Analisis Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Kegiatan Industri Pengolahan Aspal Di Kelurahan Kayumanis, Kota Bogor

Keterangan: WTA = Nilai WTA Responden Rpbulan LT = Lama tinggal tahun UR = Usia responden tahun DJK = Dummy jenis kelamin 1= laki-laki, 0= perempuan PDK = Pendidikan formal responden tahun PDT = Pendapatan responden Rpbulan JT = Jumlah tanggungan keluarga orang JTT = Jarak tempat tinggal dengan industri meter KWUD = Skor kualitas udara 1=tidak baik, 2=kurang baik, 3=cukup baik, 4=baik, 5=sangat baik TKR = Total kerugian responden Rpbulan Hasil uji F Lampiran 2 menunjukkan bahwa nilai Sig. 0,001 0,005, yang berarti variabel-variabel independen yang digunakan pada model secara bersama- sama berpengaruh signifikan terhadap besaran nilai WTA pada taraf nyata 5. Hasil uji t digunakan untuk mengetahui variabel-variabel mana sajakah yang secara signifikan mempengaruhi besaran nilai WTA. Hasil dari uji t adalah sebagai berikut: 1. Variabel usia responden UR memiliki nilai koefisien sebesar 684,130 yang berarti setiap usia responden naik satu tahun, maka nilai WTA akan naik sebesar Rp684,130. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa semakin tinggi usia responden maka akan mempengaruhi pola pikir dan kepedulian responden terhadap lingkungan. Usia responden berpengaruh nyata terhadap nilai WTA dengan nilai probability 0,174 pada taraf nyata 20. 2. Variabel pendidikan PDK memiliki nilai koefisien sebesar 5128,057 yang berarti jika waktu menempuh pendidikan formal responden naik satu tahun, maka nilai WTA akan naik sebesar Rp5.128,057. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka pola pikir dan pengetahuannya tentang lingkungan akan semakin luas, sehingga responden yang menempuh pendidikan formal lebih lama akan lebih menyadari kerugian yang dialaminya dan menginginkan nilai ganti rugi yang lebih besar. Pendidikan responden berpengaruh nyata terhadap nilai WTA dengan nilai probability 0,005 pada taraf nyata 5. 3. Variabel jumlah tanggungan keluarga JT memiliki nilai koefisien sebesar 7252,118 yang berarti setiap jumlah tanggungan keluarga bertambah satu orang, maka nilai WTA akan naik sebesar Rp7.252,118. Hal ini dikarenakan apabila jumlah tanggungan keluarga semakin banyak, maka kerugian yang dialami akibat pencemaran juga semakin besar sehingga responden akan menginginkan ganti rugi yang lebih besar. Biaya berobat dan nilai pendapatan yang hilang pada rumahtangga dengan jumlah tanggungan yang banyak tentu akan lebih memberatkan dibandingkan dengan rumahtangga yang memiliki tanggungan lebih sedikit. Jumlah tanggungan keluarga berpengaruh nyata terhadap nilai WTA dengan nilai probability 0,109 pada taraf nyata 15. 4. Variabel jarak tempat tinggal JTT memiliki nilai koefisien sebesar -156,264 yang berarti jika jarak tempat tinggal dengan industri pengolahan aspal semakin dekat satu meter, maka nilai WTA akan naik sebesar Rp156,264. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana jarak tempat tinggal yang semakin dekat dengan industri pengolahan aspal diduga akan membuat nilai WTA responden semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin dekat jarak tempat tinggal dengan industri maka semakin banyak pula dampak yang dirasakan sehingga nilai WTA akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden yang jarak tempat tinggalnya lebih jauh. Jarak tempat tinggal berpengaruh nyata terhadap nilai WTA dengan nilai probability 0,103 pada taraf nyata 15. 5. Variabel kualitas udara memiliki nilai koefisien sebesar -12596,323 yang berarti jika kualitas udara di sekitar tempat tinggal responden skornya naik satu satuan, maka nilai WTA akan turun sebesar Rp12.596,323. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menduga jika kualitas udara di sekitar tempat tinggal responden semakin baik, maka nilai kompensasi yang diharapkan akan semakin kecil karena kerugian yang diderita juga sedikit. Kualitas udara berpengaruh nyata terhadap nilai WTA dengan nilai probability 0,124 pada taraf nyata 15.

6.5 Implikasi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang bertempat tinggal di dekat lokasi industri mengalami berbagai bentuk eksternalitas negatif, salah satu yang paling dominan dirasakan adalah pencemaran udara. Akibat dari pencemaran udara ini, masyarakat harus menanggung kerugian. Kerugian yang dirasakan meliputi biaya yang harus dikeluarkan akibat terserang beberapa penyakit seperti ISPA, TBC, dan gatal-gatal, dan juga nilai pendapatan yang hilang akibat menderita sakit sehingga kehilangan waktu untuk bekerja. Menurut Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri, pendirian dan pembangunan industri harus berlokasi pada suatu kawasan industri dan pembangunan industri di suatu daerah disesuaikan dengan rencana tata ruang dan wilayah pemerintah daerah setempat. Industri pengolahan aspal yang berdiri di tengah pemukiman warga menunjukkan adanya kelonggaran dari pemerintah daerah dalam masalah rencana tata ruang dan wilayah serta perizinan pendirian industri. Seharusnya pemerintah daerah dapat lebih tegas dalam mengeluarkan izin pendirian suatu industri khususnya di lokasi yang dekat dengan pemukiman warga. Masyarakat RT 01 dan RT 02, Kampung Poncol sebenarnya telah diberikan kompensasi oleh pihak industri namun mereka merasa bahwa kompensasi yang sudah diberikan oleh pihak industri tidak sebanding dengan kerugian yang mereka rasakan. Kompensasi yang telah diberikan selama ini yaitu berupa biaya gratis berobat ke Puskesmas, uang sejumlah Rp25.000,- per rumahtangga per hari raya Idul Fitri, dan santunan sembako setiap hari raya Idul Fitri yang apabila diuangkan bernilai Rp20.000,-. Kompensasi ini hanya diberikan pihak industri kepada rumahtangga yang anggota keluarganya tidak ada yang bekerja di industri yaitu sebanyak 73 rumahtangga. Apabila dihitung, maka dalam satu tahun pihak industri mengeluarkan uang sebesar Rp3.285.000,- untuk uang dan santunan sembako yang diberikan pada setiap hari raya Idul Fitri. Sementara itu estimasi nilai kerugian masyarakat adalah sebesar Rp11.774.975,92 per tahun dan nilai total WTA masyarakat adalah sebesar Rp59.964.284,88,-. Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan jumlah uang yang sudah diberikan pihak industri sebagai kompensasi. Melihat nilai total WTA masyarakat yang sangat besar, pihak industri sebenarnya bisa saja memberikan uang tersebut sebagai dana kompensasi kepada masyarakat. Namun setelah besarnya nilai kompensasi yang diinginkan masyarakat telah dipenuhi, hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah pencemaran. Pencemaran akan tetap terjadi dan tetap akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu pihak industri sebaiknya melakukan proses internalisasi, dimana biaya eksternalitas dimasukkan ke dalam biaya produksi sehingga biaya produksinya sudah termasuk dengan social cost yang selama ini ditanggung oleh masyarakat. Nilai kompensasi yang cukup besar tersebut dapat digunakan pihak industri untuk mengembangkan teknologi yang lebih baru agar pencemaran yang terjadi dapat diminimalisir. Dengan demikian, pada jangka panjang pencemaran dapat dikurangi dan masyarakat tidak lagi mengalami kerugian. Kekurangan dalam penelitian ini adalah peneliti belum mengestimasi nilai yang harus dikeluarkan oleh pihak industri apabila melakukan proses internalisasi dengan mengembangkan teknologi baru. Oleh karena itu penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengestimasi biaya yang diperlukan oleh pihak industri pengolahan aspal untuk mengembangkan teknologi baru yang dapat mengurangi pencemaran.