3 umpan memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Miller
1990 mengatakan bahwa jika jejak bau umpan tidak menarik kepiting menuju mulut bubu, maka kepiting akan berusaha memasuki bubu melalui badan jaring
dimana aroma umpan yang paling kuat berasal. Untuk itulah posisi pemasangan umpan yang baik yang dapat menuntun kepiting menuju mulut bubu merupakan
suatu hal yang penting untuk diketahui. Penelitian tentang pengaruh posisi pemasangan serta bobot umpan terhadap
hasil tangkapan masih jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh posisi maupun jumlah
umpan terhadap hasil tangkapan rajungan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan bobot dan posisi umpan yang berbeda.
2. Menentukan bobot umpan yang paling efektif untuk menangkap rajungan
Portunus pelagicus dengan menggunakan bobot yang berbeda yaitu sebesar 50 gram, 100 gram, dan 150 gram.
3. Menentukan posisi umpan yang efektif untuk menangkap rajungan.
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.
Memberikan informasi mengenai bobot dan posisi umpan yang efektif untuk menangkap rajungan Portunus pelagicus atau yang sejenisnya;
2. Meningkatkan hasil tangkapan bubu lipat dengan pemberian jumlah umpan
dan posisi pemasangan yang tepat.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Rajungan 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi
Klasifikasi rajungan menurut Stephanuson dan Chambel 1959 yang dikutip oleh
Hermanto 2004 adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria
Divisi : Eucelomata Section : Prostomia
Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda Sub Ordo : Reptantia
Seksi : Brachyura Sub Seksi : Brachyrhyncha
Famili : Portunidae Sub Famili : Portuninae
Genus : Portunus Species : Portunus pelagicus
Rajungan Portunus pelagicus merupakan famili Portunidae dari seksi Brachyura. Hewan ini memiliki sapit yang memanjang, kokoh dan berduri. Pada
hewan ini terdapat perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar, sapitnya pun lebih panjang dari
yang betina. Rajungan jantan memiliki warna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada rajungan betina memiliki warna dasar kehijau-
hijauan dan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar, walaupun belum dewasa Nontji, 2007.
5 Secara umum rajungan memiliki ciri khas berupa sepasang sapit berduri
yang memanjang, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang. Pada rajungan terdapat 5 pasang kaki jalan. Pasangan pertama berubah menjadi sapit cheliped,
sedangkan pasangan kaki jalan ke-5 berubah fungsi sebagai alat pendayung. Kaki renang tereduksi dan tersembunyi di balik abdomen. Pada hewan betina, kaki
renang berfungsi sebagai alat pemegang dan inkubasi telur Oemarjati dan Wardhana, 1990. Sapit pada rajungan digunakan untuk menangkap dan
memegang makanan. Kaki jalan digunakan untuk berjalan di dasar perairan. Sedangkan kaki renang dipergunakan untuk berenang dengan cepat di air
sehingga tergolong kedalam Swimming Crab Portunidae Rangka, 2007. Oemarjati dan Wardhana 1990 mengatakan bahwa rajungan mempunyai
karapas yang sangat menonjol dibandingkan abdomennya. Abdomen berbentuk segitiga dan melipat ke sisi ventral karapas. Pada kedua sisi muka anterolateral
karapas terdapat 9 sembilan buah duri. Duri pertama di anterior berukuran lebih besar daripada ketujuh buah duri di belakangnya, sedangkan duri ke-9 yang
terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar. Rajungan memiliki tiga pasang duri frontal dan sembilan pasang duri antero-
lateral pada bagian dorsal. Adapun duri kesembilan pada antero-lateral memiliki ukuran paling besar dan panjang. Abdomen pada rajungan jantan berbentuk
segitiga yang meruncing ke depan sedangkan pada rajungan betina berbentuk segitiga yang lebih lebar dan membulat Schmitt, 1973.
Juwana dan Romimohtarto 2000 yang dikutip oleh Ramdani 2007 mengatakan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran 18 cm dengan capit yang
memanjang, kokoh, dan berduri. Rajungan yang ditangkap di perairan pantai umumnya mempunyai kisaran lebar karapas 8-13 cm dengan rata-rata berat ± 100
gram, sedangkan rajungan yang ditangkap pada perairan yang lebih dalam mempunyai kisaran lebar karapas 12-15 cm dengan berat rata-rata ±150 gram.
6 Tampak Dorsal
Abdomen jantan Abdomen betina
Sumber : www.sea-ex.comfishphotoscrab.htm
Gambar 1 Morfologi dan anatomi rajungan. Dalam pertumbuhannya, rajungan sering berganti kulit molting. Kulit
kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur sehingga tidak dapat terus tumbuh. Jika rajungan akan tumbuh besar maka rajungan akan berganti kulit
sehingga kulit lamanya akan ditanggalkan. Rajungan ketika baru berganti kulit memiliki karapas yang sangat lunak dan dibutuhkan beberapa waktu untuk dapat
membentuk pelindung yang keras. Masa ini merupakan masa yang rawan pada
7 rajungan. Tidak jarang rajungan disergap, dirobek, dan dimakan oleh sesama
jenisnya. Kanibalisme pada rajungan merupakan hal yang sering terjadi terutama dalam ruangan yang terbatas, baik pada rajungan dewasa maupun dalam tahap
larva Nontji, 2007. Menurut Warner 1977 yang dikutip oleh Hermanto 2004 tahap-tahap
molting adalah sebagai berikut:
1 Tahap awal molting
- Eksoskeleton menjadi membran yang lunak. Kaki tidak sanggup
mendukung bobot tubuh di air dan kepiting menjadi tidak aktif. Absorbs air berlangsung aktif, eksokutikel mulai mengalami mineralisasi;
- Ekseoskleton menjadi seperti kertas, kepiting dapat mendukung bobot
tubuhnya. Kandungan air dalam tubuh 80, endokutikel mengeras, mineralisasi dimulai.
2 Tahap baru saja molting
- Bentuk eksoskeleton menjadi rusak, tetapi tidak pecah;
- Bagian eksoskeleton menjadi kaku
3 Tahap intermolting
- Karapas menjadi keras, tapi bagian branchitegites, sternites, bagian merus
dan karpus tetap lunak. Bagian ini adalah bagian utama dari pertumbuhan jaringan;
- Karapas menjadi sangat keas. Branchitegites, sternites, serta kaki jalan
lunak dan patah jika dibengkokan. Pertumbuhan jaringan tetap berlanjut; -
Seluruh eksoskeleton keras, tetapi mineralisasi endokutikel tetap berlangsung. Lapisan membran yang paling dalam belum sempurna
sampai akhir tahap ini; -
Eksoskeleton sempurna, kehadiran lapisan membran dapat diduga dari pecah dan terangkatnya potongan karapas atau putusnya bagian dactylus
kaki jalan. Lapisan membran akan mengangkatnya pada epidermis. Pertumbuhan jaringan sempurna dan mengumpulkan metabolism yang
berbalik. Kandungan air 60.
8 -
Tahap anecdysis terakhir dibedakan oleh lapisan membran yang menempel pada begian eksoskeleton. Kepiting pada saat ini sering memperlihatkan
tanda berapa umurnya, eksoskeleton rusak dan mendukung epifauna. 4
Tahap premolting -
Epidermis lepas dari lapisan membran dan mengeluarkan epikutikel baru. Punggung yang baru berkembang di dalam bagian yang sudah tua.bagian
ini amat lunak, tetapi dapat dilihat jika dactylus patah dan jaringan diambil. Cadangan makanan dikerahkan dan glycogen dibentuk dalam
jaringan epidermis; 5
Tahap ecdysis -
Kepiting lepas dari eksoskeleton tua dan minum air.
Menurut Thompson 1974 yang dikutip oleh Hermanto 2004 rajungan besar biasanya tidak menanggalkan karapasnya untuk jangka waktu yang lama.
Rajungan seperti ini memiliki warna yang memudar dan karapasnya sering ditempeli oleh remisteritip atau sulur rumput laut. Rajungan dapat berjalan sangat
baik pada dasar perairan dan daerah interdal berlumpur yang lembab, dan jjuga perenang yang baik.
Menurut Moosa 1996 yang dikutip oleh Nontji 2007 di Indo-pasifik Barat diperkirakan terdapat 234 jenis hewan dari suku Portunidae. Di Indonesia
terdapat 124 jenis kepiting dari suku tersebut. Di Teluk Jakarta dan Pulau-pulau Seribu diperkirakan terdapat 46 jenis. Dari sekian jenis tersebut, hanya beberapa
jenis yang dikenal oleh banyak orang karena bisa dimakan. Kepiting yang biasanya dimakan adalah kepiting yang memiliki ukuran agak besar. Jenis
kepiting yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena tidak memiliki daging yang berarti.
Menurut Hermanto 2004 jenis rajungan yang umum dimakan edible crab ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portunidae atau
prodopthalnae. Adapun jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan tetapi berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Hal ini menyebabkan
jenis kepiting tersebut tidak umum untuk dimakan.
9 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar indonesia ada empat spesies
yaitu : rajungan portunus pelagicus, rajungan bintang Portunus sanguinolentus
, rajungan angin Podopthalmus vigil, dan rajungan karang Charybdis feriatus. Menurut Nontji 2007 rajungan bintang mudah dikenali
dengan adanya tiga bintik berwarna merah coklat dipunggungnya. Rajungan jenis ini memiliki ukuran lebih kecil dari P. pelagicus, hidup di laut terbuka mulai dari
tepi pantai hingga kedalaman lebih dari 30 m. Rajungan karang mempunyai warna yang khas, coklat kemerah-merahan dan di punggungnya terdapat gambaran pucat
menyerupai salib. Rajungan angin mempunyai ukuran yang lebih kecil lagi, jenis rajungan ini hidup di laut terbuka sampai kedalaman 70 m. Ciri yang menonjol
pada rajungan jenis ini adalah matanya yang mempunyai tangkai yang amat panjang dan bisa direbahkan. Adapun keempat jenis rajungan tersebut dapat
dilihat secara lebih jelas pada Gambar 2.
a b
sumber : www.dpi.nsw.gov.aufisheriescrab
sumber : www.hk-fish.netengdatabasecrabs
c d
sumber : www.seafood.nmmba.gov.tw
sumber : www.cookislands.bishopmuseum.org
Gambar 2 Jenis rajungan yang umum dijumpai di pasar Indonesia: a Portunus
pelagicus ; b Portunus sanguinolentus; c Charibydis feriatus; d
Podopthalmus vigil .
10
2.1.2 Habitat
Rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka. Hewan ini hidup dengan
membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, atau kadang-kadang dijumpai berenang-renang di permukaan Oemarjati dan
Wardhana, 1990. Dalam keadaan biasa, ia diam di dasar laut hingga kedalaman lebih dari 65 m, tetapi sesekali ia juga terlihat berenang dekat ke permukaan laut
Nontji, 2007. Menurut Thomson 1974 yang dikutip oleh Saedi 1997 rajungan dapat
merayap dengan baik di dasar dan daerah intertidal pasang surut sampai pada lumpur basah yang terbuka. Rajungan juga dapat menguibur diri di bawah pasir
dalam sekejap mata untuk menghindari musuh-musuhnya. Seperti kebanyakan penghuni laut aktif lainnya, rajungan menjadikan muara sebagai tempat mencari
makan feeding place dan pergi ke laut untuk memijah. Hutan bakau merupakan komunitas laut dangkal yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon atau semak-semak yang mempunya kemampuan untuk tumbuh di air asin. Hutan bakau dapat terbentuk dengan sendirinya apabila
kondisi fisik lingkungan memilki arus yang kecil sehingga endapan partikel yang halus cenderung berkumpul di dasar; substrat di daerah hutan mangrove pada
umumnya adalah lumpur; kadar oksigen tanah mangrove rendah dan kadar garamnya tinggi; dan merupakan bagian dari daerah pasang surut Nyabakken,
1993. Menurut Nyabakken 1993 hutan bakau dihuni oleh berbagai jenis makhluk
hidup. Sementara di bagian atasnya hidup beberapa organisme terestrial, terdapat hewan-hewan laut yang tinggal di bawahnya. Kelompok hewan laut dominan
yang hidup di hutan bakau adalah jenis moluska, beberapa krustasea dan jenis ikan-ikan tertentu. Dengan banyaknya sumberdaya yang terdapat pada hutan
bakau, menjadikannya sebagai salah satu tempat yang baik untuk perkembangan rajungan.
11
2.1.3 Daur hidup
Menurut Nontji 2007 seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Bentuk larva yg baru menetas
sangatlah berbeda dengan bentuk dewasa. Larva yang baru menetas mengalami beberapa kali perubahan bentuk hingga pada akhirnya memiliki bentuk yang sama
dengan rajungan dewasa. Larva rajungan yang baru menetas zoea memiliki bentuk yang lebih mirip
udang daripada rajungan. Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini
terdiri dari 4 tingkat dan kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang berbeda. Ciri-ciri tingkat perkembangan Zoea dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Umur dan ciri khas burayak dari tingkat Zoea I sampai Zoea IV Zoea I
Zoea II Zoea
III Zoea
IV Umur hari
2 2
2-3 6
Panjang karapas cm 0.3-0.5
0.5-0.7 0.7-0.8
0.8-0.9 Ruas abdomen ruas 5
5 6
6 Seta pada telson
6s 6s+2h
6s+2h 6s+2h Seta pada masing-masing ujung
pelopod maksiliped 4
6-8 10 12-14
Sumber : Panggabean dan Aswandy 1982 dikutip oleh Saedi 1997
Keterangan : s adalah serrate seta; h adalah simple seta
Pada saat larva rajungan memasuki tahap megalopa, bentuknya sudah mulai mirip dengan rajungan dewasa. Tubuh larva pada tahap ini sudah mulai melebar,
kaki dan sapitnya sudah memiliki wujud yang semakin jelas. Kemudian pada tahap berikutnya terbentuklah juvenile yang sudah merupakan tahap rajungan
muda Nontji, 2007. Tahapan perkembangan larva rajungan dapat dilihat pada Gambar 3.
12 a
b
c Digambar ulang oleh Caesario 2010
Keterangan : a Larva rajungan pada tahap zoea; b Larva rajungan pada tahap megalopa;
c Juvenile rajungan muda.
Gambar 3 Perkembangan larva rajungan.
Nontji 2005 mengatakan bahwa larva rajungan hidup sebagai plankton, berenang-renang dan terbawa arus, berbeda dengan rajungan dewasa yang hidup
di dasar perairan. Selanjutnya Juwana dan Romimohtarto 2000 dikutip oleh Ramdani 2007 menambahkan bahwa larva rajungan memiliki ukuran yang
sangat kecil sekali dan berenang-renang lemah dalam air laut sebagai plankton. Pada tahap ini larva rajungan bersifat planktonik pemakan plankton Oemarjati
dan Wardhana, 1990. Daur hidup rajungan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.
13
Digambar ulang oleh Caesario 2010 Gambar 4 Siklus hidup rajungan.
2.1.4 Reproduksi
Rajungan muda mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37 mm. Dengan demikian rajungan dapat melakukan proses reproduksi ketika
mencapai ukuran tersebut Rousefell, 1975 in Darya, 2002. Pada rajungan betina terdapat tahap perkembangan gonad sejak awal hingga selesai memijah. Tahap
perkembangan gonad ini disebut sebagai Tingkat Kematangan Gonad TKG. Penentuan TKG dapat dilihat secara morfologi dan histologi. Penentuan secara
morfologi dapat dilihat dari bentuk, panjang, berat, warna serta perkembangan isi gonad, sedangkan secara histologis dapat dilihat dari anatomi perkembangan
gonadnya Effendie, 1997 dikutip oleh Hermanto, 2004.
14 Pada kepiting, telur dalam tubuh betina yang sudah matang akan turun ke
oviduct dan dibuahi sperma, kemudian dipijahkan dan akan melekat pada rambut- rambut pleopod. Jumlah telur yang dikeluarkan di alam berkisar antara 1-8 juta
butir tergantung ukuran induk kepiting, namun hanya sepertiganya yang menempel pada rambut-rambut pleopod Fielder dan Heasman, 1982; Rukmana,
1992 dalam Hermanto, 2004. Rajungan betina dapat bertelur antara 180.000 sampai 200.000 telur setiap
memijah. Telur dibentuk lebih dari satu periode yang lamanya lebih dari satu hari sebelum dibuahi. Beberapa ratus telur disematkan di bagian bawah tubuh betina
yaitu pada bagian perut dengan maksud untuk melindunginya. Perlindungan dilakukan induk betina maternal care dengan cara selalu membersihkan telur
yang saling menempel ketika induk betinanya keluar dari pasir. Pemijahan dapat terjadi lebih dari sekali dalam satu musim dengan menggunakan sperma dari
perkawinan yang pertama. Telur akan menetas kira-kira selama 15 hari pada perairan dengan suhu 24
˚C West Australia goverment, 1997; Darya, 2002 dalam Hermanto, 2004.
2.1.5 Makanan
Rajungan Portunus pelagicus adalah hewan karnifor yang mencari makan di dasar perairan. Hewan ini memakan bermacam jenis hewan invertebrata yang
berifat menetap dan bergerak lambat. Kebutuhan makannya sangat tergantung pada ketersediaaan spesies lokal yang menjadi mangsanya. Makanan utama untuk
rajungan pada daerah pasang surut adalah kepiting kecil dan gastropoda, sedangkan untuk rajungan pada daerah sub pasang surut adalah hewan-hewan dari
kelas bivalvia dan ophiuridea Williams, 1982. Patel et al. 1979 yang dikutip oleh Williams 1982 menguji isi perut dari beberapa ratus rajungan Portunus
pelagicus yang tertangkap di Sikka , India. Adapun hasil penelitian yang
diperoleh menunjukkan bahwa isi perut rajungan Portunus pelagicus sebagian besar terdiri dari potongan kepiting, cangkang gastropoda dan bivalvia, dan
seringkali ditemukan ikan yang merupakan jenis makanan utama. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan 3948 perut kepiting yang
dikumpulkan dari perairan dangkal sub-litoral di Kunduchi, teluk Msasani dan
15 sungai Mzinga yang terletak di sepanjang pantai Dar es Salaam diketahui bahwa
makanan utama rajungan Portunus pelagicus terdiri dari Moluska 51.3, Krustasea 24.1, tulang ikan 18 dan bahan makanan yang tidak dapat
diidentifikasi 6.6. Adapun bahan makanan yang paling dominan diantaranya Bivalvia Arcuatula arcuatula dan beberapa jenis Moluska lain yang termasuk ke
dalam kelompok Gastropoda seperti genus Nassarius, Littoraria, dan Conus sp. Chande and Mgaya, 2004.
Menurut Prasad and Tampi 1953 yang dikutip oleh Williams 1982 rajungan adalah hewan pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Selain itu Williams
1982 menambahkan bahwa rajungan merupakan hewan yang hampir sepenuhnya bersifat karnifora. Adapun material makanan berupa tanaman sangat
jarang ditemukan sebagai makanan dan mungkin dicerna secara tidak sengaja pada saat mangsa diperoleh diantara alga atau rumput laut.
2.1.6 Tingkah laku
Rajungan aktif di malam hari, berenang mengikuti arus pasang menuju pantai, pemakan bangkai dan kanibal, meskipun kadang-kadang memakan
tumbuhan air. Menurut Thomson 1974 yang dikutip oleh Hermanto 2004 rajungan sering berenang melewati kapal pada malam hari, sehingga mereka
mendapatkan keuntungan untuk ikut bersama. Rajungan juga dapat menggali pasir dalam sekejap untuk menghindari musuh-musuhnya.
Daerah estuari merupakan tempat berkembang biak atau memijah rajungan. Kemudian rajungan betina akan membawa telurnya ke daerah pesisir pantai
daerah teluk. Rajungan tumbuh dengan berganti karapas secara berkala molting seperti udang-udangan lainnya. Rajungan betina kadang-kadang kawin pada saat
karapasnya masih lunak setelah berganti kulit Thompson, 1974 dikutip oleh Hermanto, 2004 .
Archdale, et al 2003 menyebutkan bahwa kepiting memberikan reaksi terhadap alat tangkap bubu yang dipasang di dasar perairan. Kepiting akan datang
dan mendekati bubu secara perlahan dengan membentuk pola zig zag. Kemudian kepiting akan melakukan kontak secara langsung terdahap bubu, menunjukkan
tanda-tanda sedang mencari makan. Kedua antena pada kepiting akan mendeteksi
16 keberadaan umpan di dalam bubu. Rangsangan yang diberikan oleh umpan
membuat kepiting terus berusaha mendapatkan umpan dari luar bubu. Kepiting akan bergerak perlahan ke kanan dan kiri menyusuri bagian bubu untuk mencari
jalan menuju kedalam bubu untuk dapat meraih umpan. Dengan cara ini kepiting akan menemukan mulut bubu dan berusaha masuk ke dalam bubu. Kepiting yang
berhasil masuk ke dalam bubu akan menuju ke arah umpan dan memakannya. Setelah memakan umpan tersebut, lalu kepiting menuju ke bagian sudut bubu.
Dalam penelitiannya untuk menentukan efektifitas penangkapan, Archdale, et al
2003 menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkah laku kepiting terhadap dua jenis bubu yang diberi umpan. Adapun bubu yang digunakan dalam
penelitiannya adalah bubu berbentuk kotak dengan dua celah pada bagian ujungnya. Adapun bubu lainnya berbentuk kubah dengan pintu masuk berbentuk
corong yang terbuka. Selanjutnya Archdale, et al 2003 menyimpulkan bahwa pada bubu
berbentuk kotak, kepiting akan melakukan beberapa usaha sampai akhirnya berhasil masuk kedalam bubu atau menyerah untuk memasuki bubu. Hal ini
dikarenakan pintu masuk bubu yang berbentuk celah serta material jaring yang mencegah kepiting untuk masuk karena mengakibatkan duri-duri mereka terjerat
pada jaring sehingga kepiting harus berusaha keras untuk mendorong tubuhnya masuk kedalam bubu. Sedangkan pada bubu berbentuk kubah, kepiting dapat
masuk dengan mudah dengan cara merayap menyamping. Tingkah laku kepiting terhadap dua jenis alat tangkap bubu secara detail ditunjukkan pada Gambar 5 dan
Gambar 6.
17 Sumber : Archdale et al 2003
Gambar 5 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kotak. Keterangan :
a. Mendekat perlahan
b. Kontak dengan jaring atau frame
c. Berusaha menjangkau umpan melalui
jaring dan pergerakan lateral d.
Menemukan pintu masuk e.
Memasuki bubu f.
Memakan umpan g.
Istirahat dan berdiam di sudut z. Tidak berhasil memasuki bubu
18 Sumber : Archdale et al 2003
Gambar 6 Tingkah laku kepiting terhadap bubu lipat berbentuk kubah.
2.2 Bubu 2.2.1 Deskripsi
Bubu
Bubu adalah alat tangkap sejenis perangkap dimana ikan atau target lainnya dapat memasuki ruangan penangkapan namun sulit untuk keluar, khususnya
ketika jalan keluar dilengkapi dengan alat pencegah hasil tangkapan untuk meloloskan diri non-return device Brandt, 1984. Selanjutnya Brandt 1984
membedakan pengertian perangkap dan bubu. Perangkap merupakan alat tangkap Keterangan :
a. Mendekat perlahan
b. Kontak dengan jaring atau frame
c. Berusaha menjangkau umpan melalui
jaring dan pergerakan lateral d.
Menemukan pintu masuk e.
Memasuki bubu f.
Memakan umpan g. Istirahat dan berdiam di sudut
19 dua dimensi, kadang-kadang pagar perangkap dibuat lebih tinggi dari permukaan
air untuk mencegah ikan-ikan lolos dengan cara melompati pagar tersebut. Berbeda dengan perangkap, bubu merupakan alat tangkap tiga dimensi yang
memiliki ruangan yang sepenuhnya tertutup, dengan pengecualian, satu atau lebih pintu masuk dilengkapi dengan alat pencegah ikan lolos non-return device.
Perangkap terbuat dari pagar-pagar dimana terdapat satu atau lebih ruangan penangkapan yang terhubung satu dengan yang lain, dan pada tiap ruangan
penangkapan tersebut memiliki pintu masuk yang berbentuk corong. Semua jenis bubu merupakan alat tangkap yang dapat dibawa dan dipindah-pindahkan,
sedangkan perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar.
Perikanan bubu skala kecil dioperasikan di perairan yang dangkal, sedangkan untuk skala menengah dan besar biasanya dilakukan di perairan lepas
pantai pada kedalaman antara 20 m sampai 700 m Martasuganda, 2003. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu telah banyak
digunakan mulai dari skala kecil, menengah, sampai skala besar. Penangkapan skala kecil dan menengah biasanya banyak dilakukan di perairan pantai di hampir
seluruh negara yang masih belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan di negara yang sudah maju sistem perikanannya.
Penggunaan bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat tangkap lain . Adapun kelebihan dari penggunaan bubu menurut Martasuganda
2003 adalah: 1
Pembuatan alatnya mudah; 2
Pengoperasiannya mudah; 3
Memiliki tingkat kesegaran hasil tangakapan yang tinggi; 4
Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan 5
Bisa dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan.
Menurut Martasuganda 2003, secara umum bubu terdiri atas bagian-bagian rangka, badan, dan mulut. Ada juga bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk
mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan. Bubu memiliki beberapa bagian secara umum. Alat tangkap ini umumnya
20 terdiri atas kerangka frame, dinding wall, mulut funnel, pintu hatch, dan
tempat umpan bait case Subani dan Barus, 1989.
2.2.2 Klasifikasi alat tangkap bubu
Menurut Brandt 1984, bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap traps. Subani dan Barus 1989 junga mengelompokkan bubu kedalam kategori
perangkap. Pengelompokan bubu kedalam golongan perangkap dikarenakan alat tangkap ini berusaha untuk memerangkap ikan-ikan yang masuk kedalamnya.
Secara umum Sainsbury 1996 membagi bubu kedalam dua klasifikasi berdasarkan lokasi pemasangannya yaitu :
1 Bubu laut dangkal Inshore potting
Alat tangkap bubu ini dioperasikan dengan menggunakan kapal yang berukuran kecil. Bubu ini dioperasikan hingga kedalaman 50 depa 75 meter.
2 Bubu laut dalam Offshore potting
Alat tangkap bubu ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 300 depa 450 m. Pengoperasian alat tangkap ini melibatkan peralatan dan kapal
yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan bubu laut dangkal. Selain itu, ukuran bubu yang dioperasikan juga jauh lebih besar dibandingkan dengan
bubu laut dangkal. Selanjutnya Sainsbury 1996 membagi bubu kedalam dua kategori
berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai. 1
Sistem tunggal Pada pengoperasian bubu dengan menggunakan sistem tunggal, bubu
dipasang di dasar perairan secara satu per satu. Bubu jenis ini biasanya dioperasikan pada daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup jauh
antara bubu yang satu dengan lainnya. Pada bubu dilengkapi dengan pemberat agar posisi bubu tidak tersapu oleh arus dan berpindah posisi. Untuk dapat
mengetahui posisi pemasangan bubu ini, dipasang pelampung tanda untuk memudahkan dalam pencarian bubu. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal
dapat dilihat pada Gambar 7.
21 Sumber : Sainsbury 1996
Gambar 7 Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal.
2 Sistem rawai
Pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu lainnya.
Biasanya bubu dengan system rawai dioperasikan pada laut dalam. Bubu yang dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan dengan pengait snap antara
tali cabang dan tali utama. Kemudian ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar bubu tidak berpindah tempat.
Pemasangan bubu dengan system rawai dapat dilihat pada Gambar 8
22 Gambar 8 Pengoperasian Bubu dengan sistem rawai.
Subani dan Barus 1989, membagi bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperasiannya yaitu: bubu dasar ground fishpot, bubu apung floating
fishpot , dan bubu hanyut drifting fishpot.
1 Bubu Dasar Ground Fishpot
Bubu dasar adalah bubu dioperasikan di dasar perairan. Pengoperasian bubu jenis ini bisa dilakukan secara tunggal dan bisa pula dioperasikan secara rawai.
Tempat pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang atau di antara karang- karang atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga
hari setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang. Sasaran tangkapan bubu ini adalah jenis ikan demersal.
2 Bubu Apung Floating Fishpot
Bubu apung adalah bubu yang dioperasikan dengan cara diapungkan di permukaan perairan. Bubu ini umumnya terbuat dari bambu dan dilengkapi
dengan pelampung. Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurung-kurung. Bubu jenis ini menangkap jenis ikan pelagis.
Sumber : Sainsbury 1996
23 3
Bubu Hanyut Bubu hanyut adalah bubu yang dioperasikan di permukaan air. Ditinjau dari
kedudukannya di air, bubu hanyut sama dengan bubu apung, namun bubu ini kemudian dihanyutkan mengikuti arus air. Bubu jenis ini umumnya dirangkai dari
beberapa bubu yang berukuran kecil berjumlah 20-30 buah. Bubu hanyut di Indonesia umumnya dikenal dengan sebutan pakaja, luka, atau patorani. Pakaja
atau luka artinya sama yaitu bubu, sedangkan patorani merupakan penamaan bubu karena bubu ini menangkap ikan torani atau ikan terbang flying fish.
2.2.3 Konstruksi bubu
Menurut Subani dan Barus 1989 bubu secara umum terdiri atas kerangka frame, dinding wall, ijebmulut funnel, pintu hatch, dan tempat umpan bait
case . Slack and Smith 2001 menyatakan bahwa bubu terdiri dari rangka, badan,
mulut, tempat umpan, pintu, celah pelolosan dan pemberat. 1
Rangka Rangka bubu berfungsi memberi bentuk pada bubu. Rangka dibuat dari
material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan. Rangka bubu dapat terbuat dari kayu, besi, baja atau bahkan
terbuat dari plastik. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu.
Di Kanada dan Timur Laut Amerika Serikat, penangkapan lobster tradisional menggunakan bubu dengan rangka kayu dan kini digantikan dengan rangka
besi yang dilapisi plastik. Lain halnya di Kanada dan Barat Laut Amerika Serikat. Di Australia dan New Zealand, bubu dan perangkap kini dibuat
dengan menggunakan mata jaring yang terbuat dari baja sehingga tidak memerlukan rangka untuk menjaga bentuknya. Bubu di Indonesia masih
banyak yang menggunakan rangka berbahan rotan atau bambu seperti bubu tambun yang digunakan di kepulauan seribu untuk menangkap jenis ikan
karang serta bubu wadong untuk menangkap kepiting. Monintja dan Martasuganda 1991 menyatakan bahwa saat ini bubu di Indonesia sudah
menggunakan besi sebagai kerangka.
24 2
Badan Badan bubu pada alat tangkap bubu modern biasanya terbuat dari kawat,
jaring nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari penggunaan tradisional, dan ketersediaan material, serta biaya dalam
pembuatan. Pada beberapa daerah, bambu dan anyaman rotan masih digunakan dalam pembuatan badan bubu. Selain itu, pemilihan material
tergantung pula pada hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. 3
Mulut Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian
dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Selain itu ada juga yang berbentuk celah seperti pada bubu
lipat segi empat serta berbentuk horse neck pada jenis bubu tambun. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari
satu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bubu yang memiliki lebih dari satu mulut menangkap lebih banyak dibandingkan bubu dengan satu mulut
Miller, 1990. Archdale et al 2003 melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting
dengan menggunakan dua jenis bubu yang memiliki mulut berbentuk corong dan bubu berbentuk celah. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa bubu
dengan mulut berbentuk corong lebih memudahkan kepiting untuk masuk kedalam bubu dibandingkan dengan bubu dengan mulut berbentuk celah. Hal
ini dikarenakan mulut bubu berbentuk celah dapat menyebabkan duri kepiting terjerat serta menyulitkan kepiting untuk masuk kedalam bubu.
4 Tempat umpan
Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Tempat umpan ini bisa terbuat dari kawat, plastik ataupun jaring sintetis. Fungsinya untuk menahan
umpan agar tidak terpisah dan tetap pada tempatnya. Dalam beberapa kasus, umpan diletakkan pada ruangan yang terbuat dari besi atau plastik dengan
beberapa lubang kecil untuk mengamankan umpan. Cara ini hanya bisa dilakukan apabila umpan yang digunakan sangat atraktif pada ikan yang ingin
ditangkap
25 5
Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan Pintu biasanya terletak pada bagian tengah badan bubu agar mudah untuk
mengeluarkan hasil tangkapan. Kebanyakan perangkap dilengkapi dengan pintu untuk memudahkan dalam mengeluarkan hasil tangkapan.
6 Celah pelolosan
Celah pelolosan dibuat agar ikan-ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Bentuk celah pelolosan dapat mempengaruhi
keberhasilan bubu dalam meloloskan hasil tangkapan sampingan. Bentuk escape gap
sebaiknya disesuaikan dengan morfologi maupun tingkah laku dari target spesies yang akan diloloskan. Adapun bentuk celah pelolosan yang
umum digunakan yaitu kotak, persegi panjang, lingkaran, dan oval. Pada beberapa negara, celah pelolosan sudah menjadi keharusan pada setiap alat
tangkap untuk meloloskan ikan-ikan dan crustacea yang masih berukuran kecil. Seperti pada pemerintah Australia, New Zealand, dan Kuba yang
mengharuskan setiap alat tangkap bubu dipasang celah pelolosan untuk meloloskan ikan-ikan ukuran juvenile. Di Australia dan New Zealand, lobster
batu dengan panjang karapas kurang dari 7.6 cm harus dibebaskan atau diperbolehkan untuk meloloskan diri.
7 Pemberat
Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang. Sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat
setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari
kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis batuan lainnya.
2.2.3.1 Bahan Pemilihan bahan dalam pembuatan bubu tergantung pada tipe bubu yang
ingin dibuat dan jenis tangkapan yang diinginkan Slack and Smith, 2001. Menurut Subani dan Barus 1989, perangkap terbuat dari anyaman bambu
bamboos netting, anyaman rotan rattan netting, anyaman kawat wire netting, kere bambu bamboos screen. Adapun Sudirman dan Mallawa 2004
menyatakan bahwa bubu biasanya terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu,
26 atau bahan buatan lainnya seperti jaring. Beberapa jenis bubu menggunakan bahan
keramik, cangkang kerang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka bubu biasanya terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu.
Berbeda dengan bagian badan bubu yang tebuat dari anyaman kawat, jaring, waring maupun anyaman bambu. Selanjutnya Martasuganda 2003,
menambahkan bahwa kantong umpan pada bubu kebanyakan menggunakan bahan kawat kasa.
Brandt 1984 mengatakan bahwa bahan pembuatan bubu umumnya terbuat dari kayu, kawat besi dan plastik. Kayu merupakan jenis bahan yang pertama kali
digunakan untuk membuat bubu. Bubu yang terbuat dari bahan kayu biasanya terbuat dari potongan alang-alang, bambu, rotan, ataupun bilah kayu. Bubu
dengan bahan kawat merupakan pengembangan lanjutan dari bubu yang terbuat dari bahan kayu. Bahan kawat dapat digunakan untuk membuat bubu dengan
bentuk yang bervariasi. Kekurangan dari bubu yang menggunakan bahan kawat besi adalah rentan terhadap karat. Bubu berbahan kawat yang digunakan pada
perikanan laut umumnya dilengkapi dengan anode timah atau aluminium yang berfungsi untuk mengeluarkan arus listrik, mencegah korosi dan meningkatkan
kualitas bubu. Adapun bubu dengan bahan plastik awalnya dibuat untuk sport fishing
yang menginginkan perangkap yang ringan dan mudah dibawa menggantikan botol kaca yang bagian bawahnya dilubangi secara tradisional
untuk menangkap ikan umpan. Walaupun penggunaan bahan plastik sangat menarik untuk diterapkan dalam sport fishing, namun bahan plastik sangatlah
mahal untuk digunakan dalam perikanan komersial yang secara umum membutuhkan bubu dengan ukuran lebih besar, jumlah yang lebih banyak, dan
harga yang lebih terjangkau. Penggunaan plastik sebagai bahan pembuatan bubu dalam perikanan komersial dapat bernilai ekonomis apabila bubu diproduksi
dalam jumlah yang besar.
2.2.3.2 Bentuk alat tangkap bubu Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
Sainsbury 1996 mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang menjadi target tangkapan di setiap daerah
27 Keterangan :
a = Bubu kepiting di bagian tenggara Amerika Serikat b = Bubu lobster di Curacao, Amerika bagian Utara
c = Bubu kepiting dan lobster di Curacao, Amerika bagian Utara d = Bubu belut di perairan Miami
Gambar9. Akan tetapi bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama, hal ini tergantung pada kebiasaan atau
pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya Martasuganda, 2003.
Sumber : Sainsbury 1996
Gambar 9 Perbedaan bentuk bubu berdasarkan target tangkapan.
Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia seperti halnya di Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia serta di pantai timur
dan barat Amerika Utara yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis sedangkan
bubu berbentuk hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India
28 dan Sri Lanka, selain itu terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut
Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Di Indonesia dan Thailand terdapat
bubu yang disebut dengan tubular traps. Bubu tersebut berbentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut funnel dengan bagian ujung bebu terbelah-belah
Brandt 1984. Menurut Subani dan Barus 1989, bubu mempunyai bentuk yang beraneka
ragam seperti bentuk bujur sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran. Adapun
menurut Martasuganda 2003, bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Bentuknya sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium,
silinder, lonjong, persegi panjang, atau bentuk lainnya. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong,
pinturrakkang, dan bubu lipat. a
Wadong Wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif, dipasang menetap di
tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting dan supaya kepiting mau memasuki wadong, di dalamnya diberi umpan yang ditusuk dengan bambu
supaya tidak terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Keseluruhan bagian dari alat tangkap ini terbuat dari bahan bambu termasuk alat pemancang dan alat penusuk
umpan. Konstruksi bubu wadong dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber: Martasuganda 2003 Gambar 10 Konstruksi bubu wadong.
b Pinturrakkang
Adapun alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini
Keterangan :
1. Rangka
2. Pintu
3. Pintu masuk
4. Tiang penyangga
5. Penusuk umpan
29 dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai
rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari
jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Konstruksi bubu pinturrakkang dapat dilihat pada Gambar
11.
Sumber: Martasuganda 2003 Gambar 11 Konstruksi bubu pintur.
Selanjutnya Lastari 2007 menyatakan bahwa terdapat bentuk bubu lipat kotak yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap rajungan. Iskandar
dan Ramdani 2009, juga melakukan penelitian mengenai jenis umpan untuk menangkap rajungan dengan menggunakan bubu lipat berbentuk kotak.
Konstruksi dari bubu lipat dapat dilihat pada Gambar 12.
Sumber: Lastari 2007 Keterangan :
1. Tali penyangga
2. Rangka
3. Jaring
4. Pemberat
5. Umpan
Keterangan :
a. Rangka
b. Mulut bubu
c. Badan bubu
d. Engsel
e. Tempat umpan
Gambar 12 Konstruksi bubu lipat.
30 2.2.3.3 Umpan
Menurut Miller 1990, salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu adalah umpan. Umpan berperan sebagai
salah satu bentuk pemikat atractant yang memberikan rangsangan stimulus yang bersifat fisika dan kimia bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan
ikan. Bau-bau yang terlarut di dalam air dapat merangsang reseptor pada organ olfaktorius
yang merupakan bagian dari indera penciuman ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut Syandri, 1988.
King 1991 yang dikutip oleh Fitri 2008 menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsip
kerja umpan adalah menarik ikan mendekati bubu kemudian masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Selanjutnya menurut
Slack and Smith 2001, umpan yang baik dibutuhkan untuk penangkapan ikan yang efektif menggunakan bubu. Tipe umpan bervariasi tergantung tipe ikan yang
ingin ditangkap. Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan
menggunakan bubu sudah dilakukan sejak lama oleh nelayan. Monintja dan
Martasuganda 1991, menyatakan bahwa terperangkapnya udang, kepiting atau ikan-ikan dasar pada bubu disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya dikarenakan tertarik oleh bau umpan. Penciuman crustasea sangat sensitif dan akurat ketika mereka mencari sumber bau-bauan walaupun bau
tersebut telah dikacaukan oleh turbulensi lingkungan pada saat bau tersebut didistribusikan Grasso, 2002. Menurut Miller 1990, umpan dapat dipilih guna
mengurangi spesies tangkapan yang tidak diinginkan. Terdapat empat cara untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu dan salah satunya adalah
pemilihan umpan dengan bau yang dapat menolak spesies yang tidak diinginkan. Slack dan Smith 2001, menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai
berikut: 1
Efektif untuk menarik ikan target; 2
Ketersediiannya melimpah; 3
Mudah untuk disimpan dan diawetkan dan, 4
Harganya murah agar operasi penangkapan menguntungkan;
31 Martasuganda 2003 mengatakan bahwa umpan yang baik memiliki
karakteristik yaitu : 1 Efektif dalam menarik ikan;
2 mudah diperoleh; 3 Murah;
4 Mudah disimpan dan, 5 Tahan lama;
1 Jenis-jenis umpan
Umpan digunakan untuk membantu agar ikan masuk ke dalam bubu. Jenis umpan yang sering digunakan beraneka ragam, ada yang menggunakan umpan
hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya Martasuganda, 2003. Berdasarkan sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami natural bait dan umpan
buatan artificial bait Miller 1990. Umpan alami merupakan irisan-irisan daging, sedangkan umpan buatan merupakan campuran substrat kimia yang dibuat
menyerupai struktur kimia umpan asli Mackie, 1973. Berdasarkan kondisinya, umpan dibagi menjadi dua, yaitu umpan hidup live
bait dan umpan mati dead bait Leksono, 1983. Jenis umpan yang digunakan
tergantung pada spesies ikan yang akan menjadi target penangkapan Ferno dan Olsen, 1994 Jenis umpan yang sering digunakan dalam penangkapan yaitu ikan
herring Daniel and Bayer, 1989, potongan mackerel Lokkeborg, 1989, serta
potongan kepiting atau lobster Miller, 1995. Menurut Miller 1995, Penggunaan umpan yang dicampur dengan potongan
kepiting atau lobster akan menurunkan hasil tangkapan spesies sejenis secara drastis. Ramdani 2007, melakukan penelitian untuk menentukan umpan yang
paling baik dalam menangkap rajungan dengan menggunakan empat umpan yang berbeda yaitu pepetek segar, pepetek asin, pepetek segar campur potongan
rajungan, dan pepetek segar yang diolesi minyak kedelai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bubu dengan umpan ikan pepetek segar campur potongan rajungan menangkap rajungan dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang
lebih besar. Hal ini disebabkan karena rajungan yang berukuran besar memiliki sifat agresivitas yang tinggi sehingga mengabaikan bau substansi kimia yang
32 dikeluarkan oleh rajungan yang telah mati. Adapun Komarudin 2009 dalam
penelitiannya mengenai celah pelolosan pada bubu tambun, menggunakan bulu babi diadema sp. yang dihancurkan sebagai umpan untuk menangkap kerapu
koko. Umpan tersebut digunakan berdasarkan kebiasaan nelayan kepulauan seribu yang selalu menggunakan bulu babi dalam pengoperasian bubu tambun.
2 Posisi umpan
Menurut Martasuganda 2003 umumnya umpan diletakkan di tengah- tengah yaitu pada bagian bawah, tengah atau bagian atas dari bubu baik dengan
cara diikat ataupun digantung menggunakan pembungkus umpan. Archdale et al. 2003 mengatakan bahwa bau umpan akan terdifusi oleh arus air dan akan
menyebabkan area yang dipengaruhi oleh aroma umpan akan menjadi daerah aktif.
Archdale, et al. 2003 melakukan penelitian mengenai tingkah laku kepiting batu jepang ’ishigani’ Charybdis japonica terhadap dua jenis bubu yang diberi
umpan. Dalam penelitiannya, ia menggunakan dua jenis bubu yang berbentuk kotak serta bubu yang berbentuk kubah. Kedua bubu yang digunakan memiliki
bentuk yang memanjang, sehingga menyebabkan jarak antara mulut bubu dengan umpan akan lebih jauh dibandingkan dengan kedua sisi dinding bubu. Hal ini
akan menyebabkan konsentrasi bau umpan yang dilepaskan akan lebih tinggi pada bagian dinding bubu dibandingkan pada bagian mulut bubu.
Berdasarkan observasi yang dilakukan selama penelitiannya, Archdale, et al. 2003 menemukan bahwa kepiting mendatangi bubu dari arah yang berlawanan
dengan arah arus 75. Hal ini menunjukkan adanya dominasi dari peran aroma yang dikeluarkan oleh umpan yang berfungsi sebagai pemikat. Kepiting yang
mendatangi bubu dari arah arus berasal tidak menunjukkan adanya pergerakan bagian mulut dan tidak melakukan gerakan zigzag, hal ini mengindikasikan bahwa
kepiting tersebut tidak mengikuti jejak aroma umpan dan hanya bertemu dengan bubu secara tidak disengaja Gambar 13.
33
Gambar 13 Persentase dan jumlah kepiting yang mendekati bubu yang diberi
umpan berdasarkan pada arus air. Archdale, et al. 2003 memasang umpan pada kedua jenis bubu yang
diujicobakan dengan cara yang berbeda. Pada bubu berbentuk kotak, umpan dimasukkan kedalam kantong umpan dan kemudian diletakkan di dasar bagian
tengah bubu. sedangkan pada bubu berbentuk kubah, umpan dipasang ditusukkan pada kawan dan dilengkungkan di bagian tengah bubu berhadapan dengan arah
pintu masuk. Pada bubu kotak, peletakkan umpan pada bagian dasar bubu akan menyesatkan kepiting. Kepiting kerap mendatangi bubu pada bagian samping
karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan jarak umpan ke mulut bubu. Peletakan posisi umpan pada bubu berbentuk kubah lebih baik karena
mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk berbentuk corong. Daerah aktif umpan termasuk dalam bagian-bagian bubu yang berhubungan
dengan aroma umpan, dan biasanya terletak berlawanan dengan arus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kepiting datang menuju bubu
dengan mengikuti jejak aroma umpan 75, dan kepiting lain yang datang dari arah yang berlawanan kemungkinan terjadi secara tidak sengaja saat kepiting
sedang mencari tempat untuk bersembunyi Archdale, 2003. Nelayan berpendapat bahwa meletakkan mulut bubu searah arus dapat meningkatkan hasil
tangkapan. Archdale 2003 mengatakan bahwa tingkat kesuksesan masuknya seekor Cancer productus pada saat pintu masuk bubu diletakkan berlawanan arah
dengan arah arus hanyalah sekitar 7, tetapi ketika pintu masuk bubu dibuat Sumber : Archdale, et al. 2003
34 pararel terhadap arah arus akan mengakibatkan tingkat kesuksesan meningkat
menjadi 65. Berdasarkan hal ini maka peletakan mulut bubu searah dengan arus air sangatlah penting agar kepiting dapat merndatangi umpan dari arah yang
berlawanan dengan arah arus.
3 Bobot umpan
Bobot umpan merupakan faktor lain yang penting untuk menunjang keberhasilan penangkapan ikan. Miller 1983, menyatakan bahwa perangkap
dengan bobot umpan 3 kg dapat menangkap 50 kepiting lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang hanya menggunakan umpan dengan bobot 1
kg dengan waktu perendaman 1 hari dan 4 hari. Sainte-Marie 1994, melakukan penelitian mengenai hubungan bobot serta
pembungkusan umpan terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan bubu kepiting yang berasal dari Jepang. Dalam penelitiannya diketahui bahwa
penambahan umpan akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan H. araneus dan C. irrotatus
secara nyata. Lebih jauh Sainte-Marie 1994 menyimpulkan bahwa peningkatan bobot umpan akan meningkatkan hasil tangkapan pada level tertentu.
Bobot umpan optimal akan bervariasi dengan daerah penangkapan, musim penangkapan, dan harga umpan terhadap hasil tangkapan bubu. Miller 1983,
menjelaskan bahwa perangkap dengan menggunakan umpan sebanyak 3 kg mendapatkan hasil tangkapan C. opilio yang lebih banyak dibandingkan dengan
perangkap yang menggunakan umpan sebanyak 1 kg. Banyak faktor yang dapat menjelaskan hubungan positif antara hasil
tangkapan dengan jumlah umpan yang digunakan. Secara teoritis dapat diduga bahwa wilayah yang dapat dipengaruhi oleh bubu yang diberi umpan dan rata-rata
konsentrasi atraktant pada jarak tertentu dari arah sumber umpan akan meningkat seiring dengan peningkatan bobot umpan Sainte-Marie and Hargrave, 1987 diacu
oleh Marie, 1995. Hal ini terjadi karena pengaruh daya tarik kimia yang berasal
dari umpan sebanding secara langsung terhadap kualitas umpan Zimmer-Faust and Case, 1983 dikutip oleh Sainte-Marie, 2005. Area daya tarik yang lebih luas
akan menyebabkan lebih banyak hewan yang menyadari keberadaan umpan dan memungkinkan mereka untuk bergerak mendekati umpan Sainte-Marie and
35 Hargrave, 1987 diacu dalam Sainte-Marie, 1995. Selain itu, konsentrasi umpan
attractant yang lebih besar dapat meningkatkan respons individual terhadap umpan, dan hal ini akan berakibat meningkatnya persentase individu yang
bergerak menuju bubu McLeese, 1973; Fuzessery and Childress, 1975; Pearson et al., 11979; Zimmer-Faust and Case, 1983; Miller, 1990; Sainte-Marie, 1994.
Pada akhirnya, ketika waktu perendaman bukanlah sebagai faktor pembatas, umpan dalam jumlah yang besar dapat berkurang lebih lambat dan menangkap
ikan lebih lama dibandingkan dengan umpan dalam jumlah yang sedikit dan berakibat langsung pada kecepatan penangkapan.
2.2.4 Metode penangkapan bubu
Metode pemasangan bubu yang diterapkan oleh nelayan biasanya menggunakan sistem tunggal dan sistem rawai. Menurut Sainsbury 1996, bubu
dioperasikan secara single atau dengan metode rawai, tergantung dari kedalaman, ruang yang dibutuhkan, serta pola pemasangan bubu. Bubu yang dipasang dengan
jarak yang jauh atau yang disetting di sekitar daerah berbatukarang biasanya disetting secara sendiri-sendiri, terutama di daerah dangkal tanpa arus yang deras.
Di wilayah perairan yang lebih dalam, dimana terdapat banyak ruang di sepanjang kontur kedalaman, atau di daerah tertentu yang lebih tinggi, bubu lebih sering
disetting dengan cara rawai. Menurut Martasuganda 2008, waktu pemasangan setting dan
pengangkatan hauling bubu ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari. Proses pemasangan
setting dan pengangkatan hauling bubu tergantung pada nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman soaking time bubu di perairan ada yang
hanya direndam beberapa jam, ada juga yang direndam sampai 7 hari 7 malam. Metode pengoperasian bubu menurut FAO 1968 yang dikutip oleh
Pramono 2006 meliputi : 1
Rigging atau pengikatan tali-temali Proses ini berupa pemasangan tali-temali pada bubu terutama pemasangan
pelampung tanda. 2
Baiting atau pemasangan umpan
36 Proses ini adalah proses dipasangnya umpan yang digunakan untuk memikat
ikan masuk kedalam bubu. 3
Pemasangan setting Keberhasilan penangkapan ikan sangat bergantung pada lokasi
penanempatan bubu. Adapun posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan.
4 Lama perendaman soaking time
Lamanya perendaman bubu bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran penangkapan dan daya tahan umpan. Saat ikan sangat aktif mencari makan, maka
lama perendaman hanya membutuhkan waktu beberapa menit. 5
Pengangkatan hauling Proses pengangkatan hauling bubu dilakukan baik secara manual oleh
nelayan maupun dengan menggunakan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu diangkat, hasil tangkapan dipindahkan ke palka atau keranjang yang telah
disiapkan sebelumnya. Menurut Mariana 2006, terdapat 5 tahap pada pengoperasian bubu lipat,
yaitu tahap persiapan, pencarian daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu setting, perendaman bubu soaking, serta pengangkatan bubu hauling.
1 Tahap persiapan
Tahap ini dilakukan sebelum operasi penangkapan berlangsung dan meliputi persiapan alat tangkap bubu cadangan, pemeriksaan kondisi kapal seperti
pengecekan mesin dan pengisian bahan bakar, umpan dan perbekalan selama melakukan operasi penangkapan. Tahap ini dimulai sehari sebelum operasi
penangkapan dilakukan, diantaranya mencari umpan, sehingga pada saat akan melaut hanya melakukan persiapan di atas kapal.
2 Tahap pencarian daerah penangkapan ikan
Tahap pencarian daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan berdasarkan pada kebisaaan dan pengalaman nelayan dalam melakukan operasi
peangkapan, umumnya lokasi pemasangan bubu berada pada perairan sekitar pantai terbuka yang dipengaruhi gelombang, kecepatan arus tidak terlalu
besar, dasar perairan berupa pasir, pasir berlumpur dan lumpur. 3
Tahap pemasangan bubu setting
37 Setelah sampai di daerah penangkapan, bubu diturunkan. Penurunan bubu
lipat dimulai dengan menurunkan pemberat pertama, dilanjutkan penurunan bubu yang sudah dipasangi umpan dan sudah dirangkai dengan menggunakan
sistem rawai, hingga penurunan pemberat kedua. Proses ini diakhiri dengan penurunan pelampung tanda. Pada saat penurunan bubu, mesin kapal tidak
dimatikan dan kapal tetap berjalan dengan kecepatan rendah. 4
Tahap perendaman bubu soaking Tahap perendaman merupakan tahap dimana bubu dibiarkan di dalam
perairan selama 11-12 jam. Pada tahap ini target tangkapan yang masuk ke dalam bubu akan terperangkap di dalam bubu dan tidak dapat meloloskan
diri. Pada saat bubu disetting, nelayan dapat meninggalkan fishing ground ataupun menunggu saat pengangkatan bubu. Sehingga pada tahap ini nelayan
dapat melakukan aktivitas lain, baik melakukan operasi penangkapan dengan alat tangkap lain ataupun melakukan aktivitas selain bidang perikanan.
5 Tahap pengangkatan bubu hauling
Tahap terakhir yang dilakukan dalam pengoperasian bubu adalah tahap pengangkatan bubu. Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pengangkatan
pelampung tanda, pemberat kedua, bubu dan diakhiri pemberat pertama. Adapun pembagian kerja dari nelayan yang melakukan operasi pengangkatan
hauling yaitu: satu orang nelayan bertugas mengangkat bubu dari perairan, satu orang nelayan lainnya mengambil hasil tangkapan dari dalam bubu untuk
kemudian disimpan di tempat yang telah disediakan di atas kapal dan
memasang umpan kembali serta merapikan bubu di dek kapal.
2.2.5 Daerah penangkapan bubu
Daerah penangkapan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat penangkap ikan dapat dioperasikan Djatikusumo, 1975. Menurut Sainsbury
1986 bubu dapat diaplikasikan untuk menangkap hewan-hewan krustasea seperti lobster dan kepiting yang bergerak dengan menggunakan kakinya pada dasar
perairan. Daerah penangkapan bubu adalah perairan yang mempunyai dasar perairan berlumpur maupun dasar pasir ataupun daerah berkarang tergantung ikan
yang menjadi tujuan penangkapan.
38 Penentuan daerah penangkapan untuk perikanan bubu tidak seperti halnya
menentukan daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar seperti tuna dan ikan pelagis pada umumnya, dimana harus selalu memperhitungkan faktor oseanografi,
kelimpahan plankton dan faktor lainnya yang berhubungan. Keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang dalam suatu daerah penangkapan ikan sangat penting
untuk diketahui sebelum operasi penangkapan dilakukan . keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang di suatu perairan dapat diketahui dengan alat pendeteksi ikan
fish finder, berdasarkan pada data hasil tangkapan sebelumnya di suatu perairan, atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait Martasuganda, 2008.
Daerah penangkapan rajungan adalah wilayah pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka Oemarjati dan Wardhana, 1990. Adapun
menurut Ramdani 2007, daerah penangkapan rajungan adalah dasar perairan dengan kisaran kedalaman 6-16 m.
2.2.6 Nelayan
Nelayan adalah orang yang bermatapencaharian melakukan usaha penangkapan ikan. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan dikelompokkan menjadi
dua, yaitu nelayan penuh dan nelayan sambilan. Nelayan penuh adalah nelayan yang menggunakan seluruh waktu kerjanya sebagai nelayan. Nelayan sambilan
adalah nelayan yang sebagian waktu kerjanya sebagai nelayan disamping pekerjaan lain UU no.31, 2004.
Menurut Direktorat Jendral Perikanan 2000, nelayan dikelompokkan kedalam 3 jenis yaitu nelayan penuh, nelayan sambilanan utama, serta nelayan
sambilan tambahan. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk operasi penangkapan ikan. Nelayan sambilan utama adalah
nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk operasi penangkapan. Sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang
sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan. Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di perairan bakau termasuk ke
dalam nelayan penuh. Jumlah nelayan yang mengoperasikan bubu lipat berjumlah 1-3 orang. Pembagian tugas dalam pengoperasian bubu lipat adalah 1 orang
39 sebagai juru mudi, 1 orang menyiapkan alat dan umpan dan 1 orang lainnya
sebagai penawur bubu.
40
3 METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan sejak tahun 2009 hingga April 2010 dengan pengambilan data penelitian berupa operasi penangkapan berlangsung pada bulan
Maret-April 2010. Lokasi penelitian berada di perairan Desa Mayangan Kecamatan Legonkulon Kabupaten Subang Jawa Barat Lampiran 1. Kegiatan
operasi penangkapan dilakukan pada 5 stasiun yang berbeda Lampiran 1.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1
Bubu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 unit, dengan rincian sebagai berikut :
1 Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di atas
sebanyak 5 unit 2
Bubu dengan bobot umpan 100 gram dan posisi pemasangan umpan di atas sebanyak 5 unit
3 Bubu dengan bobot umpan 150 gram dan posisi pemasangan umpan di
atas sebanyak 5 unit 4
Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit
5 Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di
bawah sebanyak 5 unit 6
Bubu dengan bobot umpan 50 gram dan posisi pemasangan umpan di bawah sebanyak 5 unit
2 Satu unit perahu motor tempel dengan dimensi panjang 5m, lebar 1,5 meter,
dalam 0,7 meter kekuatan mesin 16 PK; 3
Timbangan ukuran 5 kg untuk mengukur hasil tangkapan; 4
Kantong plastik untuk menampung hasil tangkapan; 5
Jangka Sorong untuk mengukur panjang dan lebar karapas hasil tangkapan;
41 6
Papan pengukur measurement board untuk mengukur panjang hasil tangkapan;
7 GPS Global Positioning System untuk melihat posisi daerah penangkapan;
8 Kamera digital untuk pembuatan dokumentasi penelitian;
9 Alat tulis;
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umpan berupa ikan rucah dengan bobot 50 gram, 100 gram, dan 150 gram.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Deskripsi alat yang digunakan
Alat tangkap yang digunakan untuk penelitian ini adalah bubu lipat berbentuk kotak dengan bentuk dan ukuran yang biasa digunakan oleh nelayan
Desa Mayangan untuk menangkap rajungan. Bubu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki dimensi p x l x t = 45 x 30 x 18 cm. Bubu lipat tersebut
menggunakan rangka yan terbuat dari besi berdiameter 0.35 cm. Selanjutnya bubu ditutup dengan menggunakan jaring polyethilene multifilament dengan mesh size
berukuran 1.5 x 1.5 cm. Spesifikasi bubu lipat yang digunakan dalam penelitian secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun desain dan konstruksi
bubu lipat serta foto bubu yang digunakan sealama penelitian ini dapat dilihat secara detil pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Tabel 2 Spesifikasi teknis bubu lipat
No Spesifikasi teknis
Bubu Lipat 1 Bahan
-Rangka -Diameter rangka
Besi Ø 0.35 cm
-Badan jaring PE multifilament
-Mulut PE multifilament
2 Mesh Size
1.5 x 1.5 cm 3
Dimensi p x l x t 45 x 30 x 18 cm
42 Bubu lipat
Mulut bubu
Keterangan : a : Rangka bubu
b : Badan jaring c : Mulut bubu
d : Engsel e : Pengait Umpan
43 Gambar 14 Desain dan konstruksi bubu yang digunakan selama penelitian.
Bubu tampak depan Bubu tampan samping
Gambar 15 Bubu lipat yang digunakan dalam penelitian.
3.3.2 Metode pengoperasian bubu 1 Sistem pengoperasian bubu
Pengoperasian bubu lipat dilakukan sebanyak 10 trip yang dilakukan setiap hari secara berturut-turut selama sepuluh hari dan pada tiap trip penangkapan
dilakukan satu kali operasi penangkapan. Operasi pemasangan bubu dilakukan pada sore hari sedangkan pengangkatan bubu hauling dilakukan pada pagi
keesokan harinya. Dengan demikin lama perendaman soaking time bubu adalah ±15 jam. Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal pada kedalaman 1-
5 meter. Bubu yang akan dioperasikan dipasang pada 5 lima stasiun yang terpisah
secara berselang-seling antara bubu yang menggunakan berbagai jenis bobot dan posisi umpan. Jumlah bubu yang dioperasikan pada tiap stasiun berjumlah 6 buah
yang masing-masing dipasangi umpan dengan bobot dan posisi yang berbeda. Adapun lokasi pemasangan bubu ditandai dengan pelampung tanda yang terbuat
dari busa dan diikat pada tiap bubu. Untuk lebih memperjelas pola pemasangan bubu, maka rancangan pemasangan bubu lipat pada tiap stasiun dapat dilihat pada
Gambar 16.
44 Keterangan:
A = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram B = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram
C = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram D = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram
E = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram F = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram
Gambar 16 Rancangan pemasangan bubu lipat di perairan.
2 Cara pemasangan umpan
Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa bobot dan posisi pemasangan umpan yang berbeda pada tiap bubu. Bobot umpan yang digunakan
dalam penelitian yaitu 50 gram, 100 gram, dan 150 gram. Adapun bobot umpan yang biasa digunakan oleh nelayan bervariasi antara 80-100 gram. Posisi umpan
dipasang pada dua tempat yang berbeda yaitu di bagian pengait umpan di atas dan di letakkan di dasar bubu di bawah. Untuk lebih memperjelas maka cara
pemasangan umpan pada bubu dapat dilihat pada Gambar 17.
45 a
b
c d
e f
Keterangan : a = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 50 gram
b = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 100 gram c = Bubu dengan posisi umpan di atas dan bobot umpan 150 gram
d = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 50 gram e = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 100 gram
f = Bubu dengan posisi umpan di bawah dan bobot umpan 150 gram
Gambar 17 Cara pemasangan umpan pada bubu
46
3.3.3 Metode pengumpulan data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data perimer yang dikumpulkan meliputi jumlah, jenis dan
ukuran hasil tangkapan. Untuk hasil tangkapan jenis kepiting dilakukan penghitungan jumlah individu dan pengukuran panjang karapas, lebar karapas,
berat, dan identifikasi jenis kelamin. Jenis kelamin pada rajungan jantan dan rajungan betina dapat dibedakan dari bentuk abdomennya. Rajungan jantan
memiliki abdomen berbentuk segitiga yang meruncing, sedangkan pada rajungan betina memiliki abdomen berbentuk segitiga yang melebar Oemarjati dan
Wardhana, 1990. Adapun pada hasil tangkapan berupa udang dilakukan penghitungan jumlah individu, pengukuran panjang karapas dan berat, untuk hasil
tangkapan berupa ikan dilakukan penghitungan jumlah individu, pengukuran panjang total, dan berat.
Panjang karapas rajungan diukur dari duri frontal hingga tepi bawah abdomen, sedangkan lebar karapas diukur dari ujung duri marginal terakhir
sebelah kiri hingga ujung duri marginal terakhir sebelah kanan. Panjang karapas pada udang diukur dari bagian pangkal cephalothorax hingga ujung rostrum.
Adapun panjang total pada ikan diukur dari bagian ujung kepala hingga bagian ujung ekor. Pengukuran panjang karapas dan lebar karapas pada rajungan dapat
dilihat pada Gambar 18, pengukuran panjang karapas pada udang dapat dilihat pada Gambar 19, dan pengukuran panjang total tubuh ikan dapat dilihat pada
Gambar 20.
.
47 Keterangan :
CW : Lebar karapas CL : Panjang karapas
Sumber : www.anima.net.auillustrations_crustaceans.htm
2008
Gambar 18 Contoh pengukuran rajungan
Keterangan : CL : Panjang karapas
Sumber: http:iodeweb2.vliz.be.htm2010
Gambar 19 Contoh pengukuran udang.
48
Keterangan : TL : Panjang Total
Sumber: Randall 2006
Gambar 20 Contoh pengukuran ikan.
Data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini berupa data keadaan wilayah Desa Mayangan, kependudukan, alat penangkapan ikan, keadaan
ekonomi dan mata pencaharian penduduk, jumlah armada, serta hasil tangkapan ikan yang diperoleh. Data tersebut diperoleh melalui data statistik perikanan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, Jawa Barat dan Laporan Tahunan Koperasi Mandiri Mina Saluyu Mulya.
3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK. Kaidah yang harus dipenuhi pada RAK adalah adanya pengamatan pada dua kriteria.
Adapun dua kriteria yang diamati adalah posisi umpan serta bobot umpan. Posisi umpan dinyatakan sebagai kelompok, sedangkan bobot umpan yang berbeda
dinyatakan sebagai perlakuan. Bahan percobaan dibagi menjadi beberapa grup atau kelompok sedemikian rupa sehingga petak atau satuan yang menyusun suatu
kelompok tertentu adalah homogen. Setiap kelompok menyusun sebuah ulangan bagi perlakuannya. Perlakuannya diberikan pada satuan-satuan di dalam setiap
kelompok. Adapun model RAK tersebut adalah sebagai berikut Walpole 1982:
49
yij = μ + τi + βj + ∑ij
Keterangan :
y
ij
= Pengamatan pada perlakuan ke i pada kelompok ke j
μ
= Rataan umum populasi
τ
i
= Pengaruh perlakuan ke-i
β
j
= Pengaruh kelompok ke-j
∑
ij
= Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Data hasil penelitian ini kemudian diolah dengan menggunakan statistika
non-parametrik, adapun uji non-parametrik digunakan karena data hasil penelitian ini tidak menyebar seraca normal. Uji non-parametrik yang digunakan untuk
mengolah data berdasarkan posisi umpan adalah uji Mann-Whitney, sedangkan uji non-parametrik yang digunakan untuk mengolah data berdasarkan posisi dan
bobot umpan adalah uji Friedman. Untuk proses pengolahan data hasil penelitian digunakan software microsoft excel dan SPSS 12. Bila hasil uji Friedman yang
diperoleh berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut perbandingan berganda. Rumus uji lanjut perbandingan berganda adalah sebagai berikut :
1 6
bp p D
z +
≥
Keterangan :
|D|
= Harga mutlak selisih nilai total rank dari dua perlakuan
z
= Nilai distribusi z pada suatu nilai α tertentu
b
= Banyaknya blok
p
= Banyaknya perlakuan Selanjutnya data berupa spesies hasil tangkapan akan dianalisis dengan
menggunakan index Shanon Wiener untuk melihat keragaman spesies. Keragaman spesies hasil tangkapan akan digunakan untuk melihat variasi hasil
tangkapan tiap bubu. Rumus untuk mencari keragaman spesies menggunakan index Shannon Wiener adalah sebagai berikut
http:en.wikipedia.orgwikiShannon_index :
50
H’ = ∑Pi ln.Pi
Keterangan : H’
: Index diversitas Shannon Wiener Pi
: Proporsi spesies terhadap total hasil tangkapan s
: Jumlah spesies Jika
: H’ memiliki nilai yang lebih besar maka spesies bervariasi tidak ada Dominansi
Untuk melihat perbedaan jenis kelamin hasil tangkapan dengan menggunakan perlakuan yang berbeda, maka dilakukan uji Chi-Square. Uji ini
nantinya akan digunakan untuk melihat perbedaan kebiasaan makan antara rajungan jantan dan rajungan betina. Adapun model matematika Chi-square
adalah sebagai berikut:
Keterangan : X² = Nilai Chi-Square
o = Nilai yang diamati e = Nilai yang diharapkan
51
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang