Konstruksi bubu Bubu .1 Deskripsi

23 3 Bubu Hanyut Bubu hanyut adalah bubu yang dioperasikan di permukaan air. Ditinjau dari kedudukannya di air, bubu hanyut sama dengan bubu apung, namun bubu ini kemudian dihanyutkan mengikuti arus air. Bubu jenis ini umumnya dirangkai dari beberapa bubu yang berukuran kecil berjumlah 20-30 buah. Bubu hanyut di Indonesia umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja atau luka artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani merupakan penamaan bubu karena bubu ini menangkap ikan torani atau ikan terbang flying fish.

2.2.3 Konstruksi bubu

Menurut Subani dan Barus 1989 bubu secara umum terdiri atas kerangka frame, dinding wall, ijebmulut funnel, pintu hatch, dan tempat umpan bait case . Slack and Smith 2001 menyatakan bahwa bubu terdiri dari rangka, badan, mulut, tempat umpan, pintu, celah pelolosan dan pemberat. 1 Rangka Rangka bubu berfungsi memberi bentuk pada bubu. Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan. Rangka bubu dapat terbuat dari kayu, besi, baja atau bahkan terbuat dari plastik. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Di Kanada dan Timur Laut Amerika Serikat, penangkapan lobster tradisional menggunakan bubu dengan rangka kayu dan kini digantikan dengan rangka besi yang dilapisi plastik. Lain halnya di Kanada dan Barat Laut Amerika Serikat. Di Australia dan New Zealand, bubu dan perangkap kini dibuat dengan menggunakan mata jaring yang terbuat dari baja sehingga tidak memerlukan rangka untuk menjaga bentuknya. Bubu di Indonesia masih banyak yang menggunakan rangka berbahan rotan atau bambu seperti bubu tambun yang digunakan di kepulauan seribu untuk menangkap jenis ikan karang serta bubu wadong untuk menangkap kepiting. Monintja dan Martasuganda 1991 menyatakan bahwa saat ini bubu di Indonesia sudah menggunakan besi sebagai kerangka. 24 2 Badan Badan bubu pada alat tangkap bubu modern biasanya terbuat dari kawat, jaring nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari penggunaan tradisional, dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Pada beberapa daerah, bambu dan anyaman rotan masih digunakan dalam pembuatan badan bubu. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. 3 Mulut Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah seperti pada bubu lipat segi empat serta berbentuk horse neck pada jenis bubu tambun. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bubu yang memiliki lebih dari satu mulut menangkap lebih banyak dibandingkan bubu dengan satu mulut Miller, 1990. Archdale et al 2003 melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting dengan menggunakan dua jenis bubu yang memiliki mulut berbentuk corong dan bubu berbentuk celah. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa bubu dengan mulut berbentuk corong lebih memudahkan kepiting untuk masuk kedalam bubu dibandingkan dengan bubu dengan mulut berbentuk celah. Hal ini dikarenakan mulut bubu berbentuk celah dapat menyebabkan duri kepiting terjerat serta menyulitkan kepiting untuk masuk kedalam bubu. 4 Tempat umpan Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Tempat umpan ini bisa terbuat dari kawat, plastik ataupun jaring sintetis. Fungsinya untuk menahan umpan agar tidak terpisah dan tetap pada tempatnya. Dalam beberapa kasus, umpan diletakkan pada ruangan yang terbuat dari besi atau plastik dengan beberapa lubang kecil untuk mengamankan umpan. Cara ini hanya bisa dilakukan apabila umpan yang digunakan sangat atraktif pada ikan yang ingin ditangkap 25 5 Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan Pintu biasanya terletak pada bagian tengah badan bubu agar mudah untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Kebanyakan perangkap dilengkapi dengan pintu untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan. 6 Celah pelolosan Celah pelolosan dibuat agar ikan-ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Bentuk celah pelolosan dapat mempengaruhi keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk escape gap sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku dari target spesies yang akan diloloskan. Adapun bentuk celah pelolosan yang umum digunakan yaitu kotak, persegi panjang, lingkaran, dan oval. Pada beberapa negara, celah pelolosan sudah menjadi keharusan pada setiap alat tangkap untuk meloloskan ikan-ikan dan crustacea yang masih berukuran kecil. Seperti pada pemerintah Australia, New Zealand, dan Kuba yang mengharuskan setiap alat tangkap bubu dipasang celah pelolosan untuk meloloskan ikan-ikan ukuran juvenile. Di Australia dan New Zealand, lobster batu dengan panjang karapas kurang dari 7.6 cm harus dibebaskan atau diperbolehkan untuk meloloskan diri. 7 Pemberat Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang. Sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis batuan lainnya. 2.2.3.1 Bahan Pemilihan bahan dalam pembuatan bubu tergantung pada tipe bubu yang ingin dibuat dan jenis tangkapan yang diinginkan Slack and Smith, 2001. Menurut Subani dan Barus 1989, perangkap terbuat dari anyaman bambu bamboos netting, anyaman rotan rattan netting, anyaman kawat wire netting, kere bambu bamboos screen. Adapun Sudirman dan Mallawa 2004 menyatakan bahwa bubu biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, 26 atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Beberapa jenis bubu menggunakan bahan keramik, cangkang kerang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka bubu biasanya terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu. Berbeda dengan bagian badan bubu yang tebuat dari anyaman kawat, jaring, waring maupun anyaman bambu. Selanjutnya Martasuganda 2003, menambahkan bahwa kantong umpan pada bubu kebanyakan menggunakan bahan kawat kasa. Brandt 1984 mengatakan bahwa bahan pembuatan bubu umumnya terbuat dari kayu, kawat besi dan plastik. Kayu merupakan jenis bahan yang pertama kali digunakan untuk membuat bubu. Bubu yang terbuat dari bahan kayu biasanya terbuat dari potongan alang-alang, bambu, rotan, ataupun bilah kayu. Bubu dengan bahan kawat merupakan pengembangan lanjutan dari bubu yang terbuat dari bahan kayu. Bahan kawat dapat digunakan untuk membuat bubu dengan bentuk yang bervariasi. Kekurangan dari bubu yang menggunakan bahan kawat besi adalah rentan terhadap karat. Bubu berbahan kawat yang digunakan pada perikanan laut umumnya dilengkapi dengan anode timah atau aluminium yang berfungsi untuk mengeluarkan arus listrik, mencegah korosi dan meningkatkan kualitas bubu. Adapun bubu dengan bahan plastik awalnya dibuat untuk sport fishing yang menginginkan perangkap yang ringan dan mudah dibawa menggantikan botol kaca yang bagian bawahnya dilubangi secara tradisional untuk menangkap ikan umpan. Walaupun penggunaan bahan plastik sangat menarik untuk diterapkan dalam sport fishing, namun bahan plastik sangatlah mahal untuk digunakan dalam perikanan komersial yang secara umum membutuhkan bubu dengan ukuran lebih besar, jumlah yang lebih banyak, dan harga yang lebih terjangkau. Penggunaan plastik sebagai bahan pembuatan bubu dalam perikanan komersial dapat bernilai ekonomis apabila bubu diproduksi dalam jumlah yang besar. 2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Sainsbury 1996 mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang menjadi target tangkapan di setiap daerah 27 Keterangan : a = Bubu kepiting di bagian tenggara Amerika Serikat b = Bubu lobster di Curacao, Amerika bagian Utara c = Bubu kepiting dan lobster di Curacao, Amerika bagian Utara d = Bubu belut di perairan Miami Gambar9. Akan tetapi bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama, hal ini tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya Martasuganda, 2003. Sumber : Sainsbury 1996 Gambar 9 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan. Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia seperti halnya di Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia serta di pantai timur dan barat Amerika Utara yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis sedangkan bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India 28 dan Sri Lanka, selain itu terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Di Indonesia dan Thailand terdapat bubu yang disebut dengan tubular traps. Bubu tersebut berbentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut funnel dengan bagian ujung bebu terbelah-belah Brandt 1984. Menurut Subani dan Barus 1989, bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran. Adapun menurut Martasuganda 2003, bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Bentuknya sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, persegi panjang, atau bentuk lainnya. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong, pinturrakkang, dan bubu lipat. a Wadong Wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif, dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting dan supaya kepiting mau memasuki wadong, di dalamnya diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat tangkap ini terbuat dari bahan bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk umpan. Konstruksi bubu wadong dapat dilihat pada Gambar 10. Sumber: Martasuganda 2003 Gambar 10 Konstruksi bubu wadong. b Pinturrakkang Adapun alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini Keterangan : 1. Rangka 2. Pintu 3. Pintu masuk 4. Tiang penyangga 5. Penusuk umpan 29 dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Konstruksi bubu pinturrakkang dapat dilihat pada Gambar 11. Sumber: Martasuganda 2003 Gambar 11 Konstruksi bubu pintur. Selanjutnya Lastari 2007 menyatakan bahwa terdapat bentuk bubu lipat kotak yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap rajungan. Iskandar dan Ramdani 2009, juga melakukan penelitian mengenai jenis umpan untuk menangkap rajungan dengan menggunakan bubu lipat berbentuk kotak. Konstruksi dari bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 12. Sumber: Lastari 2007 Keterangan : 1. Tali penyangga 2. Rangka 3. Jaring 4. Pemberat 5. Umpan Keterangan : a. Rangka b. Mulut bubu c. Badan bubu d. Engsel e. Tempat umpan Gambar 12 Konstruksi bubu lipat. 30 2.2.3.3 Umpan Menurut Miller 1990, salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu adalah umpan. Umpan berperan sebagai salah satu bentuk pemikat atractant yang memberikan rangsangan stimulus yang bersifat fisika dan kimia bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Bau-bau yang terlarut di dalam air dapat merangsang reseptor pada organ olfaktorius yang merupakan bagian dari indera penciuman ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut Syandri, 1988. King 1991 yang dikutip oleh Fitri 2008 menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsip kerja umpan adalah menarik ikan mendekati bubu kemudian masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Selanjutnya menurut Slack and Smith 2001, umpan yang baik dibutuhkan untuk penangkapan ikan yang efektif menggunakan bubu. Tipe umpan bervariasi tergantung tipe ikan yang ingin ditangkap. Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dilakukan sejak lama oleh nelayan. Monintja dan Martasuganda 1991, menyatakan bahwa terperangkapnya udang, kepiting atau ikan-ikan dasar pada bubu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya dikarenakan tertarik oleh bau umpan. Penciuman crustasea sangat sensitif dan akurat ketika mereka mencari sumber bau-bauan walaupun bau tersebut telah dikacaukan oleh turbulensi lingkungan pada saat bau tersebut didistribusikan Grasso, 2002. Menurut Miller 1990, umpan dapat dipilih guna mengurangi spesies tangkapan yang tidak diinginkan. Terdapat empat cara untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu dan salah satunya adalah pemilihan umpan dengan bau yang dapat menolak spesies yang tidak diinginkan. Slack dan Smith 2001, menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai berikut: 1 Efektif untuk menarik ikan target; 2 Ketersediiannya melimpah; 3 Mudah untuk disimpan dan diawetkan dan, 4 Harganya murah agar operasi penangkapan menguntungkan; 31 Martasuganda 2003 mengatakan bahwa umpan yang baik memiliki karakteristik yaitu : 1 Efektif dalam menarik ikan; 2 mudah diperoleh; 3 Murah; 4 Mudah disimpan dan, 5 Tahan lama; 1 Jenis-jenis umpan Umpan digunakan untuk membantu agar ikan masuk ke dalam bubu. Jenis umpan yang sering digunakan beraneka ragam, ada yang menggunakan umpan hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya Martasuganda, 2003. Berdasarkan sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami natural bait dan umpan buatan artificial bait Miller 1990. Umpan alami merupakan irisan-irisan daging, sedangkan umpan buatan merupakan campuran substrat kimia yang dibuat menyerupai struktur kimia umpan asli Mackie, 1973. Berdasarkan kondisinya, umpan dibagi menjadi dua, yaitu umpan hidup live bait dan umpan mati dead bait Leksono, 1983. Jenis umpan yang digunakan tergantung pada spesies ikan yang akan menjadi target penangkapan Ferno dan Olsen, 1994 Jenis umpan yang sering digunakan dalam penangkapan yaitu ikan herring Daniel and Bayer, 1989, potongan mackerel Lokkeborg, 1989, serta potongan kepiting atau lobster Miller, 1995. Menurut Miller 1995, Penggunaan umpan yang dicampur dengan potongan kepiting atau lobster akan menurunkan hasil tangkapan spesies sejenis secara drastis. Ramdani 2007, melakukan penelitian untuk menentukan umpan yang paling baik dalam menangkap rajungan dengan menggunakan empat umpan yang berbeda yaitu pepetek segar, pepetek asin, pepetek segar campur potongan rajungan, dan pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu dengan umpan ikan pepetek segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena rajungan yang berukuran besar memiliki sifat agresivitas yang tinggi sehingga mengabaikan bau substansi kimia yang 32 dikeluarkan oleh rajungan yang telah mati. Adapun Komarudin 2009 dalam penelitiannya mengenai celah pelolosan pada bubu tambun, menggunakan bulu babi diadema sp. yang dihancurkan sebagai umpan untuk menangkap kerapu koko. Umpan tersebut digunakan berdasarkan kebiasaan nelayan kepulauan seribu yang selalu menggunakan bulu babi dalam pengoperasian bubu tambun. 2 Posisi umpan Menurut Martasuganda 2003 umumnya umpan diletakkan di tengah- tengah yaitu pada bagian bawah, tengah atau bagian atas dari bubu baik dengan cara diikat ataupun digantung menggunakan pembungkus umpan. Archdale et al. 2003 mengatakan bahwa bau umpan akan terdifusi oleh arus air dan akan menyebabkan area yang dipengaruhi oleh aroma umpan akan menjadi daerah aktif. Archdale, et al. 2003 melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting batu jepang ’ishigani’ Charybdis japonica terhadap dua jenis bubu yang diberi umpan. Dalam penelitiannya, ia menggunakan dua jenis bubu yang berbentuk kotak serta bubu yang berbentuk kubah. Kedua bubu yang digunakan memiliki bentuk yang memanjang, sehingga menyebabkan jarak antara mulut bubu dengan umpan akan lebih jauh dibandingkan dengan kedua sisi dinding bubu. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi bau umpan yang dilepaskan akan lebih tinggi pada bagian dinding bubu dibandingkan pada bagian mulut bubu. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama penelitiannya, Archdale, et al. 2003 menemukan bahwa kepiting mendatangi bubu dari arah yang berlawanan dengan arah arus 75. Hal ini menunjukkan adanya dominasi dari peran aroma yang dikeluarkan oleh umpan yang berfungsi sebagai pemikat. Kepiting yang mendatangi bubu dari arah arus berasal tidak menunjukkan adanya pergerakan bagian mulut dan tidak melakukan gerakan zigzag, hal ini mengindikasikan bahwa kepiting tersebut tidak mengikuti jejak aroma umpan dan hanya bertemu dengan bubu secara tidak disengaja Gambar 13. 33 Gambar 13 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi umpan berdasarkan pada arus air. Archdale, et al. 2003 memasang umpan pada kedua jenis bubu yang diujicobakan dengan cara yang berbeda. Pada bubu berbentuk kotak, umpan dimasukkan kedalam kantong umpan dan kemudian diletakkan di dasar bagian tengah bubu. sedangkan pada bubu berbentuk kubah, umpan dipasang ditusukkan pada kawan dan dilengkungkan di bagian tengah bubu berhadapan dengan arah pintu masuk. Pada bubu kotak, peletakkan umpan pada bagian dasar bubu akan menyesatkan kepiting. Kepiting kerap mendatangi bubu pada bagian samping karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan jarak umpan ke mulut bubu. Peletakan posisi umpan pada bubu berbentuk kubah lebih baik karena mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk berbentuk corong. Daerah aktif umpan termasuk dalam bagian-bagian bubu yang berhubungan dengan aroma umpan, dan biasanya terletak berlawanan dengan arus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kepiting datang menuju bubu dengan mengikuti jejak aroma umpan 75, dan kepiting lain yang datang dari arah yang berlawanan kemungkinan terjadi secara tidak sengaja saat kepiting sedang mencari tempat untuk bersembunyi Archdale, 2003. Nelayan berpendapat bahwa meletakkan mulut bubu searah arus dapat meningkatkan hasil tangkapan. Archdale 2003 mengatakan bahwa tingkat kesuksesan masuknya seekor Cancer productus pada saat pintu masuk bubu diletakkan berlawanan arah dengan arah arus hanyalah sekitar 7, tetapi ketika pintu masuk bubu dibuat Sumber : Archdale, et al. 2003 34 pararel terhadap arah arus akan mengakibatkan tingkat kesuksesan meningkat menjadi 65. Berdasarkan hal ini maka peletakan mulut bubu searah dengan arus air sangatlah penting agar kepiting dapat merndatangi umpan dari arah yang berlawanan dengan arah arus. 3 Bobot umpan Bobot umpan merupakan faktor lain yang penting untuk menunjang keberhasilan penangkapan ikan. Miller 1983, menyatakan bahwa perangkap dengan bobot umpan 3 kg dapat menangkap 50 kepiting lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang hanya menggunakan umpan dengan bobot 1 kg dengan waktu perendaman 1 hari dan 4 hari. Sainte-Marie 1994, melakukan penelitian mengenai hubungan bobot serta pembungkusan umpan terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan bubu kepiting yang berasal dari Jepang. Dalam penelitiannya diketahui bahwa penambahan umpan akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan H. araneus dan C. irrotatus secara nyata. Lebih jauh Sainte-Marie 1994 menyimpulkan bahwa peningkatan bobot umpan akan meningkatkan hasil tangkapan pada level tertentu. Bobot umpan optimal akan bervariasi dengan daerah penangkapan, musim penangkapan, dan harga umpan terhadap hasil tangkapan bubu. Miller 1983, menjelaskan bahwa perangkap dengan menggunakan umpan sebanyak 3 kg mendapatkan hasil tangkapan C. opilio yang lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang menggunakan umpan sebanyak 1 kg. Banyak faktor yang dapat menjelaskan hubungan positif antara hasil tangkapan dengan jumlah umpan yang digunakan. Secara teoritis dapat diduga bahwa wilayah yang dapat dipengaruhi oleh bubu yang diberi umpan dan rata-rata konsentrasi atraktant pada jarak tertentu dari arah sumber umpan akan meningkat seiring dengan peningkatan bobot umpan Sainte-Marie and Hargrave, 1987 diacu oleh Marie, 1995. Hal ini terjadi karena pengaruh daya tarik kimia yang berasal dari umpan sebanding secara langsung terhadap kualitas umpan Zimmer-Faust and Case, 1983 dikutip oleh Sainte-Marie, 2005. Area daya tarik yang lebih luas akan menyebabkan lebih banyak hewan yang menyadari keberadaan umpan dan memungkinkan mereka untuk bergerak mendekati umpan Sainte-Marie and 35 Hargrave, 1987 diacu dalam Sainte-Marie, 1995. Selain itu, konsentrasi umpan attractant yang lebih besar dapat meningkatkan respons individual terhadap umpan, dan hal ini akan berakibat meningkatnya persentase individu yang bergerak menuju bubu McLeese, 1973; Fuzessery and Childress, 1975; Pearson et al., 11979; Zimmer-Faust and Case, 1983; Miller, 1990; Sainte-Marie, 1994. Pada akhirnya, ketika waktu perendaman bukanlah sebagai faktor pembatas, umpan dalam jumlah yang besar dapat berkurang lebih lambat dan menangkap ikan lebih lama dibandingkan dengan umpan dalam jumlah yang sedikit dan berakibat langsung pada kecepatan penangkapan.

2.2.4 Metode penangkapan bubu