3. Pakuan Ibukota Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Sunda, atau setelah masa kehancurannya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, didirikan oleh Tarusbawa di wilayah bekas kekuasaan
Kerajaan Tarumanagara. Wilayah Kerajaan Pajajaran berada di bagian barat Pulau Jawa, dengan batas wilayah sebelah barat adalah Selat Sunda, sebelah timur adalah
Sungai Citarum, sebelah selatan adalah Sungai Cisarayu, dan sebelah utara adalah Sungai Cipamali. Pascakehancuran Kerajaan Tarumanagara, terdapat masalah
terkait nama dua kerajaan yang muncul di Tanah Sunda, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Berdasarkan sastra lisan folklor, cerita rakyat, dan pantun, nama
yang selalu disebut adalah ‘Pajajaran’. Sementara berdasarkan sumber kontemporer naskah kuno, prasasti, catatan perjalanan, nama yang selalu muncul adalah
‘Sunda’. Menurut Danasasmita 1983, terdapat suatu kebiasaan mengenai
pemakaian nama keraton dan nama ibukota yang dipakai pula menamai kerajaan. Istilah ‘Pajajaran’ sebagai nama kerajaan diambil dari nama ibukota Kerajaan
Sunda, yaitu Pakwan Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Penyebutan istilah ini mulai muncul pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi dan setelah kehancuran kerajaan.
Kata pakwan sendiri memiliki arti ‘tempat tinggal’ keraton untuk raja, yang
berakar dari kata kuwu kemudian ditambahkan imbuhan. Menurut Poerbatjaraka 1921 kata pakuan
berasal dari bahasa Jawa kuno ‘pakwwan’ yang dieja ‘pakwan’ dan apabila diucapkan dengan lidah orang Sunda menjadi ‘pakuan’. Kata ‘pakwan’
berarti kemah atau istana . Poerbatjaraka melanjutkan bahwa kata ‘Pakuan
Pajajaran’ berarti istana yang berjajar.
4. Sistem Perekonomian
Ekadjati 2009 menjelaskan bahwa dalam naskah Carita Parahiyangan, terdapat petunjuk mengenai kegiatan perekonomian masyarakat Sunda pada masa
Kerajaan Pajajaran, yaitu melalui Pancaputera Lima Orang Putera. Pancaputera dipandang sebagai penjelmaan dewa-dewa pelindung. Masyarakat Sunda pada
masa itu beranggapan Pancaputera sebagai cikal-bakal masyarakat Sunda secara keseluruhan, yaitu leluhur atau moyang berbagai kelompok masyarakat
berdasarkan klasifikasi sumber penghidupan mereka. Profesi anggota Pancaputera tersebut yaitu sebagai petani panghuma, pemburu panggerek, penyadap
panyadap, pedagang padagang, dan raja. Profesi-profesi ini menggambarkan secara simbolik jenis-jenis mata pencaharian masyarakat Sunda pada saat itu, yaitu
pada bidang pertanian, peternakan, industri, perdagangan, dan pemerintahan.
Kelima bidang tersebut memiliki kedudukan yang setara dan menjadi suatu kesatuan yang dibutuhkan dalam kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kerajaan
Pajajaran apabila ditinjau dari kegiatan perekonomiannya tergolong sebagai kerajaan agraris, dimana bagian terbesar kehidupan ekonomi masyarakat dan
negaranya tergantung pada pertanian terutama pertanian lahan kering humaladang.
5. Kegiatan Pertanian
Wilayah Kerajaan Pajajaran yang agraris menghasilkan sumberdaya alam yang berlimpah. Didukung dengan sumberdaya manusia dan tingkat peradaban
pada masa kerajaan, kegiatan pertanian dan peternakan sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Kegiatan pertanian yang ada berupa pengolahan
tanah dan tanaman untuk diambil daun, batang, buah dan umbi, sedangkan kegiatan
26 peternakan berupa pemeliharaan binatang ternak untuk diambil telur, daging, susu,
kulit, tanduk, dan tenaganya Ekadjati 2009. Berdasarkan istilah yang digunakan dalam naskah Carita Parahiyangan,
kegiatan pertanian lahan kering masih dapat ditemukan hingga saat ini, utamanya yaitu profesi petani, pemburu, dan penyadap. Hal ini diperkuat dengan deskripsi
cara bertani lahan kering yang ada dalam cerita pantun Lutung Kasarung. Pada cerita tersebut, diungkapkan cara bertani yang baik dan benar, dimulai dari
pemilihan musim tanam, pembukaan hutan, penebangan semak belukar, pengaturan pohon pada lokasi lahan agar tidak menghalangi lahan garapan, penggunaan sisa
bakaran pohon sebagai abu untuk keperluan pemupukan. Padi merupakan benih yang rutin ditanam. Pada lahan di pinggir lahan garapan, ditanami berbagai tanaman
palawija seperti kacang-kacangan, kecipir, hiris, labu, dan cabai. Kemudian ditanam pula pohon-pohon seperti pohon enau, pohon kelapa, pohon nipah, dan
pohon lontar. Kegiatan penyadapan pohon enau menghasilkan air nira yang bisa diminum langsung atau diolah lagi menjadi gula nira.
Gambar 6 Masyarakat Sunda jaman dahulu a, kegiatan menyadap aren b, panyadap
membawa air nira c Sumber: Tropenmuseum 2009, Aren Indonesia 2009
Kegiatan pertanian huma didukung dengan keberagaman flora lainnya, seperti belimbing, nanas, kelapa, timun suri, dukuh, picung, kaweni, manggis,
menteng, jatake, kokosan, nambaricin, kelor, nunuk, malaka, peundeuy, dan kopo untuk flora yang menghasilkan buah. Ada pula yang menghasilkan sayur yaitu labu,
panglay, handeuleum, hanjuang, jaringao, pacing, honje, kukuk, hanjeli, kemudian pala, cengkih, dan lada untuk bumbu dan rempah. Komoditi pertanian masyarakat
Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran, berdasarkan pustaka Ekadjati 2009 dan Rosidi 1976, dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Komoditi pertanian masyarakat Sunda jaman Pajajaran
Jenis Komoditi Nama Lokal
Nama Indonesia Nama Latin
Buah Arèn
Enau Arenga pinnata
Kalapa Kelapa
Cocos nucifera Balingbing
Belimbing Averrhoa carambola
NenasDanas Nanas
Ananas comosus L.
Merr. Bontèng suri
Timun suri Cucumis sativus
Dukuh Duku
Lansium parasiticum Picungpucung
Kemayang Pangium edule
Reinw ex Blume
Kawenikweni Kuweni
Mangifera x odorata Griffith
a b
c