20 warga negara Indonesia, berdiri sendiri dan bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar. Usaha menengah
dapat berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, dan atau badan usaha yang berbadan hukum.
2.2. Agribisnis
Agribisnis merupakan kegiatan yang menyangkut manufaktur dan distribusi dari sarana produksi pertanian. Kegiatan yang dilakukan adalah
usahatani, serta penyimpanan, pengolahan, dan distribusi dari produk pertanian dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian Drillon, 1974.
Definisi tersebut memberikan suatu konsep kegiatan pertanian yang utuh dan komprehensif untuk dapat menelaah dan menjawab berbagai masalah, tantangan,
dan kendala yang dihadapi pembangunan pertanian. Konsep tersebut sekaligus dapat menilai keberhasilan pembangunan pertanian serta pengaruhnya terhadap
pembangunan nasional secara lebih tepat.
Gambar 3. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya
Sumber: Soehardjo dalam Gumbira, 1997
Fungsi agribisnis terdiri dari kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan secara ekonomi, yaitu sektor pengadaan dan penyaluran sarana produksi input,
produksi primer on farm, pengolahan agroindustri, dan pengemasan. Fungsi- fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem, dimana masing-masing
sektor di atas menjadi subsistem dari sistem agribisnis dengan dukungan dari lembaga penunjang salah satunya adalah lembaga keuangan.
Masukan Produksi
Pemasaran Pengolahan
Lembaga Penunjang Agribisnis Pertanian, Keuangan, Penelitian, dll
21
2.3. Koperasi Baitul Maal wat Tamwil KBMT
KBMT yang merupakan gabungan dari istilah Koperasi dan istilah Baitul Maal wat Tamwil dapat diuraikan menurut istilahnya masing-masing yang
selanjutnya akan diketahui alasan munculnya istilah KBMT.
2.3.1. Koperasi
Koperasi Indonesia menurut Undang-undang Republik Indonesia No 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian dalam Sitio dan Tamba 2001 adalah badan
usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi berdasarkan jenis kegiatannya terdiri atas Raharjo, 1999:
a Koperasi Konsumsi, yaitu koperasi yang menyediakan kebutuhan sehari-hari
bagi para anggotanya. b
Koperasi Produksi, yaitu koperasi yang anggotanya mampu menghasilkan barang dengan tujuan melancarkan dan meningkatkan hasil produksi anggota.
c Koperasi Kredit atau Simpan Pinjam KSP, yaitu koperasi yang kegiatannya
meminjamkan uang atau kredit dengan bunga ringan. Dana yang dipinjamkan berasal dari simpanan para anggotanya.
d Koperasi Jasa, yaitu koperasi yang kegiatannya berupa pelayanan jasa bagi
anggota dan masyarakat seperti koperasi angkutan, dan koperasi asuransi. e
Koperasi Serba Usaha KSU, yaitu koperasi yang mempunyai berbagai fungsi dimana kegiatannya meliputi beberapa jenis koperasi. Koperasi Unit Desa
KUD merupakan salah satu contoh koperasi serba usaha dimana kegiatannya meliputi pelayanan kredit, penyediaan dan penyaluran sarana pertanian serta
kebutuhan sehari-hari, mengolah dan memasarkan hasil panen serta melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya.
2.3.2. Baitul Maal wat Tamwil BMT
Istilah BMT sendiri merupakan penggabungan dari Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Baitul Maal berarti rumah dana dan Baitul Tamwil berarti rumah usaha.
Berdasarkan esensinya, BMT dapat dikatakan sebagai organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Baitul Maal sebagai lembaga sosial berdampak pada tidak adanya
keuntungan duniawi atau materi di dalamnya. Peran dan fungsi yang dijalankan
22 sama seperti yang dilakukan pada Lembaga Amil Zakat LAZ atau Badan Amil
Zakat BAZ milik pemerintah. Fungsi tersebut meliputi upaya pengumpulan dana zakat, infaq, sodhaqoh ZIS, wakaf dan sumber dana-dana sosial yang lain. Baitul
Tamwil sebagai lembaga bisnis harus dapat berjalan sesuai prinsip bisnis yang
efektif dan efisien dimana terbatas pada bisnis yang dihalalkan Ridwan, 2006. BMT awalnya berkembang sebagai Kelompok Swadaya Masyarakat
KSM dan tidak memiliki badan hukum resmi, oleh karenanya diperlukan sebuah legalitas. Mengingat ruang lingkup usaha BMT yang dapat berkembang ke sektor
keuangan maupun sektor riil, maka badan hukum yang paling mungkin untuk BMT adalah koperasi, dimana ruang lingkup usahanya bisa seperti Koperasi Serba
Usaha KSU atau Koperasi Simpan Pinjam KSP. Oleh karenanya mulailah dikenal istilah Koperasi Baitul Maal wat Tamwil KBMT. Pemilihan badan
hukum koperasi ini diperkuat dengan PP No. 9 Tahun 1995 pasal 2 ayat 1 yang membolehkan penerapan sistem bagi hasil pada koperasi. Adanya legalitas
tersebut diharapkan dapat melindungi kepentingan masyarakat dan menjamin keamanan pengelola BMT dalam menjalankan kegiatannya serta dapat memenuhi
tujuan memberdayakan masyarakat luas, sehingga kepemilikan kolektif BMT sebagaimana konsep koperasi akan mengenai sasaran Widodo et al. 1999.
Tabel 3. Perbedaan Operasional BMT, KBMT dan Koperasi Konvensional
Keterangan BMT
KBMT Koperasi
Konvensional
Orientasi Laba dan sosial
Laba dan sosial Laba
Bentuk Usaha KSM
Koperasi Koperasi
Landasan Operasional
Syariah Islam Syariah Islam dan
peraturan perundangan Peraturan
perundangan Kepemilikan
Perorangan Kolektif
Kolektif Operasional
Pembiayaan Bagi Hasil
Bagi Hasil Sisa Hasil Usaha
SHU Sumber dan
Laba Sistem bagi hasil
mark up Sistem bagi hasil mark
up dalam bentuk SHU Sistem bunga
Pelayanan Proaktif ke lapang
sistem‘jemput bola’ Proaktif ke lapang sistem
‘jemput bola’ Pasif, sebatas di
kantor
Permodalan Tabungan dan dana
ZIS Simpanan Pokok,
Simpanan Wajib, Sim- panan Sukarela ZIS
Simpanan Pokok, Simpanan Wajib,
Simpanan Sukarela
Sumber: Widodo 1996 dalam Ekowati 2001
23 BMT sebagai KSM dan sebagai koperasi KBMT dalam landasan
operasional yang berlandaskan syariah Islam tentu memiliki perbedaan dengan koperasi konvensional Tabel 3. Begitu pula jika KBMT dibandingkan dengan
bank, maka perbedaannya adalah KBMT selain berciri khas prinsip koperasi juga hanya diperbolehkan menarik dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat
dengan syarat menjadi anggota atau calon anggota terlebih dahulu, sedangkan bank tidak mensyaratkan hal tersebut.
2.4. Produk-produk Pembiayaan KBMT
KBMT dalam melaksanakan operasional pembiayaannya menerapkan pendekatan yang dikenal dengan Management by Culture, dimana norma dan
kultur Islam dijadikan sebagai acuan. KBMT menjalin hubungan harmonis dengan para anggota pembiayaannya, tidak hanya sekedar hubungan komersial
tetapi KBMT juga membina dan menyelesaikan masalah yang dihadapi anggota dengan pendekatan kekeluargaan disertai dengan usaha mensosialisasikan nilai-
nilai keIslaman. Prinsip operasional pembiayaan pada KBMT tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang digunakan oleh bank-bank Islam. Terdapat empat
prinsip yang dilaksanakan oleh KBMT yaitu prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip sewa dan prinsip jasa Ridwan, 2006 dan Zulkifli, 2007
.
2.4.1. Pembiayaan Berprinsip Bagi Hasil Profit and Loss Sharing, Revenue Sharing
Sistem ini meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemodal penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil ini dilakukan antara
KBMT dengan penyedia dana penabung dan antara KBMT dengan pengelola dana. Bentuk produk berdasarkan prinsip bagi hasil yaitu mudharabah dan
musyarakah. Kedua produk tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1
Musyarakah Partnership, Project Financing Partisipation Musyarakah syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi dalam
transaksinya dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam
golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber
24 daya baik yang berwujud maupun yang tak berwujud. Semua modal usaha yang
ada disatukan untuk proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal atau dana baik dari pihak nasabah maupun bank berhak turut serta
dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Model musyarakah yang sering dilaksanakan pada KBMT dalam bentuk:
a Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya digunakan untuk membiayai proyek-proyek dimana KBMT dan anggota bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek. Setelah proyek selesai, anggota mengembalikan dana sebesar pokok investasi KBMT ditambah dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah dan
pendapatan atau keuntungan proyek. b
Modal Ventura Pada lembaga khusus yang diizinkan melakukan kegiatan usaha investasi pada
perusahaan atau proyek khusus, musyarakah sering diterapkan sebagai model modal ventura. Penanaman modal dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan
setelah selesai jangka waktunya, KBMT dapat menarik investasinya secara sekaligus atau bertahap sesuai dengan tahapan hasil usaha.
2 Mudharabah Trust Financing, Trust Investment
Secara spesifik terdapat skim bagi hasil yang populer dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama
usaha dimana pihak pertama sebagai shahibul maal menyediakan seluruh modal sedangkan pihak yang lain sebagai pengelola atau mudharib
3
menyediakan seluruh ketrampilan, tenaga dan waktu. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan
kontribusi seratus persen modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib, sehingga dalam manajemen proyek tidak mensyaratkan wakil dari shahibul maal
atau bank, dengan kata lain tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah, kecuali melakukan pengawasan atas usaha tersebut.
Perjanjian dalam menentukan nisbah keuntungan skim musyarakah dan mudharabah harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Nisbah keuntungan harus
dinyatakan dalam bentuk persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu dan bukan berdasarkan porsi setoran modal.
3
Al Qur’an Surat Al Muzammil, ayat 20 dan Surat Al Jum’ah ayat 10
25 Jadi, nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, misalnya 50 : 50,
70 : 30, 60 : 40, atau bahkan 99 : 1. Tetapi nisbah tidak boleh 100 : 0, karena para ahli fiqih sepakat berpendapat bahwa mudharabah dan musyarakah tidak sah
apabila menguntungkan salah satu pihak saja. Selanjutnya penetapan nisbah yang telah disepakati tersebut memiliki ketentuan, apabila bisnis yang dijalankan
mendapat keuntungan maka kedua belah pihak mendapat bagian berdasarkan nisbah yang disepakati. Akan tetapi berbeda halnya apabila terjadi kerugian,
selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian pihak mudharib maka nisbah yang disepakati tidak berlaku karena kerugian tersebut harus dibagi
berdasarkan porsi modal masing-masing dan bukan berdasarkan nisbah. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak memiliki kemampuan yang berbeda dalam
menanggung kerugian financial tersebut dan disinilah letak keadilan prinsip bagi hasil. Namun jika kerugian disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan mudharib
maka mudharib yang berkewajiban menanggung kerugian tersebut dan wajib mengembalikan dana modal kepada KBMT sebesar 100 persen Ridwan, 2006.
Seperti yang telah diuraikan maka secara garis besar perbedaan sistem bagi hasil dibandingkan pada sistem bunga pada bank atau koperasi konvensional dapat
dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan Bagi Hasil dengan Bunga
Bunga Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio nisbah dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung dan rugi
Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang atau modal yang dipinjamkan
Besarnya jumlah bagi hasil berdasarkan nisbah dan keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga selalu tetap sesuai dengan perjanjian tanpa mempertimbangkan
apakah proyek yang dibiayai untung rugi Bagi hasil sangat tergantung pada proyek
yang dibiayai. Bila proyek merugi, kerugian akan ditanggung bersama
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat-lipat
keadaan ekonomi booming Jumlah pembagian hasil meningkat sesuai
dengan peningkatan pendapatan Eksistensi bunga diragukan oleh semua
agama termasuk agama Islam Tidak ada satupun agama yang meragukan
eksistensi bagi hasil
Sumber: M. Syafii Antonio dalam Ridwan 2006
26
24.2. Pembiayaan Berprinsip Jual Beli Bai’
Produk ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar yang tidak dapat dimasukkan ke dalam akad bagi hasil. Misalnya untuk pemenuhan
kebutuhan barang-barang konsumtif. Akad jual beli yang biasa digunakan adalah: a
Bai’ Al Murabahah Skim ini untuk membantu pembeli dalam pengadaan objek tertentu dimana
pembeli tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk melakukan pembayaran secara tunai. Dalam prakteknya bank akan melakukan transaksi
pembelian atas barang yang diinginkan kepada suplier, kemudian bank akan menjualnya kembali kepada pembeli dengan harga yang disesuaikan yakni
harga beli ditambah margin ribh yang disepakati. b
Bai’ As Salam Akad pembelian dimana barang diserahkan kemudian hari tetapi
pembayarannya dilakukan di muka. Kebanyakan ulama Islam mengharuskan pembayaran Salam dilakukan di tempat kontrak. Hal ini dimaksudkan agar
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli tidak dijadikan sebagai hutang penjual.
c Bai’ Al Istishna’
Akad penjualan antara pembeli dengan pembuat barang dimana pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Produsen kemudian memproduksi
barang melalui orang lain men-subkontrakkan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pemesan. Setelah barang jadi, barang dijual kepada
pembeli akhir dengan harga dan cara pembayaran yang telah disepakati.
2.4.3. Pembiayaan Berprinsip Sewa Ijarah
Yang dimaksud dengan sewa dalam KBMT adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa ujrah baik secara tunai, cicil atau
tangguh, tanpa dilakukan pemindahan kepemilikan barangnya. KBMT tidak berkepentingan bisnis akan barang yang disewakan, tetapi lebih pada perputaran
dananya. Namun demikian, terdapat akad ijarah yang dikembangkan ke dalam bentuk akad ijarah muntahia bit tamlik, yaitu akad perpaduan antara ijarah
dengan al ba’i yakni akad sewa yang pada akhir masa angsuran menjadi jual beli
27 karena terjadi perpindahan kepemilikan barang yang disewakan, transaksi ini
sering disebut sewa beli.
2.4.4. Pembiayaan Berprinsip Jasa
Sebagaimana bank konvensional, produk jasa bagi KBMT juga bersifat pelengkap terhadap beberapa layanan yang ada. Produk jasa pada KBMT
meliputi: a
Al Wakalah Deputyship Produk ini berupa perjanjian antara KBMT dengan anggota dimana anggota
memberikan pelimpahan kepercayaan kepada KBMT untuk mewakilinya guna menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Akad al wakalah biasanya dilakukan
untuk transaksi penagihan collection. Anggota memiliki sejumlah tagihan yang bermasalah, maka KBMT diserahi mandat untuk menagih piutang
tersebut. Sebab jika KBMT yang menagih peluang untuk kembali semakin besar. Dari transaksi ini, KBMT akan mendapat sejumlah imbalan jasa atau
fee yang besarnya didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak. b
Al Kafalah KBMT Guaranty Produk ini berupa penjaminan yang diberikan oleh seseorang kepada orang
lain dalam rangka memperkuat posisi orang yang dijamin. Pengertian kafalah dapat berarti juga pengalihan tanggung jawab dari satu orang kepada orang
lain. Aplikasinya yaitu penjaminan atau garansi KBMT kepada anggota yang memerlukan adanya jaminan untuk kepentingan usahanya. Atas penjaminan
ini KBMT berhak atas fee atau jasa penjaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
c Al Hawalah Transfer Services
Produk ini berupa pengalihan piutang dari seseorang kepada orang lain yang sanggup menanggungnya. Aplikasinya yaitu pengalihan piutang dari anggota
kepada KBMT, dimana anggota memiliki piutang dan memerlukan dana cepat. KBMT akan memenuhi kebutuhan kas anggota dan KBMT akan
menagihnya dari pihak yang berhutang kepada anggota, model seperti ini disebut anjak piutang factoring. Meodel lain yaitu disebut Post Date Check
dimana KBMT menjadi juru tagih namun KBMT tidak harus memenuhi dahulu kebutuhan kas anggota.
28 d
Ar Rahn Mortgage Produk ini berupa akad untuk menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang dijaminkan harus bernilai ekonomis sehingga KBMT memiliki kepastian pembayaran.
Dalam terminologi ekonomi modern, ar rahn dikenal dengan sebutan gadai. e
Al qard Produk untuk tolong menolong bukan untuk kepentingan komersial, sumber
dananya berasal dari penyisihan modal KBMT dan dari zakat, infaq, sedekah.
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembalian Kredit
Banyak penelitian yang telah menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit atau pembiayaan, diantaranya
diuraikan sebagai berikut: Kurnia 2007 melakukan penelitian di KBMT Wihdatul Ummah dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh sosial capital terhadap repayment rate kredit kelompok dan kredit perorangan pada lembaga keuangan tersebut. Indikator sosial
capital yang digunakan dalam penelitian ini adalah hubungan dengan anggota, jarak antar rumah anggota kelompok, pengajuan kredit, status keangotaan, jumlah
pertemuan, jarak antar rumah nasabah dan hubungan kedekatan dengan pengurus. Selain itu juga menyertakan indikator diluar sosial capital yaitu caracter, capital
dan collateral. Dengan menggunakan analisis crosstabs disebutkan bahwa repayment rate lancar pada kredit kelompok lebih besar dibanding pada kredit
perorangan. Kemudian dengan menggunakan analisis probit diketahui bahwa hanya indikator hubungan kedekatan dengan pengurus dan collateral yang tidak
berpengaruh nyata pada repayment rate atau tingkat pengembalian kredit. Hidayati 2003 melakukan penelitian mengenai Kredit Umum Pedesaan
di BRI Unit Pasar Blok A Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan uji Rank Spearman untuk melihat hubungan antar variabel-variabel
yang diamati dan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pola penggunaan dan pengembalian kredit digunakan analisis regresi logistik.
Berdasarkan hasil penelitiannya tentang pola pengembalian kredit disebutkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap pola pengembalian kredit adalah
umur dan pengalaman mengambil kredit. Semakin tua umur pengusaha maka akan
29 semakin lancar pengembalian kreditnya. Kemudian semakin sering pengusaha
mengambil kredit maka akan semakin tidak lancar pengembalian kreditnya. Hal ini karena semakin sering mengambil kredit akan meningkatkan pengalaman
dalam peminjaman dan lebih berani mengambil resiko menunggak. Robert H. Behrens dalam Dewi 2001 menyebutkan faktor-faktor
penyebab pembiayaan bermasalah pada UMKM diantaranya: a
Adversity. Perubahan pada siklus usaha business cycle di luar kontrol bank dan nasabah seperti bencana alam, sakit dan kematian.
b Missmanagement. Ketidakmampuan nasabah dalam mengelola kegiatan
usahanya dan menjaga kondisi keuangan dengan cara-cara kegiatan usaha yang sehat dari hari ke hari.
c Frand atau tidak jujur. Ketidakjujuran debitur dalam memberikan informasi
dan laporan-laporan tentang kegiatan usahanya, posisi keuangan, hutang- piutang, persediaan dan lain-lain.
Tim Universitas Brawijaya Unibraw dalam Prasetyo 1996 melakukan penelitian dan menunjukkan bahwa penyebab lemahnya pengembalian kredit oleh
petani dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu: a Prosedur yang berbelit; b Penyimpangan penggunaan kredit; c Tidak adanya hukuman atas keterlambatan
pengembalian kredit; d Kurangnya perangsang pengembalian; e Adanya permintaan kredit fiktif; f Rendahnya efektivitas penagihan oleh petugas kredit.
Renggani 1998 melakukan penelitian berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit studi kasus pada BMT Ulil Albab,
Kabupaten Bogor. Dalam penelitiannya yang menggunakan analisis Regresi Linier Berganda menunjukkan bahwa jumlah pinjaman, biaya transportasi,
borrowing cost, jangka waktu realisasi pembiayaan dan intensitas hubungan dengan pengurus berpengaruh negatif terhadap tingkat pengembalian kredit.
Semakin besar jumlah pinjaman, biaya transportasi, dan borrowing cost menyebabkan tingkat pengembalian kredit akan semakin rendah. Jangka waktu
realisasi pembiayaan yang semakin lama juga menyebabkan pengembalian kredit semakin lambat karena nasabah menjadi enggan untuk mengembalikannya,
sedangkan faktor intensitas hubungan dengan pengurus yang diukur dengan banyaknya pengurus BMT yang dikenal ternyata menunjukkan bahwa semakin
30 banyak pengurus yang dikenal justru membuat tingkat pengembalian kredit
semakin rendah. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap tingkat pengembalian kredit yaitu jumlah selisih pendapatan dan pengeluaran
keluarga, tingkat pendidikan nasabah dan jenis penggunaan pembiayaan. Semakin besar pendapatan bersih keluarga dan semakin tinggi tingkat pendidikan nasabah
maka tingkat pengembalian kredit akan semakin tinggi. Penggunaan kredit berpengaruh positif untuk penggunaan kegiatan produktif, bukan konsumtif.
Kuntjoro 1983 dalam penelitiannya berjudul identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran kembali kredit Bimas padi studi kasus di
Kabupaten Subang, Jawa Barat menggunakan analisis diskriminan dan regresi untuk menyimpulkan besarnya peranan dan pengaruh dari masing-masing faktor.
Hasil analisa regresi menunjukkan bahwa faktor yang berperan positif terhadap pembayaran kembali kredit Bimas padi adalah lama petani mengikuti program
Bimas padi, nisbah penerimaan total produksi padi dengan jumlah pinjaman kredit yang diterima, tagihan langsung kepada petani dan tambahan penerimaan padi
dengan status bagi hasil. Sedangkan faktor yang berperan negatif adalah pengeluaran konsumsi keluarga dan nisbah jumlah kredit dengan penerimaan
tunai keluarga. Hasil analisa diskriminan menunjukkan bahwa selain ke enam faktor kriteria di atas tidak mencirikan tanggung jawab petani dalam pembayaran
kembali kredit Bimas padi. Penelitian ini dilakukan di KBMT Wihdatul Ummah yang sebelumnya
telah diteliti oleh Kurnia 2007 untuk mengetahui indikator apa saja yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit antara kredit kelompok dan kredit
perorangan pada nasabah secara umum. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa indikator yang digunakan oleh Kurnia yaitu sosial capital
hubungan antar anggota, jarak antar rumah anggota, kepercayaan, status keanggotaan, jumlah pertemuan, jarak antara rumah dengan KBMT WU,
caracter, capital dan collateral. Maka pada penelitian ini mencoba menganalisis faktor-faktor lain yang belum dianalisis oleh Kurnia dan diduga mempengaruhi
tingkat pengembalian kredit pembiayaan pada lembaga keuangan tersebut. Selain itu penulis khusus meneliti debitur perorangan pada UMKM agribisnis yang masa
angsurannya selesai pada tahun 2008.
31
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Pengertian Pembiayaan