Tahap Analisis Data Evaluasi Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Terhadap Kesiapan Bogor Sebagai Kota Pusaka

18 Tabel 9 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value of World Heritage lanjutan Kriteria Deskripsi ix Menjadi contoh luar biasa yang mewakili berlangsungnya proses ekologi dan biologi yang signifikan dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem dan komunitas tumbuhan, serta hewan pesisir dan laut. x Mengandung nilai penting dan signifikan terhadap habitat alami untuk konservasi in- situ keanekaragaman hayati, termasuk spesies yang terancam mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi. Sumber: UNESCO World Heritage Convention 2014 Data analisis didapatkan dari hasil survei lapang, pendataan kondisi Benda Cagar Budaya oleh pihak Disbudparektif, wawancara dengan pihak pemegang kebijakan yaitu Bappeda, pihak Disbudparektif, dan narasumber sejarah. Kriteria penilaian kualitas lanskap dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kriteria penilaian kualitas lanskap No Kriteria Skor 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi Keaslian 1 Pola penggunaan lahan Mengalami perubahan lahan 50 Mengalami perubahan lahan 25-50 Mengalami perubahan lahan 25 atau tidak mengalami perubahan sama sekali 2 Elemen lanskap Adanya perubahan struktur dan elemen bangunan. Tidak mewakili karakter dan gaya masa lalu. Terdapat hanya satu elemen bersejarah dengan umur 50 tahun Adanya perubahan struktur dan elemen bangunan tapi mewakili karakter dan gaya masa lalu. Terdapat 2-5 elemen bersejarah dengan umur 50 tahun Tidak adanya perubahan struktur dan elemen bangunan serta mewakili karakter dan gaya masa lalu. Terdapat 5 elemen bersejarah dengan umur 50 tahun 3 Aksesibilitas dan sirkulasi Jaringan jalan mengalami penambahan ruas dan karakteristiknya berubah Jaringan jalan mengalami penambahan ruas tetapi karakteristiknya tidak berubah Jaringan jalan tidak mengalami penambahan ruas dan karakteristiknya tidak berubah Keunikan 1 Asosiasi kesejarahan Lanskapelemen tidak memiliki hubungan kesejarahan Lanskapelemen memiliki hubungan kesejarahan yang lemah Lanskapelemen memiliki hubungan kesejarah yang kuat 2 Integritas Karakter, struktur, dan fungsi elemen Karakter, struktur, dan fungsi elemen Karakter, struktur, dan fungsi elemen Tabel 10 Kriteria penilaian kualitas lanskap lanjutan No Kriteria Skor 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi tidak menyatu dan tidak harmonis dengan lingkungan sekitarnya cukup menyatu dan cukup harmonis dengan lingkungan sekitarnya menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya Keunikan 3 Kelangkaan Karakter dan struktur elemen bersifat umum dan dapat dijumpai di tempat lain dengan mudah serta tidak memiliki nilai sejarah Karakter dan struktur elemen bersifat khas namun dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu dan memiliki nilai sejarah Karakter dan struktur elemen bersifat khas dan jarang dijumpai di tempat-tempat lain dan memiliki nilai sejarah 4 Kualitas Estetik Karakter dan struktur elemen tidak memiliki estetikagaya arsitektur yang dapat menunjukkan kekhasannya pada masa lalu Karakter dan struktur elemen masih memiliki estetikagaya arsitektur yang dapat menunjukkan kekhasannya pada masa lalu Karakter dan struktur elemen memiliki estetikagaya arsitektur yang khas pada hampir semua bagian Kondisi Fisik dan Lingkungan 1 Kondisi Fisik Kondisi lanskapelemen dalam keadaan yang rusak tidak terawat Kondisi lanskapelemen dalam keadaan baik terawat baik Kondisi lanskapelemen dalam keadaan sangat baik terawat sangat baik 2 Kondisi Lingkungan Lingkungan sekitar tidak mendukung keberadaan lanskapelemen sehingga dapat menghilangkan karakternya Lingkungan sekitar mendukung keberadaan lanskapelemen namun karakter tidak menonjol Lingkungan sekitar dapat mendukung keberadaan lanskapelemen dan memperkuat karakter Sumber: Harris dan Dines; dengan perubahan 1988 Penilaian terhadap ketiga aspek tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet Selamet 1983 dalam Elviandri 2014 dengan rumus interval kelas sebagai berikut: Interval Kelas IK = Skor Maksimum SMa − Skor Minimum SMi Jumlah Kategori Keterangan: Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa 20 Keterangan lanjutan: Sedang = SMi + IK + 1 sampai SMi + 2IK Rendah = SMi sampai SMi + IK Selanjutnya skor penilaian dijumlahkan, kemudian hasil penilaian ketiga aspek tersebut menghasilkan sifat dari elemen-elemen lanskap sejarah yang menampilkan skor dengan skala sebagai berikut Goodchild 1990: a. Skor 1 = tingkat keasliankeunikankondisi fisik dan lingkungan rendah, lanskap sejarah mengalami banyak perubahan b. Skor 2 = tingkat keasliankeunikankondisi fisik dan lingkungan sedang, lanskap sejarah mengalami sedikit perubahan c. Skor 3 = tingkat keasliankeunikankondisi fisik dan lingkungan tinggi, lanskap sejarah tidak mengalami perubahan Tahap analisis data terakhir yaitu 4 penilaian pengetahuan dan persepsi masyarakat dilakukan untuk menilai apakah masyarakat mengetahui mengenai lanskap sejarah Periode Kerajaan yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka dan keterkaitannya dengan Kota Pusaka. Penilaian persepsi masyarakat dilakukan terhadap 6 aspek penilaian yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, yaitu aspek a Kota Pusaka, b Situs Bersejarah Sebagai Aset Kota Pusaka, c Penguatan Karakter Lanskap Sejarah Periode Kerajaan, d Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan, e Pengembangan Basis Pengrajin Lokal, f Fasilitas Pendukung Keberadaan Lanskap Sejarah Periode Kerajaan. Wawancara dan penyebaran kuisioner dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di Kelurahan Batutulis. Sampel responden diambil sebanyak 30 responden sesuai ketentuan minimal penelitian. Untuk metode penghitungan kuisioner digunakan teknik penskalaan oleh Likert. Skala Likert adalah skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena atau gejala sosial. Skala ini dapat pula digunakan untuk mendapatkan tingkat kesepakatan atau sikap responden terhadap suatu objek tertentu Sugiyono 2010 dalam Asokawati 2015. Jumlah Skala Likert yang digunakan ialah sebanyak 5 skala dan memberikan nilai pada masing-masing jawaban pertanyaan. Skor pada skala tertinggi ialah 5 hingga skor terendah ialah 1 Tabel 11. Tabel 11 Skor penilaian komponen persepsi masyarakat terhadap aspek ... Skala Jawaban Skor Sangat SetujuBagusPenting SP 5 SetujuBagusPenting P 4 Cukup SetujuBagusPenting CP 3 Kurang SetujuBagusPenting KP 2 Sangat Tidak SetujuBagusPenting STP 1 Sumber: Sugiyono 2010 Skor ideal merupakan skor yang digunakan untuk menghitung skor yang dipakai dalam menentukan rating scale dan jumlah seluruh jawaban. Untuk menghitung jumlah skor ideal dari seluruh item, digunakan rumus sebagai berikut: Skor Kriteria = Nilai skala × Jumlah responden Responden yang mengisi kuisioner adalah sebanyak 30 orang. Skor tertinggi adalah 5 dan skor terendah adalah 1, kemudian masing-masing skor dikalikan dengan jumlah responden Tabel 12. Tabel 12 Skor ideal penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek ... Rumus Skala 5 x 30 responden = 150 Sangat Penting SP 4 x 30 responden = 120 Penting P 3 x 30 responden = 90 Cukup Penting CP 2 x 30 responden = 60 Kurang Penting KP 1 x 30 responden = 30 Sangat Kurang Penting SKP Sumber: Sugiyono 2010 Nilai yang didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam rating scale untuk mengetahui hasil data kuisioner dan wawancara secara umum dan keseluruhan yang didapat dari penilaian Tabel 13. Tabel 13 Rating Scale penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek ... Nilai Jawaban Skala 121 - 150 Sangat Penting SP 91 - 120 Penting P 61 - 90 Cukup Penting CP 31 - 60 Kurang Penting KP 0 - 30 Sangat Kurang Penting SKP Sumber: Sugiyono 2010 Hasil penilaian rating scale pada Tabel 13 masih perlu dikonversi menjadi indeks menilaian dan menghasilkan suatu rating yang baru Tabel 14 dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Indeks = Σ nilai masing − masing kategori Σ nilai maksimum kategori 5 Tabel 14 Indeks jawaban penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek ... Indeks Jawaban Skala 0,81 – 1,00 Sangat Penting SP 0,61 – 0,80 Penting P 0,41 – 0,60 Cukup Penting CP 0,21 – 0,40 Kurang Penting KP 0,00 – 0,20 Sangat Kurang Penting SKP Sumber: Sugiyono 2010 22 Setelah mengetahui hasil persepsi masyarakat menggunakan teknik penskalaan Likert, maka dapat diketahui nilai kepentingan masing-masing aspek. Contoh tabel yang akan digunakan dapat dilihat pada bagian Lampiran. Setelah mendapatkan nilai persepsi masyarakat, ditentukan derajat kepentingan dari masing-masing aspek terhadap keberlanjutan lanskap sejarah Tabel 15. Tabel 15 Deskripsi penilaian Derajat Kepentingan Kategori Penilaian Responden Persepsi Responden Sangat Penting SP Aspek sangat tinggi mempengaruhi keberlanjutan lanskap sejarah Penting P Aspek tinggi mempengaruhi keberlanjutan lanskap sejarah Cukup Penting CP Aspek sedang mempengaruhi keberlanjutan lanskap sejarah Kurang Penting KP Aspek rendah mempengaruhi keberlanjutan lanskap sejarah Sangat Kurang Penting SKP Aspek sangat rendah mempengaruhi keberlanjutan lanskap sejarah Sumber: Sugiyono 2010

4. Tahap Penyusunan Tindakan Pelestarian Lanskap Sejarah

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu penarikan kesimpulan dari analisis-analisis yang telah dilakukan. Kesimpulan tersebut kemudian digunakan untuk menyusun formulasi yang berupa tindakan pelestarian dengan pendekatan tertentu dan usulan-usulan pelestarian dalam mengevaluasi dan menindaklanjuti keberadaan lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor. Usulan-usulan tersebut dijadikan rekomendasi atau bahan rujukan bagi pemerintah Kota Bogor dalam mengelola lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor, upaya mendukung Bogor sebagai Kota Pusaka di wilayah Tatar Sunda. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Perkembangan Kota Bogor Kota Bogor dalam perkembangannya telah melewati berbagai periode sejarah yang dibagi berdasarkan adanya peristiwa-peristiwa sejarah. Peristiwa- peristiwa ini membawa pengaruh penting bagi perkembangan kota terutama perkembangan secara fisik. Berdasarkan kajian sejarah yang telah dilakukan oleh tim Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka 2013, Kota Bogor dibagi menjadi 5 periodisasi, yaitu 1. Bogor Sebagai Pusat Kerajaan Pakuan-Pajajaran, 2. Bogor Pada Masa Kolonial I, 3. Bogor Pada Masa Kolonial II, 4. Bogor Pada Masa Kolonial III, dan 5. Bogor Pada Masa Kolonial IV.

1. Keberadaan Kerajaan Pajajaran di Tanah Sunda

Sebagai pusat Kerajaan Pakuan-Pajajaran, sejarah Kota Bogor pada periode tersebut tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Pajajaran. Keberadaan Kerajaan Pajajaran di wilayah bagian barat Pulau Jawa tercatat pada naskah-naskah Sunda kuno, catatan perjalanan bangsa asing yang berkunjung, dan dari benda peninggalan kerajaan itu sendiri. Benda peninggalan yang dimaksud adalah batu yang berukir tulisan atau prasasti. Prasasti sendiri menurut Sumarlina 2009 adalah sebuah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Pada peninggalan berupa naskah-naskah kuno, media naskah adalah daun tanaman Ekadjati 2009. Daun yang dipakai diambil dari tanaman jenis palem-paleman Arecaceae, seperti pohon lontar Borassus flabellifer, pohon enau Arenga pinnata , pohon nipah Nypa fruticans, dan pohon kelapa Cocos nucifera. Penulisan pada naskah dilakukan menggunakan pisau Sunda: pèso pangot dengan cara digoreskan di permukaan. Digunakan pula pena yang terbuat dari batang lidi pohon paku-pakuan Pteridophyta, tanaman bambu Bambuceae pohon enau, dan pohon kelapa Kumar dan McGlynn 1996. Reliabilitas informasi sejarah yang terdapat dalam kedua sumber tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Teks pada naskah jauh lebih panjang isinya dibanding dengan isi pada prasasti. Teks naskah yang panjang memungkinkan masuknya unsur subyektifitas penyusun atau penulis. Hal ini berdampak pada nilai informasi yang berkurang namun memperkaya informasi makna budaya di dalamnya. Menurut Ekadjati 2009, terdapat beberapa buah naskah yang telah dipelajari dan memiliki sumber informasi sejarah yang relevan, yaitu naskah Carita Parahiyangan, Fragmen Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung, Sèwaka Darma, Serat Dèwa Buda, Kawih Paningkes, Carita Ratu Pakuan, Carita Waruga Guru, Sanghiyang Hayu, Serat Catur Bumi dan Sanghiyang Raga Dèwata, Bujangga Manik, Sri Ajnyana, dan naskah Ramayana. Apabila ditinjau dari sudut metode sejarah, sumber informasi sejarah dari prasasti dan dari naskah kuno memiliki kedudukan sebagai sumber sejarah primer yang mengandung nilai tinggi karena disusun pada jaman kerajaan masih berdiri. Namun apabila dilakukan perbandingan lebih mendetil, informasi yang berasal dari prasasti lebih tinggi nilai sejarahnya karena penulisan informasi disaksikan oleh pembuat prasasti. Gambar 4 Carita Parahiyangan a, Sanghyang Siksakandang Karesian b, naskah Bujangga Manik c Sumber: Ayatrohaèdi 2005, Hamdani 2012, Susanti 2013 Informasi sejarah yang berasal dari catatan perjalanan yaitu catatan-catatan dari Portugis dan dari Belanda. Catatan perjalanan dari Portugis terdapat sebanyak a b c 24 tiga catatan Djajadiningrat 1984, yaitu milik Tome Pirès, Henrique den Leme, dan De Baros. Catatan yang paling terkenal adalah Suma Oriental milik Pirès, yang menceritakan perjalanannya ke ibukota Kerajaan Pajajaran yaitu Dayo Dayeuh atau Dayuh. Berdasarkan laporan Pirès, Dayeuh atau Dayuh adalah kata dalam bahasa Sunda yang memiliki arti ‘kota besar’ atau ‘ibukota’. Hal ini kemudian merujuk pada nama Pakuan atau Pakuan Pajajaran yang sekarang dikenal dengan nama Kota Bogor Zahorka 2007. Pada saat yang sama dengan kedatangan Tomè Pires, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi memulai pemerintahannya sebagai raja di Kerajaan Pajajaran. Tanggal penobatan Prabu Siliwangi menjadi Maharaja kemudian ditandai sebagai tanggal lahir Kota Bogor yaitu 3 Juni 1482. Masa kehancuran Kerajaan Pajajaran ditandai dengan terjadinya penyerangan yang dilakukan pihak penguasa Banten sehingga rantai sejarah keberadaan wilayah ini hilang. Setelah tahun 1579, tidak terdapat keterangan tertulis mengenai peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut missing link hingga masa munculnya ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler pada tahun 1690, dan Abraham van Riebeeck pada tahun 1703, 1704, dan 1709. Berdasarkan laporan dalam ekspedisi- ekspedisi tersebut, diketahui keberadaan berbagai situs sejarah, benteng, sisa parit, batas, dan letak gerbang masuk Kerajaan Pajajaran, hingga batu-batu artefak bercorak megalitik P3KP 2013.

2. Bogor Sebagai Pusat Kerajaan Pakuan Pajajaran

Kerajaan Sunda, atau setelah masa kehancurannya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, didirikan oleh Tarusbawa di wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Wilayah Kerajaan Pajajaran berada di bagian barat Pulau Jawa, dengan batas wilayah sebelah barat adalah Selat Sunda, sebelah timur adalah Sungai Citarum, sebelah selatan adalah Sungai Cisarayu, dan sebelah utara adalah dengan Sungai Cipamali. Ibukota Kerajaan Pajajaran yaitu Kota Pakuan berada di pedalaman, yaitu terletak sekitar 70 kilometer dari pesisir utara maupun pesisir selatan. Lokasi topografis Kerajaan Pajajaran yang dikelilingi dataran tinggi dan perbukitan menyebabkan kerajaan tersebut berkebudayaan agraris Ekadjati 2009. Gambar 5 Peta wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran Sumber: Kartapranata 2009

3. Pakuan Ibukota Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Sunda, atau setelah masa kehancurannya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, didirikan oleh Tarusbawa di wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Wilayah Kerajaan Pajajaran berada di bagian barat Pulau Jawa, dengan batas wilayah sebelah barat adalah Selat Sunda, sebelah timur adalah Sungai Citarum, sebelah selatan adalah Sungai Cisarayu, dan sebelah utara adalah Sungai Cipamali. Pascakehancuran Kerajaan Tarumanagara, terdapat masalah terkait nama dua kerajaan yang muncul di Tanah Sunda, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Berdasarkan sastra lisan folklor, cerita rakyat, dan pantun, nama yang selalu disebut adalah ‘Pajajaran’. Sementara berdasarkan sumber kontemporer naskah kuno, prasasti, catatan perjalanan, nama yang selalu muncul adalah ‘Sunda’. Menurut Danasasmita 1983, terdapat suatu kebiasaan mengenai pemakaian nama keraton dan nama ibukota yang dipakai pula menamai kerajaan. Istilah ‘Pajajaran’ sebagai nama kerajaan diambil dari nama ibukota Kerajaan Sunda, yaitu Pakwan Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Penyebutan istilah ini mulai muncul pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi dan setelah kehancuran kerajaan. Kata pakwan sendiri memiliki arti ‘tempat tinggal’ keraton untuk raja, yang berakar dari kata kuwu kemudian ditambahkan imbuhan. Menurut Poerbatjaraka 1921 kata pakuan berasal dari bahasa Jawa kuno ‘pakwwan’ yang dieja ‘pakwan’ dan apabila diucapkan dengan lidah orang Sunda menjadi ‘pakuan’. Kata ‘pakwan’ berarti kemah atau istana . Poerbatjaraka melanjutkan bahwa kata ‘Pakuan Pajajaran’ berarti istana yang berjajar.

4. Sistem Perekonomian

Ekadjati 2009 menjelaskan bahwa dalam naskah Carita Parahiyangan, terdapat petunjuk mengenai kegiatan perekonomian masyarakat Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran, yaitu melalui Pancaputera Lima Orang Putera. Pancaputera dipandang sebagai penjelmaan dewa-dewa pelindung. Masyarakat Sunda pada masa itu beranggapan Pancaputera sebagai cikal-bakal masyarakat Sunda secara keseluruhan, yaitu leluhur atau moyang berbagai kelompok masyarakat berdasarkan klasifikasi sumber penghidupan mereka. Profesi anggota Pancaputera tersebut yaitu sebagai petani panghuma, pemburu panggerek, penyadap panyadap, pedagang padagang, dan raja. Profesi-profesi ini menggambarkan secara simbolik jenis-jenis mata pencaharian masyarakat Sunda pada saat itu, yaitu pada bidang pertanian, peternakan, industri, perdagangan, dan pemerintahan. Kelima bidang tersebut memiliki kedudukan yang setara dan menjadi suatu kesatuan yang dibutuhkan dalam kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kerajaan Pajajaran apabila ditinjau dari kegiatan perekonomiannya tergolong sebagai kerajaan agraris, dimana bagian terbesar kehidupan ekonomi masyarakat dan negaranya tergantung pada pertanian terutama pertanian lahan kering humaladang.

5. Kegiatan Pertanian

Wilayah Kerajaan Pajajaran yang agraris menghasilkan sumberdaya alam yang berlimpah. Didukung dengan sumberdaya manusia dan tingkat peradaban pada masa kerajaan, kegiatan pertanian dan peternakan sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Kegiatan pertanian yang ada berupa pengolahan tanah dan tanaman untuk diambil daun, batang, buah dan umbi, sedangkan kegiatan