Pendahuluan STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATAN

V. STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATAN

Abstrak Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat di Indramayu memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan gas ikutan dalam rangka mendukung penyediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini. Dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut berpeluang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pengolahan gas ikutan Lapangan minyak Tugu Barat, dan pemanfaatan serta dampaknya terhadap lingkungan. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan data-data deskriptif hasil penelusuran berbagai pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan triangulasi melalui studi pustaka, penyebaran kuisioner, dan survey langsung di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lapangan Minyak Tugu Barat di Indramayu mulai dieksploitasi oleh Pertamina pada tahun 1970. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day BOPD. Lapangan Minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan flare sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Gas ikutan di Lapangan Tugu Barat mengandung 40 CO 2 , 50 gas metan 1,94 nitrogen sehingga jika dibuang langsung akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, terjadinya pemanasan global dan terjadinya hujan asam. Pada pengolahan gas ikutan, CO 2 yang tinggi akan menurunkan tekanannya, sehingga untuk meningkatkan tekanannya, CO 2 harus dipisahkan dari gas ikutan. Kilang LPG Plant Tugu Barat mempunyai potensi untuk melakukan pemanfaatan gas ikutan karena cadangannya cukup banyak GOR 1 dan sudah dapat dirancang rencana-rencana pemanfaatannya di Lapangan Tugu Barat. Berdasarkan perhitungan memperlihatkan bahwa pengolahan gas ikutan di lokasi ini layak secara ekonomi dan secara lingkungan, begitupun halnya dengan CO 2 yang terdapat pada gas ikutan dapat dimanfaatkan untuk minuman ringan food grade, sehingga bernilai ekonomis. Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu baik. Kata kunci : Pengolahan, gas ikutan, CO 2 pemanfaatan, layak lingkungan

5.1. Pendahuluan

Industri minyak dan gas sebagai sektor usaha yang strategis dan produktif dalam sektor formal di Indonesia telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap roda perekonomian. Keputusan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas bagi penggunaan domestik dan bahan bakar minyak untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah atas subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya harga minyak dunia. Hal ini semakin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Bersamaan dengan menurunnya jumlah produksi minyak Gambar 26 dan besarnya jumlah 81 pemanfaatan minyak untuk digunakan sebagai bahan bakar, membuat pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi perlu dimanfaatkan lebih banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan. Gambar 26. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak di indonesia tahun 2000 – 2006 Sumber : Indonesia Energy Statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008 Kebutuhan gas bumi di kawasan Asia, Eropa dan Atlantik diperkirakan akan semakin besar, bahkan di Amerika Utara pertumbuhan konsumsi gas bumi lebih cepat dari pasokan, sehingga makin meningkatkan import LNG. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, sehingga walaupun Indonesia selalu berupaya untuk terus meningkatkan ekspor gas bumi dalam bentuk LNG maupun melalui pipa, namun di lain pihak konsumsi gas di dalam negeri juga mengalami peningkatan. Kedua kebutuhan tersebut pada akhirnya akan makin meningkatkan eksploitasi gas bumi. Produksi gas Indonesia pada tahun 2004 sebesar 8.6 BSCFD billon standard cubic feet per day dengan kontribusi produksi PERTAMINA sebesar 0.9 BSCFD dan 7.7 BSCFD oleh PSC production sharing contract. Meskipun jumlah ini mengesankan tetapi hanya 42 yang dikonsumsi di Indonesia sedangkan selebihnya atau lebih dari 5 BSCFD di ekspor sebagai LPG, LNG, condensate dan gas piped. Permintaan domestik pada tahun 2004 sebesar 2025 MMSCFD, sedangkan suplai hanya mampu memenuhi kebutuhan sebesar 1910 MMSCFD, di lain pihak kebutuhan Pulau Jawa saja sudah mencapai 1250 82 MMSCFD, namun suplai gas ke Pulau Jawa masih terbatas pada 1000 MMSCFD. Berdasarkan peningkatan permintaan gas terutama di Pulau Jawa dan Sumatra Selatan tersebut, maka PERTAMINA memproyeksikan bahwa pada tahun 2010-2020 permintaan nasional akan mencapai 2.75-5 BSCFD. Adapun perkembangan dan konsumsi gas di Indonesia seperti pada Gambar 27. Gambar 27. Indonesian gas production and consumption in 2000-2006 Sumber : Indonesian energy statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008 Krisis energi yang melanda Indonesia semenjak harga minyak dunia bergerak naik melewati US 40 per barrel pada bulan April 2005, membuat alternatif pemanfaatan gas sebagai bahan bakar menjadi kebutuhan yang sangat Gambar 28. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan Sumber : CCOP WorkShop,Beijing-China, Lemigas Juni, 2006 83 penting bagi industri-industri strategis, ataupun untuk kepentingan infrastruktur negara. Efisiensi pemanfaatan gas yang digunakan sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi beban operasional bagi industri-industri yang sedang bangkit, terutama bagi pembangunan di Indonesia. Sebagai contoh estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar di perusahaan listrik negara PLN pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 7. Pemakaian gas bumi dalam bentuk LPG dan lean gas di Indonesia selain digunakan untuk PLN, sebagian juga dimanfaatkan untuk industri pupuk, dengan prosentase yang menyamai keperluan pembangkit listrik, yakni masing-masing sekitar 35 dari total pemakaian dalam negeri. Sisanya sekitar 30 digunakan untuk industri lain. Keperluan gas untuk sektor rumah tangga ternyata jauh lebih kecil. Tabel 7. Estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar di Perusahaan Listrik Negara PLN pada tahun 2005 Sumber : Kompas, 8 Juli 2005. Keterangan : HSD high speed diesel = minyak Solar MMSCF million standard cubic feet MFO marine fuel oil = minyak Bakar GWh giga watt x jam Produksi PERTAMINA untuk penjualan LPG di Indonesia sudah mencapai 1.000.000 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan LPG Kota Jakarta saja sudah mencapai 1300-1700 ton per hari atau 474.000-620.500 ton per tahun atau setengah dari kebutuhan nasional 800.000 ton per tahun. Permintaan LPG meningkat 20 dari 83.000 ton pada tahun 2002 menjadi 100.000 ton pada tahun 2003 dan diperkirakan akan terus meningkat 15 setiap tahunnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pada saat ini pemerintah telah melakukan import. Walaupun demikian kemampuan suplai Pertamina hanya 800.000 ton per tahun, sedangkan permintaan sudah mencapai 1.200.000 ton per tahun. BBM MFO dan HSD Gas Alam Pemakaian 9.357.000 liter 185 MMSCF Harga Rp.2.266liter 2,56 Dollar ASMMSCF Produksi Listrik 34.692 Gwh 36 20.092 Gwh 21 Biaya Energi Rp.21.204 Miliar Rp.4.228 Milar 68 14 Rp.611Kwh Rp.210Kwh 84 Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada lapangan produksi minyak PT.Pertamina EP khususnya di Jawa Barat, gas ikutannya tidak pernah dimanfaatkan, namun gas ikutan tersebut dihilangkan dengan cara dibakar. Dilakukannya pembakaran gas tersebut karena gas ikutan dianggap kurang memiliki nilai ekonomis, selain itu juga gas tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara langsung karena kendala operasi. Dalam hal ini penyebabnya antara lain karena di dalamnya mengandung CO 2 dalam jumlah yang tinggi, tidak tersedia flow line jalur pipa, bersifat marginal dan remote area terpencil. Keterbatasan ini pada akhirnya menjadi sangat berpengaruh terhadap hilangnya nilai manfaat ekonomi yang diterima oleh perusahaan, oleh karena itu maka gas ikutan terpaksa harus dibakar. Di sisi lain jika gas ikutan ini diolah lebih lanjut, akan mempunyai nilai ekonomis dan sekaligus dapat meningkatkan ketersediaan energi gas yang saat ini kebutuhannya semakin meningkat. Pemanfaatan gas ikutan juga diharapkan akan meningkatkan volume gas yang terproduksi untuk dapat dimanfaatkan, sehingga diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar, baik nasional maupun internasional. Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang konversi minyak tanah Mitan ke LPG liquid petroleum gas dengan target menghemat konsumsi minyak tanah yang subsidinya sangat mahal, yakni mencapai Rp 25 Triliun US 3 Milyard per tahun. Oleh karenanya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengestimasi penghematannya mencapai Rp 30 Triliun. Sebuah nilai yang sangat fantastis bila digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan dalam memproduksi minyak tanah sama mahalnya dengan memproduksi Avtur bahan bakar pesawat terbang, sehingga mengimport minyak tanah dan dibagikan secara murah merupakan pemborosan yang sangat tinggi. Di lain pihak dari konsumen sendiri bila beralih ke LPG akan terjadi penghematan pengeluaran uang sebesar 32 setiap bulannya. Realisasi program pengalihan minyak tanah ke LPG tahun 2007 hingga 2008 4 November 2008 untuk wilayah Jabodetabek, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali sudah mencapai 14.443.832 kepala keluarga, usaha mikro 614.703 dengan volume LPG 449.748 MT metrik ton. Hingga akhir 2008 diproyeksikan 20 juta KK kepala keluarga degan volume LPG 1.144.020 MT. Sedangkan 2009 proyeksi konversi untuk 18.044.211 KK dengan volume LPG 1.600.000 MT Migas, 2008. Selain hal tersebut di atas, konversi gas 85 ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi pencemaran lingkungan akibat dari pembakaran tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang peluang pemanfaatan gas ikutan tersebut dan kelayakan ekonomi serta kelayakan secara lingkungan, sekaligus menjajaki kemungkinan sistem pengolahan gas ikutan dan potensi pemanfaatannya, mengingat gas ikutan ini sangat melimpah pada setiap lapangan minyak, seperti di PT. SDK.

5.2. Metode Analisis Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan dan