Kehidupan Berbudaya dan Etika Masyarakat Sunda

Gambar 11 Peta wilayah Batutulis tahun 1901 a, peta Kelurahan Batutulis b Sumber: KITLV Media 1901, Arsip Kelurahan Batutulis 2015 Berdasarkan kajian Daftar Obyek Wisata Kota Bogor Dalam Angka 2013, atraksi turis di wilayah Batutulis hanya tercantum situs Prasasti Batutulis. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan pada saat observasi lapang, yaitu terdapat 5 objek peninggalan sejarah periode kerajaan dan sudah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor, serta 1 objek yang memiliki potensi untuk dijadikan Benda Cagar Budaya. Analisis Karakteristik Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Elemen Lanskap Sejarah Lanskap sejarah periode kerajaan di Kota Bogor terbagi menjadi dua bagian, yaitu batas fisik lanskap dan objek-objek yang merupakan Benda Cagar Budaya. Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelusuran sejarah dan observasi lapang, batas fisik lanskap berupa sisa-sisa peninggalan sejarah Kota Bogor pada masa masih merupakan ibukota Kerajaan Pajajaran yaitu Kota Pakuan. Lokasi dan perkembangan Kota Pakuan tidak terlepas dari pemahaman masyarakat yang hidup pada masa itu, yaitu masyarakat Sunda. Masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah menganggap bahwa lahan ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai, dan terlindung pegunungan. Istilah topografik lahan jenis tersebut dikenal dengan nama garuda ngupuk dan saat ini dapat dilihat di Kota Garut, Kota Bandung, dan Kota Tasikmalaya. Sementara kota-kota seperti Kota Cianjur, Kota Sukabumi, dan Kota Bogor dibangun berdasarkan konsep pengembangan perkebunan dan pertanian huma. Masyarakat dengan latar belakang tersebut berorientasi pada lahan datar. Istilah topografik lahan jenis ini dikenal dengan nama lemah tanah duwur luhur tinggi, dimana masyarakat tidak berlindung di balik bukit, melainkan di atas bukit. Lokasi Kota Pakuan merupakan lahan lemah duwur, dimana satu sisinya menghadap kearah Gunung Salak. Tebing Ciliwung, Cisadane, dan Cipaku merupakan pelindung alami kota. Masyarakat pada masa itu juga menganggap a b 32 keberadaan Sungai Cipakancilan sebagai berkah, dimana tempat di sekitar sungai akan selalu menarik manusia untuk bermukim Danasasmita 2012. Gambar 12 Wilayah Batutulis menghadap Gunung Salak a b, sungai Cisadane c d Sumber: KITLV Media 1910, Rakhmat 2012, dokumentasi lapang Gambar 13 Sungai Cisadane dari wilayah selatan Batutulis a b, sungai Cisadane dari jembatan Ranggamekar c, dan sungai Cisadane dari wilayah Cipaku d Sumber: KITLV Media 1880, 1910, Agung 2014, dokumentasi lapang

1. Batas Fisik Lanskap Sejarah

Batas fisik pada lanskap sejarah Periode Kerajaan merupakan titik-titik lokasi peninggalan yang dulunya merupakan titik batas wilayah kekuasaan Pakuan. Titik-titik batas tersebut kemudian membentuk suatu delineasi. Delineasi batas fisik lanskap yang teridentifikasi terbagi menjadi 3 bagian delineasi, yaitu 1 delineasi Benteng Kota Luar, 2 Delineasi Benteng Kota Dalam, dan 3 delineasi parit kota. Delineasi Benteng Kota Luar wilayahnya mencakup sebagian Jalan Suryakencana, Jalan Sukasari, Jalan Siliwangi, Jalan Batutulis, dan tebing Cipaku. a c d b a c d b Benteng Kota Luar berfungsi melindungi wilayah Pakuan termasuk keraton kerajaan. Benteng ini juga berdampingan dengan gerbang masuk menuju Pakuan yang terletak di daerah Batutulis, Lawang Gintung, dan Sukasari-Tajur. Delineasi Benteng Kota Dalam memiliki wilayah yang mencakup paling banyak di Batutulis, sebagian Empang dan Sukasari. Benteng Kota Dalam berfungsi melindungi inti kota seperti keraton kerajaan dan tempat penobatan raja. Sementara itu untuk delinesi Parit, merupakan jalur delineasi yang terbagi menjadi dua, yaitu parit alami dan parit buatan. Umumnya parit alami mengambil bagian terbanyak dari delineasi karena apabila dilihat dari topografi wilayah Batutulis, banyak lereng dan tebing curam yang bagus untuk dijadikan perlindungan kota. Jalur parit ini membentang dari arah barat menuju selatan Batutulis, dekat dengan Stasiun Batutulis dan tebing Cipaku. Gambaran ketiga delineasi ini dapat dilihat pada Peta Delineasi Batas Fisik Lanskap Sejarah. Deskripsi catatan perjalanan dan laporan ekspedisi yang dimulai tahun 1687 menjelaskan rute-rute perjalanan memasuki Kota Pakuan. Penjelasan ini dapat digunakan untuk melihat perkembangan Kota Bogor yang dianggap dimulai sejak pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Keberadaan batas-batas fisik ini belum menjadi cagar budaya yang terdaftar secara resmi dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor. Hal ini disebabkan mayoritas dari batas-batas tersebut telah kehilangan bentuk utuhnya sehingga keberadaannya mengandalkan dokumentasi dari masa ke masa. Namun demikian, batas fisik lanskap sejarah peninggalan Pakuan ini merupakan penciri khas lanskap sejarah di wilayah Batutulis sehingga dapat meningkatkan kekuatan karakteristik dari lanskap sejarah itu sendiri. Berikut ini adalah pemaparan kondisi batas fisik peninggalan Pakuan berdasarkan tinjauan yang dilakukan Danasasmita 2014. Pemaparan ini dibandingkan dengan kondisi yang ditinjau melalui survei lapang. Batas-batas fisik lanskap sejarah tersebut adalah:

1.1 Gerbang Menuju Keraton

Batas fisik lanskap ini dilaporkan oleh Adolf Winkler pada tahun 1690. Winkler bersama pasukannya memasuki bekas Kota Pakuan di wilayah Batutulis dari arah Tajur. Di daerah ini Winkler menemukan sebuah jalan berbatu yang tersusun rapi dan membentang menuju ke sebuah pasèban atau balai untuk menghadap raja. Pada balai tersebut ditemukan 7 pohon beringin dan sepasang disolit yang yang digunakan sebagai tempat duduk pengawal kerajaan. Saat ini, lokasi tempat yang dideskripsikan Winkler adalah Gang Amil di Jalan Batutulis. Gang Amil diapit infrastruktur bangunan dan letaknya berdampingan dengan jalan raya. Letak disolit tidak jauh dari mulut gang dan berada di dalam rumah salah seorang penduduk. Gambar 14 Kondisi Gang Amil dahulu a, Gang Amil saat ini b, batu disolit c Sumber: Komarudin 2012, dokumentasi lapang a b c