salah satu tujuannya adalah untuk membuat data perbandingan. Ketika paus yang ditangkap hampir seluruhnya adalah paus minke, maka tujuan dari program
tersebut tidak mungkin direalisasikan sama sekali. Tujuan dari JARPA II yang merupakan lanjutan dari JARPA yang pertama
dianggap sama saja sehingga menimbulkan kejanggalan terhadap jumlah sampel yang jauh berbedan dan mengalami peningkatan yang signifikan. Tujuan lainnya
seperti untuk membuat tabel perbandingan juga tidak jelas karena Jepang tidak konsisten dalam menangkap sampel yang telah ditentukan. Target utama di dalam
program ini terkesan hanya terhadap paus minke saja karena merekalah yang menjadi permintaan pasar dan juga kondisi kapal yang memang tidak dikhususkan
untuk menangkap paus lainnya. Pelaksanaan program JARPA II juga tidak transparan dan terkesan mengisolasi dirinya sendiri sehingga tidak ada pihak asing
yang mengetahui apa yang mereka lakukan. Secara keseluruhan, Mahakamah Internasional menilai JARPA II masih bisa
dikatergorikan sebagai program penelitian dalam arti luas. Namun, pelaksanaan program dan persiapannya sama sekali tidak ditujukan untuk penelitian seperti
yang tercantum dalam pasal 8 ayat 1 ICRW tentang pembunuhan, pengambilan dan perlakukan terhadap paus demi penelitian. Oleh karena itu, Mahakamah
Internasional memutuskan bahwa JARPA II bukanlah program penelitian scientific research.
5. Konklusi mengenai pelanggaran Jepang terhadap kewajibannya
Mahkamah Internasional menetapkan bahwa Jepang telah melanggar tiga ketentuan di dalam kewajibannya sebagai anggota IWC dan bukan melakukan
perburuan karena kepentingan kebudayaan, yaitu a.
Pelanggaran moraturium terhadap perburuan paus komersial yang ada di paragraf 10, yang menyebutkan bahwa seluruh perburuan komersial
terhadap paus telah dihapuskan dan menjadi nol. Di dalam program JARPA II sejak tahun 2005, Jepang telah memburu sebanyak 850 paus
minke, 50 paus sirip dan 50 paus bongkok. Hal ini tentu saja bukan lagi
Universitas Sumatera Utara
tanpa perburuan zero catch limit tetapi sudah merupakan pelanggaran kewajiban sebagai anggota IWC dan penggunaan celah hukum yang
terdapat di dalam program penelitian yang diizinkan ICRW. b.
Pelanggaran tentang kapal pabrik, dimana kapal Nisshin Maru digunakan sebagai kapal pemburu untuk menangkap paus yang bukan paus minke.
Kapal pabrik seharusnya dimoraturium terhadap penangkapan paus sperma sperm whale, paus pembunuh killer whale dan paus bergigi baleen
baleen whale terkecuali paus minke.
135
c. Pelanggaran terhadap perburuan ikan paus di cagar paus Antartika
Southren Ocean Sanctuary dimana disebutkan bahwa dalam iklim atau musim apapun juga tidak diperbolehkan menangkap ikan paus dicagarnya.
Kapal Jepang sendiri beroperasi di dalam daerah yang termasuk kedalam cagar tersebut sehingga diputuskan sebagai pelanggaran. Namun, ada
pengecualian terhadap Jepang mengenai perburuan paus minke dicagar ini karena sebelumnya Jepang menolak untuk menyetujui pembentukan cagar
untuk paus minke. Penangkapan terhadap pasu sirip
dan paus bongkok merupakan suatu pealnggaran kewajiban.
Dari segala bentuk penyelidikan yang dilakukan atas berkas berkas dan bukti bukti yang ada. Terlihat bahwa program JARPA II memang mealnggar ketentuan
di dalam pasal 8 ICRW mengenai perburuan dengan izin khusus demi kepentingan penelitian. Oleh karena itu, Australia sebagai pihak yang mengugat,
meminta kepada Mahkamah Internasional untuk : 1.
Melarang pemberian dan implementasi segala izin khusus penelitian segala kegiatan perburuan yang bukan untuk tujuan penelitian sepertiu
yang ditentukan dalam pasal 8 ICRW. 2.
Menghentikan segala kegiatan dari program JARPA II yang masih berjalan.
3. Mencabut segala izin yang memperbolehkan implementasi kegiatan
JARPA II.
135
Pasal 2 ayat 1 3 ICRW
Universitas Sumatera Utara
C. Keputusan Akhir Mahkamah Internasional