186 alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Produksi LPG Indonesia
pada tahun 2006 mencapai 1.428 ton, sedangkan angka konsumsi hanya mencapai 1.100 ton sehingga masih mempunyai kuota untuk ekspor sebesar
289 ton Departemen ESDM, 2007. Apabila kebutuhan LPG domestik ini dipenuhi dapat terpenuhi dengan baik dan mendukung terjadinya alih
penggunaan pemanfaatan bahan bakar minyak BBM kepada penggunaan gas sebagai energi, sehingga dapat membantu mengurangi kelangkaan BBM.
Kebijakan konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG mempunyai maksud untuk mengurangi subsidi. Perhitungan pengurangan subsidi melalui program konversi
minyak tanah bersubsdi ke LPG berdasarkan perhitungan seperti Tabel 25 berikut.
Tabel 25. Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG
PERBANDINGAN MINYAK TANAH
LPG
Kesetaraan 1 Liter
0.57 Kg Harga Jual ke Masyarakat
Rp. 2.500 Ltr Rp. 4.250Kg
Pengalihan Volume Minyak
Tanah Subsidi 10.000.000 Kiloliter
5.746.095 MTTahun
Asumsi Harga Keekonomian Rp. 5.665 Liter
Rp. 7.127 Kg Harga Jual
Rp. 2000 Liter Rp. 4.250 Kg
Besaran Subsidi Rp. 3.665 Liter
Rp. 2.877 Kg Total Subsidi
Rp. 36.65 TriliunTahun
Rp.16.53 TriliunTahun
Selisih Rp. 20.12
TriliunTahun Dari Tabel 25 di atas terlihat bahwa Pemerintah Indonesia dapat
menghemat subsidi sebesar Rp 20 triliun tahun dari pengalihan penggunaan minyak tanah dengan LPG. Perhitungan penghematan subsidi sebesar itu
dengan asumsi seluruh volume minyak tanah bersubsidi dikonversi ke LPG 3 kg. Hal ini akan mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan subsidi yang
besar dan beban subsidi tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang lebih membutuhkan, seperti pendidikan dan kesehatan.
8.3.2. Kendala dan kebutuhan dalam Pengelolaan gas ikutan a. Kendala dalam Pengelolaan gas ikutan
Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan di wilayah lapangan minyak dan gas Tugu Barat, Indramayu. Berdasarkan hasil pendapat
187
pakar, ditemukan 10 sub elemen kendala yaitu: 1 Belum ada pengembangan pasar gas domestik, 2 Terbatasnya kebijakan gas ikutan, 3 Sistem fiskal yang
rumit, 4 Harga gas ikutan yang masih rendah, 5 Terbatasnya sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan, 6 Akses pengelolaan gas yang terbatas, 7
Modal usaha terbatas, 8 Kebijakan otonomi daerah, 9 Kualitas SDM yang masih rendah, 10 Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah.
Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan sebaran setiap sub elemen kendala menempatkan tiga sektor masing-masing
sektor I, II, dan IV seperti terlihat pada Gambar 51. Pada Gambar 51 terlihat bahwa sub elemen kendala terbatasnya kebijakan gas ikutan 2 dan masih
rendahnya kualitas sumberdaya manusia 9, terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan gas
ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat. Sub elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak
driver power yang besar dalam pengembangan kawasan dengan tingkat ketergantungan
dependence yang rendah terhadap sub elemen kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik akan
menjadi faktor penghambat utama dalam pengelolaan gas ikutan. Sub elemen seperti 1 Belum ada pengembangan pasar gas domestik, 3 Sistem fiskal yang
rumit, 4 Harga gas ikutan yang masih rendah, 7 Modal usaha terbatas, dan 10 Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah menempati kuadran II yang
berarti sub elemen tersebut memiliki kekuatan pendorong yang rendah tetapi tingkat ketergantungannya terhadap sub elemen lainnya tinggi. Sub elemen 8
Kebijakan otonomi daerah menempati kuadran I dimana sub elemen ini memiliki kekuatan pendorong dan ketergantungan yang rendah. Kedelapan sub elemen
kendalah tersebut dapat diartikan bahwa apabila kendala kebijakan pengelolaan gas ikutan dan sumberdaya mansuai dapat teratasi dengan baik, maka
penyelesaian kedepalan kendala dapat dengan mudah untuk diatasi. Adapun posisi masing-masing sub elemen kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas
ikutan seperti pada Gambar 55.
188
Gambar 55 Matriks
driver power – dependence untuk elemen kendala dalam pengelolaan gas ikutan
Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kendala program pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan Tugu Barat secara rinci dapat
dilihat pada Gambar 56 di bawah ini. Gambar 56. Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas
ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu. Pada Gambar 56 terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi
dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan tugu barat dapat dilakukan melalui empat tahap. Pada tahap pertama yang diperlukan dalam pengelolaan gas
ikutan adalah perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan 2 dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia 9. Selanjutnya pada tahap kedua adalah
1 2, 9
3 4
5 6
7, 10 8
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
1 2
3 4
5 6
7
Sektor IV Indepencence
Sektor III Linkage
Sektor I Autonomous
Sektor II Depencence
Driv er
P o
w e
r
Dependence
3 4
7 10
1 5
8
6
2 9
Level 4
Level 3
Level 2
Level 1
189
memudahkan dalam akses pengelolaan gas yang terbatas 6. Pada tahap tiga yang perlu dilakukan adalah pengembangan pasar gas domestik 1,
peningkatan sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan 5, penetapan kebijakan otonomi daerah 8. Pada tahap terakhir keempat yang dapat
dilakukan dalam rangka penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan adalah mempermudah sistem fiskal yang rumit 3, meningkatkan
harga gas ikutan yang masih rendah 4, penyediaan modal usaha terbatas 7, dan meningkatkan mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah 10.
b. Kebutuhan Program Pengelolaan gas ikutan