tidak terlibat dalam perilaku
antisosial yang berhubungan dengan pembolosan, seperti berbohong, mencuri atau merusak properti. Sebagian besar anak-anak kadang-
kadang enggan untuk pergi ke sekolah atau memiliki beberapa kecemasan tentang kegiatan sekolah.
Selain itu, pengertian School Refusal adalah masalah emosional yang serius yang dihubungkan dengan akibat jangka pendek dan
akibat jangka panjang yang signiikan Fremont, 2003. Pendapat lain mengemukakan bahwa school refusal adalah masalah emosional yang
dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak untuk menghadiri sekolah dengan menunjukkan symptom
isik, yang disebabkan karena kecemasan berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif
di sekolah atau karena punya masalah dalam keluarga. Seorang anak dikatakan mengalami school refusal jika anak tersebut tidak mau
pergi ke sekolah atau mengalami distres yang berat berkaitan dengan kehadiran di sekolah. Anak yang mengalami school refusal merasa
tidak nyaman karena perasaan cemas terhadap sesuatu yang berkaitan dengan sekolah sehingga mereka dapat kehilangan kemampuan
untuk menguasai tugas-tugas perkembangan pada berbagai tahap pada masa perkembangan mereka Davison, John Ann, 2006.
Menurut Nicole Setzer Ph.D dan Amanda Salzhauer, C.S.W Setzer, 2001 ada beberapa tingkatan school refusal dari yang tingkatan
yang ringan sampai yang berat, yaitu: 1 Initial school refusal behaviour,
120
2 Substantial school refusal behavior, 3 Acute school refusal behavior dan
4 Chronic school refusal behavior. Pada hasil penelitian Rini 2006 di tiga sekolah dasar yang berada
di Surakarta, anak-anak yang ingin memasuki usia sekolah lebih banyak mengalami substantial school refusal behavior sikap penolakan
sekolah yang berlangsung selama minimal 2 minggu yang berkisar sekitar 65 anak perempuan 40 dan anak laki-laki 25. Anak
yang mengalami Acute school refusal behavior sikap penolakan sekolah yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak
mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah berkisar sekitar 35 anak perempuan 17,5 dan anak laki-laki 17,5. School
refusal behavior
adalah perilaku penolakan sekolah yang terjadi pada anak saat waktu sekolah tiba. Sedangkan menurut Arjana 2006
penolakan untk bersekolah dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu tipe ringan tak masuk sekolah dalam kurun waktu beberapa
hari, tipe sedang tak masuk sekolah dalam waktu satu minggu, dan tipe berat hampir setiap hari tak sekolah dalam kurun waktu tiga
minggu.
Penolakan sekolah adalah masalah serius yang memerlukan penanganan dari awal. Ketika seorang anak absen yang berkepanjangan
berarti bahwa anak-anak kehilangan bagian penting dari kurikulum, yang merugikan pembelajaran dan perkembangan mereka. Anak-
anak yang bolos sekolah sebagai akibat dari penolakan mungkin juga menghadapi masalah jangka panjang. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penolakan sekolah dapat memberikan kontribusi untuk masalah kesehatan mental, masalah emosional dan sosial, keluar
sekolah di kemudian hari.
Karakteristik Siswa yang Mengalami Masalah School Refusal
Beberapa karakteristik umum siswa yang mengalami masalah School Refusal
karena alasan emosional bervariasi, diantaranya meliputi:
1 Kecemasan Berpisah Separation anxiety Anak yang menolak
sekolah karena kecemasan berpisah khawatir tentang keselamatan dan takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada
siswa. Umumnya anak-anak mengeluh pada saat pergi ke sekolah dan terlibat perdebatan dipagi hari sebelum berangkat
sekolah, hal ini biasanya dilakukan anak dengan menangis,
121
berteriak, menendang, atau melarikan diri.
2 Kecemasan kinerja Performance anxiety. Biasanya anak
yang mengalami kecemasan ini dikarenakan karena mereka memiliki masalah ketidak mampuan anak dalam melakukan
sesuatu yang ditugaskan oleh gurunya. Hal ini menimbulkan anak menjadi malas ke sekolah karena takut ditunjuk oleh
gurunya untuk melakukan hal yang ditugaskan tersebut. Selain itu, pada saat mereka tidak bisa melakukan hal yang
tidak mampu dilakukan, teman sekolah akan memberikan cibiran negative, ini yang menimbulkan anak merasa minder
dan tidak percaya diri.
3 Kecemasan sosial Social anxiety. Beberapa siswa mungkin
merasa kecemasan sosial atau khawatir tentang interaksi sosial dengan teman sebaya dan atau guru. Mereka tidak
nyaman dalam situasi sosial dan mungkin takut bersosialisasi dengan teman di sekitarnya.
4 Kecemasan umum Generalized anxiety. Beberapa siswa
memiliki kecenderungan untuk melihat lingkungan luar sebagai ancaman dan memiliki kekhawatiran umum tentang
sesuatu yang buruk terjadi. Mungkin anak tersebut juga memiliki ketakutan tertentu terhadap bencana seperti tornado
atau perang.
5 Depresi Depression. Beberapa siswa mengalami depresi
dan kecemasan atau keduanya, termasuk gejala kesedihan, kurangnya minat dalam kegiatan, kesulitan tidur, perasaan
lelah, merasa tidak berharga, perasaan bersalah, dan mudah tersinggung. Gejala yang sangat serius dari depresi adalah
bunuh diri. Seorang anak yang mempunyai gejala depresi yang serius harus segera dikonsultasikan dengan pihak yang
terkait, karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
6 Intimidasi Bullying. Beberapa siswa takut ditindas
oleh temannya. Anak yang mengalami hal tersebut ingin menghindari sekolah karena mereka merasa situasi di sekitar
mereka sudah tidak nyaman. Secara isik mereka merasa terancam, tertindas, atau ditinggalkan oleh anak-anak lain.
7 Masalah kesehatan Health-related concerns. Beberapa siswa
memiliki keluhan isik. Dokter dan perawat sekolah dapat
122
membantu orang tua dan staf sekolah dalam menentukan apakah seorang anak memiliki isik yang baik atau masalah
jika terkait dengan kecemasan.
Dalam suber lain, tingkah laku school refusal dapat dilihat dari satu atau kombinasi dari beberapa karakteristik Kearney, 2001, yaitu
: a Absen dari sekolah, menolak pergi ke sekolah, tidak mau pergi ke sekolah, b Hadir di sekolah tapi kemudian meninggalkannya
sebelum jam sekolah usai, c Hadir di sekolah tapi menunjukkan tingkah laku yang tidak diharapkan, dari tingkah laku menyendiri,
tidak ingin pisah dari
igure attachment-nya orang terdekat, agresif, tidak kooperatif sampai temper tantrum rewel dan mengamuk, dan
d Mengemukakan keluhan isik dan keluhan lain di luar keluhan isik dengan tujuan agar tidak pergi ke sekolah.
Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak mulai dituntut dan kadangkala menuntut dirinya agar selalu berbuat sebaik mungkin dan
menyesuaikan dirinya dengan standar tingkah laku tertentu. Standar tingkah laku tersebut dipandang sesuai dengan tuntutan guru
sekolah, orang tua maupun teman. Adakalanya anak tidak dapat memenuhi tuntutan yang dikenakan kepada mereka atau berkaitan
dengan kegiatan belajar, terutama dalam hal prestasi akademik.. Keadaan ini menimbulkan tekanan pada anak dan dapat menjadi
pemicu timbulnya masalah dalam kegiatan belajar dan proses belajar anak, antara lain menghindari atau menolak pergi ke sekolah. Perilaku
tersebut juga digolongkan sebagai School Phobia atau School Refusal. Anak yang mengalami School Refusal menunjukkan penolakan untuk
hadir di sekolah dengan cara mengungkapkan berbagai keluhan isik dalam upaya menyakinkan orang tua agar dirinya diijinkan tetap
tinggal di rumah. Misalnya: sakit kepala, sakit perut, sakit tenggorokan, diare, muntah, dan sebagainya. Disamping itu mereka sering pula
mengungkapkan keluhan sehubungan dengan keadaan-keadaan di sekolah yang dirasa tidak nyaman bagi mereka dan membuat mereka
menolak ke sekoIah. Misalnya: guru yang galak, tugas-tugas terlalu sukar atau terlalu mudah, teman-teman yang tidak menyenangkan,
dan lain-lain.
Pada umumnya school refusal disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu 1 pola asuh orang tua yang menimbulkan kecemasan berpisah
separation anxiety pada anak, dan 2 adanya peristiwa-peristiwa
123
pencetus yang dapat menimbulkan kecemasan anak untuk berada di sekolah ataupun berada terpisah dari orang tua. Penyebab terjadinya
school refusal bervariasi, Setzer Salzhauer 2006 menyebutkan empat
alasan untuk menghindari sekolah yaitu: 1 untuk menghindari objek –objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang
mendatangkan distress; 2 untuk menghindar dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya
atau dalam kegiatan akademik; 3 untuk mencari perhatian dari
signiicant others di luar sekolah; dan 4 untuk mengejar kesenangan di luar sekolah.
Penanganan Bagi Anak yang Mengalami Masalah School Refusal
Berdasarkan Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012 berjudul School Refusal Pada Anak Sekolah Dasar yang ditulis oleh Nazwa
Manurung, penanganan pada anak-anak yang mengalami school refusal harus ditujukan untuk mengembalikan mereka ke sekolah seawal
mungkin Fremont, 2003. Penanganan yang efektif sebaiknya segera dilakukan untuk mencegah permasalahan-permasalahan yang akan
timbul di kemudian hari, sehingga school phobia harus ditangani sedini mungkin Hogan, 1996. Dalam Fremont 2003 disebutkan bahwa
pilihan tritmen antara lain meliputi edukasi dan konsultasi, pendekatan, perilaku, intervensi yang melibatkan keluarga, dan mungkin juga
dengan cara farmakoterapi. Selain itu keterlibatan orang tua dan guru merupakan faktor yang membantu untuk mencapai tritmen yang
efektif. Personil yang ada di sekolah sebaiknya merupakan orang pertama yang dilibatkan dalam menangani permasalahan.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua terhadap anak yang memiliki masalah school refusal, yaitu menekankan pentingnya
bersekolah, berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak sekolah, konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter,
bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah, luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan anak, lepaskan anak
secara bertahap, dan konsultasi pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi. Anak yang mengalami school refusal masih bisa
terus sekolah asalkan orangtua dan guru mau bekerjasama untuk mengetahui penyebabnya dan membantu anak yang mengalami school
refusal
untuk dapat mengatasi masalahnya, yaitu dengan menjalin komunikasi untuk mengetahui perkembangan anak baik di sekolah
124
maupun di rumah, sehingga masalah yang dihadapi anak, khususnya school refusal
dapat segera diketahui dan dapat pula dengan segera diatasi bersama.
Penutup
Masalah school refusal sering muncul ketika anak pertama kali memasuki sekolah. Seorang anak yang telah mencapai usia sekolah,
kehidupan rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan sekolah. Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi
dengan orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi
dengan cepat.
Daftar Pustaka
Davison, G. C., John, M. N., Ann, M. K. 2006.Psikologi abnormal Edisi ke-9. Jakarta: PT. Raja GraindoPersada.
Kearney, C. A. 2001.School Refusal Behavior In Youth A Functional Approach To Assessment And Treatment Washington, DC
: American Psychological Association.
Nazwa, Manurung. School Refusal pada Anak Sekolah Dasar. Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012.
Mahfuzh, S M J. 2001. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta :Pustaka Al-Kautsar
Sukadji,S.2000. Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikolog L.P.S.P3. Fakultas Psikolog Universitas Indonesia. Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012 berjudul School Refusal
Pada Anak Sekolah Dasar yang ditulis oleh Nazwa Manurung
http:www.nasponline.orgfamiliesschoolrefusal.pdf
PEMBELAJARAN INTEGRATIF
BERBASIS SOFT SKILL DAN HARD SKILL
3
126
127
PEMBELAJARAN GOTONG ROYONG INOVATIF BERBASIS SOFT SKILL DAN HARD SKILL UNTUK
MEWUJUDKAN INDONESIA EMAS
Zaenul Slam
Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email :
zaenul_slamyahoo.com
Abstract: This study is based on the fact that the implementation of the teaching for all subjects is less on student centre and it has
not developed hard skill and soft skill yet. The main of this study are 1 inovation of cooperative learning based on hard skill
and soft skill to aim the Indonesian Gold, 2 hard skill and soft skill are as the result of the instructional effect and nurturant
effect from innovation of cooperative learning. This learning can enhance the result of students’learn and students’ social skill. So,
hard skill and soft skill can be developed by the innovation of cooperative learning for the vision of Indonesian Gold 2045, the
glory of moral, spiritual and economic for all nation dimension The keyword : inovation of cooperative learning, hard skill, soft
skill, Indonesian Gold
Pendahuluan
Salah satu di antara masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan dalam berbagai seminar dan
pertemuan ilmiah adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya pengetahuan dan kemampuan teknis hard skill dan
kemampuan mengelola diri termasuk karakter dan orang lain soft skill
. Masalah lain adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran masih terlalu didominasi peran guru teacher centered. Guru lebih
banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada
peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan potensi-potensi peserta didik memiliki kemampuan berpikir holistik
menyeluruh, kreatif, objektif, dan logis, belum memanfaatkan quantum learning
sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang mengembangkan hard skill dan soft skill
dalam pembelajaran secara terpadu sebagai hasil belajar.
128
Seperti dinyatakan oleh Indrajati 2001: 27, sebagian besar suasana pembelajaran di kelas yang digunakan para guru masih analog
dengan “menabung”. Dengan paradigma pembelajaran seperti ini, peserta didik hanya disiapkan untuk mendengarkan, mau menerima
seluruh informasi, dan mentaati segala peraturan gurunya yang mengakibatkan mereka tidak memiliki keberanian mengemukakan
pendapat, tidak kreatif, tidak mandiri apalagi untuk berpikir inovatif dan problem solving. Budaya dan mentalitas peserta didik seperti ini
berkorelasi dengan low outcome learning quality, yaitu budaya dan mentalitas masyarakat secara luas yang belum bisa mandiri, dan
rendahnya daya saing Sumber Daya Manusia SDM, dan mulai kehilangan niat untuk mematuhi hukum seperti mentaati peraturan
yang paling sederhana, yaitu peraturan lalu lintas.
Selain menggunakan metode ‘gaya menabung’ sepertinya para guru sering pula menggunakan metode pembelajaran dengan sistem
persaingan, misalnya dalam mengerjakan soal-soal Lembar Kerja Siswa LKS. Nasution 2004: 147-148 mengemukakan beberapa keburukan
pembelajaran dengan sistem persaingan, yaitu: Pertama, peserta didik melakukan persaingan dengan tujuan memperoleh angka atau pujian
perorangan. Mereka belajar semata-mata didorong oleh motivasi ekstrinsik dan kepentingan perseorangan saja. Kedua, persaingan
dapat menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam kelas yang memburukkan hubungan antara peserta didik. Tujuan mengalahkan
lawan dan memperoleh kemenangan untuk sendiri merusak suasana. Ketiga,
yang menang dalam persaingan merasa dirinya terpandai dan menganggap orang lain bodoh. Dampak negatifnya timbul gejala-
gejala superioritas padanya. Mereka merasa lebih dan orang lain lemah. Sifat ini merusak pribadi anak itu sendiri. Keempat, peserta
didik yang kalah dalam persaingan menderita rasa kegagalan sence of failure
prustasi dan rendah diri. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lie 2007: 24 menjelaskan bahwa
”model pembelajaran persaingan menciptakan suasana permusuhan di kelas”. Untuk bisa berhasil dalam sistem ini, seorang peserta didik
harus mengalahkan teman-teman sekelasnya. Sering peserta didik yang berhasil nilai tinggi dimusuhi karena dianggap menaikan rata-
rata kelas dan menjatuhkan teman. Budaya dan mentalitas persaingan seperti ini juga setidaknya berkorelasi dengan sering munculnya
konlik antar berbagai golongan dalam masyarakat. Seperti tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa di beberapa kota besar menjadi
tradisi dan membentuk pola yang tetap sehingga diantara mereka membentuk musuh bubuyutan”. Kerapuhan karakter peserta didik
seperti ini tentunya berdampak pada bergesernya nilai etika dalam
129
kehidupan berbangsa dan bernegara. Nampaknya kita kehilangan rasa keIndonesiaan kita. Perilaku mereka makin menonjolkan kepentingan
individu, daerah, dan golongan. Apabila hal ini dibiarkan tentunya Kita akan kehilangan cita-cita bersama in group feeling sebagai
bangsa. Menurut Suryadi dan Budimanstah 2009: 316 tidak ada lagi ”Indonesia
dream” yang mengikat bersama yang lebih menonjol adalah cita-cita individu atau golongan untuk mengalahkan golongan
lain. Akan tetapi pembelajaran sistem persaingan ada pula beberapa kebaikan, sebab persaingan juga memperbesar motivasi peserta didik
untuk mencapai tujuan belajar. Sekalipun banyak keburukan dari pada kebaikannya, persaingan tetap perlu, di samping kerjasama, asal
untuk kepentingan bersama.
Berbagai persoalan kurikuler seperti tersebut di atas, menunjukkan banyaknya kendala learning process yang secara umum belum
mendukung visi Indonesia Emas tahun 2045. Karena itu, Pembelajaran Gotong Royong Inovatif berbasis soft skill dan hard skill adalah salah
satu metode pembelajaran yang efektif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas. Apa itu Pembelajaran Gotong Royong Inovatif?
Bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri
dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen Rusman, 2010: 215. Peserta didik yang bekerjasama
dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya dan juga dampak positif
lainnya, yakni dapat menghubungkan antar kelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah, dan meningkatkan rasa harga diri
Slavin, 2008: 4-5
Merujuk dari apa yang disampaikan oleh para ahli tersebut setidaknya kita mendapatkan hal penting untuk dapat memahami
dampak pembelajaran kooperatif cooperative learning effect dan dampak pengiringnya nurturant effect bahwa pembelajaran kooperatif
tidak hanya memberi kontribusi terhadap peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknis hard skill akan tetapi juga dapat meningkatkan
kemampuan mengelola diri yang di dalamnya termasuk karakter dan orang lain soft skill. Karena itu, pengembangan pembelajaran
kooperatif berbasis hard skill dan soft skill diharapkan dapat menyokong terwujudnya visi Indonesia Emas 2045, yakni cita-cita yang akan kita
wujudkan bersama di mana pada tahun 2045 bangsa Indonesia sudah terlepas dari krisis moral dan seluruh komponen bangsa telah berhati
emas dan mengaplikasikan tujuh nilai dasar, yaitu jujur, visioner, tanggung jawab, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli. Jadi yang kita
tuju dalam Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara moral dan
130
spiritual, bukan hanya kejayaan secara ekonomi. Untuk terwujudnya visi Indonesia Emas 2045 seratus tahun
kemerdekaan Republik Indonesia tersebut kita mendapatkan beragam tantangan khususnya tantangan internal. Misalnya, Pertama bagaimana
mengelola Sumber Daya Manusia usia produktif agar menjadi bonus demograi sebagai modal pembangunan. Saat ini jumlah penduduk
Indonesia usia produktif 15-64 tahun lebih banyak dari usia tidak produktif anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65
tahun ke atas. Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70
Kemdikbud, 2012: 8. Ini berarti bahwa pada tahun 2020-2035 sumber daya manusia SDM Indonesia usia produktif akan melimpah. SDM
yang melimpah ini apabila memiliki kompetensi dan keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun
apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban pembangunan. Oleh sebab itu tantangan besar yang
dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang
memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban pembangunan.
Tentang perlunya Pembelajaran Gotong Royong Inovatif berbasis hard skill
dan soft skill untuk mendukung SDM Indonesia Emas tahun 2045 sebagai modal pembangunan perlu saya kuatkan dengan
beberapa pendapat ahli dan atau hasil penelitian. Seperti dinyatakan oleh Isjoni 2007: 13 Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dapat
memotivasi peserta didik berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat
sharing ideas.
Selain itu, Pembelajaran Gotong Royong Inovatif mengembangkan peserta didik dapat bekerjasama dan saling tolong
menolong mengatasi tugas yang dihadapinya Lickona 2012: 276-278 menyatakan enam keuntungan kalau
metode ini mampu dipraktikan secara baik, yaitu : 1 melalui proses Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, peserta didik akan diajarkan
bagaimana karakter-karakter kerjasama, 2 melalui proses belajar kooperatif, peserta didik dibantu untuk saling mengenal dengan cara
membangun komunikasi di dalam kelas. 3 melalui proses belajar kooperatif, peserta didik diajari keterampilan dasar kehidupan dengan
tujuan mampu mendengarkan pandangan-pandangan orang lain dan berkomunikasi secara efektif, 4 melalui proses belajar kooperatif,
peserta didik akan diarahkan untuk memperbaiki pencapaian akademik, rasa percaya diri, dan penyikapan terhadap sekolah, 5
melalui belajar kooperatif, peserta didik diberikan tawaran-tawaran
131
alternatif dalam pencatatan, yakni tidak ada pembeda antara sikaya dan simiskin atau si pandai atau si bodoh, mereka akan belajar
bekerjasama serta memperdulikan orang lain, dan 6 melalui belajar kooperatif, peserta didik akan memiliki potensi untuk mengontrol efek
negatif dan persaingan. Keenam keuntungan pembelajaran kooperatif tidak saja di dalam kelas, tetapi kelihatan pengaruhnya yang sangat
signiikan, yaitu ketika para peserta didik melakukannya di luar kelas pada jam-jam latihan.
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif juga sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi yang menyatakan bahwa pembelajaran perlu dilaksanakan sebagai berikut : Pertama, menegakkan kelima pilar belajar, yaitu:
a belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, b belajar untuk memahami dan menghayati, c belajar untuk
mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, d belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan e belajar untuk
membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Kedua, pembelajaran
dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat,
dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada
di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan
contoh dan teladan. Ketiga, pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber
belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi
guru
semua yang terjadi, tergelar, dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber
belajar, contoh dan teladan. Keempat, pembelajaran dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial, dan budaya serta
kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka dipandang urgen dan rasional apabila penulis tertarik untuk mengkaji
masalah tentang pembelajaran kooperatif berbasis hard skill dan soft skill
untuk mewujudkan Indonesia Emas?
Pembelajaran Kooperatif berbasis Hard Skill dan Soft Skill Pembelajaran Gotong Royong Inovatif PGRI
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif PGRI adalah pembelajaran dengan memanfaatkan kelompok kecil dalam pengajaran yang
132
memungkinkan peserta didik bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut
Johnson, et al, dalam Triyanto at al 2010. Anita Lie dalam Slam, 2009: 61 menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran
gotong royong. Atas inspirasi tersebut penulis menyebut dengan istilah Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, yaitu: sistem pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan peserta didik lain dengan tugas-tugas terstruktur”. Lebih jauh
Beliau mengatakan bahwa Pembelajaran Gotong Royong Inovatif hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim
yang didalamnya peserta didik bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dengan jumlah anggota kelompok pada
umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. Slam 2009: 62 menyatakan ciri dari pembelajaran kooperatif, yaitu a setiap anggota memiliki peran,
b terjaadi interaksi langsung di antara peserta didik, c setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman
sekelompoknya, d guru membantu mengembangkan keterampilan- keterampilan interpersonal kelompok, dan e guru hanya berinteraksi
dengan kelompok saat diperlukan.
Di dalam Pembelajaran Gotong Royong Inovatif kelompok peserta didik akan memperoleh pengetahuan baru yang bermakna
dengan mutu yang lebih baik, bersifat kontekstual yang relevan bila dibandingkan dengan pembelajaran individual atau independen.
Sementara itu pada saat yang sama, setiap anggota kelompok dalam pembelajaran kooperatif menunjukkan sikap positif, teguh pada
pendiriannya tetapi tetap dalam kerangka kerjasama, dan saling menghargai Felder Brent dalam Triyanto et al. 2010: 76.
Teori yang melandasi Pembelajaran Gotong Royong Inovatif adalah teori kontruktivisme, yaitu suatu pandangan bahwa siswa
membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada Isjoni, 2007: 30. Menurut
Slavin 2008: 10 Pembelajaran Gotong Royong Inovatif menggalakan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini
membolehkan pertukaran ide dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam sesuai dengan falsafah kontruktivisme.
Dengan pembelajaran kooperatif akan menyumbangkan ide bahwa siswa yang bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap
teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan
dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan, dan membangkitkan potensi peserta didik, menumbuhkan aktivitas dan
kreativitas, sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam
133
proses pembelajaran. Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dikembangkan dari
teori belajar kontruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky yang dikenal sebagai “Piaget Kontruktivisme Kognitif” dan
“Vygotsky Kontruktivism Sosial. Johnson Johnson dalam Isjoni, 2007: 30 menyatakan teori Piaget berdasarkan kepada premis, apabila
individu bekerjasama atas persekitarnya, konlik sosio-kognitif akan berlaku dan akan mewujudkan ketidakseimbangan kognitif dan
seterusnya menciptakan perkembangan kognitif. Teori Vygotsky pula berdasarkan kepada premis bahwa pengetahuan terbina daripada
interaksi kumpulan dalam penyelesaian masalah. Teori perlakuan menekankan peranan penting ganjaran dalam Pembelajaran Gotong
Royong Inovatif.
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif digunakan untuk menanamkan unsur-unsur antara lain “saling ketergantungan positif”
Misalnya, teknik jigsaw dalam metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif pada mulanya diperkenalkan di sekolah-sekolah di Amerika
Serikat dimana ada ketegangan rasialis antara siswa keturunan Eropa, Afrika dan Hispanik. Siswa-siswa ini diajar untuk bisa dibalik kuatnya
rasa individualis mereka berinteraksi secara positif dengan siswa- siswa lain dengan latar belakang berbeda dalam kegiatan akademis.
Memang selang beberapa waktu konlik rasialis berhasil dikurangi secara drastis dan prestasi akademik pun meningkat Lie, 2007: 20.
Ternyata orang Amerika mulai menyadari bahwa individualisme saja tidaklah cukup. Keberhasilan orang-orang Amerika di berbagai
bidang kehidupan sudah mendapat pengakuan di seluruh dunia, namun patut dipertanyakan apakah artinya keberhasilan pribadi jika
tidak bisa ditindak lanjuti dan diterapkan dalam masyarakat. Karena itu, kerjasama, komunikasi, interaksi sebuah kebutuhan esensial dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan dalam pergaulan internasional.
Slavin 2008: 4-5 menyatakan ada banyak alasan yang membuat Pembelajaran Gotong Royong Inovatif memasuki jalur utama praktik
pendidikan. Salah satunya adalah untuk meningkatkan pencapain prestasi para siswa, dan juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat
mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan
lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa para peserta didik perlu
belajar untuk berikir, menyelesaikan masalah, dan mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka, dan
bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang sangat baik untuk mencapai hal-hal semacam itu.
134
Lie 2007:28 menegaskan bahwa: “bekerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup”.
Tanpa bekerjasama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah”. Ironisnya, model pembelajaran bekerjasama belum
banyak diterapkan dalam pembelajaran di sekolah walaupun orang Indonesia: a sangat membanggakan sifat gotong royong dalam
kehidupan bermasyarakat; b sering munculnya komplik antar suku, agama, ras, dan antargolongan. Kebanyakan guru enggan menerapkan
sistem bekerjasama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekhawatian bahwa akan terjadi kekacauan
di kelas dan peserta didik tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam kelompok. Selain itu, banyak orang mempunyai kesan negatif
mengenai bekerjasama atau belajar dalam kelompok. Banyak peserta didik juga tidak senang disuruh bekerjasama dengan yang lain. Peserta
didik yang tekun merasa harus bekerja melebihi peserta didik yang lain, sedangkan peserta didik yang kurang mampu merasa minder
ditempatkan dalam satu kelompok dengan peserta didik yang lebih pandai. Peserta didik yang tekun juga merasa temannya yang kurang
mampu hanya menumpang saja pada hasil jerih payah mereka. Kesan negatif dari Pembelajaran Gotong Royong Inovatif ini juga
bisa timbul karena ada perasaan waswas dan anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus
menyesuaikan diri dengan kelompok.
Sebenarnya, pembagian kerja yang kurang adil tidak perlu terjadi dalam keria kelompok jika guru benar-benar menerapkan prosedur
metode PGRI. Banyak guru hanya membagi peserta didik dalam kelompok lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu tanpa
pedoman mengenai pembagian tugas. Akibatnya, peserta didik merasa ditinggal sendiri dan karena mereka belum berpengalaman, merasa
bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerja sama menyelesaikan tugas tersebut. Kekacauan dan kegaduhanlah yang teriadi.
Metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif terstruktur tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Johnson Johnson
Lie, 2007: 18 menyatakan yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok, yaitu “saling ketergantungan positif, tanggung
jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerjasama, dan proses kelompok”. Itulah unsur-unsur dasar pembelajaran bekerjasama yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal- asalan. Pelaksanaan prosedur metode PGRI terstruktur dengan benar
akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.
Dengan demikian, metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif didesain sebagai pola pembelajaran yang dibangun oleh lima
135
elemen penting sebagai prasyarat, sebagai berikut: Pertama, saling ketergantungan secara positif positive interdependence, yaitu setiap
anggota tim saling membutuhkan untuk sukses. Kedua, interaksi langsung face-to-face interaction. artinya memberikan kesempatan
kepada peserta didik secara individual untuk saling membantu dalam memecahkan masalah, memberikan umpan balik yang diperlukan
antar anggota untuk semua individu, dan mewujudkan rasa hormat, perhatian, dan dorongan di antara individu-individu sehinga mereka
termotivasi untuk terus bekerja pada tugas yang dihadapi.
Ketiga, tanggung jawab individu dan kelompok individual
group accountability, artinya tujuan belajar bersama adalah untuk
menguatkan kemampuan akademis siswa, sehingga kontribusi siswa harus adil, Kempat, keterampilan interpersonal dan kelompok
kecil interpersonal small-group Skills, artinya asumsi bahwa siswa akan secara aktif mendengarkan, menjadi hormat dan perhatian,
berkomunikasi secara efektif, dan dapat dipercaya.Untuk suksesnya Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, guru perlu megajarkan
keterampilan sosial seperti kepemimpinan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, keterampilan manajemen
konlik. Kelima,
proses kerja kelompok group processing, artinya
proses kerja kelompok memberikan umpan balik kepada anggota kelompok tentang partisipasi mereka, memberikan kesempatan
untuk meningkatkan keterampilan pembelajaran kolaboratif anggota, membantu untuk mempertahankan hubungan kerja yang baik antara
anggota, dan menyediakan sarana untuk merayakan keberhasilan kelompok.
Menurut Lie 2007: 55-72 terdapat beragam teknik Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, yaitu :” mencari pasangan, bertukar
pasangan, berpikir berpasangan berempat, berkirim salam dan soal, kepala bernomor, kepala bernomor terstruktur, dua tinggal dua tamu,
keliling kelompok, kancing gemerincing, keliling kelas, lingkaran kecil lingkaran besar, tari bamboo, jigsaw, dan bercerita berpasangan.
Misalnya, metode pembelajaran kooperatif. Guru membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian. Sebelum
bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam pelajaran untuk hari itu. Guru bisa
menuliskan di papan tulis dan menanyakan apa yang peserta didik ketahui mengenai topik tersebut.
Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata peserta didik agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran
yang baru. Peserta didik dibagi dalam kelompok berempat atau berlima.
136
Bagian pertama bahan diberikan kepada peserta didik yang pertama. Sedangkan peserta didik yang kedua menerima yang kedua, demikian
seterusnya. Kemudian, peserta didik disuruh membaca mengerjakan bagian mereka masing-masing.Setelah selesai, peserta didik saling
berbagi mengenai bagian-bagian yang dibacadikerjakan masing- masing. Dalam kegiatan ini peserta didik bisa saling melengkapi dan
berinteraksi antara satu dengan yang lain.
Khusus untuk kegiatan membaca, kemudian guru membagikan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing peserta
didik. Peserta didik membaca bagian tersebut. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari
itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas Aronson et al. dalam Lie, 2007: 69
Metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif merupakan metode mengajar yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta
dianjurkan oleh ahli pendidikan. Seperti Slavin dalam Rusman, 2010: 218 mengemukakan bahwa 1 penggunaan metode Pembelajaran
Gotong Royong Inovatif dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain, 2 pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan peserta
didik akan berikir kritis, memecahkan masalah, mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman. Slam 2009: 18 menyatakan bahwa
metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif memberikan dampak pengiring nurturant effect, yaitu peserta didik dapat
dibina “keterampilan sosial social skills antara lain: “kepemimpinan leadership,
pengambilan keputusan decision making, membangun kepercayaan diri trust building, komunikasi communication,
mengelola komplik comlict management skill. Dengan alasan tersebut
metode pembelajaran tersebut diharapkan mampu mengembangkan hard skill
dan soft skill untuk mewujudkan Indonesia Emas.
Hard Skill dan Soft Skill Sebagai Hasil Belajar
Istilah hard skill dan soft skill pertama kali penulis ketahui dari hasil penelitian Ibrahim dalam Adisusilo, 2011: 79 di Harvard
university Amerika Serikat yang memaparkan bahwa kesuksesan hidup seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis hard skill yang diperoleh lewat pendidikan, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri yang didalamnya termasuk
karakter dan orang lain soft skill. Penelitian ini mengungkapkan bahwa hanya ditentukan sekitar 20 oleh hard skill dan sisanya 80
oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
137
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill.
Hal ini mengisyaratkan bahwa pembelajaran gotong royong inovatif yang berbasis hard skill dan soft skill sangat penting untuk
dikembangkan. Berdasar rujukan tersebut, bahwa pembelajaran perlu mengintegrasikan hard skill dan soft skill.
Penulis mencoba memaknai soft skill dengan istilah kecerdasan emosional yang dilontarkan pertama kali tahun 1990 oleh psikolog
Peter Salovery dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire Shapire, dalam Aunurrahman, 2013:
85. Beberapa bentuk kualitas soft skill yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu: 1 empati, 2 mengungkapkan dan memahami
perasaan, 3 mengendalikan amarah, 4 kemandirian, 5 kemampuan menyesuaikan diri, 6 disukai, 7 kemampuan memecahkan masalah
antar pribadi, 8 ketekunan, 9 kesetiakawanan, 10 keramahan, dan 11 sikap hormat.
Daniel Goleman, pengarang buku Emotional Intelligence pada bagian buku yang diberi judul working with Emotional Intelligence
mencoba menjelaskan beberapa konsep keliru yang paling lazim terjadi dan harus diluruskan. Pertama, kecerdasan emosi tidak
hanya berarti ‘bersikap ramah’ melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan
kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa
“memanjakan perasaan-perasaan, melainkan mengelola perasaan- perasaan sedemikian rupa sehingga terekpersikan secara tepat dan
efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancer menuju sasaran bersama. Tingkat Soft skill tidak terikat dengan factor
genetis, tidak juga hanya dapat berkembang pada masa kanak-kanak. Tidak seperti hard skill yang berubah hanya sedikit setelah melewati
usia remaja, soft skill lebih banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri sehingga kecakapan-kecakapan itu dalam hal ini
dapat terus tumbuh Goleman dalam Aunurrahman, 2012: 86.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa soft skill akan mampu membuat anak-anak bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk
disukai teman-temannya di tempat-tempat bermain, dan juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika ia telah masuk dunia
kerja atau ketika sudah berkeluarga. Dalam sebuah survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja baru, keterampilan-
keterampilan teknik khusus hard skill tidak seberapa penting dibanding soft skill untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan
Goleman dalam Aunurrahman, 2012: 86. Selain itu keterampilan- keterampilan lainnya adalah; 1 mendengarkan dan komunikasi
138
lisan, 2 adaptabilitas dan tanggapan kreatif terhadap kegagalan dan halangan, 3 manajemen pribadi, kepercayaan diri, memotivasi untuk
bekerja meraih sasaran, keinginan mengembangkan karir, dan bangga dengan prestasi yang dicapai., 4 efektiitas kelompok dan antar
pribadi, kerjasama dalam kelompok, keterampilan merundingkan pendapat-pendapat, 5 efektivitas dalam perusahaan, keinginan
member kontribusi, potensi-potensi kepemimpinan.
Solovey dan Meyer dalam Aunurrahman, 2012: 87 mendeinisikan soft skill sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya,
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Pendapat keduanya memberi isyarat bahwa keterampilan
soft skill
bukanlah lawan dari hard skill atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan
konseptual maupun pada maupun empiric. Idelanya seseorang dapat dapat menguasai hard skill keterampilan kognitif sekaligus soft skill
keterampilan sosialemosional. Perbedaan yang paling mendasar antara hard skill IQ dan soft skill EQ adalah soft skill tidak dipengaruhi
oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para guru untuk melanjutkan apa yang telah disediakan oleh alam
agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Dengan demikian maka soft skill lebih merupakan hasil dari aktivitas
individu dalam melatih fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga lebih merupakan hasil belajar.
Goleman Aunurrahman, 2012: 89 menggambarkan beberapa ciri soft skill
yang terdapat pada diri seseoarang berupa: 1 kemampuan memotivasi diri sendiri, 2 ketahanan menghadapi prustasi, 3
kemampuan mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih lebihkan kesenangan,4 kemampuan menjaga suasana hati dan
menjaga agar bebas stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdo’a.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, bahwa hard skill dan soft skill
sebagai dampak pembelajaran instructional effect dan dampak pengiring nurturant effect dapat disokong dengan pembelajaran
gotong royong inovatif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045, di antaranya terlepas dari krisis moral dan seluruh komponen
bangsa telah berhati emas dan mengaplikasikan tujuh nilai dasar, yaitu kejujuran honesty, visioner, tanggung jawab responsibility,
disiplin, kerjasama cooperation, adil fairness dan peduli caring. Jadi yang kita tuju dalam Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara
moral dan spiritual, bukan hanya kejayaan ekonomi bagi seluruh
139
komponen bangsa. Perwujudan visi Indonesia Emas dapat disokong melalui gerakan implementasi Pembelajaran Gotong Royong Inovatif.
Penutup
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dapat: 1 meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan sekaligus meningkatkan hubungan
sosial, menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain 2 memenuhi kebutuhan peserta didik akan berikir
kritis, memecahkan masalah, mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman. 3 meningkatkan “keterampilan sosial social skills,
yakni kepemimpinan leadership, pengambilan keputusan decision making,
membangun kepercayaan diri trust building, komunikasi communication
,mengelola komplik comlict management skill.
Hard skill dan soft skill sebagai hasil belajar peserta didik dapat
disokong dengan pembelajaran gotong royong inovatif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045, yakni kejayaan secara
moral dan spiritual dan sekaligus kejayaan ekonomi bagi seluruh komponen bangsa.
Daftar Pustaka
Adisusilo, Sutarjo. 2011. Pembelajaran Nilai karakter, Jakarta: PT Raja Graindo Persada
Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta Budimansyah, Dasim dan Suryadi, Ace. 2008. Paradigma Pembangunan
Pendidikan nasional , Bandung: Widya Aksara Press
Isjoni. 2007. Cooperative learning, Bandung: Alfabeta Lickona. 2002. Educating For Character. How aour School Can teach Respect
and Responsibility. Terjemahan Wamaungo, Jakarta: PT Bumi
Lie, Anita. 2007. Cooperative learning, Jakarta, PT Gramedia Rusman. 2010. Model-Model pembelajaran, Bandung: Mulia mandiri
Press Sidi, Indradjati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu Slam, Zaenul. 2009.Pengaruh Pembelajaran PKn Melalui Penerapan
Cooperative Terhadap Peningkatan Kompetensi kewarganegaraan Peserta Didik
Tesis. SPs, UPI. Slavin. 2008. Cooperative learning, Bandung: Nusa Media
Triyanto et al. 2010. Inovasi Pembelajaran Pancasila Di Perguruan Tinggi.
140
LESSON STUDY SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU
KELAS DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF
Penelitian Tindakan di MIN 2 Kota Metro Lampung
Siti Annisah
STAIN Metro Lampung. Email: sitiannisah_80yahoo.co.id
Abstract: The purpose of this research is to improve the competence of teachers in integrative thematic learning through
Lesson Study in MIN 2 Metro Lampung. This research was initiated on the issue of readiness of teachers in implementing
the thematic integrative learning. Readiness of teachers with regard to competencies required are pedagogical, personality,
social, and professional. Some training has been followed, but in practice there are still many problems so few are applied in
the classroom and training results only become knowledge. Therefore, there should be assistance activities implementation
of thematic integrative learning, one of the activities that can be done is the Lesson Study.
Stages of the Lesson Study includes plan, do, and see. In other words, the lesson study is a way of improving the quality of
education that never ends continuous improvement. Lesson Study group consists of educators teachers, lecturers, and
students. The determination of the group members was based on a desire, interest and commitment to innovate and improve
the quality of education.
From the observation and relection can be explained that the implementation of Lesson Study can improve the competence
of teachers in teaching thematic integrative curriculum in 2013. This can be seen from the increasing competence of teachers
pedagogical, professional, social, and personality before and during the implementation of Lesson Study. In Lesson Study, the
usual activities of the teachers studied, analyzed, documented, evaluated, and developed jointly so that all potentials can be
empowered and produce a higher quality learning activities from previous activities.
Key Word: Lesson Study, Teacher Competence
141
Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kemajuan suatu bangsa. Karena salah satu fungsi pendidikan adalah mengembangkan
pengetahuan untuk mencerdaskan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan diantaranya adalah menyempurnakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan menjadi kurikulum 2013. Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk
mengantisipasi kebutuhan kompetensi Abad 21. Kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan pada Kurikulum
2013 merupakan hasil akhir yang harus dicapai dan dimiliki oleh peserta didik secara komprehensif.
Pencapaian kompetensi terpadu tersebut, menuntut pendekatan pembelajaran tematik terpadu atau integratif, yaitu mempelajari
semua mata pelajaran secara terpadu melalui tema-tema kehidupan yang dijumpai peserta didik sehari-hari. Dalam melaksanakan
pembelajaran tematik integratif dibutuhkan kemampuan guru yang tidak biasa, artinya guru harus benar-benar memiliki kemampuan
untuk merencanakan pembelajaran tematik, merumuskan tema yang dapat mengikat beberapa matapelajaran sehingga mencapai
kompetensi yang diharapkan, melaksanakan pembelajaran tematik integratif dengan mengaitkan beberapa matapelajaran dalam sebuah
tema, mengevaluasi pembelajaran secara mendalam atau dengan penilaian outentik.
Pertanyaan yang muncul adalah sudah siapkah guru-guru di lapangan melaksanakan pembelajaran tematik integratif pada
kelas I – VI di SDMI? Guru mutu guru menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan pembelajaran
tematik integratif pada kurikulum 2013. Mutu guru berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Kompetensi
yang dimaksud tersebut adalah kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Kompetensi pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran,
142
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dalam melaksanakan pembelajaran tematik
integratif, guru harus mampu membuat perencanaan pembelajaran yang jelas, merumuskan tema yang mengaitkan beberapa mata
pelajaran, menyiapkan media dan alat yang digunakan dalam pembelajaran, menyiapkan instrument evaluasi yang dapat mengukur
aspek sikap, psikomotor, dan pengetahuan siswa secara komprehensif, serta melaksanakan pembelajaran tematik integratif sesuai dengan
yang telah direncanakan. Permasalahan di lapangan menggambarkan bahwa masih banyak guru dalam melaksanakan pembelajaran
tanpa membuat perencanaan dengan matang sehingga pelaksanaan pembelajarannya kurang maksimal, dan belum melakukan evaluasi
yang mendalam.
Kompetensi kepribadian adalah memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan
bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Gurupendidik harus dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Kenyataan di lapangan
menjelaskan bahwa masih banyak guru yang sering berkata kasar tidak pantas kepada siswa, berperilaku layaknya bukan seorang
pendidik, dan sebagainya.
Kompetensi profesional, adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Dalam penerapan pembelajaran tematik integratif, pengetahuan guru secara
luas dan mendalam mutlak diperlukan, karena guru harus mampu mengaitkan beberapa matapelajaran dalam sebuah tema sehingga
kompetensi terpadu yang diharapkan dapat tercapai. Kenyataan di lapangan, masih banyak guru belum memiliki penguasaan materi
secara mendalam pada bidang masing-masing, ditambah lagi harus menguasai materi secara terpadu.
Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tuawali, dan masyarakat sekitar. Untuk dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik, kompetensi ini
merupakan syarat mutlak dimiliki oleh pendidik.
Pertanyaan di atas dijawab oleh pemerintah baik melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian
Agama dengan melakukan berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran tematik integratif. Namun usaha ini kurang
berdampak terhadap peningkatan mutu guru. Setelah dilakukan pengkajian dan analisis, ada dua hal penting mengapa pendidikan dan
pelatihan guru kurang efektif, pertama materi pelatihan tidak berbasis pada masalah di kelas. Materi pelatihan yang sama diberikan pada
semua guru tanpa mengenal daerah asal padahal kondisi suatu daerah
143
belum tentu sama. Kedua, hasil pelatihan hanya menjadi pengetahuan saja, sedikit yang diterapkan di kelas karena tidak ada monitoring
setelah pelatihan. Sebagai upaya untuk menjawab semua kekurangan dari fakta-
fakta di atas dibutuhkan suatu kegiatan pendampingan pelaksanaan pembelajaran tematik integratif. Kegiatan pendampingan tersebut
adalah lesson study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan
berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.
Dalam lesson study bukan hanya guru yang melaksanakan pembelajaran saja yang dapat memetik manfaat, namun terlebih lagi
para observer guru lainmitra, mahasiswa, dosen dan pihak-pihak lain yang hadir pada saat pembelajaran. Dengan mengamati kegiatan
pembelajaran yang dilakukan seorang guru, observer didorong
untuk mereleksikan pembelajaran yang dilaksanakannya dan bagaimana meningkatkan kualitasnya. Oleh karena itu, lesson study
sesungguhnya merupakan forum belajar bersama untuk saling belajar dari pengalaman guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi guru kelas dalam pembelajaran tematik integratif melalui
pelaksanaan Lesson Study di MIN 2 Kota Metro Lampung.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan action research dalam bentuk Lesson Study LS. Penelitian ini memiliki dua variabel
yaitu variabel bebasnya adalah Lesson Study dan variabel terikatnya adalah kompetensi guru kelas. Lesson Study LS yang dimaksud
pada penelitian ini adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan
berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar Sumar Hendayana: 2006:10.
Adapun tahapan pelaksanaan Lesson Study adalah plan atau merencanakan, do atau melaksanakan, dan see
atau mereleksi Sumar Hendayana: 2006:10.. Dengan kata lain lesson study merupakan suatu
cara peningkatan mutu pendidikan yang tidak pernah berakhir continous improvement. Berikut ini merupakan skema kegiatan lesson
study .
144
Gambar 1.
Adapun variabel terikat pada penelitian ini adalah kompetensi guru kelas yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sesuai permendiknas no 16 tahun 2007 tentang standar kualiikasi akademik
dan kompetensi guru. Sebelum melakukan lesson study dengan tahapan di atas, terlebih
dahulu dilakukan kegiatan pra lesson yaitu membentuk kelompok lesson study
dan menfokuskan lesson study. Langkah pertama adalah membentuk kelompok Lesson Study.
Penentuan anggota kelompok didasarkan pada kemauan, minat dan komitmen untuk melakukan inovasi dan memperbaiki kualitas
pendidikan. Adapun anggota kelompok LS meliputi pendidik, dosen, dosen mahasiswa yaitu MS. Mustofa, S.Ag, Siti Fauziyah, S.Pd.I, Siti
Annisah, M.Pd, Nurul Aifah, M.Pd,I., Yunita Wildaniati, M.Pd., Nasip Sukardi, Siti Yulaikah, Dara Wahyu Kusuma Sari, Dewi Indah Syah,
Muslikah, Nur Asih Puji Astuti. Selanjutnya, setiap anggota kelompok Lesson Study
harus memiliki komitmen untuk menyediakan waktu khusus untuk mewujudkan atau mengimplementasikan Lesson Study.
Langkah kedua adalah menfokuskan lesson study. Dari sekian banyak permasalahan, akhirnya mengerucut pada kemampuan guru
kelas dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif pada implementasi kurikulum 2013 yang akan diberlakukan pada semester
ganjil Tahun Pelajaran 20142015 di lingkungan Kementerian Agama. Hal yang menjadi topik adalah kesiapan dan kemampuan guru kelas
dalam menerapkan pembelajaran tematik integratif yang tentunya sangat berbeda dengan pembelajaran sebelumnya.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2014 atau pada semester ganjil TP. 20142015. Pengumpulan data
penelitian menggunakan lembar observasi dan wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Lembar observasi digunakan untuk
untuk mendapatkan data tentang kompetensi guru, kegiatan siswa belajar, dan proses pembelajaran tematik integratif, wawancara
145
digunakan untuk untuk mendapatkan data tentang pendapat guru, sikap guru, kendala-kendala yang dihadapi guru dalam melaksanakan
pembelajaran tematik integratif, catatan lapangan digunakan untuk mencatat hal-hal penting selama proses pembelajaran berlangsung.
Kemudian data hasil observasi, wawancara, catatan lapangan dianalisis secara kualitatif.
Hasil Penelitian
Pelaksanaan lesson study dalam pembelajaran tematik integratif ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
a. Perencanaan pembelajaran plan