189
memudahkan dalam akses pengelolaan gas yang terbatas 6. Pada tahap tiga yang perlu dilakukan adalah pengembangan pasar gas domestik 1,
peningkatan sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan 5, penetapan kebijakan otonomi daerah 8. Pada tahap terakhir keempat yang dapat
dilakukan dalam rangka penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan adalah mempermudah sistem fiskal yang rumit 3, meningkatkan
harga gas ikutan yang masih rendah 4, penyediaan modal usaha terbatas 7, dan meningkatkan mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah 10.
b. Kebutuhan Program Pengelolaan gas ikutan
Berdasarkan hasil pendapat pakar, ditemukan 10 sub elemen kebutuhan yang diperlukan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas
Tugu Barat Indramayu. Adapun sub elemen tersebuat yaitu 1 Tersedianya pasar gas ikutan dalam dan luar negeri, 2 Sistem fiskal yang lebih mudah, 3
Harga gas ikutan yang lebih tinggi, 4 Sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan, 5 Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah, 6 Kemudahan
dalam memperoleh modal usaha, 7 Tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan, 8 Kualitas SDM yang terampil dan siap pakai, 9 Mutu hasil olahan gas
ikutan yang lebih baik, 10 Keamanan dalam berinvestasi. Semua sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode ISM untuk mendapatkan sub elemen kunci yang merupakan kebutuhan utama program pengelolaan gas ikutan. Hasil analisis ISM seperti disajikan pada
Gambar 57.
190 Gambar 57. Matriks
driver power – dependence untuk elemen kebutuhan pengelolaan gas ikutan.
Berdasarkan hasil analisis seperti pada Gambar 57 tersebut memperlihatkan bahwa ada tiga sub elemen terpenting dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pengelolaan gas ikutan, yaitu: tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan 7 kualitas SDM yang terampil dan siap pakai 8,
keamanan dalam berinvestasi 10. Ketiga sub elemen ini terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian
serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak driver power yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki
ketergantungan dependence yang rendah terhadap program. Ketiga sub
elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program. Sub elemen yang terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program
yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak
driver power yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki ketergantungan
dependence yang rendah terhadap program. Sub elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program
pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas Tugu Barat. Seperti diketahui sampai saat ini kebijakan yang khusus berkaitan dengan
pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengembangannya masih menggunakan kebijakan-kebijakan pengembangan industri minyak dan gas bumi
secara umum. Adapun kebijakan-kebijakan yang selama ini digunakan dalam pengelolaan gas ikutan di Indonesia antara lain :
1 2, 5
3, 4, 6 7, 8, 10
9
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11
1 2
3 4
5 6
7
Sektor IV Indepencence
Sektor III Linkage
Sektor I Autonomous
Sektor II Dependence
191 1. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
2. UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang APBN tahun 2007. 3. Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan usaha hilir Migas
4. Pperaturan Menteri PERMEN No. 0007 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perizinan Hilir Migas.
5. Keputusan Dirjen migas No. 25K36DDJM1990 yang mngatur yang mengatur tentang spesifikasi LPG yang beredar di dalam negeri.
Selain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan yang merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas
Tugu Barat, keamanan berinvestasi dalam pengembangan gas ikutan di Indonesia juga merupakan kebutuhan yang perlu segera ditangani dengan baik.
Adanya keengganan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia terutama dalam pengembangan industri gas ikutan diantaranya disebabkan oleh
lemahnya keamanan dalam berinvestasi. Sumberdaya manusia dalam suatu industri termasuk industri pengolahan
gas ikutan juga sangat memegang peran penting terhadap kelangsungan usaha. Banyak industri yang mengalami kebangkrutan atau gulung tikar disebabkan
kesalahan manajemen dan kesalahan manajemen disebabkan salah satunya adalah ketidakmampuan sumberdaya manusia yang dimiliki untuk mengelola
usaha dengan baik. Terkait dengan sumberdaya manusia dalam pengelolaan industri gas ikutan, dimaklumi bahwa sumberdaya manusia yang potensial dan
terampil dibidang tersebut masih sangat terbatas, sehingga untuk memenuhinya masih lebih banyak memanfaatkan tenaga-tenaga asing. Sementara tenaga
kerja lokal lebih banyak dimanfaatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang kasar. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan industri gas ikutan ke depan
melalui pemberdayaan sumberdaya manusia lokal, maka peran lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyediakan sumberdaya manusia yang
berkualitas. Menurut Suhariadi 2007 bahwa pada era saat ini, kepemilikan modal,
sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi menjamin bahwa suatu organisasi seperti industri bukan lagi sebagai
driver organisasiindustri untuk mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi
organisasiindustri. Namun yang sangat dipentingkan adalah pemilikan dan penguasaan pengetahuan para karyawan industri, sehingga
driver utama bagi kelangsungan hidup industri adalah kepemilikan pengetahuan para
192 karyawannya. Pengetahuan para karyawan ini perlu dikelola lebih baik yang
dikenal sebagai knowledge management. Nonaka dalam Suhariadi 2007
membagi pengetahuan yang dimiliki organisasi menjadi dua yaitu tacit knowledge
dan explicit knowledge. Tugas para pengelola organisasi adalah menjadikan tacit
knowledge yang dimiliki anggota anggotanya menjadi explicit knowledge yang dimiliki bersama. Organisasi dalam era ini membutuhkan
knowledge workers. Untuk dapat
survive, organisasi sebaiknya mengubah pola pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi, karena
knowledge ini dimiliki oleh para anggota organisasi, dan akan keluar bersama anggota tersebut kalau dia
meninggalkan organisasi. Bukan seperti mesin yang tetap tinggal dalam organisasi meskipun operatornya keluar dari organisasi.
Saat ini para pemimpin atau manajer organisasiinstansi harus berhadapan dengan arus perubahan yang cepat dan terus-menerus. Para
pimpinanmanajer harus bekerja dengan pengambilan keputusan yang vital yang tidak dapat mengacu pada arah-arah pengembangan di masa yang lalu. Teknik-
teknik manajemen harus secara berkesinambungan memperhatikan perubahan di lingkungan dan organisasinya, mengukur perubahan dan mengelolanya.
Mengelola perubahan tidak hanya berarti mengendalikan saja namun juga mengadaptasinya atau bahkan mengarahkan sebagaimana mestinya. Tentu saja
hal ini membuat para pimpinanmanajer tidak dapat menguasai seluruh metode pemecahan masalah atau sumber daya bagi setiap situasi.
Hal yang seringkali terjadi, manajemen sumberdaya manusia dalam suatu organisasi tidak menempatkan manusia sebagai objek yang harus dimiliki untuk
kepentingan apapun, melainkan bagaimana menempatkan manusia sebagai bagian yang ikut berkembang selaras dengan alam semesta, dan tidak
mengobrak abrik alam untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini disebut sebagai ”
deep ecology” seperti yang dikemukakan Capra dalam Suhariadi 2007. Manusia dalam paradigma
deep ecology adalah manusia yang berproses bersama alam semesta, dan berevolusi bersama untuk mencapai tingkat
kehidupan yang lebih tinggi. Manusia sebagai bagian dari alam semesta bukanlah aset seperti pandangan organisasi, melainkan manusia yang utuh,
yang memiliki berbagai dimensi, seperti dimensi fisik, biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual. Pengelolaan sumberdaya manusia dengan paradigma
semacam ini menghendaki organisasi benar benar memperlakukan manusia sebagaimana adanya, dan mengembangkan potensi-potensinya agar dapat
193 berkarya dengan baik dalam organisasi, baik untuk kemajuan organisasi maupun
untuk perkembangan pribadinya. Pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi seyogyanya menghasilkan Manusia yang berkarya, bukan manusia
yang bekerja. Untuk membentuk sumberdaya manusia yang bukan saja sebagai
pekerja tetapi dalam pekerjaannya dapat bersahabat dengan lingkungan, maka peran pendidikan baik pendidikan sarjana maupun pascasarjana tidak saja
membekali sumberdaya manusia dalam pengelolaan suatu organisasi tetapi pemahanan dan peningkatan kesadaran akan kelestarian lingkungan perlu
ditingkatkan. Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kebutuhan program pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat secara rinci dapat dilihat pada
Gambar 58 di bawah ini.
Gambar 58. Struktur Hierarkhi Sub Elemen Kebutuhan Program Pengelolaan
gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu. Pada Gambar 58 memperlihatkan bahwa ada tiga tahap yang dapat
ditempuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan program pengelolaan gas ikutan. Pada tahap pertama adalah tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan 7,
kualitas SDM yang terampil dan siap pakai 8, keamanan dalam berinvestasi 10.
Pada tahap kedua yang perlu dilakukan adalah Sistem fiskal yang lebih mudah 2, Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah 5 dan Mutu hasil
olahan gas ikutan yang lebih baik 9. Sedangkan pada tahap terakhir ketiga adalah Tersedianya pasar gas ikutan dalam dan luar negeri 1, Harga gas ikutan
yang lebih tinggi 3, Sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan 4, Kemudahan dalam memperoleh modal usaha 6.
1 3
4 6
2 5
9
7 8
10
194
8.4. Kesimpulan