Gugatan Australia terhadap Jepang

masalah batas dan kedaulatan tidak berhubungan dengan kegiatan Jepang terhadap kewajibannya di IWC. Mahkamah Internasional pada akhirnya menetapkan bahwa penolakan Jepang atas kewenangan Mahkamah Internasional mengenai kasus ini tidak bisa diterima sehingga kasus ini akan dilanjutkan. BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA

A. Gugatan Australia terhadap Jepang

Pada awal program JARPA, Australia sudah melihat banyak hal yang janggal seperti alasan Jepang melakukan program tersebut dan kenapa Jepang mau ikut serta di dalam menerima peraturan moraturium. Jepang mau menerima sistem moraturium karena adanya ancaman embargo ekonomi oleh amerika, sehingga mereka berusaha menaati peraturan tersebut namun tidak melepas kegiatan perburuan yang selama ini dilakukannya. Hasil dari JARPA sendiri sama sekali tidak relevan dengna pelaksanaannya, dimana tujuan dari program ini adalah untuk mencari tahu tingkat harapan hidup ikan paus minke yang ada di Antartika, namun dengan melakukan perburuan yang justru membunuh ikan paus tersebut. Peneltiian ini juga dirasakan tidak ada manfaatnya karena kemudian IWC merubah sistem manajemennya dengan sama sekali tidak menggunakan data yang dihasilkan dari JARPA dan tujuan untuk menetukan tingkat harapan hidup ikan paus adalah sesuatu yang mustahil untuk dicapai karena adanya perubahan secara global. Setelah program JARPA berakhir, Jepang kembali membuat proposal atas program yang baru dengan nama JARPA II. Menurut Australia sendiri, JARPA II Universitas Sumatera Utara bukanlah program dengan tujuan penelitian seperti yang tercantum di dalam pasal 8 ICRW, melainkan sebuah pelanggaran terhadap kewajibannya dan penyimpangan dari regulasi ICRW. Di dalam gugatannya, Australia mengatakan bahwa ada kewajiban yang seharusnya diikuti oleh Jepang, Kewajiban ini antara lain adalah kewajiban untuk menghormati penetapan moraturium untuk melakukan penghentian penangkapan total zero catch limit untuk tujuan komersial 126 , kewajiban untuk tidak melakukan penangkapan komersial terhadap jenis ikan paus sirip di cagar paus Antartika Southern Ocean Sanctuary 127 , dan kewajiban untuk melakukan moraturium mengenai pengambilan, pembunuhan dan segala tindakan yang dilakukan terhadap ikan paus, terkecuali ikan paus minke Minke whale oleh kapal pabrik ataupun kapal pemburu ikan paus yg bersamaan dengan kapal pabrik 128 Sesuai dengan pasal 40 ayat 2 dari statuta Mahkamah Internasional , suatu persidangan tidak dapat diadakan apabila kedua belah pihak belum . Terhadap segala hal yang disampaikan oleh Australia, Jepang membantah dengan mengatakan bahwa seluruh kewajiban yang disebutkan oleh Australia tidak diterapkan di dalam program JARPA II karena program ini berjalan dibawah izin khusus penelitian sehingga dikecualikan dari kewajiban tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 8 ayat 1 ICRW. Pada tanggal 31 May 2010, Australia mengajukan permohonan kepada Mahkamah Internasional untuk melakukan suatu persidangan mengenai sengketa terhadap Jepang yang terus menerus melakukan perburuan ikan paus melalui program penelitian skala besarnya yang diberi nama Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Antarctic JARPA II , telah melanggar kewajibannya untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh IWC dan juga melanggar kewajiban internasional lainnya untuk melindungi biota laut dan lingkungannya. 126 ICRW schedule , Paragraf 10 e 127 ICRW schedule , Paragraf 7 b 128 ICRW schedule , Paragraf 10 d Universitas Sumatera Utara memberikan persetujuan untuk menyerahkan kewenangan memutuskan kepada Mahkamah Internasional. Maka dari itu, setelah Australia menyampaikan permohonannya, Mahkamah Internasional menghubungi negara Jepang meminta konfirmasi untuk kesediaaannya. Australia mengajaukan kesediaannya diadili oleh Mahkamah Internasional pada tanggal 22 Maret 2002 sedangkan Jepang pada tanggal 9 Juli 2007. Di dalam statuta Mahkamah Internasional, disebutkan bahwa pihak pihak yang berperkara dapat mengajukan hakim yang merupakan warga negaranya untuk ikut memutus perkaranya. 129 Namun, di dalam kasus ini, Australia sama sekali tidak mengajukan hakim dari negaranya melainkan meminta Mahkamah International untuk memilih hakimnya sendiri sebagai hakim ad hoc untuk duduk dipersidangan tersebut. 130 Tepat pada tanggal 13 Juli 2010, Mahkamah Internasional mengeluarkan perintah untuk menyerahkan gugatan oleh Australia paling lambat tanggal 9 Mei 2011 dan balasan gugatan oleh Jepang pada tanggal 9 Maret 2012. Kedua negara tersebut memenuhi ketentuan tersebut sesuai dengan arahan dari Mahkamah Internasional. Di dalam proses persidangannya, Australia tidak memberikan gugatan balik atas jawaban dari pemerintah Jepang. Oleh karena itu, Mahkamah Internasional memutuskan untuk tidak melakukan proses gugatan balik sesuai dengan ketentuan di dalam statutanya. 131 Di dalam kasus ini, terdapat intervensi yang datangnya dari New Zealand pada tanggal 20 November 2012. Negara tersebut meminta kepada Mahkamah Internasional untuk menambah permohonan di dalam berkas sengketanya serta menganeksasi kasusnya. Mahkamah Internasinal kemudian mengabulkan hal tersebut karena dianggap masuk akal dan mengirimkan dokumennnya kepada New Zealand. 132 129 Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 31 Ayat 3 130 Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 31 Ayat 2 131 Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 45 Ayat 2 132 Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 53 Ayat 1 Setelah dikabulkan permohonannya, New Zealand Universitas Sumatera Utara mengumumkan intervensinya terhadap kasus ini pada tanggal 20 November 2012. 133 Australia dan Jepang tidak menyatakan keberatan atas intervensi setelah melakukan observasi atas dokumen yang diberikan oleh New Zealand sehingga tidak diperlukan perwakilan dari New Zealand untuk dipertanyakan apa yang menjadi alasan New Zealand melakukan hal tersebut. 134 Yang artinya, Australia meminta agar Mahkamah Internasional melakukan persidangan dan memutuskan bahwa Jepang telah melanggar kewajiban Setelah itu, Mahkamah Internasional kembali menggelar sidangnya dengan meminta kedua negara untuk saling berdiskusi terlebih dahulu mengenai sengketa tersebut, dan apabila diperlukan dengan memanggil para ahli untuk ikut serta memberikan masukan. Hal ini dilakukan oleh keduanya dan hasil tersebut juga disampaikan kepada pihak intervensi. Persidangan dilanjutkan dengan melakukan diskusi terbuka Public Hearing yang pada saat itu dilakukan oleh para ahli dan proffesor dari beberapa universitas dari masing-masing negara. Salah satu yang berbicara di dalamnya yaitu Prof. Nick Gales yang merupakan Chief Scientist dari Australian Antartic Program; dia mengatakan bahwa sistem perburuan ikan paus untuk penelitian yang di anut oleh IWC memiliki banyak kelemahan; kewenangan IWC untuk melarang negara- negara baik yang merupakan anggota maupun yang bukan anggota patut dipertanyakan karena keikutsertaan dalam organisasi internasional merupakan hal yang bersifat sukarela. Australia, di dalam gugatannya menuliskan : “ For [the] reasons [set forth in its Application], and reserving the right to supplement, amplify or amend the present Application, Australia requests the Court to adjudge and declare that Japan is in breach of its international obligations in implementing the JARPA II program in the Southern Ocean. “ 133 Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 63 Ayat 2 134 Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 84 ayat 2 Universitas Sumatera Utara internasionalnya, yang dalam hal ini berkaitan dengan keanggotaanya di IWC dalam menerapkan program JARPA II di laut bagian selatan yaitu Antartika. Tidak hanya itu, Australia juga meminta agar Mahkamah Internasional untuk : a. Mencabut izin untuk JARPA II; b. Untuk mencabut kembali wewenang, izin dan lisensi atas kegiatan Jepang terhadap subjek sengketa di dalam kasus ini. c. Memberikan kepastian dan garansi bahwa Jepang tidak akan melanjutkan program JARPA II ataupun program lainnya yang serupa. Jepang hanya boleh melakukannya apabila sudah disesuaikan dengan kewajibannya di bawah hukum internasional. Segala permintaan tersebut dijelaskan lebih lanjut di dalam proposal tuntutannya yaitu : 1. Dengan hal-hal yang sama seperti sebelumnya, Australia meminta Mahkamah Internasional menetapkan Jepang telah melanggar kewajiban internasionalnya akrena memperbolehkan dan melaksanakan program JARPA II di laut bagian selatan Antartika. 2. Secara umum, Mahkamah Internasional diminta untuk mengadili dan memutuskan bahwa perbuatan Jepang telah melanggar : a. Ketentuan tidak boleh berburu paus zero catch limit untuk kepentingan komersial. b. Berhenti memburu paus sirip fin whales di cagar paus Antartika Southren Ocean Sanctuary dan c. Ikut berpartisipasi dalam diskusi moraturium mengenai perburuan dan perlakuakan terhadap ikan paus, terkecuali mengenai paus minke , oleh kapal pabrik ataupun pemburu ikan paus yang ada di kapal pabrik. 3. Lebih jauh lagi, Mahkamah International juga diminta untuk menetapkan bahwa program JARPA II bukan untuk kepentingan penelitian dan bertentangan dengan pasal 8 dari ICRW. 4. Mahkamah Internasional diminta untuk mengadili dan menetapkan bahwa Jepang : Universitas Sumatera Utara a. Tidak mengeluarkan izin khusus ataupun melakukan perburuan ikan paus yang bukan demi penelitian sesuai dengan pasal 8 IRWC b. Secepatnya menghentikan efek dari implementasi JARPA II dan c. Mencabut kembali seluruh kewenangan, izin dan lisensi ynag memperbolehkannya dilakukan program JARPA II. Menanggapi permohonan Australia ke Mahkamah Internasional, Jepang membalas gugatan Australia dengan meminta kepada Mahkamah Internasional untuk : 1. Memutuskan bahwa Mhakamh Internasional tidak memiliki wewenang untuk memutuskan di dalam sengketa yang diajukan oleh Australia ini. 2. Sebagai tambahan, menolak seluruh gugatan Australia. New Zealand sebagai pihak intervensi, menyampaikan observasi tertulisnya kepada Mahkamah Internasional, yang menyatakan tentang bahwa Pasal 8 di dalam ICRW harus ditafsirkan sebagai kegiatan yang baik good faith sesuai dengan tujuan dan cita-cita konvensi tersebut, serta melihat konsekuensi dari pelaksanaan dan penempatannya dalam hukum internasional. Dengan basis tersebut, New Zealand mengasumsikan arti pasal 8 ICRW sebagai berikut : a Pasal 8 ICRW mengenai izin khusus penelitian merupakan bagian inti dari keseluruhan sistem regulasi yang di tetapkan oleh konvensi, bukan sebagai suatu pengecualian. Oleh karena itu, izin penelitian khusus tidak dapat diberikan ataupun di gunakan apabila tujuan dari penelitian tersebut justru berlawanan dengan maksud dan tujuan dari konvensi tersebut. b Hanya perburuan yang memang sesuai dengan persyaratan di pasal 8 yang bisa dikecualikan dari kegiatan di dalam konvensi c Pasal 8 hanya memperbolehkan negara anggota untuk mengeluarkan izin khusus perburuan ikan paus untuk kepentingan penelitian. d Pasal 8 mensyaratkan negara anggota untuk mengekuarkan izin khusus demi membatasi perburuan ikan paus hingga pada angka terkecil setara pada kebutuhan minimal dan sesuai dengan tujuan dari penelitian tersebut; Universitas Sumatera Utara penelitian tersebut juga tidak boleh memiliki dampak negatif terhadap konservasi ikan paus. e Negara anggota yang mengeluarkan izin khusu harus merundingkannya dengan pihak pihak terkait, dan menunjukkan bahwa izin tersebut telah disetujui oleh IWC dan badan penelitiannya. f Hanya perburuan ikan paus dengan izin khusus yang memenuhi ketiga persyaratan di dalam pasal 8 seperti yang disebutkan diatas boleh dilakukan. Dengan adanya laporan dari New Zealand sebagai pihak intervensi, Jepang melakukan jawaban balik kepada Mahkamah Internasional yaitu : 1. Jepang meminta Mahkamah Internasional untuk tidak menghiraukan permintaan New Zealad karena jurisdiksi Mahkamah Internasional di dalam kasus gugatan Australia masih belum jelas. 2. New Zealand melakukan banyak kesalahan di dalam laporannya,seperti salah mengartikan pasal 8 ICRW dengan hubungannya terhadap cara dan jumlah sampel di dalam program kerjasama.New Zealand juga berusha membalikkan pembuktian terhadap kepentingan penelitian di bawah pasal 8 ICRW. Oleh karena itu, Jepang melaporkan bahwa point point yang dikirim oleh New Zealand tidak benar adanya. Dan pada akhir dari prosedural persidangannya, Mahkamah Internasional berkata secara lisan bahwa sistem regulasi terstruktur untuk konservasi dan managemen ikan paus yang berada di dalam Pasal 8 ICRW haruslah ditafsirkan menurut tujuan dan kegunaannya. Pasal 8 tentang izin khusus untuk mengambil ikan paus hanya diperbolehkan dengan tujuan untuk penelitian saja. Jepang dianggap telah mengada-ada mengenai arti penelitian scientific research dan melakukan segala kegiatan perburuan ikan paus dengan tafsirannya sendiri. Negara anggota, meskipun dapat mengisukan izin khusus penelitian, harus berusaha untuk menekan jumlah paus yang dibunuh sampai pada titik terendah secukupnya untuk kebutuhan penelitian,.dan proporsional terhadap tujuan penelitiannya; pendapat dari anggota lainnya juga menjadi acuan yang penting. Universitas Sumatera Utara Hal inilah yang menjadi garis besar yang dituliskan dalam tata aturan dan resolusi dari IWC dan badan penelitiannya.

B. Aspek-aspek yang Ada di Dalam Program JARPA II