Analisis Dampak Outcome PEMBAHASAN

6-59 bulan meningkat dari 71,5 2007 menjadi 75,5 2013 dan jika dilihat berdasarkan propinsi, propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan cakupan terendah sebesar 52,3. Secara umum hasil capaian program gizi di Indonesia untuk cakupan vitamin A saja yang mengalami peningkatan, capaian lain belum. Kondisi ini hampir sama diseluruh Indonesia sehingga jika daerah Kabupaten Karo kondisinya mirip dengan Kabupaten lain di Indonesia kemungkinan proses pelaksanaan program hampir sama kekurangan dan kendala yang dihadapi yang akhirnya capaian belum seperti yang diharapkan.

5.4. Analisis Dampak Outcome

Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan salah satunya adalah faktor gizi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yang difokuskan dalam upaya perbaikan gizi masyarakat. Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi utama tapi penurunannya dinilai kurang cepat. Kabupaten Karo juga telah melaksanakan upaya perbaikan gizi di wilayahnya yang dituangkan dalam bentuk program gizi, yaitu program pemantauan pertumbuhan, program pemberian ASI Eksklusif, program tatalaksana gizi buruk dan program pemberian kapsul vitamin A. Namun demikian, pencapaian dari keempat program tersebut masih dibawah target. Memang ada peningkatan untuk beberapa program dan ada penurunan untuk kasus gizi buruk tapi tidak maksimal dan dianggap Universitas Sumatera Utara kurang cepat peningkatannya dibandingkan dengan usia program yang telah berjalan puluhan tahun. Seperti kata Azwar 2004, yang menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi telah dilaksanakan sejak tiga puluh tahun yang lalu, upaya tersebut memang telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat. Pemantauan pertumbuhan yang dilakukan belum berjalan dengan baik, petugas gizi jarang turun ke posyandu, pelaksanaan posyandu diserahkan kepada bidan di desa yang belum pernah mendapat pelatihan pemantauan pertumbuhan, pemberian ASI Eksklusif belum didukung sepenuhnya oleh petugas kesehatan yang tidak pernah memberikan penyuluhan ASI Eksklusif dan tidak mempunyai waktu untuk memberikan konseling kepada ibu tentang perawatan payudara, tenaga konselor ASI yang kurang membuat semua wilayah tidak terjangkau untuk dilayani, tatalaksana gizi buruk memang sudah berjalan tapi kasus gizi buruk masih ada ditemukan, pencatatan pelaporan yang belum baik dan tenaga kesehatan yang belum dilatih pemantauan dapat membuat kasus tidak muncul, pemberian kapsul vitamin A yang masih dibawah target pencapaian disebabkan karena ketersediaan vitamin yang kurang serta kampanye pemberian vitamin A yang tidak dilakukan membuat ibu-ibu tidak mengetahui kapan bulan pemberian vitamin A. Dampak dari semua hal tersebut dapat menimbulkan masalah gangguan pertumbuhan pada anak sehingga berdasarkan pengukuran tinggi badan anak baru masuk sekolah di Kabupaten Karo, prevalensi gangguan pertumbuhan sebesar 25,5. Universitas Sumatera Utara Jika kita bandingkan dengan program gizi di puskesmas, Puskesmas Laubaleng, dari semua kegiatan program gizi mulai dari tahun 2010 sampai 2013 cakupannya masih rendah dan jika dibandingkan dengan hasil prevalensi gangguan pertumbuhan, puskesmas ini yang paling tinggi prevalensinya yaitu sebesar 60. Sementara dari ke empat puskesmas, Puskesmas Berastagi pencapaiannya lumayan baik, ada beberapa cakupan program gizi yang sudah mencapai target capaian dan dilihat dari angka prevalensi gangguan pertumbuhannya dibawah Puskesmas Laubaleng yaitu sebesar 24,3. Hal ini dapat diasumsikan ada hubungan pelaksanaan program gizi dengan kejadian gangguan pertumbuhan pada anak di Kabupaten Karo. Sampai saat ini belum ada program khusus yang mengarah kepada pencegahan gangguan pertumbuhan ini dimana jika melihat angka tersebut sebenarnya gangguan pertumbuhan pada anak masih merupakan masalah serius di Kabupaten Karo, akan tetapi data tersebut tidak pernah dievaluasi dan tersimpan rapi di bagian data seksi gizi dan usila. Hal ini menurut informan disebabkan karena kurangnya advokasi ke pemerintah daerah sehingga setiap program yang diusulkan untuk penanggulangan masalah tersebut tidak tertampung dalam anggaran. Selain itu, kemungkinan pihak dinas kesehatan belum menyadari arti tingginya prevalensi gangguan pertumbuhan pada anak sekolah dimana gangguan pertumbuhan yang tinggi dapat menggambarkan tingginya anak pendek stunting di suatu daerah. Tingginya prevalensi anak pendek menunjukkan masalah gizi di Kabupaten Karo merupakan masalah kronis yang memerlukan koordinasi dengan berbagai program dan sektor dalam penanggulangannya. Sebab banyaknya anak pendek dapat Universitas Sumatera Utara mempengaruhi status gizi masyarakat yang kaitannya dengan siklus kehidupan. Status gizi masyarakat yang jelek akan mempengaruhi kualitas SDM yang sehat, cerdas dan produktif yang dapat menurunkan investasi suatu daerah. Perencanaan program yang sebenarnya sudah mulai menggunakan sistem bottom up belum dapat dimanfaatkan oleh puskesmas untuk menyusun program gizi di wilayahnya sehingga perencanaan penanggulangan masalah gizi belum terfokus kepada pokok permasalahan yang ada di puskesmas. Hal ini merupakan salah satu penyebab penanggulangan masalah gizi di Kabupaten Karo tidak efektif dan berkesinambungan. Kemungkinan secara umum masalah gangguan pertumbuhan ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan prevalensi gangguan pertumbuhan di Kabupaten Karo yang kondisinya sama dengan hasil Riskesdas 2013 dimana dinyatakan bahwa kejadian kurang gizi pada balita dan masalah gangguan pertumbuhan anak balita masih mengalami peningkatan yaitu 36,8 2007 menjadi 37,2 2013. Selanjutnya, Jahari 2005 juga menyatakan bahwa masalah tinggi badan terutama prevalensi anak balita pendek stunted menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti dan cenderung meningkat. Meningkatnya prevalensi ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada anak sudah merupakan masalah yang serius. Hal senada juga diungkapkan oleh Atmarita 2004 tentang status gizi anak baru masuk sekolah yang hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi, dengan kata lain masih banyak anak dikategorikan pendek sekitar 30-40. Tetapi sampai saat ini upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Analisis pelaksanaan program gizi meliputi program pemantauan pertumbuhan, pemberian ASI Eksklusif, tatalaksana gizi buruk dan pemberian vitamin A yang dilihat dari komponen input, proses dan output. Kesimpulan dari masing-masing program adalah sebagai berikut: 1. Program Pemantauan pertumbuhan Pelaksanaan program pemantauan pertumbuhan belum berjalan dengan baik. Kurangnya tenaga gizi menyebabkan pelaksanaan dibebankan kepada bidan di desa yang belum pernah mendapat pelatihan pemantauan pertumbuhan. Sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat kegiatan pemantauan di posyandu hanya sekedar menimbang berat badan saja dan tidak pernah dilakukan penyuluhan. Masyarakat lebih mengenal posyandu sebagai pos imunisasi bukan pos penimbangan. Hal ini menyebabkan hasil pencapaian program yang dilihat melalui indikator DS dari tahun ke tahun masih rendah meskipun ada peningkatan tapi tidak signifikan. Pada tahun 2013 pencapaian hanya sebesar 65,4 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 80. Diasumsikan penyebabnya karena kurangnya tenaga gizi di puskesmas, pengetahuan petugas masih rendah, kurangnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan posyandu. 107 Universitas Sumatera Utara