Siddiq Amanah Tabligh Fathonah

520

1. Siddiq

Siddiq artinya benar. Benar adalah suatu sifat yang mulia yang menghiasi akhlak seseorang yang beriman kepada Allah dan kepada perkara-perkara yang ghaib. Ia merupakan sifat pertama yang wajib dimiliki para Nabi dan Rasul yang dikirim Tuhan ke alam dunia ini bagi membawa wahyu dan agamanya. Pada diri Rasulullah SAW, bukan hanya perkataannya yang benar, akan tetapi perbuatannya juga benar, yakni sejalan dengan ucapannya. “Dan tiadalah yang diucapkannya itu Al-Quran menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” QSAn-Najm:4-5

2. Amanah

Amanah artinya benar-benar dapat dipercayai. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahawa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah penduduk Makkah memberikan gelar kepada Nabi Muhammad SAW dengan gelar ‘Al-Amin’ yang bermaksud ‘terpercaya’, jauh sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apapun yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka selalu dipercayai dan diyakini penduduk Makkah karena beliau terkenal sebagai seorang yang tidak pernah berdusta. “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihatyangterpercayabagimu.”Q SAl-A’raaf:68.

3. Tabligh

Tabligh artinya menyampaikan. Segala irman Allah SWT yang ditujukan oleh manusia, maka selalu akan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. “Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” QS Al-Jin: 28.

4. Fathonah

Fathonah artinya bijaksana. Dalam menyampaikan ayat Al- Quran dan kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadis memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa. Nabi Muhammad SAW harus mampu menjelaskan irman-irman Allah SWT kepada kaumnya, sehingga mereka bersedia memeluk Islam 521 dengan sunggguh-sungguh. Dengan sifat bijaksananya Nabi Muhammad SAW mampu mengatur umatnya sehingga berjaya mentransformasikan bangsa Arab jahiliah yang asalnya bodoh, kasarbengis, berpecah-belah serta sentiasa berperang antara suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan. Keempat karakter Nabi Muhammad SAW diatas seharusnya diimplementasikan juga pada setiap pembelajaran yang di berikan pada siswa MI, dengan cara guru MI memberikan pengertian dan contoh-contoh yang nyata di lapangan, dengan bahasa yang di pahami oleh siswa. Dengan demikian mereka akan mempunyai igure yang baik dan tepat yang dapat diterapkan pada kehidupan mereka sehari-hari. Dalam pengembangan pendidikan karakter, guru harus juga bekerja sama dengan keluarga atau orang tuawali peserta didik. Guru dan orang tua perlu membuat kesepakatan tentang nilai-nilai utama apa yang perlu dibelajarkan misalnya: respect for self, others, honesty ; self-controldiscipline. Sehingga dengan demikian, akan terjadi kerjasama yang baik antara guru dan orang tua dalam mendidik siswa MI menjadi siswa yang berkarakter mulia sebagai bangsa Indonesia dan sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Penutup Dalam upaya peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah banyak hal yang harus dilakukan, salah satu faktor penting tersebut salah satunya adalah melalui profesionalisme guru dan pendidikan karakter bagi siswa MI. Adapun syarat untuk menjadi Guru yang profesional sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan adalah : Pendidikan S1 D4, mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional, memiliki Sertiikat Pendidik, menguasai kompetensi Pedagogik, menguasai kompetensi Profesional, menguasai kompetensi sosial, menguasai kompetensi Kepribadian, yang masing-masing potensi ini di tinjau dari perspektif psikologi pendidikan. Sedangkan ciri-ciri profesionalisme guru yang dapat mendukung tercapainya peningkatan kualitas MI yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut : Sistem Seleksi dan sertiikasi, berdasarkan kompetensi, militansi Individual memiliki Organisasi Profesi, memiliki Landasan Pengetahuan yang kuat, memiliki sistem Sanksi Profesi, memiliki Prinsip sesuai Kode Etik, memiliki Kesadaran Profesional yang tinggi, kerjasama antar teman sejawat yang profesional. Upaya Pemerintah dalam mewujudkan Program Pendidikan Karakter bagi peserta didik, termasuk didalamnya siswa MI sudah sesuai dengan 522 tujuan Pendidikan Karakter Bangsa Indonesia, untuk pendidikan karakter di MI sebaiknya didukung dengan penanaman karakter Nabi Muhammad SAW yang meliputi 4 hal, yaitu : Siddiq, Amanah, Tabliq, dan Fathonah. Apabila di dalam proses pendidikan di MI di lakukan berbagai hal dalam peningkatan kualitas MI, maka dengan adanya guru yang profesional dan karakter siswa yang baik dan sesuai dengan standar pendidikan karakter bangsa Indonesia ditambah dengan karakter dari Nabi Muhammad SAW, maka diharapkan Madrasah Ibtidaiyah dapat menjadi tempat yang paling tepat dalam mendidik anak Indonesia dalam mencapai bangsa yang cerdas, bermartabat dan berakhlak mulia. Daftar Pustaka Abdul, Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung : Rosdakarya, 2011. Dharma, Kesuma, Cepi Triatna dan Johar Permana, Pendidikan Karakter “Kajian Teori dan Praktek di Sekolah”, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011. Fathul, Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik Jogjakarta: Ar Ruzz, 2011 http:my-world-ly2k.blogspot.com201202definisi-nilai-dan- norma.html. di akses pada tanggal 17 Mei 2015 http:perpustakaan.kemdiknas.go.iddownloadPendidikan20 Karakter.pdf. di akses pada tanggal 17 Mei 2015 Kemendiknas 2009, Kebijakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta: Puskur Litbang Kemendiknas. Martini, Jamaris, 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Yayasan Penamas Murni, Jakarta. Masnur, Muslich, Pendidikan Karakter “Menjawab tantangan Krisis Multidimensional” , Jakarta : Bumi Aksara, 2011. Moch, Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan , Bandung : Affabeta. 2004. Mochtar, Buchori, Evolusi Pendidikan di Indonesia, Yogjakarta: Insist Press, 2007. Nurdin, Syafruddin, Guru Profesional Implementasi Kurikulum, Jakarta : Quantum Teaching. 2013. Piet, A.Sahertian, Proil Pendidik Profesional, Yogyakarta : Andi 523 Offset.1994 Raharjo, ”Pendidikan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia ” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010 Said Hamid Hasan, dkk. “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Brdasarkan Nilai-nilai Bangsa, Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010 Surya, Muhammad, Membangun Manusia Unggul Perlu Profesionalisme dan Kesejahteraan Guru , Majalah Gema Widyakarya, PGRI DKI Jakarta, No.9Th.IV199. 1999. Undang - Undang RI No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Undang - Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, Pasal 3. Yamin, Martinis H, Profeseionalisasi Guru Implementasi KTSP, Jakarta : Gaung Persada Press.2007. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta Kencana, 2011. 524 PROFESSIONAL ENGLISH TEACHER : INSPIRING EFL CLASSROOM Fahriany Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : fahrianyymail.com Abstract : One factor inluences the success of EFL Class is the teacher. To conduct EFL Class the English teacher must have a good competences. One of the competences is professionalism besides pedagogical personality and social competences. This article discusses the professional English teacher who can inspire the students’ motivation to learn English well. It includes how the English teachers motivate the student, inspiring teachers can admire for quite distinct personal qualities, kindness, patience, and relationship between student and teacher. Keywords : teacher, professional , insipiring, EFL classroom Introduction The word inspire has its origins in medieval beliefs about the power of supernatural beings to breathe spirit into earth-bound mortals; contemporary understandings of the term are relected in the irst two deinitions found in the Chambers 21st Century Dictionary 2011 : ‘1. ...to stimulate someone into activity, especially into artistic or creative activity 2. to ill someone with a feeling of conidence, encouragement and exaltation’. Being innately subjective, human inspiration is not easy to predict, measure or describe. Furthermore, it may be only much later that a person or event is recognised as being inspiring. Perhaps for these reasons, inspiration is not a term much used in the research literature on second language L2 motivation, nor in well known guides for new English language teachers such as Harmer 2007 and Scrivener 2011, which understandably focus on describing professional methods and techniques that can be predicted to develop their learners’ L2 knowledge and skills in a broadly motivating way. Yet all teachers need to think about the longer term impact of their work. Language learning is never accomplished in a single classroom or course but inevitably involves years of sustained effort in diverse contexts. The motivation required to sustain that effort in the face of 525 inevitable challenges and distractions may come from many sources but for younger learners one of the most signiicant is surely the teacher, the person oficially charged with mediating the subject matter for their pupils. Teachers are the most frequently cited motivational inluence mentioned by learners in Shoaib and Dörnyei’s 2005 study of lifelong language learning, for example. Arguably this long-term motivational effect – what we shall call here inspiration – is especially important in the state-school systems of developing countries,where oficial provision is most constrained in terms of number of contact hours, available resources and a heavy assessment burden, and which are still characterized by high levels of failure and frustration Nunan, 2003; Graddol, 2006. Motivation In Language Teaching Given that it is widely recognized as a central component of effective language teaching e.g.Bell, 2005; Brown, 2009, it is perhaps surprising that researchers have only recently started investigating what makes teaching motivating. For many years L2 motivation research, inluenced by the social psychological theories of Gardner and Lambert 1972 among others, tended to focus on learner motivation e.g. whether they were instrumentally or integratively oriented to the L2, rather than on how they were affected by classroom experiences. As theorists and researchers became more aware of the situated and dynamic nature of learner motivation, however, more attention was given to how it was, or could be, shaped by pedagogy. One approach taken by researchers has been to draw pedagogical implications from psychological theory. For example, in their inluential book Williams and Burden 1997 elaborated a social constructivist view of motivation and derived 12 principles for motivating teaching, starting with a recognition of its complexity; Wu 2003 and Jones, Llacer-Arastia and Newbill 2009, among others, used self-determination theory to design interventions that successfully boosted language learners’ intrinsic motivation, in elementary school and university classes respectively; Egbert 2003 draws on low theory to suggest ways teachers could design more motivating classroom tasks; and Magid and Chan 2012 used the concept of the ideal L2 self to help students clarify their goals and boost their efforts to learn English. Other researchers have focused on the all-too-common phenomenon of demotivation, and considered what teachers can do to prevent it e.g. Chambers, 1999; Littlejohn, 2008;Sakui and Cowie, 2012. The line of research most closely related to our study, however, is that initiated by Dörnyei and Csizér’s 1998 report on Hungarian English-language teachers’ views about what 526 motivated their learners. Their celebrated list of ‘ten commandments for motivating language learners’ – which placed ‘setting a personal example with your own behaviour’ on top – was further elaborated by Dörnyei 2001 who created a taxonomy of 35 ‘macrostrategies’ organized according to where in the teachinglearning process they occurred. Thus, providing a pleasant learning environment is an important part of ‘creating the basic motivational conditions’; helping learners to set personal goals helps in ‘generating initial motivation’; ‘maintaining and protecting motivation’ is served by well-designed classroom tasks and promoting learner autonomy, for example; while providing constructive feedback helps in ‘encouraging positive retrospective self-evaluation’. Recognising that such a long detailed list could be intimidating to teachers, Dörnyei and Ushioda 2011 stress that a reasonable professional aim is to be a ‘good enough motivator’ using ‘a few well-chosen strategies that suit both the teacher and the learners’ p. 134.Since then, a handful of researchers have carried out empirical studies to ind whether Dörnyei’s strategies do actually motivate. Guilloteaux and Dörnyei 2008 devised a classroom observation instrument and used it in tandem with a learner questionnaire to measure the motivational impact of various teaching strategies; they found that, even in the relatively constrained context of Korean school classrooms, what the teachers did mattered – learners in classrooms where teachers used motivational strategies, such as connecting lesson content to pupils’ lives and using pair or groupwork, tended to have more positive attitudes and to display more motivational learning behaviour e.g. participating in class activities. Abdollahzadeh 2012 obtained similar results in Iranian classrooms, while Moskovsky et al. 2012 went a step further by setting up a quasi-experiment in Saudi Arabian classrooms, producing results that indicated a direct causal link between the teachers’ motivational strategies and the learners’ motivation over the eight-week period. In a separate line of enquiry, based on a distinction between ‘traditional’ and ‘innovative’ teaching strategies, Bernaus and Gardner 2008 found that Spanish learners’ perceptions of their teachers’ strategy use was what affected their L2 motivation and achievement, rather than the actual use of the strategies. There are at least two reasons why we should be cautious in drawing pedagogical principles from it for advising novice teachers. When systematic study of teaching methodology was in its infancy, Kharma 1977 warned of the tendency to generalize about motivation; ‘This seems to be very dangerous indeed. Motivating factors may vary so widely from one community to another that what applies to one situation may not apply at all to another’ p. 103. Dörnyei 2001, 2007 527 himself has always stressed the need for his motivational strategies to be interpreted in the light of local sociocultural realities. Chen, Warden and Chang 2005 argued that in Confucian Heritage Cultures CHC such as China learners of English often have a ‘required motivation’ – pressing them to meet familial expectations and succeed in exams – that may obviate the need or even desirability of Western-produced motivating teaching strategies. Cheng and Dörnyei 2007 addressed this question directly by comparing Taiwanese and Hungarian teachers’ views of motivational strategies, and found that although both nationalities agreed on the need to ‘promote learner self- conidence’ and ‘create a pleasant classroom climate’, for example, they gave different priority to other methods such as ‘promoting learner autonomy’ favoured by the Europeans and ‘recognising students’ efforts’ favoured by the Asians. Sugita and Takeuchi 2010 provide further evidence from Japan that teachers may prioritize different motivational strategies from their Western counterparts. Following Kharma 1977, however, we must be careful not to generalize from cultures to other Asian cultures such as the Malay- Indonesian, where other educational values may prevail. The second caveat regarding the ‘motivational strategies’ approach concerns the possible assumption that stimulating classroom experiences have long- term effects on pupils’ motivation. The lists of strategies used by researchers originate either in theory or in previous teacher surveys, e.g. Dörnyei and Csizér’s 1998. Even if the strategies do constitute motivational pedagogy for learners, as some of the above research studies conirm, we cannot be certain that they lead to learners investing effort in learning the language outside the classroom, over the long term – the kind of motivation that one would expect correlates most closely to the achievement of L2 communicative competence, especially in state-school systems where time is limited and lesson content constrained by assessment practices. In particular, and as Abdollahzadeh 2012 acknowledge, the teacher’s motivational practice might inluence learners’ classroom behaviour in a positive way, encouraging attention, participation and volunteering, but not necessarily touch on ‘deeper levels of motivated behaviour e.g.self-regulatory capacity’ p. 588, which are essential for initiating and guiding independent study of the language. Dörnyei and Ushioda 2011 point out “there is a critical difference between ‘motivating’ students and ‘developing their motivation’”, deining the latter as ‘socializing and generating healthy forms of internally driven motivation’ p136. Further, one hears anecdotally of learners inspired by negative experiences, such as public dressing downs or exam failure 528 just as sportsmen and women may recount a distant past defeat as the inspiration for present success. We would therefore argue that it is necessary to complement the current research on motivational strategies and their effect on learners’ immediate classroom behaviour, with a more open ended inquiry into ‘inspirational teaching’ and its longer-term effect on pupils’ learning behavior beyond the classroom. Discussion When inspired, however, learners are stimulated into activity, mostly independent learning outside the classroom – for the learners this often related back to what they did in the classroom, it tended to involve other kinds of activity. Broadly speaking, the study contributes evidence to support Moskovsky et al.’s 2012 claim for a causal link between motivational teaching and enhanced learner motivation, and for a further link to intensiied learning behaviour . We must acknowledge that this desirable association is probably more honoured in the breach than the observance, but nevertheless the study is an endorsement of Anderman and Anderman’s 2010 ‘most important conclusion…Teachers can and do impact student motivation’ p.2. As the results have shown us, the effects on learner motivation are extremely varied and almost all the learners mentioned more than one. In fact, rather than a linear sequence of cause and effect, the complex process is probably better represented as a virtuous circle of interacting factors, whose effects build on each other gradually over time cf. Lamb, 2011. For example, a learner starts to ind the teacher’s lessons interesting, and participates more – their teacher notices them more, asks them to do more, and they feel a sense of progress in the language; their growing competence then allows them to ind uses for the language outside class, which in turn increases their awareness of the signiicance of English… and so on. As indicated above, not all the effortful learning described was truly autonomous, for some it is indicated a continuing dependence on the teacher; for these respondents, it is possible that the inspiration was temporary and the effects will wear off. But in describing these effects – a deepening interest in the language, a sense of progress, increased conidence – even these younger learners are showing awareness of their agency, which as McCombs 1994 argues is the basis of self-determination and a precondition for the kind of long-term self-regulated effort that language learning demands. As for learners, describing teachers of several years ago, we must assume that their effort and engagement with the language is now self-motivated rather than done to please their former teacher. As regards the inspiring teaching, it is interesting that the tri-partite division we found 529 corresponds roughly to that put forward 35 years ago by Girard 1977, on the basis of his survey of French pupils’ ‘ideal English teacher’: he she has to offer a good model both personal and professional, they have to be a ‘good technician of language teaching’, and they also need to be a ‘good psychologist’ p. 102. The inspiring teacher has many of the qualities of a good teacher. There is also a clear overlap with several of the key motivational strategies prioritized by teachers. For example, the number-one strategy for both Hungarian and Taiwanese teachers – ‘setting a personal example with your behaviour’ Dörnyei Csizer, 1998; Cheng and Dörnyei, 2007 – is relected in ’ praise for their teacher’s professionalism, while other advice – present the tasks properly, make the learning tasks stimulating, create a pleasant atmosphere –would clearly be endorsed by our learners even if the realization of such strategies will differ according to the local context see below. As Dörnyei 2001 himself has stressed, no teacher can possibly use all these strategies, and instead they have to adopt those that suit their style of teaching and their learners’ own preferences; and our results attest to the very diverse ways in which teachers can motivate. However, if there is one dominant theme in the testaments offered by the learners, it is the human connection that was made by the teacher – something in them, or something that they consistently did, struck a chord in the learner that still reverberates. The teachers have all achieved what many regard as the profession’s greatest reward – a personal transformation in their learners – and they have accomplished this by leaving a lasting impression in their minds, whether a distinctive methodology, an exemplary professionalism, or the quality of their care for individuals. In doing so, they remind us of the socially mediated nature of motivation, of the importance of ‘supportive interpersonal processes which foster the development of autonomy and the growth and regulation of motivation from inside’ Ushioda, 2003: 100, and of the fact that these processes may not be strategic pedagogical decisions, or even something that the teacher does consciously, but the product of innumerable personal interactions over time. There are discernible differences in the responses of learners, which support the view that socio-cultural factors inluence perceptions of motivational teaching. Firstly, there are some similarities view teachers in Cheng and Dörnyei 2007. We also found little evidence of Chinese teachers actively promoting learner autonomy, rather learners valued their advice on how to study the class materials more effectively. Further, while they appreciated enthusiastic teaching, they appeared to value most highly instruction that helped them achieve curriculum goals above all, scoring well in exams. Indonesian learners had different priorities; 530 for them fun deinitely had a positive connotation, and novel teaching techniques, especially those that emphasized humor, game-playing and spoken language, were inspiring and memorable. Conclusions The relatively of the dataset, the fact that a few teachers received multiple nominations and so may have skewed the distribution of responses, and the inevitable fallibility of human memory means we should be cautious in interpreting of the study. Nevertheless we believe there are some lessons to be learned about when and how teachers inluence language learners’ long-term motivation: • While good or professional teaching may be commonplace, inspirational teaching – the kind that learners remember for positive reasons years later – is probably quite rare. • However, even in the relatively constrained context of developing- country state schools, teachers can be very positive long-term inluences on their learners. • The sources of inspiration are many and varied: any teacher, implementing any kind of methodology, has the potential to inspire, if they can make a personal connection with a learner. • The personal and professional qualities that are most likely to inspire learners will vary according to the educational culture. • There are also probably universal motivational qualities that have broad appeal. These include : patience and kindness, attention to individual learner needs, an encouraging manner, professional diligence, impressive subject knowledge. • Inspiring teaching can change the relationship of a learner to a subject, making it seem enjoyable to learn, important in their lives and also something that they can do well. • The effects of inspiring teaching are often mutually sustaining: learners who develop an interest in the subject put extra effort into learning it; the extra effort then generates a sense of progress, which builds self-conidence. For other learners, the starting point might be the self-conidence that a teacher inspired,which then fuels interest and effort. Some of the teachers captured may only have been successful in inspiring the individual who responded; being realistic, teachers will rarely inspire a whole class anyway, because the process is always subjective. Other teachers, though, garnered multiple nominations from previous pupils; in the second some of them in their schools, and describe their teaching and how they said that they learned to be inspiring. 531 Reference Anderman, EM and Anderman, LH 2010 Classroom Motivation. Upper Saddle River, NJ:Pearson Education. Bell, TR 2005 Behaviors and Attitudes of Effective Foreign Language Teachers: Results of a Questionnaire Study. Foreign Language Annals 382: 259–270. Bernaus, M and Gardner, RC 2008 Teacher Motivation Strategies, Student Perceptions, Student Motivation, and English Achievement. The Modern Language Journal 92ii: 387–401. Brown, AV 2009 Students’ and Teachers’ Perceptions of Effective Foreign Language Teaching:A Comparison of Ideals. The Modern Language Journal 931: 46–60. Chambers English Dictionary 2011 Available online at www. chambers.co.uksearch. php?query=inspiretitle=21 st Chambers, G 1999 Motivating Language Learners. Clevedon: Multilingual Matters. Chen, J, Warden, C, and Chang, H 2005 Motivators that do not motivate: The Curse of Chinese EFL Learners and the Inluence of Culture on Motivation. TESOL Quarterly 394. Cheng, H-F and Dörnyei, Z 2007 The use of motivational strategies in language instruction: The case of EFL teaching in Taiwan. Innovation in Language Learning and Teaching 11: 153–174. Dörnyei, Z 2001 Motivational Strategies in the Language Classroom. Cambridge: CUP. Dörnyei , Z 2007 ‘Creating a Motivating Classroom Environment’ in Cummins, J and Davison, C eds International Handbook of English Language Teaching . Springer US. Dörnyei, Z and Csizer, K 1998 Ten commandments for motivating language learners: results of an empirical study. Language Teaching Research 23: 203–229. Dörnyei, Z and Ushioda, E 2011 Teaching and Researching Motivation 2nd ed. Harlow:Pearson Education. Egbert, J 2003 A Study of Flow Theory in the Language Classroom. The Modern Language Journal 87iv: 499–518. Gardner, R and Lambert, WE 1972 Attitudes and Motivation in Second Language Learning . Rowley MA: Newbury House. 532 Girard, D 1977 Motivation: Responsibility of the Teacher. ELT Journal, XXXI2: 97–102. Graddol, D 2006. English Next. Plymouth:The British Council. Guilloteaux, MJ and Dörnyei, Z 2008 Motivating Language Learners: A Classroom-Oriented Investigation of the Effects of Motivational Strategies on Student Motivation. TESOL Quarterly 42: 55–77. Harmer, J 2007 The Practice of English Language Teaching 4th ed. Harlow: Pearson. Jones, BD, Llacer-Arrastia, S and Newbill, PB 2009 Motivating foreign language students using selfdetermination theory. Innovation in Language Learning and Teaching 32: 171–189. Kharma, N 1977 Motivation and the Young Foreign-Language Learner. ELT Journal 312: 103 –111. Lamb, M 2011 ‘A Matthew Effect in English language education in a developing country context’ in Coleman, H ed, Dreams and Realities: Developing Countries and the English Language pp. 186– 206.London: The British Council. Littlejohn, A 2008 The Tip of the Iceberg: Factors Affecting Learner Motivation. RELC Journal 392:214–225. Magid, M and Chan, L 2012 Motivating English learners by helping them visualise their Ideal L2 Self:lessons from two motivational programmes. Innovation in Language Learning and Teaching 62: 113–125. McCombs, B 1994 ‘Strategies for assessing and enhancing motivation: keys to promoting self-regulated learning and performance ’ in O’Neil, HF and Drillings, M eds, Motivation: Theory and Practice. Hillsdale, NJ:Lawrence Erlbaum. Moskovsky, C, Alrabai, F, Paolini, S and Ratcheva, S 2012 The Effects of Teachers’ Motivational Strategies on Learners’ Motivation: A Controlled Investigation of Second Language Acquisition. Language Learning 631: 34–62. Noels, K, Pelletier, L, Clement, R and Vallerand, R 2000 Why are you learning a second language? Motivational Orientations and Self-determination theory. Language Learning 501: 57–85. Nunan, D 2003 The Impact of English as a Global Language on Educational Policies and Practices in the Asia-Paciic Region. TESOL Quarterly 374: 589–613. Papi, M and Abdollahzadeh, E 2012 Teacher Motivational Practice, Student Motivation, and Possible L2 Selves: An Examination in 533 the Iranian EFL Context. Language Learning 622: 571–594. Park, GP and Lee HW 2006 The characteristics of effective English teachers as perceived by high school teachers and students in Korea. Asia Paciic Education Review 72: 236–248. Sakui, K and Cowie, N 2012 The dark side of motivation: teachers’ perspectives on ‘unmotivation’. ELT Journal 662: 205–213. Scrivener, J 2011 Learning Teaching 3rd ed.Oxford: Macmillan. Shoaib, A and Dornyei, Z 2005 ‘Affect in life-long learning: Exploring L2 motivation as a dynamic process’ in Benson, P and Nunan, D eds, Learners’ Stories pp. 22–41. Cambridge:University of Cambridge. socialbakers 2012 Facebook Statistics by Country. Available online at ww.socialbakers.comfacebookstatistics Sugita, M and Takeuchi, O 2010 What can teacher do to motivate their students? A classroom research on motivational strategy use in Japanese EFL context.Innovation in Language Learning and Teaching 41: 21–35. Taleb, NN 2007 The Black Swan. New York:Random House. Ushioda, E 2003 Motivation as a socially mediated process in Little, D, Ridley, J and Ushioda, E eds Learner Autonomy in the Foreign Language Classroom pp. 90–102. Dublin: Authentik. Williams, M and Burden, RL 1997 Psychology for Language Teachers. Cambridge: Cambridge University Press. Wu, X 2003 Intrinsic motivation and young language learners: the impact of the classroom environment. System 31: 501–517. 534 PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI GURU DALAM RANGKA MENCIPTAKAN PROFESSIONAL LEARNING Zahruddin Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : zahruddin dinyahoo.co.id Abstract: Learning is a process of cooperation between teachers and pupils in making use of all existing potentials and resorces whether coming from pupils themselves such as interest, talent and basic competency owned including style of studying or coming from outside them such as environment, tools and source of studying in order to achieve the deined goal of learning. Learning will be professional if a teacher as one of some components in the whole system of education, can perform his duty as well as possible. For this purpose, a teacher should have a good communication skill. A message in the form of content of subject that is sent by teacher as communicator can’t be understood by pupil as recevier well if it doesn’t consider the condition of receiver. Keywords: professional learning, communication Pendahuluan Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menetukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar. Dari hasil beberapa penelitian, ada beberapa indikator yang menunjukkan lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas utamanya mengajar teaching, yaitu a rendahnya pemahaman tentang strategi pembelajaran, b kurangnya kemahiran dalam mengelola kelas, c rendahnya kemampuan melakukan dan memanfaatkan penelitian 535 tindakan kelas, d rendahnya motivasi berprestasi, e kurang disiplin, f rendahnya komitmen profesi, g serta rendahnya kemampuan manajemen waktu Mulyasa: 2012:9. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang berarti tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada guru pula. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan standar kompetensi dan sertiikasi guru, antara lain dengan disahkannya Undang-Undang Guru dan Dosen UUGD. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan undang-undang yang tertuang pada pasal 28 yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Khusus kompetensi sosial, seorang guru dituntut untuk mempunyai kemampuan komunikasi yang baik yang mencakup komunikasi lisan, tertulis dan isyarat. Dalam proses pembelajaran, kemampuan komunikasi guru berpengaruh besar kepada pemahaman peserta didik sebagai komunikan terhadap materi yang disampaikan oleh guru sebagai komunikator. Pesan berupa materi yang disampaikan oleh guru akan dapat dicerna dengan baik oleh peserta didik sebagai komunikan kalau guru sebagai komunikator mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentang komunikasi. Banyak kasus menunjukkan bahwa guru mempunyai kelemahan terkait dengan kemampuan komunikasi seperti mengajar dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah yang kurang dapat dipahami oleh komunikan atau peserta didik, menjelaskan materi terlalu cepat tanpa memperdulikan keragaman tingkat intelejensi komunikan atau peserta didik, menggunakan kata- kata yang tidak etis dalam memarahi peserta didik atau komunikan dan banyak lagi yang lain. Atas dasar realitas tersebut, makalah ini dibuat untuk menjadi masukan dan solusi yang dapat dipandang sederhana namun diyakini mempunyai pengaruh dan kontribusi yang luar biasa dalam rangka menciptakan pembelajaran yang profesional professional learning dan menyongsong dan menyukseskan Indonesia Emas sebagaimana yang telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2045. Professional learning Pengertian professional learning Istilah “pembelajaran” merupakan terjemahan yang digunakan oleh banyak orang untuk kata “learning”. Menurut Kamus Webster, “learning is the activity or process of gaining knowledge or skill by studying, 536 practicing, being taught, or experiencing something”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembelajaran berasal dari kata belajar berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Dalam bahasa sederhana kata belajar dimaknai sebagai menuju ke arah yang lebih baik dengan cara yang sistematis Iskandarwasid Sunendar: 2011:4. Menurut Wina Sanjaya2008:26, pembelajaran dapat diartikan sebagai Proses kerja sama antara guru dan peserta didik dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam peserta didik itu sendiri seperti minat, bakat, dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada diluar diri peserta didik seperti lingkungan, sarana, dan sumber belajar sebagai upaya mencapai tujuan belajar tertentu. Sedangkan menurut Rusman 2011:19, pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dengan peserta didik, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai media pembelajaran. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan aktivitas yang bersifat interaktif antara guru dan peserta didik yangmana peserta didik sebagai sentral sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dalam mewujudkan tujuan yang hendak dicapai yaitu peserta didik yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap. Sementara itu, istilah professional merupakan kata sifat dari kata profesi yang merupakan bentuk kata bendanya. Banyak ahli memberikan pengertian terkait kata tersebut. Menurut Nurdin 2002:15, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keterampilan, kejujuran dan sebagainya. Sedangkan kata professional menurut Danim 1995:60, mengacu kepada sifat khusus yang harus ditampilkan oleh orang yang memegang profesi tertentu. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa professional learning adalah proses atau aktivitas yang interaktif antara guru dan peserta didik dalam rangka menggali dan mengembangkan potensi peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang didukung oleh kemampuan-kemampuan khusus yang dimiliki guru. Di sini korelasinya dengan pembahasan yang diangkat yang mana salah satu kemampuan khusus tersebut adalah kemampuan komunikasi guru. Bentuk-bentuk Pembelajaran Pembelajaran sebagai aktivitas yang sangat kompleks memiliki bentuk-bentuk. Bentuk tersebut merupakan pengembangan oleh para ahli seiring dengan perubahan realitas yang dihadapi di lapangan 537 agar pembelajaran tetap relevan dan bermanfaat besar bagi peserta didik sebagai individu maupun peserta didik sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Menurut Hakim 2009:53, ada beberapa bentuk pembelajaran dinataranya: a. pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran aktif yang menekankan aktivitas peserta didik bersama-sama secara kelompok dan tidak individual. b. Pembelajaran aktif adalah kegiatan mengajar yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan mata pelajaran yang dipelajarinya. c. Pembelajaran langsung atau interaktif adalah model pembelajaran secara langsung diarahkan oleh guru melalui tugas-tugas spesiikasi yang harus dilengkapi oleh peserta didik dibawah pengawasan guru secara langsung. d. Pembelajaran inquiry dalam pelaksanaan tahapan yang ditempuh dalam pembelajaran inqury diantaranya adalah pemunculan data, pengumpulan data veriikasi, pengumpulan data eksperimen, mengorganisasi dalam memformulasikan pernyatan analsis. e. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membantu hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di sisi lain pembelajaran sebagai aktivitas yang kompleks tentunya juga memerlukan strategi. Strategi dibutuhkan agar apa yang menjadi tujuan pembelajaran dapat tercapai. Strategi itu sendiri dapat dipahami sebagai suatu rencana yang cermat tentang cara- cara pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada untuk meningkatkan efektiitas dan eisiensi dalam mencapai sasaran tertentu. di sini professional learning akan terwujud apabila dalam implementasinya selalu mempertimbang strategi. Menurut Isjoni 2007:11 bentuk-bentuk strategi pembelajaran yang aktif agar dapat meghasilkan pembelajaran yang bermutu diantaranya: a. Critical incident pengalaman penting Strategi ini digunakan untuk memulai pelajaran, tujuan dari penggunaan strategi ini untuk melibatkan peserta didik sejak awal dengan melihat pengalaman mereka. b. Prediction guide tebak pelajaran Strategi ini digunakan untuk melibatkan peserta didik dalam 538 proses pembelajaran secara aktif dari awal sampai akhir. c. Group resume resume kelompok Biasanya sebuah resume menggambarkan hasil dicapai oleh individu. Resume ini akan menjadi menarik untuk dilakukan dalam group dengan tujuan membantu peserta didik menjadi lebih akrab atau melakukan team building kerja sama kelompok yang anggotanya sudah saling mengenal sebelumnya. d. Assesment search menilai kelas Strategi ini dapat dilakukan dalam waktu yang cepat sekaligus melibatkan peserta didik untuk saling mengenal dan bekerja sama. e. Questions students have pertanyaan dan peserta didik Teknik ini merupakan teknik yang mudah dilakukan dapat dipakai untuk mengetahui kebutuhan dan harapan peserta didik. Teknik ini menggunakan elisitas dalam memperoleh partisipasi peserta didik secara tertulis. f. Active knowledge sharing saling tukar pengetahuan Strategi ini dapat digunakan untuk melihat tingkat kemampuan peserta didik disamping untuk membentuk kerja sama tim. g. Active debate debat aktif Debat dapat menjadi satu metode berharga yang dapat mendorong pemikiran dan perenungan terutama kalau peserta didik diharapkan dapat mempertahankan pendapat yang bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri. Ini merupakan strategi yang secara aktif melibatkan semua peserta didik dalam kelas bukan hanya pelaku debatnya saja. h. Card sort sortir kartu Strategi ini merupakan kegiatan kolaboratif yang dapat digunakan untuk mengerjakan konsep, karakteristik, klasiikasi, fakta tentang objek atau me-review ilmu yang telah diberikan sebelumnya. i. Jigsaw learning belajar model jigsaw Strategi ini merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tidak mengharuskan urutan penyampaiannya. j. Student team achivement division STAD Strategi ini merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. k. Every one is a teacher here setiap orang adalah guru 539 Strategi ini sangat tepat untuk mendapatkan pastisipasi kelas secara keseluruhan dan secara individual. Jenis-jenis pembelajaran Menurut Gagne yang dikutip oleh Sukmadinata 2009:160-161 menjelaskan jenis-jenis pembelajaran menjadi delapan jenis mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks diantaranya: a. Belajar tanda atau signal learning Individu belajar mengenal dan memberi respons kepada tanda-tanda b. Belajar perangsang jawaban atau stimuli respon learning Belajar ini merupakan upaya membentuk hubungan antara perangsang dengan jawaban, umpamanya: menjawab pertanyaan yang diberikan guru c. Rantai perbuatan atau chaining Individu belajar melakukan suatu rentetan kegiatan yang membentuk satu kesatuan d. Hubungan verbal atau verbal association Kalau dalam rantai kegiatan, hubungan ini berbentuk perilaku maka dalam hubungan verbal ini berbentuk hubungan bahasa e. Belajar membedakan atau discrimination learning Individu belajar melihat perbedaan dan juga persamaan sesuatu benda dengan lainnya f. Belajar konsep atau concept learning Tipe belajar ini menyangkut pemahaman konsep-konsep g. Belajar aturan-aturan atau rule learning Individu belajar aturan-aturan yang ada di masyarakat, di sekolah, di rumah ataupun aturan dalam perdagangan, pemerintahan bahkan ilmu pengetahuan. h. Belajar pemecahan masalah atau problem solving learning Dalam kegiatan belajar ini individu dihadapkan kepada masalah-masalah yang harus dipecahkan. Faktor yang mempengaruhi pembelajaran profesional Menurut Syah yang dikutip oleh Lip Khoiru Ahmadi, Hendro Ari Soetyono dkk 2011: 15-17, secara global faktor-faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik dibedakan menjadi tiga yaitu: a. Faktor internal Aspek isiologis yaitu aspek yang bersifat jasmaniah atau kondisi tubuh seperti tingkat kesehatan, indera penglihatan. Aspek psikologis yang berpengaruh pada proses belajar peserta didik diantaranya: intelegensi peserta didik, sikap, 540 bakat, minat, dan motivasi peserta didik b. Faktor eksternal Lingkungan sosial sekolah dianatranya guru, staff tata usaha, teman-teman sekolah satu kelas. Lingkungan sosial di sekolah mencakup masyarakat, teman-teman serta lingkungan di sekitar sekolah. Namun yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga. c. Faktor pendekatan belajar Cara yang digunakan untuk menunjang efektiitas dan eisiensi belajar atau dapat dideinisikan sebagai perangkat operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kemampuan Komunikasi Pengertian kemampuan komunikasi Kata “komunikasi” berasal dari akar kata bahasa latin yaitu Communico yang artinya membagi. Sedangkan istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Para ahli berbeda-beda dalam mendeinisikan komunikasi. Perbedaan ini ditimbulkan oleh latar belakang keilmuan para ahli Wiryanto: 2008:6-7. Berikut beberapa deinisi: a. Sarah Trenholm dan Arthur Jensen 1996:4 mendeiniskannya: “A process by which a source transmits a message to a reciever through some channel .” komunikasi adalah suatu proses di mana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran. b. Hoveland 1948:371 mendeinisikannya: “the process by which an individual the communicator transmits stimuli ussually verbal symbols to modify, the behaviour of other individu .” komunikasi adalah proses di mana individu mentransmisikan stimulus untuk mengubah perilaku individu yang lain. c. Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid 1981:18 mendeinisikannya: komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam. Deinisi-deinisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas paling tidak memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud dengan komunikasi. Pada dasarnya komunikasi yang terjadi di dunia nyata tidak sesederhana itu, tapi lebih kompleks. Sedangkan pengertian 541 kemampuan atau kompetensi diungkapkan secara beragam. Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direleksikan dalam kebiasaan berikir dan bertindak. Arti lain dari kompetensi adalah spesiikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya didalam pekerjaan, sesuai standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan Fatuhrohmah dan Suryana: 2012:32. Pengertian lain dari kemampuan atau kompetensi adalah karakteristik yang menonjol bagi seseorang dan mengindikasikan cara-cara berperilaku, berikir dalam segala situasi yang berlangsung terus-menerus dalam periode waktu yang lama Uno: 2008:78. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang terkait dengan komunikasi yang diimplementasikannya dalam menjalankan tugasnya secara konsisten. Unsur-unsur komunikasi Dari beberapa pengertian komunikasi yang telah dikemukakan, jelas bahwa antar manusia hanya terjadi, jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu komunikasi terjadi kalau terdapat unsur-unsur yang mendukungnya. Terkait dengan unsur-unsur komunikasi, terdapat beberapa macam pandangan tentang banyaknya unsur yang mendukung terjadinya komunikasi, mulai dari yang paling sedikit yaitu tiga unsur yaitu sumber, pesan dan penerima sampai yang paling banyak yaitu yang lebih dari lima unsur. Kelima unsur tersebut yaitu sumber, pesan, media, penerima, dan efek Cangara,1998:22-23. Berikut pandangan- pandangan tersebut: a. Aristoteles, ahli ilsafat Yunani kuno dalam bukunya Rhetorica menyebutkan bahwa suatu proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang mendukungnya, yakni siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan dan siapa yang mendengarkannya. Pandangan ini menurut sebagian besar pakar komunikasi dinilai lebih tepat disebut proses komunikasi publik dalam bentuk pidato atau retorika. b. Claude E. Shannon dan Warren Weaver 1949, dua orang insinyur listrik menyatakan bahwa terjadinya proses komunikasi memerlukan lima unsur yang mendukungnya, yaitu pengirim, transmitter, signal, penerima, dan tujuan. c. Charles Osgood, Gerald Miller dan Melvin L. De Fleur menambahkan lagi unsur efek dan umpan balik feedback 542 sebagai pelengkap dalam membangun komunikasi yang sempurna. Kedua unsur ini dikembangkan pada proses komunikasi antar pribadi komunikasi massa. d. Joseph de Vito, K. Sereno dan Erika Vora memandang faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung terjadinya proses komunikasi. Berikut dibawah ini gambar ketujuah unsur tersebut dan dilanjutkan dengan penjelasan singkatnya: Gambar 1 Sumber Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Dalam komunikasi antar manusia, sumber kemungkinan terdiri dari satu orang dan kemungkinan juga berbentuk kelompok misalnya partai, organisasi dan lain-lain. Sumber sering disebut pengirim, komunikator atau dalam bahasa inggrisnya disebut source, sender atau encoder. Pesan Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda. Dalam bahasa inggris pesan biasanya diterjemahkan dengan kata message, content atau information. Media Media yang dimaksud di sini ialah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Media atau saluran dapat bermacam-macam bentuknya. Pancaindra dianggap sebagai media komunikasi antar pribadi. Selain itu, telepon, surat, sms termasuk media atau saluran yang dapat digunakan dalam komunikasi antar pribadi. Sedangkan dalam komunikasi massa, media yang digunakan untuk menghubungkan antara sumber dan penerima yang sifatnya terbuka, dimana setiap orang dapat melihat, membaca 543 dan mendengar dapat dibedakan atas dua macam yaitu media cetak dan media elektronik. Media cetak seperti surat kabar, majalah, buku, lealet, brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk dan sebagainya. Sedangkan media elektronik seperti radio, ilm, televisi, video recording , komputer, dan sebagainya. Selain media komunikasi seperti di atas, kegiatan dan tempat- tempat tertentu dapat juga dipandang sebagai media komunikasi sosial misalnya, rumah-rumah ibadah, balai desa, arisan, panggung kesenian dan sebagainya. Penerima Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima dapat terdiri satu orang atau lebih, dapat dalam bentuk kelompok, partai dan sebagainya. Penerima disebut dengan berbagai macam istilah, seperti khalayak, sasaran, komunikan, atau dalam bahasa inggris disebut audience atau recevier. Pengaruh Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini dapat terjadi pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang. Tanggapan balik Ada yang berpandangan bahwa tanggapan balik sebenarnya adalah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Tanggapan balik dapat juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, seperti konsep surat yang memerlukan perubahan sebelum dikirim atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan mengalami gangguan sebelum sampai ke tujuan. Lingkungan Lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yaitu dimensi isik, dimensi sosial budaya, dimensi psikologis dan dimensi waktu. Dimensi isik dapat menjadi rintangan bagi terjadinya proses komunikasi seperti geograis berupa faktor jarak yang jauh di mana tidak tersedia fasilitas komunikasi seperti telepon, kantor pos dan sebagainya. Dimensi sosial budaya dapat menjadi kendala bagi terjadinya proses komunikasi, seperti bahasa, kepercayaan, adat istiadat, status 544 sosial dan sebagainya. Dimensi psikologis yaitu pertimbangan kejiwaan, dapat menjadi kendala bagi terjadinya proses komunikasi seperti materi yang tidak sesuai dengan usia penerima atau kritik yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Dimensi waktu yaitu sitausi yang tepat untuk melakukan kegiatan komunikasi sehingga pesan atau informasi itu menjadi bernilai. Tipe komunikasi Perbedaan pandangan tidak hanya terjadi pada deinisi komunikasi, namun juga pada klasiikasi tipe atau bentuk komunikasi. Karena para pakar mengklasiikasi berdasarkan pengalaman dan latar belakang keilmuan Cangara: 1998:29-30. Berikut uraiannya: a. Kelompok sarjana komunikasi amerika dalam karyanya human communication 1980 membagi komunikasi atas lima macam bentuk komunikasi antar pribadi intrapersonal communication , komunikasi kelompok kecil small group communication , komunikasi organisasi organizational communication , komunikasi massa mass communication dan komunikasi publik public communication. b. Joseph A. DeVito, seorang profesor komunikasi di City University of New York dalam karyanya communicology 1982 membagi komunikasi atas empat macam, yaitu komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik dan komunikasi massa. c. R. Wayne Pace dengan teman-temanya dari Brigham Young University dalam bukunya Techniques For Effective Communication 1979 membagi komunikasi atas tiga macam, yaitu komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi antarpribadi dan komunikasi publik. d. Beberapa sarjana komunikasi aliran eropa hanya membagi komunikasi atas dua macam, yaitu komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa. Penutup Dari kajian teoritis diatas sangat jelas bahwa kemampuan komunikasi guru berdampak besar pada penguasaan peserta didik terhadap materi yang disampaikan. Dari perspektif ilmu komunikasi, guru sebagai komunikator agar pesannya berupa materi pelajaran dapat diterima dan dipahami, harus mempertimbangkan peserta didik sebagai komunikan. Faktor-faktor yang mesti dipertimbangkan tersebut dalam studi komunikasi dikenal dengan unsur “lingkungan” yang mencakup 545 isik, sosial-budaya, psikologis, dan waktu. Di samping itu media yang digunakan juga merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya yang juga perlu dipertimbangkan oleh guru sebagai komunikator dalam proses pembelajaran agar menghasilkan professional learning. Daftar Pustaka Cangara, Haied, 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Press. Fatuhrohmah, Pupuh dan Suryana, Aa, 2012. Guru Profesional. Bandung: PT Radika Aditama. Hakim, Lukman, 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Isjoni, 2007. Pembelajaran Visioner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Iskandarwasid dan Sunendar, Dadang, 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ahmadi, Lip khoiru, dkk., 2009. Pembelajaran Akselerasi. Jakarta: Prestasi Pusaka. Mulyasa, 2012. Standar Kompetensi dan Sertiikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurdin, Syafruddin, 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press. Rusman, 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru . Jakarta: PT Raja Graindo Persada. Sanjaya, Wina, 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Permada Media Group. Slameto, 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: PT Remaja Rhineka Cipta. Sudarman Danim, Sudarman, 1995. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Uno, Hamzah B., 2008. Model Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Wiryanto, 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 546 ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI SAINS GURU MADRASAH IBTIDAIYAH PROGRAM DUAL MODE SYSTEM DAN SARJANA KE-2 Burhanudin Milama Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: burhanmilamayahoo.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan literasi sains guru MI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik random sampling yang terdiri dari 40 responden dengan rincian 20 responden program DMS dan 20 responden program S1 ke-2. Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata kemampuan literasi sains guru program DMS pendidikan SMAMA 46,34 sedangkan programm S1 ke-2 35,37. Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin, pada program DMS guru perempuan 51,95 dan guru laki-laki 40,73, sedangkan pada program S1 ke-2 guru laki-laki 36,83 dan guru perempuan33,90. Hasil penelitian berdasarkan konten literasi sains, program DMS memiliki rata-rata nilai tertinggi 55,75 pada konten materi sedangkan program S1 ke-2 memiliki rata-rata tertinggi 41 pada konten materi. Hasil penelitian berdasarkan proses literasi sains, rata-rata tertinggi program DMS adalah 60 pada kompetensi menggunakan bukti ilmiah sedangkan nilai tertinggi pada program S1 ke-2 adalah 44,58 pada kompetensi mengidentiikasi ilmiah. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa program DMS memilki kemampuan yang lebih baik berdasarkan tingkat pendidikan, jenis kelamin, konten literasi sains, dan proses literasi sains dibandingkan dengan program S1 ke-2. Kata kunci : literasi sains, Dual Mode system, S1 ke-2 Pendahuluan Salah satu tantangan yang berusaha dijawab oleh Kurikulum 2013 yaitu rendahnya tingkat literasi sains anak Indonesia. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment PISA tahun 2003 mengenai tingkat literasi sains terhadap siswa Indonesia yang berusia 15 tahun menunjukkan peringkat ke 38 dari 41 negara peserta. Hasil 547 survey tahun 2006 menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 57 negara dengan skor rata-rata 393. Selanjutnya, hasil survey tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 65 negara peserta dengan rata-rata 383. Secara keseluruhan peringkat Indonesia selama tiga tahun berturut-turut masih di bawah rata-rata internasional. Rendahnya tingkat literasi sains menurut Firman 2006: 24-26 disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang digunakan di Indonesia memiliki konten yang berbeda dengan kurikulum kebanyakan negara-negara lain, 2 Strategi yang digunakan guru dalam PBM masih cenderung menghafal apa yang ada dalam buku dan kurang menekankan pada aspek proses ilmiah dan pemecahan masalah, 3 Sedikitnya pendidikan dan pelatihan yang diberikan untuk mengembangkan kemampuan mengajar guru sehingga berdampak kepada proses belajar mengajar yang dilakukan. Guru menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan literasi sains siswa. Kemampuan guru dalam literasi sains akan diaplikasikan dalam kegiatan belajar mengajar sehingga akan menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai kemampuan literasi sains yang baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru dalam menjawab soal- soal literasi sains. Dalam penelitian ini, guru yang terlibat adalah guru Madrasah Ibtidaiyah MI yang sedang mengikuti program kerjasama antara Kementerian Agama dengan FITK UIN Jakarta yaitu DMS dan S1 ke-2. Program DMS diperuntukkan bagi guru-guru MI yang belum memenuhi kualiikasi sarjana, sehingga lulusan dari program ini akan mendapatkan gelar akademik Sarjana Pendidikan. Sedangkan pada program S1 ke-2 adalah program yang diperuntukkan bagi guru-guru sarjana agama yang nanti ditugaskan untuk menjedi guru kelas. Deinisi Literasi Sains Literasi dideinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi kepentingan yang diharapkan secara efektif dalam lingkungan masyarakat Jarman McClune, 2007: 2. Konsep literasi menurut PISA adalah kemampuan seseorang mengakses dokumen tertulis, menggunakan, menyerap, dan mengevaluasi dokumen untuk membantunya berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan sosial dan berkontribusi terhadap masyarakat dengan cara meningkatkan pengetahuan dasar dan potensi yang dimilikinya Sulun, Yurttas, dan Ekiz, 2009: 723. Literasi sains menurut Organisation for Economic Cooperation and Development OECD PISA tahun 1999 Harlen Qualter, 2004: 63; 548 MCEETYA, 2006: 58; dan Holbrook Rannikmae, 2009: 280 yakni kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentiikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta dan membuat keputusan terhadap perubahan yang terjadi pada alam akibat aktivitas manusia. Sedangkan dokumen NRC 1996 yang berjudul “US National Science Education Standards” Jarman dan Mc Clune, 2007: 2 mendeinisikan literasi sains sebagai pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep-konsep serta proses sains yang diperlukan seseorang dalam membuat keputusan, berpartisipasi dalam hubungan masyarakat dan kependudukan, serta dalam produktivitas ekonomi. Berdasarkan beberapa pengertian literasi sains di atas, maka literasi sains tidak semata-mata ditunjukkan dengan pengetahuan akan fakta-fakta ilmiah dasar, konsep ilmiah, dan terminologi atau istilah ilmiah. Lebih lanjut lagi, seseorang yang memiliki literasi sains adalah yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia sekitar dengan memfungsikan konsep-konsep ilmiah dengan rasa percaya diri, mampu memandang sesuatu kejadian atau fenomena secara ilmiah secara logis; serta sadar akan hakikat dan keterbatasan pengetahuan ilmiah dan peranan nilai sains bagi generasi mendatang Harlen dan Qualter, 2004:63. Komponen Literasi Sains Harlen dan Qualter 2004: 64 mengemukakan komponen literasi sains dalam hubungannya dengan pendidikan IPA SD sebagai berikut. a. Konsep atau ide-ide sains, yang membantu siswa memahami aspek ilmiah mengenai dunia di sekelilingnya dan menjelaskan pengalaman baru secara rasional dengan menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki; b. Proses sains, mencakup keterampilan mental dan isik dalam memperoleh, menafsirkan, dan menggunakan bukti mengenai alam sekitar untuk memperoleh pengetahuan dan membangun pemahaman; c. Sikap atau keinginan, yang mengindikasikan keinginan dan kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam kegiatan inkuiri, debat, dan pembelajaran; d. Pemahaman akan alam dan keterbatasan pengetahuan ilmiah. Adapun komponen literasi sains menurut Norris dan Philips Holbrook Rannikmae 2009: 276 terdiri atas: pengetahuan tentang konten sains penting berdasarkan fakta dan kemampuan membedakan konten sains dari hal- 549 hal nonilmiah; pemahaman tentang sains dan aplikasinya; pengetahuan tentang hal-hal yang termasuk ke dalam sains; kebebasan mempelajari sains; kemampuan berpikir ilmiah; kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah dalam pemecahan masalah; pengetahuan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam komunitas intelektual berkaitan dengan isu-isu sains; pemahaman tentang hakikat Sains dan hubungannya dengan kebudayaan; rasa menghargai, merasa nyaman dengan sains, serta memiliki rasa ingin tahu terhadap sains; pengetahuan tentang resiko dan manfaat sains, serta kemampuan berpikir kritis tentang sains dan memiliki keterampilan sebagai ahli dalam bidang sains tingkat lanjut. Berdasarkan kedua pendapat para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa literasi sains memiliki komponen sebagai berikut. a. Pengetahuan dan pemahaman akan konsep, fakta, teori dan hukum sains untuk mempelajari alam sekitar, benda, objek, kejadian atau fenomena alam. b. Kemampuan dan keterampilan mengaplikasikan konsep sains dalam memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan diri sendiri, lingkungan alam, sosial, masyarakat, dan ekonomi. c. Memiliki sikap ingin tahu dan kepercayaan diri dalam bentuk partisipasi dalam forum ilmiah yang membahas isu-isu sains. d. Kemampuan berpikir kritis dan ilmiah dalam mengatasi berbagai permasalahan. e. Keterampilan melakukan proses sains untuk memperoleh pengetahuan dan bukti-bukti ilmiah serta memberikan penjelasan atasnya. f. Memiliki rasa menghargai terhadap konsep sains yang telah ditemukan para ilmuwan, tanpa mengesampingkan kesadaran dan keterbukaan bahwa sains bersifat tentatif dan dapat berubah jika ditemukan bukti baru. g. Pemahaman akan hakikat sains sebagai produk, proses serta sikap dan nilai ilmiah. Dimensi Literasi Sains Dimensi literasi Sains yang dikemukakan oleh OECD PISA tahun 2007 Holbrook Rannikmae, 2009: 280 adalah sebagai berikut. a. Konsep ilmiah, yang diperlukan dalam memahami fenomena alam tertentu dan perubahan alam yang terjadi akibat kegiatan manusia. Aspek ini dapat dikaitkan dengan tiga area aplikasi 550 utama, yaitu kehidupan dan kesehatan, ilmu pengetahuan bumi dan lingkungan, serta sains dalam bidang teknologi. b. Proses ilmiah, yang ditekankan pada kemampuan untuk memperoleh, menafsirkan, dan melakukan tindakan berdasarkan bukti ilmiah. Proses ilmiah yang dirumuskan PISA meliputi kemampuan mengenali pertanyaan ilmiah, mengidentiikasi bukti ilmiah, menarik serta mengkomunikasikan kesimpulan, dan menunjukkan pemahaman terhadap konsep-konsep ilmiah. c. Situasi atau konteks ilmiah, berhubungan dengan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari mulai dari konteks personal, masyarakat, hingga tingkat global. Penilaian Literasi Sains Penilaian literasi sains dilakukan untuk memonitor sejauh mana siswa di berbagai negara dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilan ilmiahnya dalam setting dunia nyata dan seberapa kompeten mereka dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut untuk mengajukan solusi terhadap isu-isu terkini. Hal tersebut mereleksikan penilaian terhadap tiga dimensi besar literasi Sains yang diambil dari OECD PISA meliputi konten sains, proses sains, dan konteks aplikasi Sains. Firman 2006: 3-8 menjelaskan ketiga aspek literasi sains yang diukur dalam survey Nasional PISA tahun 2006 sebagai komplemen terhadap hasil survey PISA Internasional sebelumnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai tingkat literasi sains siswa sekolah menengah di Indonesia. a. Penilaian terhadap konten sains mengukur kemampuan siswa dalam memahami konsep-konsep yang berasal dari bidang isika, biologi, dan ilmu pengetahuan bumi dan antariksa baik secara terpadu maupun terpisah. b. Penilaian terhadap proses sains meliputi penilaian kompetensi siswa dalam mengidentiikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah. Ketiga kompetensi tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam indikator-indikator sebagai berikut. 551 Tabel 1. Proses Sains dalam PISA Nasional 2006 Kategori Cakupan Proses Sains M e n g i d e n t i f i k a s i pertanyaan ilmiah a. Mengenal pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah b. Mengidentiikasi kata-kata kunci untuk mencari informasi ilmiah c. Mengenal itur-itur kunci penyelidikan ilmiah Menjelaskan fenomena secara ilmiah a. Mengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang diberikan b. Mendeskripsikan atau menginterpretasi fenomena secara ilmiah dan memprediksi perubahan c. Mengidentiikasi deskripsi, eksplanasi dan prediksi yang memadai Menggunakan bukti ilmiah a. Menafsirkan bukti ilmiah dan menarik kesimpulan b. Memberikan alasan untuk mendukung atau menolak kesimpulan dan mengidentiikasi asumsi-asumsi yang dibuat dalam mencapai kesimpulan c. Mengkomunikasikan kesimpulan dan bukti serta penalaran di balik kesimpulan c. Penilaian terhadap aspek konteks maksudnya adalah menilai pengetahuan, kompetensi termasuk kecakapan berpikir kritis dan sikap pada konteks yang dipilih. Soal yang diujikan pada siswa berfokus pada situasi ilmiah diawali dari tingkat kehidupan personal individu, keluarga, dan pertemanan, sosial komunitas masyarakat, dan global lintas negara. Butir soal PISA Nasional 2006 disesuaikan dengan kurikulum dan kehidupan di Indonesia. Hasil Penelitian a. kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan tingkat pendidikanjenis program Kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan tingkat 552 pendidikan terdiri dari dua jenis program yang diselenggarakan oleh FITK, yaitu program DMS program strata 1 dan program S1 ke-2 sarjana agama yang mengambil program guru kelas yang masing-masing terdiri dari 20 responden. Kemampuan literasi sains guru MI dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Pesentase kemampuan literasi sains berdasarkan tingkat pendidikan Jenis Program Nilai terendah Nilai tertinggi Rata-rata Kategori DMS 14,63 69,90 46,34 Cukup S1 ke-2 17,07 58,54 35,37 Cukup Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kemampuan literasi sains program DMS memperoleh nilai terendah 14,63, nilai tertinggi 69,90 dengan rata-rata persentasi 46,34, sedangkan pada program S1 ke-2 memperoleh nilai terendah 17,07, nilai tertinggi 58,54 dengan rata-rata persentasi 35,37. Rata-rata kemampuan literasi sains program DMS lebih besar dari program S1 ke-2. Meskipun demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua jenis program masih dikategorikan cukup dalam kemampuan literasi sains. b. Kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan jenis kelamin Salah satu variabel yang mempengaruhi kemampuan literasi sains adalah jenis kelamin. Dalam penelitian ini pengambilan data jenis kelamin dilakukan baik pada program DMS maupun program S1 ke-2. Program DMS terdiri dari 10 responden laki- laki dan 10 responden perempuan. Program S1 ke-2 terdiri dari 10 responden Llaki-laki dan 10 responden perempuan. Rata-rata kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Persentase kemampuan literasi sains berdasarkan jenis kelamin Jenis Program Jenis Kelamin Nilai terendah Nilai tertinggi Rata-rata Kategori DMS Laki-laki 14,63 60,98 40,73 Cukup Perempuan 29,27 68,29 51,95 Baik S1 ke-2 Laki-laki 17,07 51,22 36,83 Cukup Perempuan 17,07 43,90 33,90 Cukup 553 Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa kemampuan literasi sains guru MI pada program DMS yang laki-laki nilai terendah 14,63, nilai tertinggi 60,98 dengan rata-rata persentasi 40,73, sedangkan yang perempuan nilai terendah 29,27, nilai tertinggi 68,29, dengan rata-rata presentasi 51,95. Pada program S1 ke- 2, laki-laki memperoleh nilai terendah 17,07, nilai tertinggi 51,22, dengan rata-rata persentasi 36,83, sedangkan perempuan nilai terendah 17,07, nilai tertinggi 43,90, dengan rata-rata persentasi 33,90. Pada program DMS, rata-rata guru laki-laki memperoleh kategori cukup dalam kemampuan literasi sains, sedangkan perempuan dikategorikan baik. Pada program S1 ke-2, rata- rata guru laki-laki dan guru perempuan memperoleh kategori cukup dalam hal kemampuan literasi sains. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada program DMS, guru perempuan memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dibandingkan dengan guru laki-laki, sedangkan pada program S1 ke-2 baik guru laki-laki memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dari guru perempuan walaupun masih tergolong cukup. c. Kemampuan literasi sains dilihat dari konten literasi sains Kemampuan literasi sains dilihat dari konten literasi sains, terdiri dari 4 topik utama yaitu Bumi dan Antariksa IPBA, Makhluk Hidup Biologi, Energi dan Gaya Fisika, Materi Kimia. Rata-rata kemampuan literasi sains berdasarkan konten literasi sains dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Persentase kemampuan literasi sains berdasarkan konten Aspek Konten literasi sains Jenis program Rata-rata Kategori Bumi dan Antariksa IPBA DMS 42,25 Cukup S1 ke-2 32,78 Cukup Makhluk Hidup Biologi DMS 35,00 Cukup S1 ke-2 28,83 Cukup Energi dan Gaya Fisika DMS 45,00 Cukup S1 ke-2 36,00 Cukup Materi Kimia DMS 55,75 Baik S1 ke-2 41,00 Cukup 554 Dari tabel di atas dapat dielaskan bahwa pada konten bumi dan antariksa program DMS memperoleh rata-rata persentasi 42,25, program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi 32,78. Pada konten makhluk hidup, program DMS memperoleh rata- rata persentasi 35,00, program S1 ke-2 memperoleh rata- rata persentasi 28,83. Pada konten energi dan gaya, program DMS memperoleh rata-rata persentasi 45,00, program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi 36,00. Pada konten materi, program DMS memperoleh rata-rata persentasi 55,75 dan program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi 41,00. Program DMS memiliki rata-rata persentasi terendah pada konten Makhluk Hidup dan rata-rata persentasi tertinggi pada konten Materi. Program S1 ke-2 memiliki rata-rata persentasi terendah pada konten Makhluk Hidup dan rata-rata persentasi tertinggi pada konten Bumi dan Antariksa. Program DMS memiliki satu kategori baik, sedangkan program S1 ke-2 keseluruhan memiliki kategori cukup d. Kemampuan literasi sains dilihat dari proses literasi sains Proses literasi sains meliputi penilaian kompetensi siswa dalam mengidentiikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah. Rata-rata persentasi kemampuan literasi sains dilihat dari proses, dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Persentase kemampuan literasi sains berdasarkan konten Aspek proses literasi sains Jenis program Rata-rata Kategori Mengidentiikasi pertanyaan ilmiah DMS 35,66 Cukup S1 ke-2 27,33 Cukup Menjelaskan fenomena secara ilmiah DMS 50,84 Baik S1 ke-2 44,58 Cukup Menggunakan bukti ilmiah DMS 60,00 Baik S1 ke-2 37,73 Cukup Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa pada pada proses mengidentiikasi masalah, program DMS memperoleh rata-rata persentasi 35,66 dan program S1 ke-2 memperoleh rata-rata 555 persentasi 27,33. Pada proses menjelaskan fenomena secara ilmiah, program DMS memperoleh rata-rata persentasi 50,84 dan program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi 44,58. Pada proses menggunakan bukti ilmiah, program DMS memperoleh rata-rata persentasi 60 dan program S1 ke-2 memperoleh rata- rata persentasi 37,73. Program DMS memperoleh rata-rata persentasi terendah pada proses mengidentiikasi pertanyaan ilmiah dan rata-rata persentasi tertinggi pada proses menggunakan bukti ilmiah. Sedangkan pada program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi terendah pada proses mengidentiikasi pertanyaan ilmiah dan rata-rata persentasi tertinggi pada proses menjelaskan fenomen secara ilmiah. Berdasarkan kategori, program DMS memperoleh dua kategori baik yaitu pada proses menjelaskan fenomen secara ilmiah dan menggunakan bukti ilmiah, sedangkan pada program S1 ke-2 memperoleh kategori cukup pada ketiga proses literasi sains. Pembahasan Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan literasi sains mahasiswa program DMS lebih baik dari program S1 ke- 2, walaupun demikian kedua program belum menunjukkan hasil yang memuaskan baik bedasarkan tingkat pendidikan, jenis kelamin, aspek konten literasi sains dan proses literasi sains rata-rata memberikan hasil yang belum memuaskan. Kemampuan literasi sains berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa program DMS memiliki rata-rata kemampuan literasi sains yang lebih tinggi dibandingkan program S1 ke-2, ini berarti bahwa guru-guru MI yang latar belakang pendidikan SMA MA memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dibandingkan guru-guru MI yang telah mendapatkan gelar sarjana. Hal ini memang menimbulkan pertanyaan seharusnya guru-guru yang mendapatakan gelar sarjana memiliki kemampuan yang lebih baik. Beberapa alasan yang menyebabkan kemampuan literasi sains guru MI program DMS lebih baik yaitu selama mengikuti program DMS banyak mata kuliah sains yang telah mereka dapatkan seperti konsep dasar sains, praktikum, lingkungan, pembelajaran sains, ilmu pengetahuan bumi dan antariksa sehingga membuat mereka sudah memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang sains. Sedangkan guru MI yang mengikuti program S1 ke-2 hanya mendapatkan mata kuliah konsep dasar sains, pembelajaran sains. Di samping itu, guru-guru yang mengambil 556 program DMS sebagian besar sudah menjadi guru kelas sehingga terbiasa mengajarkan konsep-konsep sains sedangkan pada program S1 ke-2 sebagian kecil mereka adalah guru agama, sedangkan sisanya adalah mereka yang baru akan dipersiapkan menjadi guru kelas setelah lulus mengikuti program S1 ke-2 sehingga belum mengenal konsep-konsep sains secara utuh. Kemampuan literasi sains berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan bahwa guru MI yang perempuan baik pada program DMS maupun S1 ke-2 memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik baik dari guru laki-laki baik pada program DMS maupun S1 ke-2. Kemampuan guru perempuan yang lebih baik disebabkan keinginan untuk selalu mencari informasi-informasi yang berhubungan dengan sains. Penyebab lain karena guru MI yang perempuan mengajarkan metode pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran sains seperti metode eksperimen, demonstrasi. Penutup Setelah semua tahapan penelitian dilakukan mulai dari tahapan membuat proposal sampai pada tahapan pengolahan dan analisis data, pada akhirnya peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian tentang analisis kemampuan literasi sains guru MI program dual mode system DMS dan S1 ke-2, yakni: pertama, berdasarkan tingkat pendidikan program dual mode system lulusan SMAMA memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dari program S1 ke-2 lulusan sarjana agama. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata kemampuan literasi sains program dual mode system 46,34, sedangkan program S1 ke-2 35,37. Walaupun keduanya masih dikategorikan cukup.; kedua, berdasarkan jenis kelamin, rata-rata kemampuan literasi sains guru perempuan pada program DMS 51,95 sedangkan guru laki-laki 40,73, artinya guru perempuan memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dari guru laki-laki. Sedangkan pada program S1 ke-2, rata-rata kemampuan literasi sains guru laki-laki 36,83, guru perempuan 33,90, artinya kemampuan literasi sains guru laki-laki lebih baik dari guru perempuan walaupun tidak berbeda jauh; ketiga, berdasarkan konten literasi sains, baik pada program DMS maupun program S1 ke-2 memiliki rata-rata yang paling tinggi pada konten materi yaitu 55,75 pada program DMS dan 41 pada program S1 ke-2; keempat, berdasarkan proses literasi sains, program DMS memiliki rata-rata tertinggi pada kompetensi menggunakan bukti ilmih dengan rata-rata 60, sedangkan pada program S1 ke-2, memiliki rata-rata tertinggi pada kompetensi menjelaskan fenomena secara ilmiah dengan rata-rata 44,58. 557 Daftar Pustaka Arikunto, S.2008.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara Firman, H. 2007. Laporan Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil Pisa NAsional TAhuan 2006, Jakarta: Puspendik Balitbang Kemendiknas Harlen Qualter. 2004. The Teaching of Science in Primary School.4th Edition. London: David Fulton Publishers Holbrook Rannikmae. 2009. The Meaning of Scientiic Literacy. International Journal of Environmental Science Education. Vol. 4, nomor 3, 2009 Nazir, M.1998. Metode Penelitian.Jakarta: Ghalia Indonesia Jarman McClune.2007. Developing Scientiic Literacy Using News Media in The Classroom. New York: McGraw Hills Company MCEETYA. 2008. National Assessment Program Science Literacy Year 6 School Release Materials 2006 . Carlton South: MCEETYA Sulun et.al. 2009. Determination of Science Literacy Levels of The Classroom Teachers A case in Mugla City in Turkey. Procedia Social and Behavioural Science. 1, 723-730. Tersedia di www. sciencedirect.com . [10 September 2009] Tim Pisa Indonesia.2011. Survey Internasioal PISA. Balitbang kemendiknas. http:litbang.kemdikbud.go.idindex.php survei-internasional-pisa 558 A COMPARATIVE ANALYSIS ON SANGUINE AND PHLEGMATIC STUDENTS CONCERNING THEIR ENGLISH SPEAKING SKILL A COMPARATIVE STUDY AT THE SECOND YEAR STUDENTS OF SMP WIJAYAKUSUMA Ratna Sari Dewi, Muchamad Yusuf Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta Email: ratnauinjkt.ac.id Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah siswa sanguin mendapatkan nilai berbahasa Inggris lebih baik dari pada siswa plegmatis dalam aktivitas berbicara pada siswa kelas 2 SMP Wijayakusuma. Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan teori pendukung, kemudian memberikan tes kepribadian yang diambil dari tes standar dalam Personality Plus yang ditulis oleh Florence Littauer pada siswa kelas 2 SMP Wijayakusuma, kemudian ia memisahkan siswa sanguin dari siswa plegmatis. Setelah itu kedua kepribadian siswa itu diukur keterampilan berbicaranya. Materi berbicara siswa akan dipilih satu topik, dan setelah penulis berdiskusi dengan Ibu Ririn selaku guru siswa kelas 2 SMP Sekolah Wijayakusuma, kami menentukan bahwa topic yang terbaik adalah wawancara. Masing-masing harus diungkapkan dengan katakata mereka sendiri dengan sebaik-baiknya. Setelah keterampilan berbicara siswa direkam, mereka dinilai langsung oleh guru bahasa Inggris mereka sendiri. Ketika semua nilai selesai, dia merancang distribusi frekuensi dan analisis komparatif dengan dua sampel independen. Sedangkan perhitungan T-test digunakan untuk membuktikan data yang signiikan. Dan langkah terakhir yang harus dilakukan adalah menjawab hipotesis penelitian. Hasil penelitian menyatakan bahwa perbedaan kepribadian siswa secara statistik tidaklah mempunyai perbedaan yang signiikan terhadap kemampuan berbicara bahasa inggris mereka. Karenanya siswa sanguin ataupun siswa plegmatik dapat berbicara bahasa inggris lebih baik dengan cara belajar mereka sendiri. Key Words: English Speaking Skill, Sanguine Personality, and Phlegmatic Personality 559 Introduction English as a compulsory subject to learn in formal school in Indonesia was concentrated on the four skills: listening, speaking, reading, and writing. Beside that, one of the four skills which play a signiicant role in mastering English is speaking. As a skill, speaking is the most used skill by people rather than the three other skills. According to Richards, “Learners consequently often evaluate their success in language learning as well as the effectiveness of their English course on the basis of how well they feel they have improved in their spoken proiciency.”2 From the statement, the writer would say that most language learners study English in order to develop proiciency in speaking. Besides, many language learners regard speaking ability as the measure of knowing a language. These learners deine luency as the ability to converse with others, much more than the ability to read, write, or comprehend oral language. They regard speaking as the most important skill they can acquire, and they assess their progress in terms of their accomplishments in spoken communication. If we consider the reaction of various persons to the same experience, we will ind that it is different degrees of excitability, is what we call “temperament.” According to Socrates, one of the most renowned of the Greek sages, there are four temperaments: the sanguine, the choleric, the melancholic, and the phlegmatic. The irst two are also called extroverts which have active trait, and the last two are introverts which have passive trait. The active trait and the passive trait affect an individual willingness to speak, of course the extrovert students are more talkative than the introvert students which rather like to keep silent. As English teacher, we are required to understand students through their personality. And in this case, the discussion merely narrowed to the sanguine and the phlegmatic. Based on the theory, the sanguine students including their traits generally have a potency to be better in speaking ability than the phlegmatic students with their special traits. To test the theory, the students with the sanguine and the phlegmatic personality will be compared by their English speaking score which describe their competence in speaking. Speaking Skill Speaking is signiicant to an individual’s living processes and experiences as are the ability of seeing and walking. Speaking is also the most natural way to communicate. Without speaking, people must remain in almost total isolation from any kind of society. For most people, the ability to speak a language is the same with knowing 560 a language since the speech is the most basic means of human communication. Speaking is signiicant to an individual’s living processes and experiences as are the ability of seeing and walking. Speaking is also the most natural way to communicate. Without speaking, people must remain in almost total isolation from any kind of society. For most people, the ability to speak a language is the same with knowing a language since the speech is the most basic means of human communication. According to Noah Webster, speaking has a variety of meanings: a To tell, to say, to make known or as by speaking, to declare; to announce b To proclaim; to celebrate c To use or be able to use a given language in speaking d To address. Meanwhile, Henry G. Tarigan deines that, “…speaking is a skill of conveying words or sounds of articulation to express or to deliver ideas, opinions, or feelings”.29 Don Bryne states that, “oral communication or speaking is a two way process between speaker and listener and involves the productive skill of speaking and the receptive skill of understanding”.30 Based on the previous four deinitions, it can be synthesized that speaking is the process of sharing with another person, or with other persons, one’s knowledge, interests, attitudes, opinions or ideas. Delivery of ideas, opinions, or feelings is some important aspects of the process of speaking which a speaker’s idea become real to him and his listeners. Sanguine personality The cheerful sanguine is temperament which a warm, vibrant, lively and “fun”. He can receive all the circumstances, and the impressions that seen can be easily affected his heart that quickly responded. His decisions are more determined by feeling than thinking. The Sanguine type requires a great deal of personal space and cannot tolerate restrictions of personal freedom. While usually not bossy, they cannot tolerate being bossed and always want to work on their own terms. They like the outdoors and physical activity. They often act before they think, not naturally thinkers. They are acquisitive, territorial, and action oriented. The sanguine is the creative, fun-loving, high-spirited sanguines’natural tendency to look on the bright side, to enjoy people, and to seek out adventure sometimes results in a label of supericiality and frivolity, more joyful place because of the inspiration, enthusiasm, and fellowship he provides. 561 The sanguine person is carefree and full of hope; attribute great importance to what ever he may be dealing with at the moment, butmay have forgotten all about it the next. He means to keep his promisesbut fails to do so because he never considered deeply enoughbeforehand whether he would be able to keep them. He is good-natured enough to helps others but is a bad debtor and constantly asks for time to pay. He is very sociable, given to pranks, contented, does not take anything very seriously, and has many, many friends. He is not vicious but dificult to convert from his sins; he may repent but this contritionwhich never becomes a felling of guilt is soon forgotten. He is easily fatigued and bored by work but is constantly engaged in mere games – these carry with them constant change, and persistence is not his forte. The Strength of the Sanguine Students The points below are from the book of ‘Personality Plus’ authored by Florence Littaure, they are traits which appear in variety of quantity. A trait is the representative of personality structure,12 as Springer deined. All the structures construct a personality. The traits may not ind totally once in a while. Animated Delightful Playful Cheerful Sociable Inspiring Convincing Demonstrative Refreshing Mixes-easily Spirited Talker Promoter Lively Spontaneous Cute Optimistic Popular Funny Bouncy Strengths of a Sanguine The Extrovert | The Talker | The Optimist The Sanguine’s Emotions The Sanguine At Work • Appealing personality • Volunteers for Jobs • Talkative, Storyteller • Thinks up new activities • Life of the Party • Looks great on the Surface • Good sense of humor • Creative and colorful • Memory for color • Has energy and enthusiasm 562 • Physically holds on to listener • Starts in a lashy way • Emotional and demonstrative • Inspires others to join • Enthusiastic and expressive • Charms others to work • Cheerful and bubbling over • Curious The Sanguine As A Friend • Good on stage • Makes friends easily Wide-eyed and innocent • Loves People • Lives in the present • Thrives on compliments • Changeable disposition • Seems exciting • Sincere at heart • Envied by others • Always being a child • Doesn’t hold grudges Apologizes quickly The Sanguine As A Parent • Prevents dull moments • Makes Home Fun • Likes spontaneous activities • Is liked by children’s friends • Turns disaster into humor • Is the circus master The strength of the sanguine is his ability to “live in the present moment”; he has a very optimistic, joyful attitude toward life. The sanguine is often adventuresome, enterprising, and creative - and is a source of inspiration to others.14 A person with a sanguine temperament is affectionate, loving, cheerful, optimistic, hopeful, and conident. The Sanguine has more natural inner-beauty qualities than the other temperaments. They can work on calmness and on controlling their tongue. They are emotional and demonstrative by nature. At work they provide a positive atmosphere and often volunteer to help out. Their creative and enthusiastic energy can inspire others. The sanguine child learns quickly, although he might have dificulty memorizing. Continually discovering some new interest, sanguine can ind it dificult to attain great depth in one area of study. It is not that they do not have the intellectual capacity, but rather that their attention is so easily captured by something new. The Weakness of the Sanguine Students Traits below are the negative of the sanguine in some ways of the student type when he interacts in school environment. Florence Littaure mentioned the traits as follow: Brassy Wants credits Undisciplined Talkative Repetitious Disorganized 563 Forgetful Inconsistent Interrupts Messy Unpredictable Show-off Haphazard Loud Permissive Scatter brained Angered easily Restless Naïve Changeable15 Weaknesses of a Sanguine The Sanguine’s Emotions The Sanguine At Work • Compulsive talker • Would rather talk • Exaggerates and elaborates • Forgets obligations • Dwells on trivia Doesn’t follow through • Good sense of humor • Conidence fades fast • Scares others off • Undisciplined • Too happy for some • Priorities out of order • Has restless energy • Decides by feelings • Egotistical • Easily distracted • Blusters and complains • Wastes time talking • Naive, gets taken in • Has loud voice and laugh The Sanguine As A Friend • Controlled by circumstances • Hates to be alone • Gets angry easily • Needs to be center stage • Seems phony to some • Wants to be popular • Never Grows Up • Looks for credit Dominates conversations The Sanguine As A Parent • Interrupts and doesn’t listen • Keeps home in a frenzy • Answers for others • Forgets children’s appointments • Fickle and forgetful • Disorganized Makes excuses • Doesn’t listen to the whole story Repeats stories Weaknesses of the sanguine temperament include the tendency toward supericiality, inconstancy, and sensuality because he places such a high value on relationships and pleasing others, he often tempted to forsake what he knows is right in order to it in with the crowd. Sanguine are frequently not disciplined, and this is, of course, very dificult for the third personality type called melancholy to understand. Sanguine wear their “heart on their sleeve”, but they very easily “forgive and forget”. They are emotional and demonstrative by nature, but can tend towards arrogance and self-indulgence. At work they can be day dreamers and battle to complete work, juggling many 564 tasks at once. They tend to lose focus on the task when the novelty wears off. From all description about the sanguine personality, we can look at the examples of the famous sanguine actors such as Tukul Arwana, Indra Bekti, Paris Hilton, etc. By knowing these famous people, it makes our understanding easier to draw and remind the personality of the sanguine in our mind. Phlegmatic Personality The Phlegmatic is the peaceful person who wants to stay out of trouble, keep life on an even plane and get along with everybody. Phlegmatic like to rest and show steadiness. Phlegmatic also a very calm and relaxed so that he never seemed bothered, how ever the circumstance of his surroundings. He’s hard to angry and rarely to vent his temper. The phlegmatic is Peaceful Person, Born-follower, Likes harmony and rest, Loves to relax, Wants to calm people down, Gets along with everyone, Needs peace and sense of worth, Has little self- motivation, Getsdepressed over conlict, Controls by procrastination. Phlegmatic are reserved, prudent, sensible, relective, respectful, and dependable. They are not easily insulted or provoked to anger, nor are they given to exuberance or exaggeration in speech. They are loyal and committed, tolerant and supportive. They possess a hidden will of iron that is often overlooked, because they are such agreeable people. They have a knack for diffusing tense situations. Phlegmatic make superb diplomats and military strategists. They also make excellent ireighters, police oficers, and military oficers; they excel in professions where being calm under pressure is key. The following are the explanation to the fundamental phlegmatic traits that should be considered in understanding the phlegmatic personality. The Strength of the Phlegmatic Students Adaptable Diplomatic Peaceful Consistent Submissive Inoffensive Controlled Dry humor Reserved Mediator Satisied Tolerant Patient Listener Shy Contented 565 Obliging Pleasant Friendly Balanced20 The 20 traits above are still based on Florence Littauer. Through points, the phlegmatic personality can be observed simply. The following are some strengths of phlegmatic personality: Strengths of a Phlegmatic The Introvert | The Watcher | The Pessimist The Phlegmatic’s Emotions The Phlegmatic At Work • Low-key personality Competent and steady • Easygoing and relaxed Peaceful and agreeable • Calm, cool and collected • Has administrative ability • Patient well balanced • Mediates problems • Consistent life • Avoids conlicts • Quiet but witty • Good under pressure • Sympathetic and kind • Finds the easy way • Keeps emotions hidden • Happily reconciled to life ThePhlegmatic As A Friend • All-purpose person • Easy to get along with Pleasant and enjoyable The Phlegmatic As A Parent Inoffensive • Makes a good parent Good listener • Takes time for the children • Dry sense of humor • Is not in a hurry • Enjoys watching people • Can take the good with the bad • Has many friends • Doesn’t get upset easily Has compassion and concern They are known for their easy-going nature. They possess a great deal of common sense and mental balance. They are excellent listeners and have great empathy for others. They are supportive friends, patient with dificult people and situations, and considerate at all times. On the job, phlegmatic are dependable, punctual, and orderly; they can bring harmony to almost any group. Everyone loves the low- key nature of the inoffensive phlegmatic, and though they are not loud like the Sanguine, they do have a witty sense of humor. They often lean while standing and sit in comfortable recliner chairs if at all possible. Conrad Hock said in his book called ‘The Four Temperament’ that there are many bright sides of the phlegmatic temperaments, those are: 1. The phlegmatic works slowly, but perseveringly, if his work does not require much thinking. 566 2. He is not easily exasperated either by offenses, or by failures or sufferings. He remains composed, thoughtful, deliberate, and has a cold, sober, and practical judgment. 3. He has no intense passions and does not demand much of life. The Weakness of the Phlegmatic Students Numerous traits below are the simple descriptions to know about the weaknesses of the phlegmatic personality. Florence Littaure mentioned the traits are: Blank Worrier Unenthusiastic Timid Reticent Doubtful Fearful Indifferent Indecisive Mumbles Uninvolved Slow Hesitant Lazy Plain Sluggish Aimless Reluctant Nonchalant Compromising Weaknesses of a Phlegmatic The Phlegmatic’s Emotions The Phlegmatic At Work • Unenthusiastic • Not goal oriented • Fearful and worried • Lacks self motivation • Indecisive • Hard to get moving • Avoids responsibility • Resents being pushed • Quiet will of iron • Lazy and careless • Selish • Discourages others • To shy and reticent • Would rather watch • Too compromising • Self-righteous ThePhlegmatic As A Friend Dampens enthusiasm The Phlegmatic As A Parent • Stays uninvolved • Lax on discipline • Is not exciting • Doesn’t organize home • Indifferent to plans • Takes life to easy Judges others Sarcastic and teasing Resists change Several kinds of description about the phlegmatic main weakness traits is written through points, they are: 1. He is very much inclined to ease, to eating and drinking; is lazy 567 and neglects his duties. 2. He has no ambition, and does not aspire to lofty things, not even in his piety. The phlegmatic is a super introvert. It is dificult to rouse them to action. At times they can be selish and stubborn. On the job, they do not seek out the power or the limelight,25 because of their reserved natures, phlegmatic are sometimes accused of being unassertive, or of lacking enthusiasm and spontaneity. The phlegmatic is known for avoiding things: conlict among people. The phlegmatic might defer to peer pressure in order to keep the peace or to avoid conlict. Research Methodology The approach of the research is a quantitative research which implements the testing of theory, quantitative research generates statistics through the use of large-scale survey research, using instruments such as questionnaires and structured interviews. The technique of analyzing data is the use of comparative analysis. The research may be about two similar things that have crucial differences. The things may not correlate each other. Comparative analysis ideals for someone who needs to hold a research in getting the problem belonged to two or more independent variables. Husein Umar stated the research to the group of empirical studies where the researcher cannot control the independent variable because the problem happened, or characteristics cannot be manipulated. Comparative analysis technique is one of quantitative analysis technique or one of statistical technique that can be used to test hypothesis concerns about whether or not there is a difference between or among variable tested. If the difference is found, researcher will need to ensure whether it is signiicant or only by chance.3 It makes the data and the result could be more objective. The technique of collecting data is the use of personality test which identiies students’ personality through examining personality based on list of traits. It is suitable to classify personalities for the reason that the test is taken from standardized assessment written by Florence Littauer. The test is arranged based on the 40 question numbers from all four personalities; sanguine, choleric, melancholic, and phlegmatic. Research Finding The following two tables are the students who have been categorized to the sanguine and the phlegmatic personality. They are the students who become the research object and the following are their 568 English speaking scores which was obtained from their performance. The Sanguine Students The second Grade of SMP Wijayakusuma No Name Speaking Score 1 Student 1 60 2 Student 2 65 3 Student 3 60 4 Student 4 60 5 Student 5 70 6 Student 6 75 7 Student 7 70 8 Student 8 65 9 Student 9 70 10 Student 10 78 11 Student 11 80 12 Student 12 70 Average 68.58 The Phlegmatic Students The second Grade of SMP Wijayakusuma No Name Speaking Score 1 Student 13 70 2 Student 14 70 3 Student 15 65 4 Student 16 60 5 Student 17 60 6 Student 18 75 7 Student 19 75 8 Student 20 65 9 Student 21 60 10 Student 22 60 11 Student 23 60 12 Student 24 60 Average 65.00 569 The 24 students are the sanguine students and the phlegmatic students. From the total number of students at second grade, the researcher has tested 70 students from the second grade population. The other 46 students belong to the other personalities and their combination. They are neither the sanguine students nor the phlegmatic students. Percentage Range of Sanguine Students No CS F P 1 The high score 1 8.33 2 The middle score 11 91.66 3 The low score Total 12 100 Percentage Range of Phlegmatic Students No CS F P 1 The high score 2 The middle score 12 100 3 The low score Total 12 100 CS = Classiication of Scores F = Frequency P = Percentage Conclusion This research seems not completely break the theory on the concept of personality that the sanguine is better than the phlegmatic in speaking. The sanguine tends to speak vocally. He likes to be a good speaker through his talker soul. In contrary the phlegmatic does not really like to speak and he likes to be a good listener. The data interpret that the sanguine students get higher average English speaking score and the phlegmatic students have lower average score. The sanguine students do not always possess higher competency of English speaking skill which is because of his natural willingness to speak than the phlegmatic students. Sometimes the introvert student may overlap the extrovert students. Through sequence of calculation at the previous chapter the hypotheses of the research shows that the 570 Null Hypotheses Ho which states “there is no difference in English speaking ability between the sanguine and the phlegmatic students” is accepted. It means that the students’ personality has no statically signiicant difference to the students’ English speaking score. The possibility of error in this research may be highlighted from the decision taking while the students are doing the personality test and there is also the possibility of inappropriateness on giving score which is inluenced by the students, they might not show their best ability in English speaking performance at that time. References Allen, Steve, How to Make a Speech, New York: McGraw-Hill, 1986. Allport, G. W., Personality: a psychology interpretation, New York: Henry Holt Co., 1937. Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi aksara, 2003. Bennet, Art LMFT and Bennet, Laraine, The Temperament God Gave You, Manchester, New Hampshire: Shopia Institute Press, 2005. Byrne Donn, Teaching Oral English, New York: Longman, 1998. Celce-Murcia, Marianne, Teaching English As A Second or Foreign Language , Boston: Heinly and Heinle, a Division of Thomson Learning, Inc.2001. Eysenck, Hans, Fact and Fiction in Psychology, Baltimore: Penguins Book. 1965. Fauziati, Endang, Testing Speaking Skill, A paper of the49th International TEFLIN Conference, English: A Prerequisite for Global Communication , Denpasar: English Department, Faculty of Letters, Universityof Udayana. Hall, Calvin Springer and Linzey, Gardner, Theories of Personality. 3rd ed. , Toronto: John Wiley Sons, Inc., 1987. Harris, David P, Testing English as A Second Language, New York: McGraw-Hill Book Company, 1969. Hock, Rev. Conrad, The Four Temperaments, Wisconsin: Catholic Apostolate Press Milwaukee, 1934. Larsen, Randy J. and Buss, David M., Personality Psychology, 2nd ed., New York: McGraw-Hill, 2005. Littaure, Florence, Personality Plus, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996. Lundin, Robert W, Personality, A Behavioral Analysis, London: The 571 macmillan Company, Collier-Macmillan Limited, 1969. Mc Donough, Jo and Shaw, Christopher, Material and methods in ELT; a Teacher’s Guide , Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1993. Premuzic, Thomas Chamorro and Furnham, Adrian, Personality and Intelectual Competence , New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publisher, 2005. Riyanti, Rahayu Dwi, dkk, Cross Cultural Understanding, Universitas Terbuka, 2007. Sarwono, Sarlito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh- tokoh Psikologi, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2002. Scrivener, Jim, Learning Teaching: A Guidebook for English language Teachers. The Teacher Development Series , Oxford: Heinemann ELT, 1994. Sukmadinata, Nana Syaodih, landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian , Jakarta: PT. Raja Graindo Persada, 2007. Sudijono, Drs. Anas, Pengantar Satistik Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Graindo Persada, 1995. Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta, 2008. Tarigan, Henry G, Berbicara Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1981. 572 PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU BAHASA INGGRIS MEMANFAATKAN PERMAINAN KOMUNIKATIF MELALUI SUPERVISI KLINIS DI SMPN 2 BATIPUH Lastrawati Pengawas SLTPSM Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat Abstrak : Peningkatan Kemampuan Guru Bahasa Inggris Dalam Memamfaatkan Permainan Komunikatif Dalam Pembelajaran Melalui Supervisi Klinis Di SMPN 2 Batipuh adalah sebuah penelitian tindakan sekolah yang dilatar belakangi oleh upaya peningkatan kinerja guru oleh pengawas dalam melaksanakan profesinya. Permasalahanya adalah Apakah kemampuan guru bahasa Inggris dalam mempergunakan permainan komunikatifdapat meningkat melalui supervisi klinis ? Setelah kegiatan penelitian dilaksanakan ternyata kemampuan guru dalam menggunakan permainan meningkat menjadi lebih baik. Dengan demikian peneliti merekomendasikan agar supervisi klinis dapat digunakan untuk meningkat kemampuan guru dalam mengajar. Kata kunci: supervisi klinis, kemampuan guru, permainan komunikatif Pendahuluan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dan Peraturan Mentri Dinas Pendidikan NasionalNomor 41 tahun 2007 menyatakan guru memerlukan strategi baru terutama dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang sebelumnya lebih banyak didominasi oleh peran guru teacher centered hendaknya diperbaharui dengan sistem pembelajaran yang berpusat pada peserta didik student centered . Dalam implementasi KTSP guru harus mampu memilih dan menerapkan model, motode atau setrategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, materi sehingga mampu mengembangkan daya nalar peserta didik secara optimal. Dengan demikian dalam pembelajaran, guru tidak hanya terpaku dengan pembelajaran di dalam kelas dengan mengunakan teknik 573 yang konvensional, melainkan guru harus mampu melaksanakan pembelajaran dengan motode yang variatif. Disamping itu sesuai dengan pendekatan PAIKEM Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan, guru harus mampu melibatkan peserta didik dalam pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan PAIKEM yang memungkinkan bisa mengembangkan kreativitas, motivasi dan partisipasi peserta didik dalam pembelajaran adalah dengan memanfaatkan permainan yang komunikatif sebagai sumber belajar . Dari hasil pantauan peneliti selaku pengawas sekolah, selama ini kemampuan guru dalam menggunakan permainan komunikatif rendah. Permainan komunikatif belum digunakan oleh sebagai sumber belajar untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam proses mengajar. Sebagai seorang guru menganggap permainan komunikatif tidak efektif untuk meningkat keberhasilan peserta didikdalam pembelajaran dan diangggap tidak bisa peserta didik meningkatkan hasil belajar. Seperti observasi awal yang dilakukan di SMPN 2 Batipuh , guru- guru di sekolah tersebut tidak memanfaatkan permainan komunikatif yang ada disekitar peserta didik sebagai sumber belajar . Guru lebih sering menyajikan pelajaran di dalam kelas dengan ceramah atau dan tanya jawab dengan peserta didik. Dari wawancara yang dilakukan peneliti, sebagian besar guru mengaku enggan mengajak peserta didik belajar dengan memamfaatkan permainan komunikatif karena guru menganggap permainan tidak efektif untuk mencapai keberhasilan peserta didik , disamping itu , alasan guru susah untuk diterapkan dalam PBM karena kelas sering ribut PBM.dan banyak guru menyatakan tidak mampu mencari atau memamfaatkan permainan komunikatif untuk dalam kelas karena keterbatasan waktu karena menyatakan banyak jam mengajar. Untuk mengatasi hal tersebut peneliti tertarik untuk memecahkan masalah guru ini dengan supervisi klinis. Dimana melalui supervisi klinis ini guru dan pengawas bisa mendiskusikan permasalahan guru dalam mengajar , dan dalam supervisi klinis pengawas sebagai peneliti berbagi pengalaman dalam memamfaatkan permainan komunikatif sebagai sumber berlajar yang dapat meningkatkan kemapuan guru dalam melibatkan peserta didiknya dalam pembelajaran. Melalui supervisi klinis tersebut guru dan peneliti, guru dengan guru dapat mendiskusikan masalah pemanfaatan permainan komunikatif sebagai sumber belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan supervisi klinis memiliki dampak yang amat positif bagi guru yang tingkat pengalamannya rendah maupun yang tingkat pengalamannya tinggi. 574 Kemampuan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Seorang guru merupakan ujung tombak berlansungnya kegiatan pembelajaran, sehingga memiliki peran dan fungsi penting sebagai sumber belajar dan bahkan sering mendominasi proses transformasi nilai ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Selanjutnya ada beberapa pendapat para ahli dalam Khalifah 2009, mereka menyatakan bahwa seorang guru yang dicintai seharusnya melakukan dan memikili hal sebagai berikut: menjadikan pengajaran sesuatu yang dirindukan, menguasai dengan sangat baik materi pelajaran yang menjadi spesiikasinya, mampu berbicara dengan semangat dan penuh antusiasme, memotivasi dan mensupport murid- muridnya, memberikan kesempatan kepada murid untuk berdiskusi dan bertanya menjelaskan pelajaran dengan gambling dan menggunakan contoh, memiliki jiwa humoris, penjelasannya mudah dipahami, tidak melukai hati muridnya, emberikan jawaban- jawaban yang masuk akal, kata-katanya mampu memberikan kenyamanan dalam jiwa, memiliki keterampilan yang dalam mengajar, memiliki jiwa yang memikat dan melam menjelaskan pelajaran, mampu beriteraksi baik dengan murid- muridnya. Semua ini juga berhubungan dengan Peraturan Mentri Dinas Pendidikan Nasional Nomor 16 2007 seorang guru yang professional harus memiliki yaitu : kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional . Dimana standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuhdari empat kompetensi utama tersebut. Keempat kompetensitersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Pada kopetensi pedagogik seorang guru seharusnya menguasai karak- teristik peserta didikdari aspek isik, moral, spiritual, sosial,kultural, emosional,dan intelektual, menguasai teori belajar dan prinsip- prinsip pembelajaran yang mendidik, memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, melakukan tindakan relektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Sedangkan pada kopetensi kepribadian seorang guru harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, so-sial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi pesertadidik dan masyarakat.menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakh-lak mulia, dan te-ladan bagi peserta didik dan masyarakat. Menunjukkan etoskerja, tanggung jawab yang tinggi,rasa bangga menjadi guru, dan rasapercaya diri. Menjunjung tinggi kode etik profesiguru. Selanjut kopentensi sosial seorang guru seharusnya bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi isik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi berkomunikasi secara efektif, empatik,dan santun 575 dengan sesama pendidik,tenaga kependidikan,orang tua, dan ma- syarakat, Beradaptasi di tem-pat bertugas di se-luruh wilayah Republik Indonesia yangmemiliki keragam-an sosial budaya, Berkomunikasi dengan komunitas pro-fesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Terakhir kompetensi profesional dimana seorang guru seharusnya menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yangdiampu, Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan relektif. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Permainan komunikatif dalam pembelajaran Bahasa Inggris Hakikat permainan komunikatif Banyak para ahli yang mendeinisikan tentang permainan. Hardield 1989:4 menyatakan bahwa permainan itu adalah sebuah kegiatan yang punya aturan, tujuan dan kegiatan yang menyenangkan. Dia juga menambahkan permainan itu ada dua macam yaitu : competitive game permainan kompetitif dan cooperative game permainan koperatif, competitive game permainan kompetitif adalah permainan yang pemainnya atau tim tersebut harus menjadi yang pertama untuk mencapai tujuan sedangkan cooperative game permainan koperatif adalah permainan yang mana pemainnya atau timnya bekerja sama untuk mencapai tujuan umum. Berdasarkan defenisi permainan diatas dalam pengajaran bahasa , permainan adalah suatu kegiatan yang berisi atmosir yang menyenangkan, menghibur, komunikatif, kompetitif dan butuh pemahaman untuk mencapai suatu sebuah target. Ini juga didukung oleh pendapat Uberman 1998: 28 bahwa permainan itu tidak hanya lucu tetapi bisa menolong pengertian peserta didik dalam proses belajar mengajar untuk menguasai bahasa sebagai penguna bahasa kedua maupun sebagai bahasa asing. Selanjutnya Morrow di Freeman 1985:132 juga menyatakan ada jenis permainan yang lain seperti permainan komunikatif. Menurut dia permainan komunikatif adalah permainan yang bisa membuat peserta didik berbicara dan permainan yang member peserta didik latihan yang komunikatif dan bernilai. Kemudian dia menambah ada tiga ciri – ciri permainan komunikatif yaitu adanya : information gap, pilihan dan umpan balik. Jadi dari penyataan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak semua permainan yang komunikatif. Sehubungan dengan permainan komunikatif ini Gibbon di Herrel 2000:38 mendeinisikan “communicative games are activities set up in 576 the classroom for the purpose of creating opportunities and purposes for verbal communication practices.”Disini terlihat bahwa permainan komonikatif adalah permainan yang bisa menciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk berbicara dikelas bahasa Inggris. Manfaat permainan komunikatif Ada beberapa manfaat permainan komunikatif yang dinyatakan oleh parah ahli. Shameem 1999 mengatakan permainan komunikatif membuat peserta didik senang dalam belajar dan ada interaksi antara siswa, peserta didik dan guru. Kemudian Herell 2004:41 menyatakan permainan komunikatif juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melatih bahasa Inggris mereka, dan disamping itu Permainan komunikatif juga menurun stress peserta didik dalam belajar. Dia juga menambahkan permainan komunikatif bisa membuat peserta didikbekerja sama dan berkomunikasi satu sama lain dalam memecahkan permasalahan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Freeman 1985: 136 yang menyatakan “ communicative game make students and ind them enjoyable and give valuable communicative practice”. Dari para ahli seperti Kim, lee Su 1995, Leggeng and Marcher1997, Uberman 1998, Ersoz 2000, Huyen 2003 Meir 2005:206 dapat diambil kesimpulan mamfaat permainan komunikatif sebagai berikut: meningkatkan kemampuan berbicara, melibatkan peserta didik dalam belajar, meningkatkan interaksi peserta didik antar siswa, meningkatkan percaya diri peserta didik dalam berbicara, meningkatkan motivasi peserta didik dalam belajar, membuat peserta didik puas dalam belajar bahasa Inggris Macam – macam permainan komunikatif Berdasarkan pendapat para ahli, permainan komunikatif yang peneliti maksud dalam penelitian adalah : a. Hot candy, b. Hot board marker, c. Ls’ card, d. Guessing word seperti : Who am I, guessing picture, dan guessing word. Hot candy dan hot board marker adalah permainan yang peneliti ciptakan sewaktu menjadi guru bahasa Inggris. Permainan ini tujuannya untuk membuat peserta didik terlibat dalam pembelajaran students’ oriented dan langkahnya sebagai berikut:1.Guru menyampaikan Standar Kompetensi, Kopetensi Dasar, 2. Peserta didik duduk dalam bentuk Letter U atau L atau setengah lingkaran,3. Peserta didik pertama diberi candypermen atau bord marker spidol, 4. Setelah itu music dibunyikan melalui HP, dan permen atau spidol tadi harus diberikan kepada teman sebelahnya. 5. Kemudian bila music berhenti maka permen atau spidol juga berhenti, dan dimana dia berhenti maka peserta didik yang pegang permen atau spidol tersebut 577 harus melakukan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan atau berdasarkan kesepakatan yang dibuat sebelum permainan dimulai. Ls’ card juga suatu permainan kartu yang diciptakan oleh peneliti .ia berupa kartu yang terdiri dari huruf yang berasal dari nama seseorang atau orang terkenal dan huruf itu harus ditebak oleh peserta didik berdasarkan deskripsi yang sudah disediakan. Langkah- langkahnya seperti berikut:1. Sampaikan Standar Kopentensi, Kopentensi dasar, dan indicator, 2. Bagi mereka berkelompok ,3. Sampaikan mereka main LS’card , 4. Berikan peraturannya , 5. Panggil ketua kelompok untuk membacakan kartu , 6. Peserta didik yang menebak kelompok dapat point , 7. Setelah semua kartu terjawab hitung point dan keolmpok yang kalah harus melakukan sesuatu dalam bahasa Inggris. Hakikat Supervisi Klinis Menurut Sudrajat 2008 dan Mukhtar 2009:60 menyatakan bahwa Supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pembelajaran melalui siklus yang sistematis mulai dari tahap perencanaan, pengamatan dan analisis yang intesif terhadap penampilan pembelajarannya dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Piet A. Sahertian 2008 “Supervisi klinis adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus sistematik dalam perencanaan , pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata serta bertujuan mengadakanperubahan dengan cara yang rasional.” Pelaksanaan supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus yang terdiri dari tiga tahap berikut : a. Tahap perencanaan awal. Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: 1 menciptakan suasana yang intim dan terbuka, 2 mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi tujuan, metode, waktu, media, evaluasi hasil belajar, dan lain- lain yang terkait dengan pembelajaran, 3 menentukan fokus observasi, 4 menentukan alat bantu instrumen observasi, dan 5 menentukan teknik pelaksanaan obeservasi. b. Tahap pelaksanaan observasi. Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: 1 harus luwes, 2 tidak mengganggu proses pembelajaran, 3 tidak bersifat menilai, 4 mencatat dan merekam hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran sesuai kesepakatan bersama, dan 5 menentukan teknik pelaksanaan observasi. c. Tahap akhir diskusi balikan. Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: 1 memberi penguatan: 2 mengulas kembali tujuan pembelajaran: 3 mengulas 578 kembali hal-hal yang telah disepakati bersama, 4 mengkaji data hasil pengamatan, 5 tidak bersifat menyalahkan, 6 data hasil pengamatan tidak disebarluaskan, 7 penyimpulan, 8 hindari saran secara langsung, dan 9 merumuskan kembali kesepakatan-kesepakatan sebagai tindak lanjut proses perbaikan. Pembahasan Rekap Hasil supervisi kegiatan pembelajaran pra siklus No Kode guru Hasil 1 1 63,7 2 2 72,6 3 3 71,8 Jumlah rata-rata 69,4 Dari tabel 1 terlihat hasil supervisi kegiatan pembelajaran guru pada pra siklus guru 1 nilainya adalah 63,7 , guru 2 nilainya adalah 72,6 dan guru 3 nilainya adalah 71,8.Secara keseluruhan rata-rata hasil superivisi adalah 69,4. Rekap Hasil supervisi kegiatan pembelajaran siklus I No Kode guru Hasil 1 1 72.6 2 2 81.5 3 3 76.6 Jumlah rata-rata 76.9 Dari tabel diatas hasil kemampuan guru 1 dalam kegiatan pembelajaran adalah 72,6, guru 2 adalah 81.5 dan guru 3 adalah 76.9. Sedangkan rata- rata secara keseluruhan 76,9. Rekap Hasil supervisi kegiatan pembelajaran siklus II No Kode guru Hasil 1 1 77.4 2 2 88.7 3 3 81.5 Jumlah rata-rata 82.5 579 Dari tabel diatas hasil kemampuan guru 1 dalam kegiatan pembelajaran adalah 74.4 , guru 2 adalah 88.7 dan guru 3 adalah 81.5 Sedangkan rata- rata secara keseluruhan 82.5 Diagram 1: Rekap Rata- rata hasil supervisi kegiatan pembelajaran guru dari Pra siklus sd Siklus II Dari diagram diatas dapat dilihat rata- rata hasil supervisi kegiatan pembelajaran guru pada pra siklus adalah 69.3, pada akhir Siklus I adalah 76.9 dan pada akhir Siklus II adalah 82.5. Dan peningkatan kemampuan guru dalam menggunakan permainan komunikatif dalam pembelajaran bahasa inggris juga juga dapat dari diagram batang dibawah ini: Diagram 2: Rekap Rata- rata hasil supervisi kegiatan pembelajaran guru 1.Guru 2.dan guru 3 Mulai Pra siklus sd Siklus II Dari diagram 2, dapat dilihat bahwa ada peningkatan kemampuan guru dalam kegiatan pembelajaran pada setiap siklusnya. Guru 1warna biru pada pra siklus hasilnya adalah 63.7, akhir Siklus 580 1 adalah 72.6 dan akhir siklus II adalah 77.4. Kemudian guru 2 warna merah pada pra siklus hasilnya adalah 72.6, akhir Siklus 1 adalah 81.5 dan akhir siklus II adalah 88.7. terakhir guru 3 warna hijau pada pra siklus hasilnya adalah 71.8, akhir Siklus 1 adalah 76.6 dan akhir siklus II adalah 81.5. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan pemainan komunikatif dan meningkatkan kemampuan guru dalam kegiatan pembelajaran. Ini dilihat dari rekap rata- rata hasil supervisi kegiatan pembelajaran dari pra siklus, siklus I dan siklus II. Dengan supervisi klinis tercipta hubungan yang akrab antara pengawas supervisor dengan guru sehingga dengan terciptanya jembatan hati ini maka guru dalam mengajar penuh percaya diri, dan tidak merasa terbebani sewaktu diamati dalam mengajar. Dan dengan meningkatnya kemampuan guru dalam menggunakan permainan komunikatif melalui supervisi klinis maka kemampuan peserta didik juga meningkat. Peserta didik senang, percaya diri, termotivasi dan tidak lagi malu dalam mengungkapkan idenya dalam belajar bahasa Inggris. Dan disamping itu supervisi klinis sangat bermamfaat untuk pelaksanaan program di sekolah dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dan lingkungan belajar di sekolah menjadi semakin baik yang pada gilirannya kualitas sekolah menjadi semakin baik pula. Daftar Pustaka Brown, H.Dauglas .1994. Teaching by Principle an interactive Approach to pedagogic. New york: Prentice Hall, Inc. Deporter, Bobbi, et.al. 2005. “Mengorkestrasi Kesuksesan Siswa” Quantum Teaching: Mempraktekan Quantum Learning diruang Kelas .Bandung : Kaifa. Freeman,Diane Larsen. 1985. Techniques and Principles in Language Teaching .Hong Kong: Oxford university Press. Gay,L.R And Arasian.peter.2000. Educational Research: Competencies for Analysis and Application . New York: Merill publishing Company Herrel, Adrienne l. 2000.Fifty strategies for teaching English language learners , Columbus : prentice hall,inc. Huyen,nguyen thi thanh and khuat thi thu nga. 2003. From learning vocabulary through Games. Asian EFL Journal. Retrieved July, 25.2007 http:wwwTel games.comwhy.html 581 Johnson, Andrew P. 2005. A short guide to action research. Boston: Pearson Kayi, Hayriye. November 2006. “ Teaching speaking: activities to promote in second language” The Internet TESL Journal, Vol. XII, 11, retrieved mai, 21. 2007. http:iteslj.orgarticlekayi- teaching speaking .html Kim, Lee su . March 1995. “ From creative Games for The Language Class ” English teaching Forum vol 33; 1. http:wwwTel games .comwhy.html Meier, Dave. 2005. The accelarated Learning Hand book: Paduan kreatif dan efektif merancang pendidikan danpelatihan 6th.ed Bandung : Kaifa. Piet.A. Suhertian. 2008. Konsep Dasar dan Teknik supervisi pendidikan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia .Jakarta: Rineka Cipta Shameem, Nikhat and makhan tickoo.1999.New ways in using Communicative Games in language Teaching . Http:tesl-ej.org ej15r12.html retrieved july,23. 2007 Uberman , Agnieszka. March 1998. “From the Use of Games for Vocabulary Presentation and Revision“.English Teaching Forum, 33; 1:20. http:exchange, state.govforumvols.vol36nolp.20.htm 582 MENGUBAH POLA PIKIR GURU Ahmad Royani Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pendahuluan Ada ungkapan yang menyatakan bahwa : “Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup”. Manusia adalah makhluk yang bisa berkembang dan berproduksi. Proses produksi manusia tidak hanya secara kuantitatif tapi juga harus secara kualitatif. Agar perkembangan manusia menjadi manusia itu manusiawi di butuhkan upaya humanisasi. Ada pendapat mengatakan bahwa salah satu upaya untuk memanusiakan manusia adalah melalui proses pendidikan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, jadi dalam kehidupannya dia selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Upaya humanisasi manusia melalui proses pendidikan melibatkan banyak manusia lainnya. Di rumah yang berperan besar adalah orang tua. Di sekolah yang berperan besar adalah para guru, sedangkan di lingkungan masyarakat yang berperan dalam pendidikan adalah teman pergaulannya. Selain itu faktor individu juga berperan juga menentukan hasil dari upaya tersebut. Dalam proses pendidikan, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan ini dibutuhkan untuk dapat mengatasi masalah-masalah pendidikan termasuk kelancaran proses pendidikan. Guru sebagai actor utama dalam proses pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Konsep Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. Mendidik adalah membantu anak dengan sengaja dengan jalan membimbing, membantu dan memberi pertolongan agar ia menjadi manusia dewasa, susila, bertanggungjawab dan mandiri. Dewasa yang dimaksud adalah: • Dewasa pedagogis menyadari dan mengenali diri sendiri atas tanggung jawab sendiri • Dewasa biologis mampu mengadakan keturunan 583 • Dewasa psikologis fungsi kejiwaan telah matang • Dewasa sosiologis telah memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telah ditentukan masyarakat Pandangan tersebut memberi makna bahwa pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Ada beberapa konsep dasar tentang pendidikan, yaitu: 1. Pendidikan berlangsung seumur hidup lifelong education. 2. Keluarga, masyarakat dan pemerintah bertanggungjawab atas pendidikan. 3. Pendidikan merupakan keharusan. Pendidikan pada hakikatnya mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu pendidikan erat kaitannya dengan pengajaran dan pelatihan. • Pendidikan = kegiatan mengolah hati anak didik. • Pengajaran = kegiatan mengolah otak anak didik. • Pelatihan = kegiatan mengolah lidah dan tangan anak didik. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai usaha mentransformasikan nilai-nilai yaitu mencakup nilai-nilai religi, budaya, pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Dalam dunia pendidikan kemudian tumbuh konsep pendidikan seumur hidup long life education yang berarti pendidikan berlangsung sampai mati, yaitu pendidikan berlangsung seumur hidup dalam setiap saat selama ada pengaruh lingkungan. Untuk memberi pemahaman akan batasan pendidikan berikut ini dikemukakan sejumlah batasan pendidikan yang dikemukan para ahli yaitu : 1. Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991 . 2. Dalam pengertian yang sempit pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan McLeod, 1989. 3. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di 584 sekolah sebagai lembaga pendidikan formal Mudyahardjo, 2001:6 4. Dalam arti luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Artinya pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya Poerbakawatja dan Harahap, 1981 . UU SISDIKNAS Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menerangkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sistem pendidikan juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berkeinginan untuk maju. Iklim belajar mengajar yang dapat 585 menumbuhkan rasa percaya diri sendiri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan berorientasi ke masa depan. Hakikat Pendidikan Ketika kita mencari suatu hakikat maka kita akan mulai menyelami sebuah ontologi dalam ilsafat. Dalam membicarakan pendidikan maka kita akan mengenal ilsafat pendidikan yang dalam pembicaraan tentang ilsafat pendidikan tidak dapat dilepaskan dari gagasan kita tentang manusia . Mencari hakikat pendidikan adalah menelusuri manusia itu sendiri sebagai bagaian pendidikan. Melihat pendidikan dan prosesnya kepada manusia, sebetulnya pendidikan itu sendiri adalah sebagai suatu proses kemanusiaan dan pemanusiaan. Istilah kemanusiaan secara leksikal bermakna sifat- sifat manusia, berperilaku selayaknya perilaku normal manusia, atau bertindak dalam logika berpikir sebagai manusia. Pemanusiaan secara leksikal bermakna proses menjadikan manusia agar memeliki rasa kemanusiaan, menjadi manusia dewasa, manusia dalam makna seutuhnya. Artinya dia menjadi riil manusia yang mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara penuh sebagai manusia Hakikat Pendidikan itu sendiri lebih berorientasi kepada terbentuknya karakter kepribadianjati diri seseorang. Setiap tahapan pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan saksama sehingga menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar dari karakter ada dalam cara berikir dan cara merasa seseorang. Sebagaimana diketahui, manusia terdiri dari tiga unsur pembangun yaitu hatinya bagaimana ia merasa, ikirannya bagaimana ia berikir dan isiknya bagaimana ia bersikap. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk membentuk atau merubah karakter juga harus dilakukan dengan menyentuh dan melibatkan unsur-unsur tersebut. Pendekatan Pendidikan Pendekatan pendidikan menurut paham kognitif. menurut Piaget Hetherington Parke, 1975 menyebutkan bahwa ” kognitif adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian di sekitarnya”. Pieget memandang bahwa anak memainkan peran aktif di dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas, anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya walaupun proses berpikir dan konsepsi anak mengenai realitas telah 586 dimodiikasi oleh pengalamannya dengan dunia sekitar dia, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh dari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi. Pengertian kognitif menurut Menurut Chaplin 2002 Menurut Chaplin 2002 dikatakan bahwa “kognisi adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk mengenal, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai. Teori Belajar Penemuan Discovery Learning. Teori ini disampaikan oleh Jerome Bruner 1966. Merupakan suatu pendekatan dalam belajar, dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan. Ide dasar dari teori ini adalah siswa akan mudah mengingat suatu konsep jika konsep tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar penemuan. Prinsip belajar : selidikiinquiri dan temukandiscovery. Hakikat Belajar, Mengajar dan Pembelajaran Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Belajar juga diartikan sebagai aktivitas pengembangan diri melalui pengalaman,bertumpu pada kemampuan diri belaja dibawah bimbingan pengajar Belajar pada hakikatnya merupakan aktivitas yang utama dalam serangkaian proses pendidikan di sekolah. Hal ini dapat dipahami karena berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan adalah dominan bergantung pada bagaimana proses belajar mengajar itu berlangsung. Oleh karena itu proses belajar selalu menjadi sorotan utama khususnya bagi para ahli pendidikan. Namun pada hakikat belajar secara luas tidak hanya diartikan sebagai proses yang berlangsung di sekolah antara pendidik dan peserta didik, melainkan segala sesuatu dalam kehidupan ini yang dapat membuat seseorang yang dahulunya tidak tahu, menjadi tahu. Para ahli psikologi senantiasa berusaha menentukan berbagai fakta atau unsur–unsur pokok dari proses belajar, mengenai hubungannya dengan dasar-dasar psikologi serta kondisi untuk mempertinggi eisiensi belajar. Dalam kaitan ini belajar ditujukan kepada pengumpulan pengetahuan, pemahaman konsep dan kecekatan, pembentukan sikap dan perbuatan. Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan 587 dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit tersembunyi. Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik. Setiap perilaku belajar ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesiik antara lain : • Belajar menyebabkan perubahan yang disadari dan disengaja intensional. • Perubahan yang berkesinambungan continue. • Belajar hanya terjadi dari pengalaman yang bersifat individual atau menghasilkan perubahan yang fungsional. • Belajar merupakan kegiatan yang bertujuan kearah yang ingin dicapai Perubahan yang bersifat positif • Belajar menghasilkan Perubahan yang bersifat aktif • Belajar menghasilkan perubahan yang menyeluruh • Belajar menghasilkan Perubahan yang bersifat pemanen • Belajar menghasilkan Perubahan yang bertujuan dan terarah • Belajar adalah proses interaksi dan belajar berlangsung dari yang paling sederhana sampai pada yang kompleks. Mengajar diartikan sebagai aktivitas mengarahkan,memberikan kemudahan bagaimana cara menemukan sesuatubukan memberi sesuatuberdasarkan kemampuan yang dimiliki pengajar. Mengajar pada hakikatnya merupakan proses transfer atau pengalihan pengetahuan, informasi, norma, nilai dan lain sebagainya dari seorang pengajar kepada peserta didik. Kunci keberhasilan pendidikan adalah keterlibatan penuh peserta didik sebagai warga belajar dalam proses pembelajaran. Keterlibatan yang dimaksud disini adalah “Pengalaman” keterlibatan seluruh potensi dari peserta didik mulai dari telinga, mata, hingga aktivitas dan mengalami langsung. Konsep-konsep yang harus diterapkan di dalam proses mengajar adalah prinsip belajar itu sendiri. Seorang guru akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik apabila ia dapat menerapkan cara mengajar yang sesuai dengan prinsip-prinsip orang belajar. Dengan kata lain supaya dapat mengotrol sendiri apakah tugas-tugas mengajar yang dilakukannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip belajar maka guru perlu memahami prinisp-prinsip belajar itu. Kondisi dan Prinsip Pembelajaran Ada berbagai prinsip belajar yang dikemukan oleh para ahli psikologi pendidikan terjadi dan diikuti dengan keadaan memuaskan maka hubungan itu diperkuat, Spread of effect yaitu emosional 588 yang mengiringi kepuasan itu tidak terbatas kepada sumber utama pemberi kepuasan tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru, law of exercice yaitu hubungan antara perangsang dan reaksi diperkuat dengan latihan dan penguasaan, dan law of primacy yaitu hasil belajar yang diperoleh melalui kesan pertama akan sulit digoyahkan. Prinsip belajar adalah konsep-konsep yang harus diterapkan didalam proses belajar mengajar . Seorang guru akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik apabila ia dapat menerapkan cara mengajar yang sesuai dengan prinsip-prinsip orang belajar. Dengan kata lain supaya dapat mengotrol sendiri apakah tugas-tugas mengajar yang dilakukannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip belajar maka guru perlu memahami prinisp-prinsip belajar itu. Pentingnya guru memahami prinsip dari teori belajar mempunyai alasan yaitu Teori belajar ini membantu guru untuk memahami proses belajar yang terjadi di dalam diri siswa. Dengan kondisi ini guru dapat mengerti kandisi-kondisi dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, memperlancar atau menghambat proses belajar, Teori ini memungkinkan guru melakukan prediksi yang cukup akurat tentang hasil yang dapat diharapkan suatu aktiitas belajar. Teori belajar merupakan sumber hipotesis atau dugaan-dugaan tentang proses belajar yang telah diuji kebenarannya melalui experimen dan penelitian. Dengan mempelajari teori belajar pengertian seseorang tentang bagaimana terjadinya proses belajar akan meningkat , Oleh karenanya sangatlah penting bagi seorang guru untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dari berbagai teori belajar. Ada banyak teori-teori belajar , setiap teori memiliki konsep atau prinsip sendiri tentang belajar. Berdasarkan berbedaan sudat pandang ini maka teori belajar tersebut dapat dikelompokan. Teori belajar yang terkemuka diabad 20 ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu kelompok teori bahaviorisme dan kelompok teori kognitivisme. Menurut kelompok teori behaviorisme, manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang akan memberikan pengalaman-pengalamn belajar. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang terjadi karena adanya stimuli dan respon yang dapat diamati. Menurut teori ini manupulasi lingkungan sangat penting agar dapat diperoleh perubahan tingkah laku yang diharapkan. Teori behaviorisme ini sangat menekankan pada apa yang dapat dilihat yaitu tingkah laku, tidak memperhatikan apa yang terjadi didalam ikiran manusia. Para ahli pendidikan menganjurkan untuk menerapkan prinsip penguatan reinforcement untuk mengidentiikasi aspek situasi pendidikan yang penting 589 dan mengatur kondisi pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa berhasil mencapai tujuan. Dalam menerapkan teori ini yang terpenting adalah guru harus memahami karakteristik si belajar dan karakteristik lingkungan belajar agar tingkat keberhasilan siswa selama kegiatan pembelajaran dapat diketahui. Tuntutan dari teori ini adalah pentingnya merumuskan tujuan belajar secara jelas dan spesiik supaya mudah dicapai dan diukur. Prinsip-prinsip teori behaviorisme beranggapan bahwa Proses belajar dapat terjadi dengan baik bila siswa ikut serta dengan aktif didalam proses belajar mengajar. Materi pelajaran disusun dalam urutan yang logis supaya siswa dapat dengan mudah mempelajarinya dan dapat memberikan respon tertentu pada siswa. Tiap-tiap respon harus diberi umpan balik secara langsung supaya siswa dapat mengetahui apakah respon atau timbal balik yang diberikan oleh siswa telah benar atau salah. Setiap kali siswa memberikan respon yang benar maka ia perlu diberi penguatan. Prinsip-prinsip bihaviorisme diatas telah banyak digunakan dan diterapkan dalam berbagai program pendidikan. Misalnya dalam pengajaran berprogram dan prinsip belajar tuntas mastery learning. Dalam pengajaran berprogram materi pelajaran disajikan dalam bentuk unit-unit terkecil yang mudah dipelajari siswa, bila setiap unit selesai siswa akan mendapatkan umpanbalik secara langsung. Sedangkan dalam mastery learing materi dipecah perunit, dimana siswa tidak dapat pindah keunit di atasnya bila belum menguasai unit yang dibawahnya. Dan Kelompok teori kognitif beranggapan bahwa belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan perseptual untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkahlaku sangat dipengaruhi oleh proses berikir internal yang terjadi selama proses belajar. Prinsip-prinsip teori kognitiisme; menurut teori kognitivisme, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan kontek situasi secara keseluruhan. Maksudnya perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin komplek dan ini memungkinkan kemampuannya meningkat Traves dalam Toeti 1992:28. Oleh karena itu proses belajar seseorang akan 590 mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarkis yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu diluar kemampuan kognitifnya. Sedangkan Menurut Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengetengahkan tentang tujuh prinsip praktik pembelajaran yang baik yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, baik bagi guru, siswa, kepala sekolah, pemerintah, maupun pihak lainnya yang terkait dengan pendidikan. 1. Mendorong Kontak Antara Siswa dan Sekolahan Frekuensi kontak antara guru dengan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas merupakan faktor yang amat penting untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar. Dengan seringnya kontak antara guru-siswa ini, guru dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap siswanya. Guru dapat membantu siswa ketika melewati masa-masa sulitnya. Begitu juga, guru dapat berusaha memelihara semangat belajar, meningkatkan komitmen intelektual siswa, mendorong mereka untuk berpikir tentang nilai-nilai mereka sendiri serta membantu menyusun rencana masa depannya. 2. Mengembangkan timbal balik dan kerjasama antara siswa Upaya meningkatkan belajar siswa lebih baik dilakukan secara tim dibandingkan melalui perpacuan individual solo race. Belajar yang baik tak ubahnya seperti bekerja yang baik, yakni kolaboratif dan sosial, bukan kompetitif dan terisolasi. Melalui bekerja dengan orang lain, siswa dapat meningkatkan keterlibatannya dalam belajar. Saling berbagi ide dan mereaksi atas tanggapan orang lain dapat semakin mempertajam pemikiran dan memperdalam pemahamannya tentang sesuatu. 3. Mendorong pembelajaran aktif Belajar bukanlah seperti sedang menonton olahraga atau pertunjukkan ilm. Siswa tidak hanya sekedar duduk di kelas untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket materi yang telah dikemas guru, atau menjawab pertanyaan guru. Tetapi mereka harus berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka harus menjadikan apa yang mereka pelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri. 4. Umpan balik dan penguatan 591 Siswa membutuhkan umpan balik yang tepat dan memadai atas kinerjanya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari apa yang telah dipelajarinya. Ketika hendak memulai belajar, siswa membutuhkan bantuan untuk menilai pengetahuan dan kompetensi yang ada. Di kelas, siswa perlu sering diberi kesempatan tampil dan menerima saran agar terjadi perbaikan. Dan pada bagian akhir, siswa perlu diberikan kesempatan untuk mereleksikan apa yang telah dipelajari, apa yang masih perlu diketahui, dan bagaimana menilai dirinya sendiri. 5. Menekankan waktu ditugas Waktu dan energi untuk belajar. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi siswa. Siswa membutuhkan bantuan dalam mengelola waktu efektif belajarnya. Mengalokasikan jumlah waktu yang realistis artinya sama dengan belajar yang efektif bagi siswa dan pengajaran yang efektif bagi guru. Sekolah seyogyanya dapat mendeinisikan ekspektasi waktu bagi para siswa, guru, kepala sekolah, dan staf lainnya untuk membangun kinerja yang tinggi bagi semuanya 6. Harapan yang besar Berharap lebih dan Anda akan mendapatkan lebih. Harapan yang tinggi merupakan hal penting bagi semua orang. Mengharapkan para siswa berkinerja atau berprestasi baik pada gilirannya akan mendorong guru maupun sekolah bekerja keras dan berusaha ekstra untuk dapat memenuhinya 7. Menghormati bakat dan cara belajar siswa yang beragam Ada banyak jalan untuk belajar. Para siswa datang dengan membawa bakat dan gaya belajarnya masing-masing Ada yang kuat dalam matematika, tetapi lemah dalam bahasa, ada yang mahir dalam praktik tetapi lemah dalam teori, dan sebagainya. Dalam hal ini, siswa perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatnya dan belajar dengan cara kerja mereka masing-masing. Kemudian mereka didorong untuk belajar dengan cara-cara baru, yang mungkin ini bukanlah hal mudah bagi guru untuk melakukannya. Sedangkan menurut Muhaimin prinsip-prinsip pembelajaran itu ada lima, yaitu : 1. Prinsip kesiapan Proses belajar sangat dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang malakukan kegiatan belajar. Kesiapan belajar adalah kondisi isik-psikis jasmani-mental individu yang memungkinkansubjek dapat melakukan belajar 592 2. Prinsip motivasi Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku kea rah suatu tujuan tertentu. Jadi agar pembelajaran sukses, harus adanya motivasi pada siswwa. Baik itu motivasi internal atau pun eksternal. 3. Prinsip perhatian Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan factor yang besar pengaruhnya. Kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar dapat membuat peserta didik untuk : mengarahkan diri pada tugas yang akan diberikan, melihat masalah-maslah yang diberikan, memilih dan memberikan focus pada masalah yang harus diselesaikan, dan mengabaikan hal-hal lain yang tida relevan. 4. Prinsip persepsikeyakinan Setiap peserta didik memiliki perspsi dan keyakinan yang telah ditanamkan oleh gurunya. Keyakinan akan hakikat bahasa dan pembelajarannya akan tumbuh terus seiring pertumbuhan isik dan psikologis siswa. Mengubah Pola Pikir Guru Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya, bahkan sangat menentukan berhasil – tidaknya peserta didik dalam belajar. Perubahan kurikulum antara lain ingin mengubah pola pendidikan dari orientasi hasil dan materi sebelum kurikulum 2004 ke pendidikan proses KBK, KTSP, dan K13. Oleh karena itu, pembelajaran harus banyak melibatkam peserta didik, agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi, dan kebenaran secara ilmiah Mulyasa, 2006:76. Dalam hal inilah perlunya perubahan pola pikir guru agar meraka mampu menjadi fasilitator dan mitra belajar peserta didiknya. Sehubungan dengan itu, untuk mengoptimalkan perubahan kurikulum yang ada, hal yang paling esensi yaitu mengubah pola pikir guru, sesuai dengan kebutuhan perkembangan jaman. Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus dilatih sebagai fasilitator untuk memberikan kemudahan belajar kepada seluruh peserta didik. Agar mereka dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, dan berani mengemukakan pendapatnya secara terbuka dan pastinya tujuan pembelajaran pun tersampaikan. Semua hal ini merupakan modal dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang siap beradaptasi, menghadapi berbagai kemungkinan, dan memasuki era globalisasi perubahan yang penuh tantangan. 593 Menurut Rogers Mulyasa, 2006:78, guru sebagai fasilitator setidaknya harus memiliki 7 sikap sikap yaitu sebagai berikut. 1. Tidak berlebihan mempertahankan pendapat dan keyakinannya, atau kurang terbuka. 2. Dapat lebih mendengarkan peserta didik, terutama tentang aspirasi dan perasaannya. 3. Mau dan mampu menerima ide peserta didik yang inovatif, kreatif, bahkan yang sulit sekalipun. 4. Lebih meningkatkan perhatian terhadap hubungan dengan peserta didik seperti halnya terhadap bahan pembelajaran. 5. Dapat menerima balikan feedback, baik yang sifatnya positif maupun negatif, dan menerimanya sebagai pandangan yang konstruktif terhadap diri dan perilakunya. 6. Toleransi terhadap kesalahan yang diperbuat peserta didik selama proses pembelajaran. 7. Mengahargai prestasi peserta didik, meskipun biasanya mereka sudah tahu prestasi yang dicapainya. Pembinaan kemampuan profesional guru juga dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada guru untuk melakukan berbagai kegiatan, memberi saran, menegur, membimbing, menjadi wakil sekolah dengan kegiatan ekstrakulikuler dan kegiatan – kegiatan kemasyarakatan. Guru harus memahami materi yang hendak diajarkannya dan mengetahui tentang bagaimana mengolahnya menjadi suatu kegiatan belajar mengajar yang mampu mengembangkan kompetensi siswa- siswanya. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan ke-profesional-an seorang guru. Profesionalisme guru akan dapat berkembang, apabila ia membiasakan diri untuk berunding dan bertukar pikiran dengan siswa,dan terbuka terhadap pendapat mereka, belajar terus dengan membaca literatur yang terkait dengan profesinya, bertukar pikiran dan pengalaman dengan teman guru-guru lainnya atau dengan kepala sekolah. Sikap keterbukaan ini memungkinkannya belajar dari murid, dari buku, dan dari orang lain. Perkembangan profesionalisme akan terbantu bila sekolah secara berkala mengadakan rapat atau diskusi khusus untuk membicarakan hal-hal yang terkait dengan kurikulum serta perbaikannya. Sebagian dari waktu libur sekolah dapat dimanfaatkan untuk membicarakan kekurangan-kekurangan dalam penyelenggaraan kurikulum dan secara bersama. Contoh perubahan pola pikir guru terhadap kurikulum 594 No Kurikulum Lama Kurikulum Baru 1 Materi yang diajarkan ditekankan pada tatabahasastruktur bahasa MMateri yang dijarkan ditekankan pada kompetensi berbahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan dan pengetahuan 2 Siswa tidak dibiasakan membaca dan memahami makna teks yang disajikan Siswa dibiasakan membaca dan memahami makna teks serta meringkas dan menyajikan ulang dengan bahasa sendiri 3 Siswa tidak dibiasakan menyusun teks yang sistematis, logis, dan efektif Siswa dibiasakan menyusun teks yang sistematis, logis, dan efektif melalui latihan-latihan penyusunan teks 4 Siswa tidak dikenalkan tentang aturan-aturan teks yang sesuai dengan kebutuhan Siswa dikenalkan dengan aturan- aturan teks yang sesuai sehingga tidak rancu dalam proses penyusunan teks sesuai dengan situasi dan kondisi: siapa, apa, dimana 5 Kurang menekankan pada pentingnya ekspresi dan spontanitas dalam berbahasa Siswa dibiasakan untuk dapat mengekspresikan dirinya dan pengetahuannya dengan bahasa yang meyakinkan secara spontan Penutup Agar pola pikir guru berubah, Guru harus professional yaitu bukan hanya menguasai materi yang harus disampaikannya kepada siswa dan kaitannya dengan tujuan pendidikan nasional secara ilosois maupun praktis. Ia juga harus paham hal-hal mendasar seperti prinsip-prinsip belajar, mampu mengakses dan memanfaatkan internet sebagai wahana belajar. Guru profesional bukan hanya harus ‘well-performed’ , tapi juga harus ‘well-trained’‘, ‘well-equipped’, dan tentunya juga ‘well-paid’. Selain itu syarat utama bagi guru untuk dapat mengajar dengan baik adalah guru yang memiliki kapasitas penguasaan materi yang telah memadai. Guru harus benar-benar kompeten dengan materi yang akan diberikannya. Guru yang tidak kompeten tentu tidak akan dapat menghasilkan siswa yang kompeten. 595 Daftar Pustaka Amri Sofan ,Ahmadi K,Iif.2010. Konstruksi Pengembangan Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakaraya Tirtaahardja Umar dan Drs. La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan,Jakarta: Rineka cipta Winkel, W.S. 2007. psikologi pengajaran.yogyakarta:media abadi H t t p : w w w . s c r i b d . c o m d o c 8 4 9 8 3 7 p r i n s i p - p r i n s i p pembelajaranpeta-minda. http:massofa.wordpress.com20090130prinsip-prinsip- belajar Dharma, http:satriadharma.comindex.php20090205apapun- kurikulumnya-mutu-guru-kuncinya 596 KOMPETENSI BAHASA ARAB UNTUK CALON GURU MI Raswan Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : raswanuinjkt.ac.id Pendahuluan Paper ini dilatarbelakangi oleh pengalaman penulis menjadi guru MI selama kurang lebih 5 tahun sejak 2006 hingga 2011. Perasaan satu hati dengan guru-guru MI serta jurusan PGMI lah yang membangkitkan dan kemudian penulis terpancing untuk menulis satu paper sederhana. Banyak problematika di MI khususnya mengenai pembelajaran bahasa Arab padahal bahasa Arab merupakan materi intituan rumah MI menurut sejarahnya. Masalah yang utama adalah mengenai berbagai kebijakan di MI, diantaranya kualiikasi guru dan kompetensinya. Guru kelas di MI sebelumnya banyak bukan merupakan alumni PGMI, kini guru kelas wajib atau dianjurkan merupakan lulusan PGMI. Imbasnya kemenag membuka program S1 kedua bagi guru PAI yang terlanjur sudah mendapatkan sertikasi guru kelas. Untuk guru bahasa Arab di MI, banyak simpang siur informasi, bahkan ada isu bahwa guru bahasa Arab MI bukan merupakan guru mata pelajaran seperti di M.Ts dan MA, sehingga sejak tahun 2009, di madrasah pembangunan saja tidak ada lagi peserta sertiikasi guru bahasa Arab untuk MI. Bahkan guru bahasa Arab alumni PBA, karena mengajar sebagai guru kelas maka sertiikasinya dilibatkan sebagai profesional guru kelas MI. Kesimpangsiuran itu alhamdulillah terjawab sudah setelah penulis melakukan beberapa wawancara dengan peserta PLPG bahasa Arab tahun 2014, Bahwa diantara peserta PLPG ada guru bahasa Arab MI- nya. Meskipun di Madrasah pembangunan sebagai tempat penulis pernah mengembangkan diri belum ada lagi sertiikasi guru bahasa Arab MI. Namun penulis melihat bahwa bahasa tidak akan berhasil jika tidak dibudayakan dan dibiasakan. Jika guru bahasa Arab hanya masuk kelas 2 JP dalam satu minggu, dan guru kelaslah yang lebih sering ketemu dengan siswa, maka tidak akan mungkin pembelajaran 597 bahasa Arab tanpa pelibatan guru kelas dalam membudayakan siswa. untuk mensukseskannya guru kelas harus memiliki komptensi minimal dalam bahasa Arab meski bukan sebagai guru mata pelajaran Atas dasar itu, penulis tertarik untuk mendiskusikan beberapa hal diantaranya pertama, siapa yang berhak mengajar bahasa Arab MI berdasarkan aturan yang berlaku?, Kedua, apa tujuan pembelajaran bahasa Arab di MI secara umum yang sesungguhnya?, ketiga, apakah poisi lingkungan bahasa itu penting dilakukan dengan sinergi guru bahasa Arab dengan guru kelas, dan bagaimana jika lingkungan bahasa Arab tidak tercipta? Jika penting apakah guru kelas yang alumni PGMI perlu diberikan bekal yang lumayan bahasa Arab minimal untuk mencipta lingkungan bahasa Arab di MI? Jika itu tuntutannya bagaimana seharusnya kurikulum dan silabus di PGMI terkait dengan bahasa Arab dan pembelajaran bahasa Arab di MI atau minimal kompetensi bahasa Arab apa yang harus dimiliki guru kelas MI atau calon guru kelas MI? Insya Allah paper ini akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Paper yang dimaksud bertajuk “Kompetensi Bahasa Arab untuk Calon Guru MI Urgensi Bahasa Arab di Madrasah untuk Pendidikan Indonesia Pendidikan berupaya mencipatakan generasi muda untuk siap menghadapi tantangan zaman. Tentunya empat kompetensi menjadi tumpuan dalam pelaksanaan pendidikan mulai dari kompetensi spiritual, kompetensi sosial, kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3-nya menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lihat Matsna dan Raswan 2015: 84. Kompetensi spiritual atau dalam undang-undang disebut beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak 598 mulia merupakan kompetensi yang erat kaitannya dengan nilai-nilai Agama. Lembaga yang paling konsen dengan kompetensi spiritual di Indonesia khususnya agama Islam adalah madrasah. Madrasah Ibtidaiyyah MI merupakan madrasah yang setara dengan Sekolah Dasar SD plus materi agama dan bahasa Arab. Jika agama di SD hanya satu bidang studi, di MI terdiri dari empat bidang studi yakni Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqh dan Sejarah Kebudayaan Islam plus bahasa Arab. Jika materi agama minimal ada 7 jam pelajaran ditambah bahasa Arab 2 jam pelajaran, maka materi plus bagi MI sesungguhnya ada 7 JP. Kenapa bahasa Arab, karena kesempurnaan pemahaman agama sangat erat kaitannya dengan pemahaman bahasa Arab. Bagaimanapun guru MI harus plus dari SD, dari namanya saja beda MI hanya pada bahasa meskipun sesungguhnya ada salah kaprah penamaan, karena sudah terlanjur ya tidak apa-apa. Jika guru MI tidak plus untuk apa, plus-nya harus dalam bidang agama dan bahasa Arab, Agama yang dimaksud terdiri dari al-Qur’an al-Hadits, Fiqh, SKI dan Akidah Akhlak plus bahasa Arab. Dalam pembahasan dan kajian ilmiah bahasa Arab beda dengan PAI, meski menurut pandangan umum orang awam, keduanya mirip. Walau demikian tidak menapikan bahwa pemaham agama Islam yang mumpuni akan terjadi hanya jika memahami bahasa Arab dengan baik. Bahkan semua bidang kajian agama Islam mewajibkan pengetahuan dan kemahiran bahasa Arab. Dengan demikian rasanya tidak berlebihan jika kemampuan bahasa Arab penting untuk meningkatkan keimanan dan akhlak siswa khususnya yang beragama Islam. Bagaimana pun membaca al Qur’an dengan pemahaman makna akan lebih efektif dibanding dengan hanya membaca tanpa faham makna. Demikian juga shalat yang akan menjauhkan muslim dari perbuatan keji dan munkar diawali dengan shalat yang difahami maknanya dan bukan sekedar ritual saja. Kualiikasi Guru Bahasa Arab di MI Siapa yang mengajar bahasa Arab di MI? alumni PBA, PAI atau PGMI? Jurusan pendidikan Bahasa Arab menargetkan alumninya untuk mencetak guru bahasa untuk tingkat M.Ts dan MA plus SMA program bahasa. Artinya sejak awal PBA tidak menyiapkan alumninya untuk mengajar ditingkat MI –secara formal- walaupun kenyataan di lapangan banyak diantaranya alumni PBA yang menjadi guru bahasa 599 Arab di MI, terutama di lembaga swasta. Lalu pertanyaannya siapa yang berwenang mengajar bahasa Arab jika guru alumni PBA tidak bisa? Jawaban sepintas mungkin akan mengarah ke guru Agama, karena ada anggapan bahasa Arab dekat dengan agama menurut orang awam. Oleh karenanya, tak berlebihan kiranya jika guru MI atau alumni PGMI atau calon guru MI harus bisa mengajarkan bahasa Arab. Permen no 16 tahun 2007 secara jelas menyatakan bahwa guru MI adalah sarjana PGMI dan psikologi meski dipandang paradok dengan PP standar nasional pendidikan no19 tahun 2005 yang menyatakan bahwa kualiikasi guru MI bukan hanya sarjana PGMI atau psikologi namun juga sarjana kependidikan lainnya. Meski, jika dilihat hirarkinya PP lebih tinggi dari Permen. Akan tetapi dari waktu lahirnya terkesan bahwa permen telah menghapus PP tersebut terutama dalam hal kualiikasi “kependidikan lainnya” dalam mengajar siswa MI. Akibat pemahamahan ini pula kemenag membuka program sarjana ke dua bagi guru PAI yang ingin linear untuk mengajar di MI dengan sertiikat profesinya yang sudah terlanjur di guru kelas. Padahal diantaranya ada yang sudah bergelar magister seperti M. Faiz, MA, guru MI Pembangunan UIN Jakarta yang ikut kembali dalam program sarjana kedua bagi guru PAI. Jika sertiikasi guru bahasa Arab alumni bahasa Arab akan bermasalah di MI atau paling tidak lebih sulit dengan hanya berbekal sarjana pendidikan bahasa Arab bukan sarjana PGMI, kecuali yang sudah terlanjur mendapatkan sertiikasi, maka ke depan guru bahasa Arab di MI mutlak harus diajar oleh guru MIkelasalumni PGMI atau paling tidak guru agama. Karena di SDMI mewajibkan minimal ada guru tambahan olahraga dan agama PMA , bisa saja difahami bahwa guru bahasa Arab bagian dari guru kelas. Ini semua memberikan argumen kuat pentingnya kompetensi bahasa Arab guru MI calon guru MImahasiswa PGMI, Apalagi mata kuliah bahasa Arab menjadi salah satu mata kuliah wajib di UIN Jakarta. Implikasinya adalah bahwa guru PGMI harus disiapkan mengenai hal itu melalui mata kuliah wajib ke-UIN-an atau perlu diberikan vitamin tambahan. Sebab jika kebijakan mahasiswa PGMI hanya mendapatkan dua SKS dengan logika apapun tidak akan mampu menciptakan guru yang bisa mengajar siswa MI sesuai dengan materi yang ada di SD plus juga bisa membelajarkan bahasa Arab. Dengan demikian Silabus bahasa Arab 600 perlu disesuaikan dengan kebutuhan mereka sesuai standar mahasiswa UIN juga untuk bekal mengajar bahasa Arab kepada siswa MI. Menurut Prof. Dr. Aziz Fachrurrozi, MA bahwa guru yang mengajar bahasa Arab seharusnya alumni pendidikan bahasa Arab bukan alumni lainnya. Bukan alumni PGMI, karena sangat ‘ceroboh’ jika mengamanatkan bahasa Arab kepada alumni PGMI apalagi hanya dibekali dengan beberapa SKS. Begitupun jika bahasa Arab diajarkan oleh alumni PAI, akan sangat membahayakan. Jika PAI diajar oleh PBA masih mungkin. Jadi sesungguhnya kesalahan atau kekurangperhatian berada pada tataran kementrian agama dalam memposisikan guru bahasa Arab MI sebagai mata pelajaran karena ia memiliki kesulitan khusus. Oleh karena kurikulum K.13 yang tetap dipakai oleh kemenag menjadikan bahasa Arab sebagai materi wajib sejak kelas 1 yang sebelumnya di KTSP hanya diwajibkan sejak kelas IV meski beberapa madrasah sudah menjadikannya mulok sejak kelas 1 di kurikulum KTSP maka tentunya pertimbangan pengembangan silabusnya pun harus disesuaikan dengan kurikulum yang ada. Meski tidak untuk menjadi guru bahasa Arab, minimal bisa menjadi guru pengganti bahasa Arab, serta membantu guru bahasa Arab dalam menciptakan budaya bahasa Arab di madrasah. Pada paper ini penulis hanya akan batasi pada aspek materi yang urgen dikuasai mahasiswa PGMI untuk bisa membelajarkan atau mencipta lingkungan bahasa Arab di MI. Diskusi dengan Iriani Apriliani, salah satu guru bahasa Arab MI di DKI Jakarta melalui media facebook dan dengan Hj. Istianah, M.Pd, yang tahun 2013 ikut PLPG di kemenag melalui BBM, dengan Ustadz. Zakaria, MA melalui SMS, serta kepala MI Pembangunan UIN Jakarta melalui inbox facebook memberikan sedikit pencerahan bahwa guru bahasa Arab di MI bukan termasuk materi guru kelas. Meskipun akhir-akhir ini di Madrasah Pembangunan beberapa guru bahasa Arab MI justru sertipikat pendidiknya mengikuti jalur guru kelas. Beberapa sumber tersebut khususnya tiga pertama menunjukan bahwa di tahun 2014 peserta sertiikasi itu di dalamnya ada guru bahasa tingkat Madrasah Ibtidaiyah. Jadi mitos bahwa di MI tidak ada lagi sertiikasi guru bahasa Arab sudah terpecahkan. Meski demikian untuk mencipatakan lingkungan bahasa sebagai syarat mutlak keberhasilan pembelajaran bahasa Arab di MI, guru kelas harus dibekali kompetensi minimal yang mengarah ke situ. 601 Kualiikasi Guru MI dalam dokumen Pasal 1 Permendiknas nomor 16 tahun 2007 disebutkan bahwa 1 Setiap guru wajib memenuhi standar kualiikasi akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional. 2 Standar kualiikasi akademik dan kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 2-nya menjelaskan Ketentuan mengenai guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualiikasi akademik diploma empat D-IV atau sarjana S1 akan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualiikasi Akademik Dan Kompetensi Guru Selanjutnya Kualiikasi Akademik Guru SDMI Guru pada SDMI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualiikasi akademik pendidikan minimum diploma empat D-IV atau sarjana S1 dalam bidang pendidikan SDMI D-IVS1 PGSDPGMI atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualiikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, hal. 3 Hal itu berbeda dengan PP no 19 tahun 2005 yang dengan tegas menjelaskan bahwa Pendidik pada SDMI atau bentuk la in ya ng s ede rajat memiliki: a kua ika s i akademik pendidikan minimum diploma empa t D-IV a tau s arjana S1; b Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD MI , kependidikan la in, atau psikologi; dan c. sertiikat profesi guru untuk SDMI. Pasal 29 PP no 19 tahun 2005 tentang Sisdiknas Sementara Komptensi Guru Bahasa Arab pada SMAMA, SMK MAK adalah pertama, memiliki pengetahuan tentang berbagai aspek kebahasaan dalam bahasa Arab linguistik, wacana, sosiolinguistik dan strategis. Kedua, menguasai bahasa Arab lisan dan tulis, reseptif dan produktif dalam segala aspek komunikatifnya linguistik, wacana, sosiolinguistik, dan strategis. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualiikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, hal. 30. Dalam permendiknas no 16 tahun 2007 tidak ada penjelasan mengenai kualiikasi guru bahasa Arab pada MI. ditambah dengan pernyataan bahwa kualiikasi guru MI adalah diploma IV atau sarjana S1 program studi PGMI atau psikologi. Meski dalam PMA no 90 602 tahun 2013 disebutkan bahwa minimal ada guru tambahan olahraga dan agama di MI selain guru kelas, yang bisa saja difahami bahwa guru bahasa Arab bagian dari guru kelas atau bagian dari guru agama, walaupun bisa juga ada guru lain selain guru kelas akan tetapi tidak menjadi proioritas sehingga guru bahasa Arab bisa diambil alih guru agama atau guru kelas tadi. Problem alumni PGMI di Lapangan Oleh karena MI 90 lebih adalah swasta maka pembukaan lowongan CPNS untuk guru MI sangat terbatas. Hal itu jauh dengan lowongan CPNS guru pada SD bagi alumni PGSD. Meski secara kurikulum dan keilmuan antara PGMI dan PGSD sama, bahkan PGMI merupakan PGSD plus artinya kurikulumnya merupakan kurikulum PGSD plus kurikulum khas PGMI akan tetapi dalam kerja di lapangan ada dikotomi yang sangat signiikan. Guru dengan ijzah PGMI tidak sedikit ditolak untuk melamar di instansi SD. Sehingga problem ini menimbulkan masalah tersendiri bagi alumni PGMI. Sebagai contoh ada berita bertajuk “Alumni PGMI Ditolak Lamar CPNS” dalam http:www.jambiekspres.co.id berita-163-alumni-pgmi-ditolak-lamar-cpns.html . Kejadian serupa pernah terjadi di Brebes dimana alumni PGMI tidak diperbolehkan melamar CPNS guru kelas SD yang kebetulan lowongan CPNS yang formasinya paling besar adalah untuk guru kelas SD. Pentingnya Bahasa Arab di MI Pepatah Arab mengatakan bahwa : artinya belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, dan belajar di waktu besar bagaikan mengukir di atas air. Maknanya sangat jelas, bahwa mempelajari apapun jika dilakukan di usia kecil maka meski bisa jadi membelajarkannya butuh waktu dan energi ekstra akan tetapi hasilnya akan awet dan membekas. Sementara belajar di saat sudah dewasa, meski prosesnya lebih mudah akan tetapi daya bekasnya cepat hilang. Tujuan materi bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyyah menurut Permenag no. 2 tahun 2008 sebagai berikut: a. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik lisan maupun tulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni menyimak 603 istima’, berbicara kalam, membaca qira’ah, dan menulis kitabah. b. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam mengkaji sumber-sumber ajaran Islam. Dan c. Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian, peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya. Lihat Matsna dan Raswan 2015: 86-87. Sementara dalam Standar Isi K.13_, dijelaskan bahwa mata pelajaran bahasa Arab merupakan materi yang berkaitan dengan materi agama islam yang empat. Dimana bahasa Arab merupakan bahasa pengantar untuk memahami ajaran Islam. Dengan bahasa Arab ajaran Islam dapat difahami secara benar dan mendalam dari sumber utamanya, yakni al Qur’an dan Hadits ditambah literatur pendukungnya yang berbahasa Arab. Ia merupakan mapel bahasa yang diupayakan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan, dan membina kemampuan serta menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Arab, resepti menyimak dan membaca dan produktif bercakap dan menulis. Lamp. SK-Dirjen-No.2676-2013 hal. 44 Bahasa Arab di MI, adalah pondasi untuk pembelajaran bahasa Arab tingkat selanjutnya. Oleh karena di MI baru pondasi maka penanaman kecintaan terhadap bahasa Arab harus menjadi prioritas. Oleh karena pada dasarnya tidak ada siswa yang menyukai pelajaran apapun, termasuk pelajaran bahasa Arab, maka harus ada usaha untuk men-cinta-kan siswa terhadap bahasa Arab. Untuk menanamkan kecintaan itu maka harus ada budaya bahasa yang didukung oleh semua pihak yang ada di MI. Metode pembelajaran pun harus mengikuti perkembangan dan interes siswa di usia tersebut. Termasuk di dalamnya media pembelajaran dan lain sebagainya. Guru harus berusaha masuk ke dunia anak sehingga apapun yang dia tawarkan kepada anak akan dengan mudah diterima oleh anak. Guru kelas memiliki peranan utama karena merekalah yang paling banyak bertatap muka dengan siswa. Dan penumbuhan motivasi belajar dan minat bahasa Arab akan lebih mudah dilakukan jika dibantu dengan pelibatan dan kerjasama dengan guru kelas. Sehingga pada tahap selanjutnya siswa akan tertarik untuk belajar bahasa Arab, terus belajar dan terus meningkatkan kemampuan bahasa Arab. 604 Mencipta Lingkungan Bahasa Arab Faktor utama keberhasilan pembelajaran bahasa adalah lingkungan bahasa yang memadai.lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dengar dan lingkungan pandang, lingkungan formal dan non-formal, bergerak dan statis. Untuk mencipta lingkungan bahasa di suatu lembaga tidaklah gampang, harus ada satu pemahaman dan kesepakatan antar lini yang ada di lembaga tersebut. Untuk Madrasah Ibtidaiyyah maka harus ada kerjasama antara kepala, guru, satpam, TU dan lain sebagainya. Guru memiliki peranan yang paling vital dalam hal ini. Artinya gurulah yang paling harus menjadi terdepan dalam membudayakan berbahasa Arab dalam setiap kesempatan di Madrasah. Dan guru kelaslah yang paling sering bertemu dengan siswa dibandingkan dengan guru-guru lain dalam setiap waktunya. Oleh karenanya maka guru kelas, minimal harus memiliki bekal minimal agar pada tahap selanjutnya dapat menjalankan lingkungan bahasa khususnya ketika terjadi pembelajaran materi kelas di madrasah. Dengan itu maka diharapkan lingkungan bahasa Arab akan tercipta dan pada tahap selanjutnya keberhasilan pembelajaran bahasa Arab di MI sebagai dasar untuk jenjang lanjutannya akan menjadi kenyataan. Materi Pelajaran MI pada Kurikulum 2013 Berbagai kalangan pakar bahasa Arab memberikan kesimpulan yang mirip, bahwamateri bahasa Arab itu dengan kurikulum apapun materinya gak jauh berbeda. Mungkin perbedaan hanya pada posisi penyajian pembelajaran saja. Pada sisi kompetensi atau kemahiran bahasa yang menjadi arah tetap sampai kapanpun ada empat yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis Murtado 2015. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 0001512 tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agma Islam dan Bahasa Arab termakub bahwa Materi Bahasa Arab untuk Siswa MI yang bisa dieksplor dalam silabus Pembelajaran bahasa Arab untuk calon guru MI di PGMI terdiri dari enam jenjang yakni kelas 1 s.d kelas 6 dan disetiap kelas ada dua semester, setiap semester antara 3-4 tema, dan di setiap semester pula dibelajarkan gramatikal bahasa Arab sejak kelas 4 hingga kelas 6 dan dibelajaran ungkapan komunikatif dari mulai kelas 1 hingga kelas 3. Berikut adalah jabaran materi bahasa Arab yang dibelajarkan di MI mulai kelas 1 hingga kelas 6: 605 606 Materi Bahasa Arab PGMI, Sebuah Usulan. Pengembangan silabus bahasa Arab untuk PGMI harus dirancang sedemikian rupa sehingga memenuhi kompetensi minimal bahasa Arab guru MI. jika tidak untuk menjadi guru mata pelajaran bahasa Arab, minimal untuk menjadi guru yang akan menciptakan lingkungan bahasa Arab di luar pembelajaran bahasa Arab di jam pelajaran bahasa Arab atau sesekali menjadi guru pengganti bahasa Arab. Dengan demikian diantara yang harus menjadi fokus bahasa Arab dan pembelajaran bahasa Arab di PGMI adalah materi-materi yang memuat tema-tema yang terkait dengan kurikulum bahasa Arab MI, tarkib gramatikal yang menjadi fokus di MI, ungkapan komunikatif yang dibelajarkan di MI serta berbagai metode pembelajaran bahasa Arab di MI. Materi yang dimaksud minimal tema-tema seputar ungkapan komunkatifnya adalah sebagai berikut: 607 tarkibgramatika bahasa Arab sebagai berikut: Sementara metodologi pembelajaran bahasa Arab, minimal dibelajarkan mengenai berbagai model praktis pembelajaran kemahiran bahasa dan komponen-komponen bahasa. Termasuk didalamnya berbagai permainan bahasa yang tepat diterapkan untuk siswa tingkat madrasah Ibtidaiyah MI. PPG untuk Guru MI Program PPG guru MI prajabatan belum pernah dilakukan. FITK sebagai LPTK dengan LPTK-LPTK lain dibawah kementrian agama pernah melaksanakan dua kali PPG dalam jabatan. Namun baru pada materi pendidikan agama islam dan bahasa Arab. Pada PPG pertama semua kuota yang ada dalam 4 materi pendidikan agama Islam dan bahasa Arab, bahkan ada penyaringan karena jumlah pendaftar membludak sementara kuota terbatas. Artinya terpenuhi 5 kelas belajar PPG. Sementara di PPG kedua hanya diikuti oleh 4 materi, karena salah satu materi agama kuotanya tidak mencukupi. Bahkan materi lain pun jumlah peserta perkelas tidak sampai tiga puluh. Seperti bahasa Arab jumlah pesertanya hanya 25. Merosotnya ketertarikan guru pada program PPG sendiri disebabkan oleh berbagai alasan. Diantaranya adalah adanya diskriminasi pelaksanaan PPG dengan PLPG, dimana PPG full setahun sementara PLPG hanya 9 atau 10 hari. Sementara hasilnya sama-sama mendapatkan sertiikat profesi pendidik. Alasan lainnya adalah kesulitan madrasah ketika banyak gurunya setahun full ikut program PPG. Banyak guru yang meninggalkan madrasah setahun dan ujungnya diberhentikan oleh yayasan meski secara hormat. Belum lagi mencari pengganti untuk hanya setahun sulit dilakukan, maka jalan terakhirnya adalah mencari guru lain yang menggantikan guru yang ikut dalam pelaksanakan PPG. Masih banyak alasan lain kenapa PPG hilang daya tariknya di kalangan guru. Bagi guru kelas MI, PPG baru akan dilakukan. Lagi-lagi program 608 ini pun mendapat kritik dari pemerhati PGMI sperti dalam penelitian . Karena dari jurusan luar Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah bisa mengikuti program PPG. Sehingga sangat merugikan lulusan PGMI dan pasti akan berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyyah. Pada gilirannya PPG hanya untuk menjadi pelarian para sarjana bukan PGMI, agar bisa mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru MI setelah mengikuti program PPG selama dua tahun. Memang ada baiknya PPG merupakan program yang hanya untuk alumni PGMI bukan alumni jurusan lainnya. Sebagaimana pendidikan profesi yang dilakukan terhadap calon dokter hanya untuk sarjana program dokter bukan lulusan selainnya. Jika gaya di pendidikan profesi seperti program dokter maka kualitas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyyah akan mendapatkan angin segar ke depannya. Penutup Guru MI adalah guru SD plus agama dan bahasa Arab. Khusus untuk bahasa Arab, guru MI atau calon guru MI harus punya kemampuan materi khusus untuk siswa MI meski bukan untuk menjadi guru kelas minimal bisa menjadi guru pengganti dan mampu bahu-membahu menciptakan lingkungan bahasa Arab sebagai materi tuan rumah di madrasah. Dengan demikian di jurusan PGMI sangat urgen kiranya menyiapkan alumni PGMI, guru MI dengan kompetensi guru SD plus guru agama SKI, Qur’an Hadits, Fiqh dan Akidah Akhlak dan bahasa Arab. Bahkan materi agama dan bahasa Arab sesungguhnya merupakan tuan rumah MI, artinya MI adalah agama dan bahasa Arab plus SD. Materi bahasa Arab untuk mahasiswa menurut penulis tidak cukup bahkan kurang hanya dalam 2 SKS untuk bisa membekali mahasiswa bisa mengajarakan bahasa Arab untuk siswa atau mencipta lingkungan bahasa Arab di MI. Bahasa Arab yang dimaksud perlu dikemas dalam mata kuliah khusus, selain mata kuliah bahasa Arab yang saat ini diterima mahasiswa sebanyak 2 SKS. Arah pengembangan silabusnya pun fokus ke pendalaman materi bahasa Arab untuk MI terdiri dari kosa kata, ungkapan komunikatif dan tarkib. Penulis yakin bahwa MI hanya akan plus jika kemampuan bahasa Arabnya diperhatikan serius. Jika tidak maka MI tak akan plus dari SD bahkan bisa jadi dalam bidang umum pun akan dipandang lebih rendah dibanding dengan SD karena meninggalkan jatidirinya. 609 Kesimpulan ini juga dapat diintisarikan pertama, yang berhak mengajar bahasa Arab di MI adalah alumni PBA atau alumni PAI dan PGMI dengan syarat telah dibekali beberapa kompetensi minimal, Kedua, tujuan pembelajaran bahasa Arab di MI secara umum adalah menumbuhkan kemampuan serta mencipta sikap positif siswa terhadap bahasa Arab sebagai sarana untuk mendalami agama Islam langsung dari sumber utamanya, ketiga, lingkungan bahasa Arab sangat vital dalam memberhasilkan pembelajaran bahasa Arab. Keempat, calon guru kelas penting untuk diberikan bekal bahasa Arab yang cukup untuk menciptakan lingkungan bahasa Arab di madrasah bisa juga bahasa Arab menjadi bagian dari materi tematik di MI disamping sebagai guru pengganti bahasa Arab atau bahkan menjadi guru bahasa Arab itu sendiri. Kelima, silabus bahasa Arab di PGMI disarankan agar diarahkan ke pembelajaran bahasa Arab di MI plus pendalaman materi bahasa Arab berbasis kurikulum. Dengan itu semoga ke depan MI semakin jaya dan berkontribusi bagi masa depan bangsa. Daftar Pustaka Matsan HS, Moh. dan Raswan, Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab I, Jakarta: UIN Press, 2015. Murtadho, Nurul, Pengembangan Model E-Learning Bahasa Arab Berbasis Riset, disampaikan pada Studium General Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, FITK UIN Jakarta, Rabu, 15 April 2015. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 0001512 tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualiikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Standar Isi K.13_Lamp. SK-Dirjen-No.2676-2013.KI-KD-PAI 2013 rivised16Juni2014. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 610 GURU PROFESIONAL MENUJU INDONESIA EMAS Didi Suprijadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : didisuprijadiyahoo.co.id Abstrak : Masalah dan tantangan Indonesia menuju Indonesia Emas dalam bidang pendidikan dilihat dari segi Akses, mutu dan relevansi yang selama ini di programkan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasionl adalah adanya perbedaan yang besar antar daerah, baik ekonomi,sosial dan kependudukan. Daya tampung dan layanan yang terbatas, peningkatan layanan sarana prasarana pendidikan serta kualitas dan distribusi guru. Kualitas dan distribusi guru saat ini sangat mentukan mutu pendidikan dalam menuju Indonesia Emas. Peraturan perundang undangan menyebutkan guru profesional adalah guru yang sesuai dengan kualiikasai dan mempunyai sertiikat pendidik. Kualiikasi dan sertiikasi belum lah cukup untuk menjadikan guru itu profesional manakala kualitas dan distribusi guru masih belum tertata benar. Kualitas dan distribusi guru bisa dilihat dari masalah masalah sekitar guru yang ada sekarang seperti belum optimalnya penyelenggaraan lembaga pendidikan tenaga kependidikan LPTK, seleksi guru, data guru, kekurangan guru dan guru honorer. Masalah - masalah guru seperti dikemukakan diatas bisa jadi merupakan tantangan dunia pendidikan dalam mewujudkan Indonesia Emas. Apabila dalam lima tahun kedepan masalah kualitas dan distribusi serta masalah guru lainnya tidak diselesaikan maka ditakutkan apa yang menjadi impian bangsa Indonesia di tahun 2045 disaat bangsa ini merayakan ulang tahun 100 kemerdekaannya hanya lah tinggal sebuah mimpi. Untuk itu perlu diadakan perombakan yang serius disegala hal yang menyangkut dunia Pendidikan, perlu paradigma baru dunia pendidikan untuk menuju Indonesia Emas, diperlukan arah yang jelas dalam hal keterjangkauan dan ketersediaan akses pendidikan, perlu arah dan kebijakan yang terencana dalam 611 peningkatan kualitas dan distribusi guru serta perlu tata kelola yang efesien dan efektif. Kata kunci : Masalah dan tantangan Indonesia menuju Indonesia Emas, sarana prasarana pendidikan, peningkatan kualitas dan distribusi guru. Pendahuluan Indonesia dewasa ini masih mengalami banyak kekurangan dan kemunduran bila dibandingkan dengan Negara-negara lain baik tingkat Asean maupun Dunia. Hal ini bisa dilihat dari ketiga indikator kesejahteraan yang ada saat ini. Pertama, Masih rendahnya Human Development Index HDI, Indonesia pada tahun 2013 berada diurutan 121 dari 187 negara, di bawah rata rata PBB. Bahkan dibawah Singapura 19, Brunei 30 , Malaysia 65. Ini membuktikan tidak Kompetitifnya pekerja Indonesia di dunia kerja baik di dalam atau pun di luar negeri. Proporsi Jumlah Dokter dan Kapasitas Rumah Sakit terhadap penduduk dan Proposi GDP untuk kesehatan, lebih kecil dari Laos atau Vietnam. Kedua , Masih rendahnya Education Development Index EDI, EDI Indonesia pada tahun 2012 berada pada urutan 64 dari 129 negara. Di atas China 71, Kamboja 100, India 102 namun di bawah Korea Selatan 39 , UK 4, Perancis 8 dan Jerman 21. Begitu juga dengan Jumlah Doktor S3 hanya 97 orang per 1 juta penduduk, masih sangat rendah bahkan bila dibandingkan dengan Malaysia 509, India 1.410 dan Jepang 6.438. Lain lagi dengan tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor formal hanya 65 pekerja formal terdidik dari total pekerja yang ada. Ketiga , Rendahnya kesejahteraan bangsa Indonesia bisa dilihat dari GDP perkapita penduduk Indonesia, Pada tahun 2012 GDP perkapita jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Negara tetangga. Hanya 34 dibandingkan dengan Malaysia. Bahkan hanya 7 dari Singapura. Belum lagi kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar , hal ini ditunjukan dengan Index gini yang terus naik dari 4,1 sekarang mendekati 4,4. Rendahnya kesejahteraan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari persoalan pendidikan yang berlaku saat ini, Banyak masalah-masalah pendidikan yang sampai saat ini belum terselesaikan. Berbicara masalah pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari persoalan 612 kurikulum, guru dan anggaran. Berbagai upaya untuk memperbaiki kurikulum dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dari zaman kemerdekaan sampai saat ini telah dilakukan perubahan - perubahan sebanyak 11 kali. Pergantian kurikulum 13 ke Kurikulum 2006 sangat menghebohkan. Kurikulum 13 baru berjalan satu tahun sudah kembali lagi ke kurikulum sebelumnya. Kurikulum yang dijalankan masih belum sempurna sudah diganti di tengah jalan, sering ada kesan ganti Menteri ganti kurikulum, terlihat pemerintah kurang dalam perencanaan, lemahnya koordinasi dan minim sosialisasi. Guru sebagai ujung tombak sekaligus ujung tombok dalam dunia pendidikan sampai saat ini persoalannya belum terselesaikan. Dari mulai pemerataan distribusi guru, kesejahteraan, jaminan sosial sampai ke guru bantu dan guru honorer. Belum lagi persoalan kompetensi akademik guru, hasil uji kompetensi guru yang diharapkan standarnya mencapai 70, namun yang sekarang baru 44,5. Anggaran pendidikan walau sudah ditetapkan 20 dari APBN dan APBD nyatanya masih belum sesuai dengan ketentuan, hal ini bisa dilihat masih banyaknya sekolah yang belum sesuai standar nasional. Masih 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Terdapat 40.000 sekolah pada 2012, diketahui bahwa standar isi, proses, fasilitas, dan pengelolaan sebagian sekolah belum sesuai standar pendidikan yang baik seperti diamanatkan undang-undang. Pendidikan memegang peran penting untuk menghantarkan bangsa Indonesia tampil di arena global dan memenangkannya. Pendidikan dengan berbasiskan guru yang profesional akan menghantarkan menuju Indonesia Emas di tahun 2045. Untuk menuju cita cita Indonesia Emas Kementerian Pendidikan Nasional tidak bisa melaksanakannya sendiri. Koordinasi berbagai sektor publik pendukung kebjakan pendidikan perlu disinergikan, komitmen bersama antara legeslatif dan eksekutif serta kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah merupakan modal penting untuk majunya bangsa dalam bidang pendidikan. Dengan kebersamaan semua pihak dan dimotori oleh Kemendikbud, bersama- sama kita songsong bersama tahun 2045 yang menjadi tonggak sejarah Bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas. Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita yang akan kita wujudkan bersama, dimana pada tahun 2045 bangsa Indonesia sudah terlepas dari krisis moral dan seluruh komponen bangsa telah berhati emas dan mengaplikasikan 7tujuh nilai dasar yaitu jujur, visioner, tanggung 613 jawab, disiplin, kerjasama, adil dan peduli. Jadi yang kita tuju dalam Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara moral dan spiritual, bukan hanya kejayaan secara ekonomi semata. Indonesia Emas yang kita impikan bersama dimana tahun itu tepat 100 tahun umur Indonesia Merdeka. Impian bersama itu bisa terwujud bisa juga hanya sekedar impian. Impian tersebut bisa terwujud salah satu penentunya adalah Kualitas Pendidikan, Pendidikan di Indonesia masih belum bisa dikatakan sesuai harapan manakala persoalan persoalan Kurikulum, Guru dan Sarana masih jauh dari standar sesuai dengan aturan. Menuju Indonesia Emas hanya tinggal 30 tahun lagi,sedangkan masalah guru di Indonesia sampai saat ini belum teruraikan . Dalam makalah ini penulis akan membatasi masalah dalam pendidikan Indonesia menuju Indonesia Emas ditinjau dari guru profesional saat ini yang ada dan tersedia di Indonesia.Masalah Kualitas dan distribusi guru termasuk masalah masalah guru lainnya, diantaranya Lembaga pendidikan guru,data guru,kekurangan guru,seleksi guru dan guru honorer. Pembahasan A. Guru Profesional Indonesia a. Apa itu Guru Guru setidaknya diidentikkan dengan dua deinisi berikut. Pertama, dipandang dari sudut etimologis, guru berasal dari Bahasa Sansekerta “gu” yang berarti kegelapan dan “ru” yang berarti membebaskan atau menyingkirkan. Jadi, dilihat dari makna asalinya guru bermakna menyingkirkan atau menghalau kegelapan. Dalam terang pemahaman ini, benarlah jika ada adagium yang mengatakan bahwa guru itu pelita dalam kegelapan. Cahaya yang membersit dari pelita akan menghalau gelap dan menunjukkan jalan yang tepat untuk keluar dari jebakan ketidakberdayaan anak didik akibat kebodohan Koesoema, 2009: 13. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. . Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru 614 sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dibuktikan dengan sertiikat pendidik.

b. Guru Profesional