Perlindungan Terhadap Paus Di Southren Ocean Whale Sanctuary Menurut International Convention For The Regulation Of Whaling (Studi Pada Sengketa Perburuan Paus Antara Jepang Dan Australia )
PERLINDUNGAN TERHADAP PAUS DI SOUTHREN OCEAN
WHALE SANCTUARY MENURUT INTERNATIONAL
CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING
(STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA
JEPANG DAN AUSTRALIA)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi
Syarat-Syarat dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
100200173
TONY
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERLINDUNGAN TERHADAP PAUS DI SOUTHREN OCEAN WHALE
SANCTUARY MENURUT INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE
REGULATION OF WHALING ( STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN
PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA )
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O l e h : T O N Y 1 0 0 2 0 0 1 7 3
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Internasional
NIP : 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, SH, MHum.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H
NIP: 196207131988031003 NIP : 196403301993031002
Arif, S.H., M.H.
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
PERLINDUNGAN TERHADAP PAUS DI SOUTHREN OCEAN WHALE SANCTUARY MENURUT INTERNASTIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING ( STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN
PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA) Tony *
Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H ** Arif, SH.,M.Hum *** ABSTRAKSI
International Whaling Commission (IWC), bekerja berdasarkan
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) tahun 1946. Organisasi ini bertujuan untuk meregulasi perburuan paus sehingga populasi paus tetap ada dan dapat diambil secara berkelanjutan. Banyak negara yang bergabung menjadi anggotanya dan tunduk mengikuti regulasinya.
Namun terjadi penyimpangan di dalam implementasinya oleh Jepang di Antartika. Penangkapan paus yang mulanya untuk tujuan penelitian beralih menjadi tujuan komersial. Jepang kemudian di gugat oleh Australia ke Mahakamah Internasional atas tindakannya. Jepang dan Australia sepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional untuk diadili.
Hal-hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan perburuan paus di dalam hukum internasional, bagaimana tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus anatara Jepang dan Australia, apa putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional atas persengketaan ini.
Adapun metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah dengan pendekatan kepustakaan (library research) atau penelitian normatif, yaitu dengan upaya penyeleksian dan pengumpulan bahan-bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.
Hasil dari penelitian dari skripsi ini yaitu, ketika suatu negara menyatakan ikut serta didalam suatu organisasi maka negara tersebut terikat kepada peraturan organisasi tersebut. Apabila terjadi pelanggaran maka akan ada konsekuensi yang muncul dari negara anggota lainnya. Mahkamah International berhak mengeluarkan keputusan ketika pihak pihak yang bersengketa menyatakan setuju untuk membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional untuk diadili.
Di dalam konvensinya, perburuan paus hanya boleh dilakukan dengan tujuan penelitian, bukan komersial. Negara sebagai subjek hukum di dalam perjanjian internasional haruslah mengikuti tujuan yang diharapkan oleh isi perjanjian tersebut, bukan mencari celah hukum dan mengambil keuntungan dari hal tersebut .Akibat hukum dari putusan mahkamah Internasional menyebabkan Jepang kehilangan izin melanjutkan program JARPA II miliknya di Antartika. Kata kunci : IWC, ICRW, JARPA II, Paus, Mahkamah Internasional
*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan harapan, semangat, kekuatan, kesabaran, dan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN TERHADAP
PAUS DI SOUTHREN OCEAN WHALE SANCTUARY MENURUT
INTERNASTIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF
WHALING (STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA
JEPANG DAN AUSTRALIA)” ini ditujukan untuk memberikan informasi
kepada para pembaca mengenai pengaturan hukum internasional tentang perburuan paus di Antartika antara Jepang dan Australia yang juga di intervensi oleh New Zealand. Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari ketidaksempurnaan sehingga penulis berharap agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi baik dari segi substansi maupun cara penulisannya.
Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, David Kwee dan Yenny, yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung penulis sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu. Semoga dengan
(5)
berbekal pendidikan yang penulis tempuh selama ini dapat membahagiakan dan membanggakan keluarga tercinta.
Tak lupa juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K).
2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
4. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
5. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
6. Arif, S.H., M.H. selaku Dosen Hukum Internasional, serta Dosen Pembimbing II yang selalu membantu penulis dalam memberikan bimbingan bagi penyusunan skripsi ini. Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
7. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Dosen Pembimbing I serta Dosen Pembimbing yang selalu membantu penulis dalam memberikan bimbingan bagi penyusunan skripsi. Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima
(6)
kasih sebesar-besarnya kepada Beliau atas segala bantuan dan dukungan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
8. Dr. Chairul Bariah, SH, MHum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional.
9. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Internasional dan Dosen Hukum Internasional,
10. Deni Amsari Purba, S.H., L.L.M. selaku Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan Beliau selama menjadi dosen hukum internasional penulis.
11. Sutiarnoto S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan Beliau selama menjadi dosen hukum internasional penulis.
12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.
13. Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). 14. Teman-teman Stambuk 2010, yang merupakan teman-teman akrab, teman
segrup, dan teman satu tim klinis penulis, yaitu Hasnita Sihombing, Ekpi Yosara Simbolon, Hotmarta Adelia Saragih, Henny Handayani Sirait, Rahmad Rmadhan, M. Monang Saragih, Diana Wijaya, Steffy Wijaya, Moria
(7)
Gunawaty, Sally Putri, Febrina Sumardy serta yang lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu per satu.
15. Teman-teman organisasi ILSA yang telah bekerja sama dan membantu penulis dalam melaksanakan tugas dan menyelenggarakan kegiatan organisasi kampus selama perkuliahan.
16. Senior-senior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Paulina Tandiono dan lainnya yang telah memberikan banyak informasi mengenai kegiatan perkuliahan dan membimbing penulis selama mengikuti kegiatan-kegiatan hukum dalam organisasi kampus.
17. Junior-junior di di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Elsha Manaloe, Reta Puji Ulina Damanik, Jessica dan teman teman lainnya di tim jurnalis Lintas Almamater (LASER) Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
18. Teman-teman diluar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya teman teman dari Filipina , yaitu Dave Hernando, Ate Irma, Ate Risa, Helfred, Nico, Aleli, Bang Jay, Kak Asri , William dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang selalu memberi dukungan moral dan spiritual hingga terselesainya penulisan skripsi ini. Thank you guys, truly appreciated.
Salam hormat, Penulis
(8)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I . PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Keaslian Penuliasn ... 10
E. Tinjauan Kepustakaan ... 11
F. Metode Penelitian... 12
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II. PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 17
A. Perjanjian Internasional ... 17
1. Pengertian Perjanjian Internasional... 17
2. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Internasional ... 24
B. Sejarah Berdirinya International Whaling Commission (IWC) .. 25
C. Regulasi Internastional Whaling Commission (IWC) Terhadap Perburuan Paus ... 28
(9)
D. International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) Sebagai Konvensi Dasar Internastional Whaling Commission
(IWC). ... 30
BAB III. TAHAP PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA ... 35
A. Sengketa Internasional dan Penyelesaiannya Secara Damai ... 35
B. Kepentingan Penelitian (Scientific Research) di dalam Pasal 8 ICRW ... 47
1. Pasal 8 ICRW ... 47
2. Kepentingan Penelitian (scientific research) ... 49
C. Sengketa Perburuan Paus Antara Jepang dan Australia ... 52
1. The Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Antarctic (JARPA) ... 52
2. JARPA II Sebagai Program Penerus JARPA ... 54
D. Penggunaan Metode Mematikan di Dalam JARPA II ... 57
E. Tahapan Penyelesaian Sengketa Perburuan Paus ... 61
1. Penolakan Jepang Terhadap Rekomendasi IWC dan Negara Anggota Lainnya ... 61
2. Penyerahan Kewenangan Mengadili Kepada Mahkamah Internasional ... 64
(10)
BAB IV. PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA JEPANG DAN
AUSTRALIA ... 69
A. Gugatan Australia Terhadap Jepang ... 69
B. Aspek-aspek yang Ada di Dalam Program JARPA II ... 76
C. Keputusan Akhir Mahkamah Internasional ... 80
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 83
LAMPIRAN I ... 85
LAMPIRAN II ... 88
(11)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antartika merupakan benua yang meliputi Kutub Selatan bumi dan merupakan salah satu tempat terdingin di muka bumi ini dengan sebagian besar wilayahnya tertutup es sepanjang tahun. Antartika merupakan zona bebas, yaitu zona yang tidak boleh dimiliki oleh siapapun ataupun dijadikan objek sengketa; Antartika hanya boleh digunakan untuk kepentingan umat manusia dan untuk tujuan damai1. Meskipun dinyatakan demikian, sampai saat ini masih ada beberapa negara di dunia yang mengajukan klaim kepemilikan wilayah di benua Antartik2
Antartika, merupakan satu-satunya benua di Bumi yang tidak memiliki penduduk asli
. Di dalam pemanfaatan sumber dayanya, Antartika diatur dalam Perjanjian Antartika ( The Antarctic Treaty) yang ditanda tangani pada tanggal 1 Desember 1959 dan mulai berlaku pada tahun 1961.
3
Antartika di dalam pengunaannya sumber daya alamnya, diatur di dalam Perjanjian Antartika yang berisikan tentang:
, sehingga didaerah ini terdapat banyak biota laut yang menjadi perhatian banyak negara sebagai hewan yang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan eksistensinya; Salah-satunya yaitu paus. Antartika, menjadi rumah bagi banyak jenis paus sehingga tempat ini merupakan loasi yang sangat strategis untuk melakukan hal hal yang berkaitan dengan makhluk laut tersebut. Beberapa jenis paus yang hidup di Antartika dan dilindungi adalah paus minke (Minke whale), paus bongkok (Humpback whale) dan paus sirip (Fin whale).
1
Perjanjian Antartika (Antartic Treaty 1959), “Mengakui, bahwa dengan kehendak seluruh umat manusia, melanjutkan pengunaan sumber daya Antartika dengan tujuan demi perdamaian dan tidak boleh dijadikan objek persengketaan”
2
Antartika, http://id.wikipedia.org/wiki/Antarktika , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 09.00 WIB.
3
ATS, Atlantic Treaty System, http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_Traktat_Antarktika, diakses pada 6 Juni 2014 pukul 09.12 WIB
(12)
1. Antartika hanya boleh digunakan untuk kepentingan perdamaian. Segala hal yang berhubungan dengan militer dan sebagainya tidak diboleh dilakukan di Antartika.
2. Kebebasan untuk melakukan penelitian di Antartika dan segala bentuk kerjasama atas tujuan tersebut.
3. Observasi dan hasil penelitian di Antartika harus di sumbangkan dan tersedia untuk semua pihak. 4
Sebelumnya, telah disebutkan diatas bahwa Antartika merupakan rumah bagi banyak jenis paus. Paus secara umum adalah sebutan untuk makhluk hidup laut yang merupakan bagian dari bangsa Cetacea. Mahkluk ini, memiliki ciri-ciri yang unik, seperti bernafas menggunakan paru-paru walaupun hidup di laut, memiliki ekor yang horizontal dan memiliki tulang punggung yang sedikit melengkung dengan lubang udara diatas kepalanya. Paus juga memiliki ukuran juga beragam, mulai dari jenis paus biru (Blue Whale) dengan ukuran tiga-puluh meter sampai dengan paus minke yang berukuran tiga koma lima meter.
Populasi Paus tersebar diseluruh lautan yang didunia dengan jumlah yang mencapai jutaan, dengan pertambahan populasi per tahunnya berkisar antara 3% sampai 13%. Paus juga memiliki umur yang berbeda tergantung pada jenisnya, seperti paus punggung bongkok dengan masa hidup mencapai 77 tahun dan paus kepala panah (Bowhead Whale) yang umurnya bisa mencapai lebih dari 1 (satu) abad. 5
Pada awalnya, banyak orang yang berpikir bahwa paus merupakan ikan yang sangat besar, namun hal tersebut tidaklah benar karena paus tergolong ke dalam kategori mamalia.6
4 Perjanjian Antartika (Antartic Treaty 1959), Pasal (1),(2) & (3). 5
Whale, http://en.wikipedia.org/wiki/Whale , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 09.38.
6
Pernyataan Linneus, ahli biologi Swedia, tahun 1778,
http://www.ecokids.ca/pub/eco_info/topics/whales/mammals.cfm, diakses pada 23 Nov 2014 pukul 08.31 WIB
Paus merupakan salah satu bagian penting dari ekosistem kelautan untuk menjaga keseimbangan rantai makanan. Paus merupakan salah
(13)
satu biota laut yang dilindungi oleh hukum internasional karena jumlahnya yang terus berkurang dan ada kemungkinan terjadi kepunahan terhadap beberapa spesiesnya. Selama ini, paus banyak diburu dan dijadikan objek komersial seperti untuk makanan tradisional ataupun acara budaya. Tidak hanya itu, pada zaman dahulu, paus diburu untuk diambil minyaknya yang kemudian digunakan untuk keperluan penerangan mercusuar. 7
1. Paus memiliki suhu badan yang stabil dan panas. Suhu badan mereka tidak berubah mengikut suhu lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan adanya lemak tebal dibawah kulitnya sehingga mereka bahkan dapat bertahan hiddup di perairan es seperti Antartika.
Paus, sebagai objek utama di dalam sengketa yang akan dibahas nantinya memiliki ciri ciri sebagai berikut :
2. Paus bernafas bukan menggunakan insang, tetapi paru paru. Oleh karena itu, paus dikategorikan sebagai mamalia. Tidak seperti ikan, paus tidak memisahkan oksigen dari air melainkan langsung bernafas melalui udara dengan berenang ke permukaan dalam selang waktu tertentu. Tubuh paus juga didesain sedemikian rupa dengan lubang udara diatas kepalanya sebagai saluran pembuangan.
3. Paus pada umumnya hanya melahirkan satu anak setiap waktu dan mempunyai kelenjar susu untuk menyusui generasi mudanya yang baru lahir. Hal ini jauh dari ciri ciri ikan yang bertelur dalam jumlah banyak dan bisa hidup mandiri.
4. Paus memiliki rambut, meskipun tidak sebanyak mamalia pada umumnya, yang terdapat diatas kepalanya8
Paus juga banyak dikaitkan dengan adat istiadat seperi kebudayaan suku Makah, negara Jepang, Iceland, Norway dan negara-negara lainnya. Suku Makah menyatakan bahwa prosesi adat perburuan paus merupakan perayaan tradisional
7
Whale oil, http://en.wikipedia.org/wiki/Whale_oil , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 10.40
8
Whales Are Mammals, http://www.ecokids.ca/pub/eco_info/topics/whales/mammals.cfm, diakses pada 23 Nov 2014 pukul 09.38 WIB
(14)
yang sudah dilakukan sejak zaman nenek moyangnya, dan adat inilah yang menjadi sumber inspirasi terhadap lagu, tarian, desain dan alat keterampilan mereka. Bagi suku Makah, perburuan paus memberikan pelajaran mengenai tujuan hidup dan mengajarkan kedisiplinan bagi seluruh komunitasnya; pada tahun 1855 , suku Makah berhasil mendapatkan hak untuk berburu paus di daerah
Neah Bay sesuai dengan perjanjian dengan Amerika Serikat.9
1. Pada periode Jomon antara 7000/8000 (tujuh ribu atau delapan ribu) sampai 3000 (tiga ribu) tahun sebelum masehi sebagai sumber makanan yang penting.
Selain dari Suku Makah, Jepang juga memiliki sejarah yang panjang mengenai perburuan paus, seperti yang urutkan didalam kronologi berikut:
2. Pada periode Yayoi antara 3000 (tiga ribu) sampai 300 (tiga ratus) tahun sebelum masehi sebagai persembahan kepada orang yang telah meninggal.
3. Pada periode Nara antara 710 (tujuh ratus sepuluh) sampai 784 (tujuh ratus delapan puluh empat) tahun sebelum masehi, munculnya kata “kujira”10
4. Pada periode Muromachi/Azuchimomoyama antara tahun 1573 (lima belas tujuh tiga) sampai tahun 1600 (seribu enam ratus) setelah masehi sebagai makanan yang disajikan di meja para kaisarnya.
di dalam literature orang Jepang,
5. Pada zaman Edo tahun 1600 (seribu enam ratus) sampai tahun 1867 (delapan belas enam puluh tujuh) setelah masehi , terjadi peningkatan terhadap minat dan konsumsi daging paus secara nasional.11
Namun di dalam perkembangannya, tradisi-tradisi lama yang mengharuskan pengorbanan hewan ini pun mulai ditinggalkan dan diprotes keras oleh masyarakat internasional karena dianggap tidak relevan lagi dijaman modern ini.
9
The Makah Whaling Tradition, http://makah.com/makah-tribal-info/whaling/ , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 10.50 WIB
10
Munculnya penamaan terhadap paus dengan nama “Kujira”クジラ”di dalam bahasa Jepang.
11
HISTORY OF THE TRADITIONAL DIET: JAPANESE AND THE WHALE,
(15)
Bahkan, perburuan paus dianggap sebagai hal yang kejam dan dapat mengacam keberlangsungan eksistensi paus dengan adanya perburuan massal dan bahaya alami dari alam yang harus dihadapinya.12
Mengenai perlindungan terhadap eksistensi paus, ada organisasi internasional yang bernama IWC (International Whaling Commision) yang terus mengawasi perburuan paus demi menjaga eksistensi paus dimasa yang akan datang. Negara yang tergabung kedalamnya diharuskan mengikuti konvensi yang dianut oleh organisasi tersebut yaitu ICRW (International Convention for the Regulation of Whaling), yang mengatur mengenai regulasi penangkapan paus. ICRW merupakan perjanjian lingkungan internasional yang disahkan pada tahun 1946 oleh negara negara yang menyetujuinya untuk menjaga ketersediaan paus dan juga pengembangan sistem kontrol bagi industri industri yang berkaitan dengan perburuan paus. Konvensi ini juga mencakup kepentingan komersial, penelitian dan yang lainnya. ICRW melihat paus sebagai sebuah sumber daya alam yang harus disimpan untuk generasi mendatang dan di hindarkan dari perburuan massal. Paus hanya boleh ditangkap ketika jumlah batasan aman populasinya telah terlampaui dan dapat diambil tanpa membahayakan eksistensinya. 13
Pada awalnya, IWC memiliki 59 (lima puluh sembilan) negara yang ikut serta di dalamnya, dimana salah satunya adalah Jepang. Namun pada Januari tahun 2014 (dua ribu empat belas), beberapa negara anggotanya mengundurkan diri dari perjanjian tersebut. Negara negara tersebut yaitu Mesir, Yunani, Jamaica, Mauritus, Philipines, Seychelles dan Venezuela. Negara lainnya seperti Belize, Brazil, Dominica, Ecuador, Iceland, Japan, New Zealand, dan Panama juga mengundurkan diri. Namun, hanya untuk sementara dengan alasan melakukan perubahan terhadap ratifikasi ketentuan di dalam ICRW. Sampai Januari 2014,
12
WDC in Action, Whaling , http://us.whales.org/issues/whaling , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 11.32 WIB
13
(16)
jumlah negara yang tergabung kedalam badan ini sudah mencapai 89 (delapan puluh sembilan).14
Kewajiban Australia untuk melapor ini tertulis di dalam ICRW yang berbunyi : Manusia, sebagai makhluk yang punya rasa ingin tahu yang besar, selalu berusaha untuk mempelajari semua yang ada. Segala hal yang ada disekitarnya baik benda mati maupun benda hidup. Semuanya dapat dijadikan manfaat apabila dilakukan dengan tujuan yang jelas dan maksud yang baik. Untuk itulah izin untuk melakukan penelitian dengan perburuan terhadap paus yang sedang dilindundi diberikan. Adanya harapan bahwa data dan ilmu yang didapatkan dari penelitian tersebut akan berguna kedepannya untuk membangun industri yang jauh lebih efektif dan efisien serta dapat menjaga keberlangsungan eksistensi paus sehingga dapat dilakukan pngambilan secara terus menerus ke depannya. Salah satu contohnya seperti izin penangkapan paus yang dengan catatan untuk tujuan khusus yang berhubungan dengan penelitian demi perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa keuntungan bagi masyarakat banyak dan kelangsungan hidup paus kedepannya. Namun, terkadang izin tersebut disalahgunakan karena adanya kepentingan lain yang tersirat di dalam pelaksanaannya.
Ketika izin untuk melakukan penelitian diberikan dan disalah gunakan oleh negara yang bersangkutan, maka negara anggota lainnya yang juga memiliki hubungan dengna hal tersebut, dapat melakukan protes serta mengajukan gugatan ke organisasi yang berwenang. Salah satu contoh disini ialah antara Jepang dan Australia, dimana Jepang yang mengeluarkan izin untuk melakukan penelitian terhadap paus yang ada di Antartika melalui Porgram JARPA nya ternyata difokuskan untuk kebutuhan komersial. Dalam hal ini, Australia berhak dan berkewajiban untuk menegur, melaporkan dan menggugat Jepang sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ICRW dan sebagai anggota IWC.
14
International Whaling commission, structure and membership,
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Whaling_Commission, diakses pada 7 Juni 2014 pukul 08.00 WIB.
(17)
“Each Contracting Government shall take appropriate measures to ensure the application of the provisions of this Convention and the punishment of infractions against the said provisions in operations carried out by persons or by vessels under its jurisdiction.”
Yang terjemahannya berbunyi :
“Setiap negara yang menyetujui harus mengambil tindakan sepantasnya untuk memastikan seluruh peraturan yang ada terpenuhi dan segala sangsi yang muncul dari pelanggaran atas peraturan ini dapat diaplikasikan oleh yang telah ditentukan ataupun oleh yang diwakilkan”15
Ketika satu negara menganggap pelaksaan yang dilakukan tersebut masih wajar dan dapat dimasukkan kedalam batas kewenangan yang diberikan oleh izinnya dan negara lainnya menggangap hal tersebut sudah diluar izin yang diberikan, maka dapat timbul persengketaan diantara dua negara tersebut sehingga diperlukan jalan penyelesaian yang damai. Salah satu cara penyelesaian secara damai tersebut ialah melalui Mahkamah Internasional apabila kedua belah pihak menghendaki.16
Pada awalnya, pihak Jepang awalnya di beri izin untuk melakukan proyek penelitian. Suatu program Jepang yang dapat membantu monitorisasi dan menambah data untuk membuat sistem regulasi yang lebih efektif terhadap populasi paus yang ada di Antartika sehingga eksistensinya terjaga; juga untuk melakukan penelitian terhadap jenis-jenis paus disana yang bisa menambah Dalam kasus ini, negara yang berseteru adalah Jepang dan Australia. Dimana masing-masing pihak pada saat diajukannya gugatan masih tergabung sebagai anggota ICW, dan Jepang mengundurkan diri dari organisasi tersebut pada Januari 2014 (dua ribu empat belas) bersamaan dengan beberapa negara lainnya. Jepang sejak lama telah melakukan penelitian mengenai paus dengan program nya yaitu JARPA, JARPA II, JARPN, dan JARPN II.
15
ICRW 1946, pasal 9 ayat (1).
16
(18)
pengetahuan tentang ekosistem dari paus tersebut. Program ini diberi nama nama JARPA II yang merupakan kelanjutan dari JARPA pertama yang pernah dilakukannya.
JARPA II dimulai pada tahun 2005 dan masih berlanjut sampai hari ini (sampai pada putusan Mahkamah Internasional mencabut kewenangan Jepang pada tanggal 31 Maret 2014) 17, dengan beberapa tujuan yang ikut termasuk ke dalamnya yaitu monitorisasi ekosistem di Antartika, membuat skema kompetisi antara jenis paus , merekam perkembangan jumlah paus dan memperbaiki sistem managemen paus antartika. 18
Australia beberapa kali mencoba melakukan diskusi ataupun memberi saran terhadap Jepang. Namun tidak ada dampak yang muncul dari peringatan tersebut sehingga pada akhirnya kedua negara tersebut sepakat untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional dan memberikan lembaga tersebut untuk memberikan putusan terhadap kasus ini. Masing-masing pihak berusaha memberikan pembelaan dan gugatan mengenai kasus ini dimana Australia mendapat dukungan dari Sea Shepherd
Namun, setelah diteliti lebih lanjut oleh Australia dengan beberapa organiasi non-pemerintah lainnya yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian paus, ditemukan banyak kejanggalan dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Jepang. Di dalam misi pengawasannya, Australia mengirimkan beberapa kapalnya membuntuti kapal penelitian Jepang yang melihat banyak paus di buru, dibunuh, dan di potong-potong dalam bagian yang lebih kecil di tempat tersebut. Rekaman mengenai hal ini banyak disebarkan dimedia media sehingga menarik simpati dari masyarakat internasional yang peduli terhadap makhluk hidup, terutama paus.
19
dan intervensi dari New Zealand. 20
17
Putusan Akhir Mahkamah Internasional, 31 Maret 2014, WHALING IN THE ANTARTIC (AUSTRALIA vs JAPAN : NEW ZEALAND INTERVENING)
18
Scientific Research, http://en.wikipedia.org/wiki/Whaling_in_Japan#JARPA_II, diakses pada 7 Juni 2014 pukul 9.30 WIB.
19
Sea Shepherd Australia News, http://www.seashepherd.org.au/news-and-media/2014/04/01/the-whales-have-won-icj-rules-japans-southern-ocean-whaling -not-for-scientific-research-1592 , di akses pada 7 Juni 2014 pukul 11.30 WIB.
(19)
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan perburuan paus di dalam hukum internasional?
2. Bagaimana tahap penyelesaian sengketa perburuan paus antara Jepang dan Australia?
3. Bagaimana putusan Mahkamah Internasional didalam sengketa perburuan paus antara Jepang dan Australia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tentang perjanjian internasional yang mengatur tentang
perburuan paus .
2. Untuk mengerti bagaimana tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus Antartika antara Jepang dan Australia.
3. Untuk mengetahui tentang putusan yang dikeluarkan oleh Mahkmaha Internasional terhadap kasus ini dan dampaknya terhadap pihak pihak bersengketa.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu hukum secara umum dan khususnya untuk hukum internasional. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan
20
Unofficial Press Release 21 November 2012, International Court of Justice, New Zealand files a declaration of intervention in the proceedings under Article 63 of the Statute.
(20)
dengan ketaatan terhadap suatu konvensi sehingga tidak menimbulkan konflik di dunia Internasional.
2. Secara praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kewajiban suatu negara yang telah memutuskan untuk ikut di dalam suatu organisasi internasional yang menganut konvensi tertentu di dalam kegiatannya meregulasi dan memonitorisasi penangkapan paus untuk tujuan komersial dan penelitian. Penelitian ini juga diharapkan memberikan gambaran mengenai kemungkinan yang terjadi apabila ada negara anggota yang tidak menaati suatu perjanjian internasional yang telah disetujuinya sehingga diajukan gugatannya ke Mahkamah Internasional setelah rekomendasinya tidak ditaati.
D. Keaslian Penulisan
Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti perkembangan kasusnya di media media Internasional yang ada. Penulis berupaya untuk menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan mencoba melihat alasan-alasan pembela masing-masing negara ketika dihadapkan di Mahkamah Internasional mengenai kasus penangkapan paus ini antara Jepang dan Australia.
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Sengketa Mengenai Kasus Penangkapan Paus di Antartica Antara Jepang dan Australia” belum pernah ditulis sebelumnya.
Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrasi bagian/jurusan hukum internasional.
(21)
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporan-laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu, diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yang diambil dari sumber-sumber buku yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, ditinjau dari sudut etimologi (arti kata) dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun pendapat dari para sarjana sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.
Pengertian perburuan paus secara umum ialah :21
(a) Whaling is the hunting of whales primarily for meat and oil in the past. (b) Modernly, whaling is the hunting of whales primarily used for
commercial and consumption needs.
Dan pengertian perburuan paus secara khusus menurut ICW ada 3 jenis , yaitu : 22
(a) The first of these is commercial whaling conducted either under objection or reservation to the moratorium.
(b) The second, called aboriginal subsistence whaling is to support the needs of indigenous peoples.23
(c) The third type is whaling under special permit.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan “Whaling” adalah segala kegiatan perburuan terhadap paus untuk diambil sumber dayanya. Sumber daya yang dimaksudkan dalam hal ini berupa : minyak hewaninya, dagingnya dan kepentingan komersial lainnya. IWC di dalam perburuan paus, juga membagi klasifikasinya ke dalam 3 (tiga jenis) tergantung dari tujuan khususnya.
Menurut klasifikasi IWC, yang pertama adalah perburuan paus komersial yang bertentangan dengan peraturan dan reservasi dari moratorium, dimana ini merupakan pelanggaan yang paling ditentang oleh negara-negara anggota IWC. Yang kedua, mengenai kebiasaan tradisional masyarakat tertentu yang berburu
21
Whaling, http://en.wikipedia.org/wiki/Whaling , diakese pada 7 Juni 2014 , pukul 14.00 WIB.
22
Whaling, http://iwc.int/whaling , diakses pada 7 Juni 2014 pukul 15.37 WIB
23
(22)
paus untuk kelangsungan hidupnya; Yang ketiga, mengenai perburuan paus yang memang diizinkan oleh IWC dengan tujuan untuk menjaga stabilitas jumlah populasi jenis paus tersebut ataupun untuk penelitian yang bermanfaat bagi manusia. 24
F. Metode Penelitian
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, haruslah dipahami bahwa perburuan paus yang dimaksudkan di dalam penelitian ini ialah perburuan paus yang tidak diberikan izin oleh IWC dan dilakukan dengan tujuan yang bukan untuk penelitian, melainkan untuk tujuan komersil yang termasuk kedalamnya konsumsi.
Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Sebagaimana lazimnya penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus bersadarkan fakta-fakta dan data-data yang objektif (benar dan layak dipercaya), demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah, juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu guna menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.
Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder. Penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma hukum internasional yang berlaku yang mengatur tentang pelarangan perburuan paus sebagaimana yang telah disetujui oleh negara-negara yang telah bergabung
24
(23)
menjadi anggota International Whaling commission (IWC) dengan acuan
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW).
Penelitian ini menggunakan metode analisis, yaitu menganalisis tentang upaya untuk menegakkan konvensi internasional tertentu ketika terjadi pelanggaran terhadap pasal-pasalnya oleh negara yang sebelumnya telah menyetujui pelaksanaannya.
2. Data Penelitian
Penelitian ini memusatkan pada berbagai konvensi mengenai regulasi terhadap penangkapan paus sebagai dasar acuan serta kebiasaan kebiasaan masyarakat international lainnya yang memiliki kaitan dengan kasus ini. Data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer25
1) International Convention for the Regulation of Whaling, Washington 2nd December 1946
, yaitu bahan hukum yang mengikat secara umum, termasuk di dalamnya International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) dan data data dari International Whale Commission (IWC), yaitu :
2) International Whaling commission Resolutions 3) Statute of International Court of Justice
b. Bahan hukum sekunder26
25
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari (untuk Indonesia): a. Norma atau kaedah dasar; b. Peraturan dasar; c. Peraturan perundang-undangan; d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasi; e. Yurisprudensi; f. Traktat; g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2005, hal. 52.
26
Bahan hukum sekunder ialah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Ibid.
, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, surat kabar, internet, dan lain-lain yang relevan dengan masalah penelitian.
(24)
c. Bahan hukum tersier 27 , yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya kamus-kamus bahasa.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan dan dosen pembimbing, artikel-artikel yang berasal dari media elektronik, dokumen-dokumen internasional yang resmi dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :
a. Melakukan inventarisasi hukum internasional dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media elektronik, dokumen-dokumen internasional yang resmi dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
27
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), P.T.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 117.
(25)
4. Analisa Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif 28
G. Sistematika Penulisan
. Analisis secara kualitatif berarti analisis yang memfokuskan perhatiannya pada makna-makna yang terkandung di dalam suatu pernyataan, bukan analisis yang memfokuskan perhatiannya pada figur-figur kuantitatif semata. Analisa data dilakukan sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek kualitatif lebih daripada aspek kuantitatif dengan maksud agar diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
Sebagai gambaran umum untuk memudahkan pemahamanan materi penelitian ini, maka dibagi dalam 5 (lima) Bab yang berhubungan erat satu sama lain, yaitu :
Bab Pertama merupakan pendahuluan. Pada bab ini akan diuraikan hal-hal pokok yang menjadi latarbelakang permasalahan yang mendasari terjadinya sengketa serta informasi yang dibutuhkan untuk menganalisa objek sengketa. Bab ini terdiri atas perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua mendeskripsikan tentang perjanjian internasional secara umum dan perjanjian internasional yang mengatur tentang regulasi perburuan paus yaitu International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW). Bab ini juga membahas sejarah International Whaling commission (IWC) agar dapat dipahami kedudukan IWC di dalam sengketa ini dan apa yang menjadi kewajiban dari negara-negara anggota yang telah ikut meratifikasi ICRW.
28
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lainnya. Pengertian ini mempertentangkan penelitian kualitatif dengan penelitian yang bernuansa kuantitatif yaitu dengan menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun tidak perlu digunakan pada penelitian kualitatif. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Cetakan keduapuluh dua PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, 2006, hal. 5
(26)
Bab Ketiga membahas mengenai tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus anatar Jepang dan Australia. Didalam bab ini, di jelaskan mengenai tata cara penyelesaian sengketa secara damai melalui litigasi maupun non litigasi. Bab ini juga memberikan informasi dasar tentang objek yang persengketakan serta jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa perburuan paus tersebut.
Bab Keempat membahas tentang putusan akhir yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional setelah melalui seluruh acara persidangannya. Didalam bab ini, juga dicantumkan poin-poin penting dari kasus ini dan juga gugatan yang diajukan oleh Australia terhadap Mahkamah Internasional untuk menghentikan program penelitian yang sedang dilakukan oleh Jepang
.
Bab Kelima merupakan bab penutup dari penelitian yang berisi kesimpulan dari keseluruhan uraian materi pembahasan dan disertai dengan beberapa saran yang mungkin akan bermanfaat.
(27)
BAB II
PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM
INTERNASIONAL
A. Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Hukum Internasional di dalam pelaksanaannya, memiliki beberapa beberapa sumber. Di dalam Statuta Mahkamah Internasional, tertulis bahwa hukum Internasional bersumber dari 29
1. Perjanjian / konvensi Internasional yang diakui oleh pihak pihak yang terlibat di dalamnya (international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states).
:
2. Kebiasaan International (international custom, as evidence of a general practice accepted as law).
3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh negara negara beradab. (the general principles of law recognized by civilized nations) .
4. Keputusan Pengadilan terdahulu dan pendapat para ahli yang telah diakui oleh negara negara.(judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law).
Di dalam skripsi ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai perjanjian internasional sebagai suatu hukum internasional yang mengikat para pihak yang telah menyepakatinya. Subjek hukum Internasional sendiri tidak hanya terbatas pada negara saja, dimana organisasi internasional juga termasuk kedalamnya. Berikut ini, pendapat beberapa ahli terkemuka mengenai perjanjian Internasional :
29
(28)
Menurut Wayan Parthiana, perjanjian internasional ialah:
“Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional” 30
Di Indonesia sendiri, ada disebutkan pengertian mengenai perjanjian internasional. Hal ini terdapat di dalam Undang-undang No.24 Tahun 2000 yang menyebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik” 31
Pengertian perjanjian Internasional menurut G.Schwarzenberger32
Pengertian perjanjian internasional menurut Ian Brownlie
:
“Treatie are agreement between subjects of international law. They may be bilateral (ie. Concluded between contracting parties) or multilateral (ie. Concluded more than contracting parties).”
“Perjanjian ialah suatu kesepakatan antara subjek-subjek international. Yang di dalamnya mencakup kesepaktan bilateral dan multilateral yang menyebabkan perikatan terhadap pihak pihak yang menyepakatinya”.
33
“Perjanjian internasional sebagai suatu kesepakatan antara negara-negara dalam bentuk tertulis dibawah hukum internasional, baik di dalam suatu badan ataupun beberapa badan yang terkait mengenai tujuan khusus yang ingin dicapai”
:
“Treaty as an International agreement concluded between states in written form and governed by International law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”
30
Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, bagian 1, cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm.11.
31
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
32
G.Schwarenberger, A manual of International Law, Vol.1, Edisi ke-4, London 1960, hlm.26.
33
Ian Browlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979), hlm. 602.
(29)
Mochtar Kusumaatmadja di dalam bukunya, mengartikan perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu karena itu dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.34 Di dalam bukunya, Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya membatasi perjanjian internasional dalam lingkup negara saja, melainkan juga organisasi internasional dan lain lain
35
. Perjanjian Internasional menurut Mochtar, ada kalanya dinamakan traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention) , piagam (statuta), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, convenant dan sebagainya.36
Boer Mauna, di dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional, menuliskan bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum. 37
Pengertian lebih jauh mengenai makna dan istilah perjanjian Internasional yang digunakan oleh para ahli hukum yaitu 38
1. Traktat, merupakan istilah yang sudah umum dipergunakan untuk perjanjian internasional antara negara negara yang substansinya tergolong penting bagi para pihak.
:
39
34
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Buku 1- Bagian Umum, (Bandung : Binacipta, 1990), hlm. 84
35
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm 85
36 Mochtar Kusumaatmadja, op,cit., hlm 82 37
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era DInamika Global, edisi ke-2, (Bandung: P.T, Alumni.2005), dikutip dari Myers, “The Names and Scope of Treaties”, 51 American Journal of International Law, 574,575 (1957).
38
Tenri Ariantim Andi., Istilah-Istilah hukum perjanjian internasional,
http://satutujuhsatusatu.blogspot.com/2009/11/istilah-istilah-hukum-perjanjian.html, diakses pada 2 Novermber 2014 pukul 20.06 WIB
39
(30)
2. Treaties (Perjanjian Internasional / Traktat). Umumnya, traktat ini digunakan untuk perjanjian yang materi merupakan hal-hal yang sangat prinsipil dan memerlukan pengesahan /ratifikasi.40
3. Convention (Konvensi). Kata konvensi ini umumnya digunakan untuk perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak.41 Konvensi juga digunakan secara umum di dalam bahasa indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik yang dipreakarsai oleh negara-negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional. Pada umumnya kovensi ini digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur temntang masalah yang besar, penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum. Namun, ada pula perjanjian yang sebenarnya merupakan perjanjian bilateral tetapi diberi nama konvensi.42
4. Persetujuan. Istilah persetujuan (agreement, arrangement) digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih bersifat teknis dadministratif. Jika dibandingkan dengan substansi traktat (treaty) ataupun kjonvensi (convention) yang berkenaan dengan masalah masalah yang besar dan penting, substansi dari persetujuan berkenanan dengan masalah-masalah yang besar dan penting, substansi dari persetujuan berkenaan dengan masalah-masalah teknis yang ruang lingkupnya relatif kecil.43 Saat ini, istilah agreement jauh lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan istilah arrangement. Istilah persetujuan juga digunakan untuk perjanjian yang mengatur materi mengenai bidang ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan.44
40
Boer Mauna. Hukum Internasional; Pengertian; Peranan; dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Hal.89.
41
Ibid. Hal. 91
42
Op.cit. I Wayan Parthiana. hal. 29.
43
Ibid. hal 32.
44
(31)
5. Charter (piagam). Istilah charter ini umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi international dimana penggunaan istilah ini berasal dari kata Magna Carta.45 Istilah ini juga dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional.46
6. Protokol, jika digunakan dalam pengertian suatu instrument perjanjian biasanya dikaitkan pada instrumen tunggal yang memberikan amandemen atau pelengkap terhadap persetujuan internasional sebelumnya. 47 Istilah protokol ini juga diberikan pada instrumen perjanjian yang memperpanjang masa berlakunya suatu perjanjian atau konvensi yang sudah hampir berakhir masa berlakunya.48
7. Declaration (Deklarasi). Isi dari deklarasi umumnya lebih ringkas dan padat serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan formal seperti surat kuasa (full powers), ratifikasi, dll.49 Deklarasi, dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai pernyataan ataupun pengumuman. Pada umumnya isi dari deklarasi tersebut lebih merupakan kesepakatan antara para pihak yang masih bersifat umum dan berisi tentang hal-hal yang merupakan pokok-pokok saja. Akan tetapi, ada pula deklarasi yang berisikan kaidah hukum yang mnegikat secara kuat sebagai kaidah hukum dalam pengertian yang sesungguhnya.50
8. Final Act, adalah suatu dokumen yang berisikan laporan sidang dari suatu konferensi yang mnyebutkan perjanjian-perjanjian dan terkadang disertai anjuran dan harapan.51
9. Agreed Minutes and Summary Records, yaitu catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian.
45
Ibid. hal 92.
46
Op.cit. I Wayan Parthiana. hal 31.
47 Op.cit. Boer Mauna. hal. 92 48
Sumaryo Suryokusumo. Hukum Perjanjian Internasional. hal 23. Tatanusa, 2008.
49
Op.cit. Boer Mauna. hal 93
50
Op.cit. I Wayan Parthiana.hal 29
51
(32)
Catatan ini selanjutnya akan digunakan sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya.52
10.Memorandum of Understanding, yaitu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan. 53
11.Arrangement, yaitu suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional pada proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul bersifat teknis.54
12.Exchange of Notes. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen.55
13.Process-Verbal. Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan.56
14.Modus Vivendi, yakni suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat secara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan.57
15.Statuta. Istilah statuta (Statute) biasa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Organisasi atau lembaga internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah Mahkamah Internasional Permanen dan Mahkamah Internasional yang
52
Ibid. hal.94.
53 Ibid. hal 95 54
Ibid. hal 95
55
Ibid. hal 95
56
Ibid. hal 96
57
(33)
masing piagamnya disebut Statute of Permanent Court of International Justice, dan Statute of International Court of Justice.58
16.Kovenan. Istilah kovenan (Covenant) juga mengandung arti yang sama dengan piagam, jadi digunakan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. 59
17.General Act. Suatu general act adalah benar-benar sebuah traktat tetapi sifatnya mungkin resmi mungkin juga tidak resmi.60
18.Pakta (Pact). Istilah pakta dalam bahasa Inggris pact dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang militer, pertahanan, dan keamanan. Misalnya perjanjian tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantic Treaty Organisation/NATO disebut dengan pakta atlantik.61
Di dalam kasus ini, Jepang secara langsung telah melakukan perjanjian internasional dengan suatu organisasi internasional yaitu International Whaling commission (IWC) sehingga Jepang terikat terhadap konvensi yang dianut oleh anggota tersebut yaitu International Convention for the Regulation of Whaling
(ICRW). Segala bentuk peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh dilanggar oleh negara anggotanya karena bersifat mengikat meskipun sistem keanggotaannya bersifat sukarela.
Dikarenakan adanya perjanjian internasional inilah, sengeketa antara Jepang dengan salah satu anggota IWC yaitu Australia dapat mengajukan gugatannya untuk diputus oleh Mahkamah Internasional dengan catatan adanya kesepakatan bersama untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional.
2. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Internasional
58
Ibid. hal 30.
59
Ibid. hal 31
60
J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh. hal 589.
61
(34)
Perjanjian Internasional, sejati mengacu kepada suatu prinsip dasar yang dianut oleh seluruh masyarakat internasional, yaitu “Pacta Sun Servada”. Pacta Sun Servada merupakan norma fundamental yang menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat. Tampak bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian internasional tumbuh dari perkembangan prinsip tersebut sebagai kebiasaan.62
Lauterpact, di dalam bukunya mengenai perjanjian internasional mengemukakan “Treaties are legally binding because there exist a customary rule of internasional law that treaties are binding”. Yang dalam bahasa Indonesianya berbunyi “Perjanjian mengikat secara hukum karena ada hukum kebiasaan intenasional yang mengikat perjanjian”.
63
Di dalam buku yang berjudul “Modern International law”
Perjanjian yang ditetapkan, mulai berlaku saat tanggal yang telah disepakati sebelumnya dan di tuangkan kedalam Final Provision (ketentuan penutup) tercapai. Seluruh pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut menentukan kapan mulai berlakunya perjanjian tersebut dan dicantumkan sebagai salah satu pasal atau ayat dari perjanjian itu.
64
62
Budiono,K., Suatu Studi Terhadap Apek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bina Cipta, hlm. 15.
63
Oppenheim Lauterpacht, International Law of Treaties, Volume 1, Edisi 8, Longmans, 1953, hlm. 880-881.
64
R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana, 2 Sub edition (June 1984), the University of California
, terdapat 2 penggolongan terhadap perjanjian international. Salah satu diantaranya yaitu tentang perjanjian multilateral, yang berlaku setelah terpenuhi jumlah dari ratifikasi yang ditentukan atau yang tealh didepositokan/ disimpan oleh negara/ organisasi internasional yang ditugasi untuk menyimpannya kecuali dimaksud lain oleh para pihak agar perjanjian mulai berlakunya beberapa saat setelah ratifikasi terakhir yang diisyaratkan.
(35)
B. Sejarah Berdirinya IWC
International Whaling commission (IWC) adalah organisasi internasional yang bergerak dibidang regulasi perburuan paus. Organisasi ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) yang ditandatangani di Washington D.C., Amerika Serikat pada tanggal 2 Desember 1946. IWC berpusat di Impington, Inggris dan memiliki 3 komite utama yang mencakup bagian penelitian, bagian keperluan sehari-hari, dan bagian finansial yang juga merangkap administrasi.
Pada awalnya, IWC dibentuk dengan persetujuan bersama secara sukarela oleh negara-negara anggota yang menyetujui International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) pada tahun 1946. Negara-negara tersebut sepakat untuk membentuk suatu organisasi independen yang bekerja berdasarkan ICRW untuk memberikan ruang agar dapat membicarakan masalah terkait penggunaan sumber daya paus. Disinilah awal terbentuknya organisasi untuk menciptakan industri perburuan paus yang terorganiasir; termasuk implementasi tujuan ekonomis dan keterjagaan linkungannya.
IWC pada mulanya beranggotakan 15 negara dan terus bertambah setiap tahunnya.. Partisipasi sebagai anggota IWC tidak terbatas hanya pada negara yang memiliki hubungan dengan paus., negara negara yang bersedia untuk turut serta mendukung IWC walaupun tidak memiliki paus didaerahnya diperbolehkan untuk bergabung dan bersama-sama memonitoring pelaksaan ICRW. Anggota IWC telah naik dua kali lipat sejak 2001 dengan jumlah hampir 6 negara bergabung tiap tahunnya dalam rentang waktu 2002 sampai 2008.
Pada tahun 1982, IWC mengadopsi sebuah moratorium mengenai perburuan paus dimana Jepang dan Rusia menjadi salah satu negara yang paling menentang diberlakukannya moratorium ini bersama dengan negara-negara oposisi lainnya. IWC, sesuai dengan tujuan utamanya untuk melindungi keberlanjutan eksistensi paus, “zero catch limit for commercial whaling” yang berarti menghapus segala
(36)
bentuk perburuan paus pada tahun 1986 dan membatasi perburuan paus hanya untuk tujuan penelitian dengan syarat tertentu saja. 65
IWC memberikan izin khusus seperti ini karena masih diakui kebiasaan setempat seperti kebiasaan suku Makah yang menyatakan bahwa prosesi adat perburuan paus merupakan perayaan tradisional yang sudah dilakukan sejak zaman nenek moyangnya, dan adat inilah yang menjadi sumber inspirasi terhadap lagu, tarian, desain dan alat keterampilan mereka. Bagi suku Makah, perburuan paus memberikan tujuan dan disiplin bagi seluruh komunitasnya; pada tahun 1855 , suku Makah berhasil mendapatkan hak untuk berburu paus di daerah Neah Bay
sesuai dengan perjanjian terhadap Amerika Serikat.
Untuk penduduk lokal yang memang masih memiliki budaya ataupun keduayaan untuk berburu paus, seperti suku Makah, negara Jepang, Iceland, Norway dan lain lain, IWC memberikan keringanan berupa “non-zero whaling quota” bagi penduduk asli dan setiap negara boleh mengisukan “scientific permits” kepada penduduk mereka yang berupa izin untuk melakukan penelitian terhadap paus.
66
Izin lainnya yang diberikan oleh IWC yaitu izin penelitian. Yang dimaksud dengan izin penelitian ini ialah diperbolehkannya dilakukan penangkapan terhadap paus dengan tujuan untuk menganalisa, mencari data ataupun untuk memonitoring jenis paus tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan informasi berharga yang kelak dapat disumbangkan kembali untuk membantu pelestarian paus tersebut ataupun sebagai ilmu pengetahuan tambahan bagi umat manusia.67 IWC, sebagai organisasi yang memberikan monitoriasi dan perlindungan terhadap paus memiliki tugas utama untuk terus mengawasi dan melakukan perubahan terhadap konvensinya seiring dengan aktivitas perburuan paus di seluruh dunia. IWC di dalam tindak tanduknya, juga membuat suatu wilayah perlindungan bagi paus dengan nama “Southern Ocean Whale Sanctuary”. Tempat ini merupakan
65
IWC Resolution 1986-2, Resolution on Special Permits for Scientific Research.
66
The Makah Whaling Tradition, http://makah.com/makah-tribal-info/whaling/ , diakses pada 12 Juni 2014 pukul 09.24.
67
(37)
area seluas 50 juta kilometer persegi yang mengelilingi Antartika dimana IWC telah menetapkan bahwa disini tidak boleh ada perburuan paus komersial dalam bentuk dan alasan apapun. IWC sebenarnya memiliki dua tempat perlindungan paus , dimana satunya lagi “Indian Ocean Whale Sanctuary”. 68
Dari semua tindakan yang dilakukan oleh IWC, inilah yang dianggap sebagai tindakan terbaik dengan membuat kawasan lindung bagi paus seperti “Southern Ocean Whale Sanctuary”, sehingga dapat memberikan perlindungan total kepada jenis paus tertentu ; menentukan jumlah jenis paus yang boleh diburu didaerah tersebut; menentukan musim untuk melepas migrasi paus; mencegah penangkapan paus muda yang masih membutuhkan bantuan induknya.
69
a. Mendukung, merekomendasi, atau jika diperlukan, melakukan penelitiandan invesigasi yang berkaitan dengan paus dan perburuannya. Dalam melaksanakan tugasnya, IWC juga diberikan izin untuk bekerja sama dengan badan khusus negara anggota atau badan badan lainnya dengan catatan :
b. Mengumpulkan dan menganalisa informasi statistik mengenai kondisi terkini dan laju pertumbuhan jumlah paus serta dampak dampak dari perburuan paus.
c. Pembelajaran, pengamatan dan pembedahan informasi yang berkaitan dengan metode-metode untuk mempertahankan ataupun menambah jumlah populasi paus.70
C. Regulasi International Whaling Commission (IWC) Terhadap Perburuan
Paus
IWC sebagai organisasi international yang bergerak di bidang perlindungan paus, tidak membatasi sepenuhnya hak-hak untuk melakukan perburuan paus. Di dalam
68
_ Southern Ocean Whale Sanctuary, http://en.wikipedia.org/wiki/Southern_Ocean_ Whale_Sanctuary ,diakses pada 12 Juni 2014 pukul 12.00.
69
Catch Limits & Catches taken, http://iwc.int/catches , diakses pada 14 Juni 2014 pukul 14.47.
70
(38)
organisasi tersebut, ada izin khusus yang bisa diperoleh yaitu izin penangkapan untuk tujuan penelitian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pada tahun 1940-an, negara-negara menyadari bahwa perlu adanya sutau regulasi terhadap paus agar eksistensinya tetap terjaga dan dapat tetap diburu kedepannya secara berkala untuk kepentingan komersial. Lalu, dibentuklah melalui kesepakatan untuk membuat pembatasan pada jumlah paus yang boleh di buru agar ada peluang bagi paus untuk berkembang biak. Ide inilah yang mendasari di bentuknya IWC setelah regulasi mengenai perburuan paus dituangkan dalam ICRW 1946.
Dengan tujuan agar kedepannya masih ada paus untuk diburu secara berkelanjutan., IWC selalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan penelitian sebagai bagian dari organisasi itu sendiri. Namun, setiap peraturan memiliki celah hukum sendiri yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang salah apabila tidak dimonitorisasi secara benar. Ada negara anggota yang dengan alasan demi ilmu pengetahuan dan penelitian berusaha mencari celah agar dapat menggunakan izin untuk kepentingan komersial negaranya sendiri dan melanggar regulasi yang ada. Pada tahun 1982, IWC melakukan voting untuk membentuk suatu moratorium terhadap perburuan paus. Di dalam voting tersebut, beberapa anggota dari IWC menolak, namun hal tersebut tetap dilakukan dan mulai berlaku tahun 1986. Setelah itu, para anggota IWC kembali melakukan voting untuk membentuk cagar untuk paus di Antartika. Secara perlahan, negara-negara yang menentang perburuan paus terus terkumpul dan mulai memberikan suaranya, IWC dianggap sebagai badan internasional untuk perlindungan paus, yang sebenarnya bukan tujuan utamanya. IWC pada dasarnya di berntuj untuk meregulasi perburuan paus demi ketersedian paus di masa depannya sehingga bisa diburu secara berkala. Konstitusi IWC yang lemah membuat banyak kontroversi. Anggota IWC sendiri meminta IWC untuk menguatkan eksistensi dan kewenangan organisasinya agar
(39)
memiliki daya paksa terhadap negara-negara lain , terutama yang bukan anggota untuk mengikuti ketentuan berburu paus. 71
Prof. Gales menyarankan IWC untuk membuat larangan bagi tiap negara membuat izin penelitiannya sendiri. Harus ada faktor eksternal yang bukan dari negara tersebut yang ikut menentukan pemberian izin perburuan paus untuk penelitian. Tujuan dari penelitian itu juga harus disebutkan dengan jelas dan bukan sekedar alasan untuk menutupi kegiatan lainnya.
Prof. Nick Gales dan tim nya di dalam tulisannya mengenai “Applying scientific principles in international law on whaling”, penerapan prinsip prinsip penelitian terhadap hukum international yang berkaitan dengan paus, menyatakan bahwa IWC tidak benar benar memiliki kemampuan untuk memaksa negara negara yang lain untuk patuh meskipun IWC berusaha melakukan revisi terhadap sistem regulasi perburuan paus demi penelitiannya.
72
71 The flawed nature of the International Whaling commission's science,
http://www.abc.net.au/environment/articles/2014/09/16/4088124.htm , diakses pada 22 Juni 2014 pukul 08.52.
72
de la Mare et al 2014 Policy Forum, Prof. Gales, Australian Antarctic Division, Kingston, Tasmania 6050, Australia
IWC, di dalam kewenangannya menerapkan daerah cagar untuk paus, dipandang lemah dalam hal kredibilitas oleh Mahkamah Internasional. Segala perkembangan dan revisi peraturan yang ada di dalam IWC dianggap sama sekali tidak berpengaruh apapun karena masing-masing negara punya kepentingan politik masing-masing. IWC sebelum membuat revisi ataupun larangan haruslah menguatkan posisinya terlebih dahulu di dunia internasional atau kedepannya segala hal yang dilakukan IWC akan sia-sia.
D. International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) sebagai
(40)
Di dalam menjalankan fungsinya, IWC yang bergerak dibidang regulasi perburuan paus, menggunakan ICRW sebagai dasar konvensinya untuk menjalankan kegiatannya dan memberikan izin terhadap kegiatan perburuan paus. ICRW sendiri merupakan sebuah konvensi internasional menyangkut permasalahan perburuan paus yang disetujui pada tahun 1946 di Washington D.C, Amerika Serikat. Pada awalnya, ICRW merupakan 2 perjanjian multilateral yang berkenaan dengan paus yang kemudian digabungkan. Kedua perjanjian tersebut yaitu konvensi mengenai regulasi paus (The Convention for the Regulation of Whaling) yang diadopsi pada tahun 1931 dan perjanjian internasional untuk regulasi paus pada tahun 1937.
Konvensi mengenai regulasi perburuan paus (Convention for the Regulation of Whaling) diadopsi pada tahun 1931 dengan alasan karena adanya kekhawatiran terhadap keberlangsungan industri paus. Industri pada saat itu berkembang pesat karena adanya kapal yang memadai dan inovasi teknologi yang memungkinkan untuk melakukan perburuan secara intensif dan jauh dari stasiun darat seperti di Antartika. Di dalam konvensi awal ini, konvensi hanya mengatur mengenai perizinan kapal dan pelarangan terhadap perburuan beberapa jenis paus.
Dikarenakan konvensi sebelumnya menyebabkan jumlah paus yang ditangkap semakin banyak dan harga minyak paus turun. Adopsi dilakukan sekali lagi terhadap perjanjian internasional untuk regulasi paus pada tahun 1937, yang dalam pembukaannya tertulis bahwa tujuan dari dimunculkannya perjanjian ini adalah untuk menjaga kemakmuran dari industri paus dan untuk itu, menjaga ketersediaan paus. Perjanjian ini lebih kompleks dengan mengatur beberapa jenis paus yang tidak boleh ditangkap, menjadwalkan penangkapan paus jenis tertentu sesuai musimnya, melakukan zona larangan penangkapan dan memperkuat regulasinya terhadap insdustri. Konvensi tahun 1937 juga menjadi fondasi munculnya sistem perburuan paus demi penelitian dengan izin khusus dimana dalam pelaksanaannya, setiap pihak terkait harus melaporkan seluruh informasi terkait mengenai paus dan data data berguna lainnya dan dibawa ke badan
(41)
penelitian internasional untuk data perburuan paus (International Bureau for Whaling Statistics) di Norwegia.
Kedua konvensi tersebut digabungkan dan menjadi dasar daripada ICRW. Meskipun merupakan gabungan dari konvensi 1931 dan 1937, ICRW memiliki kekhususan tersendiri, salah satunya yaitu fungsi amandemen di dalam pasalnya, dimana ICRW dapat mengajukan sutau perubahan kepada negara anggotanya dan para anggota tersebut akan memberikan jawaban. Pemungutan suara dilakukan melalui voting sampai ¾ (tiga per empat) suara dari yang melakukan voting tercapai. Negara anggota juga berhak untuk menolak amandemen sehingga amandemen tersebut baru berlaku padanya apabila penolakan telah dicabut. Sistem seperti ini menyebabkan regulasi ICRW bersifat dinamis dan berubah sesuai dengan kebutuhannya.
Tujuan dasar dari ICRW ini sendiri ialah untuk melakukan konservasi terhadap berbagai jenis paus dan membuat regulasi perburuan yang terorganisir dan bertahahap terhadap industri komersial paus.73
73
International Convention for the Regulation of Whaling 1946
ICRW ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 1948 dan terus diperbaiki sampai pada tahun 1956 dimana helicopter dan kapal juga dimasukkan sebagai alat transportasi yang dikategorikan sebagai kendaraan untuk menangkap paus. Konvensi ini juga bertujuan untuk untuk melakukan perlindungan seluruh jenis paus terhadap perburuan secara besar besaran, penetapan suatu sistem internasional terhadap perburuan paus untuk memastikan adanya konservasi yang berjalan dengan baik dan terjaganya keseimbangan jumlah paus, dan untuk menjaga tersedianya sumber daya alam untuk generasi kedepannya dengan paus sebagai bentuk sumber daya alam yang dapat dieksploitasi secara berkelanjutan. Salah satu cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan ini adalah dengan membentuk suatu organisasi internasional yaitu International Whaling commission (IWC). Badan ini juga berfungsi sebagai
(42)
tempat untuk pertimbangan pemberian izin kepada negara negara untuk melakukan penelitian terhadap paus yang melibatkan terjadinya perburuan paus.74 Di dalam pasal pertama disebutkan bahwa ICRW berlaku terhadap kapal pabrik, stasiun darat dan kapal pemburu paus dimana kewenangan konvensi ini berlaku terhadap seluruh negara peserta dan juga segala wilayah perairan yang melarang perburuan paus oleh kapal pabrik, stasiun darat dan pemburu paus.
75
ICRW juga menjelaskan bahwa yang dikategorikan sebagai “Whale Catcher”, penangkap paus ,ialah kapal yang digunakan dengan tujuan untuk memburu, mengambil, menarik, meletakkan, ataupun memata-matai paus. Negara yang termasuk ke dalam negara yang turut serta menurut konvensi ini ialah negara yang telah meratifikasi ataupun telah memberikan persetujuan untuk konvensi ini.76
Badan penelitian ini, membantu IWC di dalam melaksanakan tugasnya yang berkaitan dengan “studi dan penelitian mengenai paus dan perburuannya”. Pada tahun 1950, IWC membuat suatu komite di dalamnya yang mengurus segala hal yang berkaitan dengan penelitian. Komite ini diberi nama Scientific committee yang terdiri dari para ilmuan yang direkomendari oleh negara anggota. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi ilmuan dan ahli lainnya yang bukan rekomendasi negara untuk ikut terlibat di dalamnya selama pertemuan tersebut yang tidak menggunakan voting.
77 Badan ini menganalisa informasi yang disediakan negara anggota yang merupakan kewajibannya untuk memberikan seluruh infromasi penting yang berkaitan dengan paus dan perburuannya.78
ICRW, melalui badan penelitian IWC, dapat diamandemen dari waktu ke waktu sesuai dengan agenda dengan mengadopsi peraturan konservasi dan penggunaan
74
International Convention for the Regulation of Whaling,
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Convention_for_the_Regulation_of_Whaling#cite_no te-2, diakses pada 20 Juni 2014 pukul 10.27 WIB.
75
ICRW 1946, pasal 1 ayat (1) & (2).
76
ICRW 1946, pasal 2 ayat (3) & (4).
77
ICRW 1946, pasal 4.
78
(43)
sumber daya paus, seperti mengamandemen peraturan tentang paus yang sudah dilindungi dan yang belum dilindungi, musim pembukaan dan penutupan, perairan terbuka dan tertutup, termasuk peruntukan daerah cagar perlindungan paus, ukuran maksimal untuk setiap jenis paus. Waktu, metode dan jumlah perburuan paus (termasuk jumlah perburuan paus maksimal disetiap musimnya); Jenis dan spesifikasi dari perlengkapan dan peralatan yang boleh digunakan; Metode pengukuran, penangkapan kembali serta data statistik dan biologis juga di atur di dalam ICRW. 79
Amandemen yang direncanakan ke dalam ICRW kedepannya, haruslah benar benar diperlukan untuk melaksanakan tujuan dari konvensi ini seperti menyediakan konservasi, pengembangan dan penggunaan maksimal dari sumber daya paus. Amandemen juga didasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan tidak terikat pada pembatasan jumlah ataupun kewarganegaraan kapal dan tetap akan mempertimbangkan kepentingan konsumen produk paus serta badan usaha yang berkaitan dengan paus.
Peraturan ICRW tidak serta merta melarang seluruh perburuan paus tanpa memikirkan dampak yang terjadi dimasyarakat. Pada masyarakat tertentu, paus masih memiliki hubungan yang erat dengan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan hidup mereka. Oleh karena itu, peraturan yang ada dan diamandemen masih terus memperhatikan perkembangan masyarakat international secara konsisten serta industri komersial paus.
80
79
ICRW 1946, pasal 5 ayat (1).
80
(44)
BAB III
TAHAP PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUAN PAUS
ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA
A. Sengketa Internasional dan Cara Penyelesaiannya Secara Damai
Tiap tiap negara memiliki kepentingannya sendiri, oleh karena itu, tidak heran apabila sering terjadi sengketa antar negara yang disebabkan oleh perbedaan pandangan kedua belah pihak tersebut. Hubungan-hubungan internasional yang dilakukan oleh negara negara didunia, tidak terlepas dari politik negara itu sendiri, masing-masing memiliki priotitas sendiri , baik itu tentang sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan ataupun sengketa wilayah. Rawannya terjadi sengketa dalam hubungan antar negara sering menjadi sorotan masyarakat internasional sehingga hukum internasional pun ikut serta terlibat kedalamnya. Hukum internasional berusaha untuk menyikapi setiap masalah internasional yang muncul dengan menyediakan upaya upaya penyelesaian sengketadengan jalan memberikan cara bagaimana para pihak dapat menyelesaikan sengketa menurut hukum internasional. Tujuan dari dilakukannya hal tersebut ialah agar tercipta hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.81
a. Negosiasi ( Negotiation )
Di dalam menyelesaikan masalah internasional, ada beberapa cara yang bisa diambil, yaitu :
Negosiasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa dengan cara mellaui saluran diplomatik biasa.82
81
Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, hal 2, Raja Grafindo Persada, 2002.
82
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta:UI-Press, 2006, hal.7
Negosiasi disebut sebagai perundingan langsung yang biasanya dilakukan oleh
(45)
menteri-menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan khusus untuk berunding dalam kerangka diplomasi ad hoc.83
b. Jasa-jasa Baik (Good Offices)
Penyelesaian sengketa melalui negosiasi dikenal sebagai penyelesaian sengketa yang efektif dan praktis karena penyelesaian sengketa ini hanya melibatkan para pihak yang bersengketa sehingga para pihak yang bersnegketa dapat saling memberikan pengertian tentang apa yang dikehendaki dan membantu para pihak menyelesaikan sengketanya dengan bijak.
Tujuan utama dari dilakukannya negosiasi bukanlah untuk menyelesaikan sengketa yang tenagh dihadapi. Negosiasi yang dilakukan dengan harapan dapat meliharkan suatu pengaturan yang dapat mencegah terjadinya situasi yang lebih buruk atau dapat juga meredakan situasi yang dapat menimbulkan sengketa yang lebih serius.
Kelemahan dari negosiasi adalah negosiasi hanya dapat terjadi apabila para pihak mau melakukan perundingan, namun seringkali terjadi para pihak mau melakukan perlindungan, namun seringkali terjadi para pihak yang bersengketa terutama yang terlibat dalam sengketa serius enggan melakukan perundingan bahkan tak jarang menarik perwakilan diplomatiknya.
Jasa-jasa baik merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang melibatkan intervensi dari pihak ketiga yang menawarkan jasa-jasa baiknya. Prosedur ini dapat dipilih oleh salah satu pihak yang bersengketa ataupun keduanya.84
Pada praktiknya, pihak ketiga tidak terlibat langsung dalam perundingan akan tetapi hanya mengupayakan para pihak yang bersengketa bertemu dan memberikan saran-saran secara garis besar langkah-langkah yang perlu diambil Intervensi pihak ketiga tersebut adalah berusaha mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar mereka dapat melakukan perundingan.
83
Boer Mauna, Op.Cit, hal. 197
84
(46)
pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya. Pihak ketiga dapat berupa perorangan atau individu, negara ataupun oragnasiasi internasional. Peran pihak ketiga selesai apabila para pihak telah berhasil berunding.
c. Mediasi (Mediation)
Mediasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa internasional yang juga menggunakan peran pihak ketiga, namun berbeda dengan jasa-jasa baik peran peran pihak ketiga dalam mediasi lebih aktif karena pihak ketiga terlibat langsung dalam perundingan antara pihak yang bersengketa dan bahkan pihak mediator dapat menjadi pemimpin dari perundingan antara pihak yang bersengketa. 85
Pada dasarnya sangat sulit untuk membedakan prosedur jasa-jasa baik dan mediasi karena keduanya memiliki persamaan. Persamaan tersebut adalah jasa-jasa baik maupun mediasi menggunakan jasa-jasa pihak ketiga ataupun intervensi dari pihak ketiga, intervensi yang dilakukan pihak ketiga tidak memberikan kewajiban apapun kepada negara-negara yang bersengketa, pihak bersengketa dapat menolak usul-usul dasar perundingan maupun rumusan penyelesaian sengketa yang Mediasi yang ditawarkan atau diminta oleh pihak-pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat menggnakan ususl usul yang berasal dari pihak mediator. Usul yang diberikan pihak mediator dapat berasal dari asas-asas hukum ataupun asas-asas diluar hukum yang tujuannya agar para pihak dapat berkompromi untuk menyelesaikan sengktanya tanpa ada paksaan untuk menerima usulan yang diajukan oleh mediator. Mediator berkewajiban manjaga rahasia pihak-pihak yang bersengketa.
Seperti halnya dalam jasa-jasa baik, yang dapat menjadi mediator dapat berupa individu, negara maupun organisasi internasional. Negara yang menjadi pihak ketiga dapat menggunakan pengaruhnya agar negara-negara yang bersengketa memberikan konsesi timbal balik demi tercapainya suatu penyelesaian.
85
(1)
and specifications of gear and apparatus and appliances which may be used; (g) methods of measurement; and (h) catch returns and other statistical and biological records.
2. These amendments of the Schedule (a) shall be such as are necessary to carry out the objectives and purposes of this Convention and to provide for the conservation, development, and optimum utilization of the whale resources; (b) shall be based on scientific findings; (c) shall not involve restrictions on the number or nationality of factory ships or land stations, nor allocate specific quotas to any factory ship or land station or to any group of factory ships or land stations; and (d) shall take into consideration the interests of the consumers of whale products and the whaling industry.
3. Each of such amendments shall become effective with respect to the Contracting Governments ninety days following notification of the amendment by the Commission to each of the Contracting Governments, except that (a) if any Government presents to the Commission objection to any amendment prior to the expiration of this ninety-day period, the amendment shall not become effective with respect to any of the Governments for an additional ninety days; (b) thereupon, any other Contracting Government may present objection to the amendment at any time prior to the expiration of the additional ninety-day period, or before the expiration of thirty days from the date of receipt of the last objection received during such additional ninety-day period, whichever date shall be the later; and (c) thereafter, the amendment shall become effective with respect to all Contracting Governments which have not presented objection but shall not become effective with respect to any Government which has so objected until such date as the objection is withdrawn. The Commission shall notify each Contracting Government immediately upon receipt of each objection and withdrawal and each Contracting Government shall acknowledge receipt of all notifications of amendments, objections, and withdrawals.
(2)
Article VI
The Commission may from time to time make recommendations to any or all Contracting Governments on any matters which relate to whales or whaling and to the objectives and purposes of this Convention.
Article VII
The Contracting Government shall ensure prompt transmission to the International Bureau for Whaling Statistics at Sandefjord in Norway, or to such other body as the Commission may designate, of notifications and statistical and other information required by this Convention in such form and manner as may be prescribed by the Commission.
Article VIII
1. Notwithstanding anything contained in this Convention any Contracting Government may grant to any of its nationals a special permit authorizing that national to kill, take and treat whales for purposes of scientific research subject to such restrictions as to number and subject to such other conditions as the Contracting Government thinks fit, and the killing, taking, and treating of whales in accordance with the provisions of this Article shall be exempt from the operation of this Convention. Each Contracting Government shall report at once to the Commission all such authorizations which it has granted. Each Contracting Government may at any time revoke any such special permit which it has granted. 2. Any whales taken under these special permits shall so far as practicable be processed and the proceeds shall be dealt with in accordance with directions issued by the Government by which the permit was granted.
3. Each Contracting Government shall transmit to such body as may be designated by the Commission, in so far as practicable, and at intervals of not more than one
(3)
year, scientific information available to that Government with respect to whales and whaling, including the results of research conducted pursuant to paragraph 1 of this Article and to Article IV.
4. Recognizing that continuous collection and analysis of biological data in connection with the operations of factory ships and land stations are indispensable to sound and constructive management of the whale fisheries, the Contracting Governments will take all practicable measures to obtain such data.
Article IX
1. Each Contracting Government shall take appropriate measures to ensure the application of the provisions of this Convention and the punishment of infractions against the said provisions in operations carried out by persons or by vessels under its jurisdiction.
2. No bonus or other remuneration calculated with relation to the results of their work shall be paid to the gunners and crews of whale catchers in respect of any whales the taking of which is forbidden by this Convention.
3. Prosecution for infractions against or contraventions of this Convention shall be instituted by the Government having jurisdiction over the offence.
4. Each Contracting Government shall transmit to the Commission full details of each infraction of the provisions of this Convention by persons or vessels under the jurisdiction of that Government as reported by its inspectors. This information shall include a statement of measures taken for dealing with the infraction and of penalties imposed.
(4)
Article X
1. This Convention shall be ratified and the instruments of ratifications shall be deposited with the Government of the United States of America.
2. Any Government which has not signed this Convention may adhere thereto after it enters into force by a notification in writing to the Government of the United States of America.
3. The Government of the United States of America shall inform all other signatory Governments and all adhering Governments of all ratifications deposited and adherences received.
4. This Convention shall, when instruments of ratification have been deposited by at least six signatory Governments, which shall include the Governments of the Netherlands, Norway, the Union of Soviet Socialist Republics, the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, and the United States of America, enter into force with respect to those Governments and shall enter into force with respect to each Government which subsequently ratifies or adheres on the date of the deposit of its instrument of ratification or the receipt of its notification of adherence.
5. The provisions of the Schedule shall not apply prior to 1st July, 1948. Amendments to the Schedule adopted pursuant to Article V shall not apply prior to 1st July, 1949.
Article XI
Any Contracting Government may withdraw from this Convention on 30th June, of any year by giving notice on or before 1st January, of the same year to the depository Government, which upon receipt of such a notice shall at once communicate it to the other Contracting Governments. Any other Contracting Government may, in like manner, within one month of the receipt of a copy of
(5)
such a notice from the depository Government give notice of withdrawal, so that the Convention shall cease to be in force on 30th June, of the same year with respect to the Government giving such notice of withdrawal.
The Convention shall bear the date on which it is opened for signature and shall remain open for signature for a period of fourteen days thereafter.
In witness whereof the undersigned, being duly authorized, have signed this Convention.
Done in Washington this second day of December, 1946, in the English language, the original of which shall be deposited in the archives of the Government of the United States of America. The Government of the United States of America shall transmit certified copies thereof to all the other signatory and adhering Governments.
Protocol
to the International Convention for the
Regulation of Whaling, Signed at Washington Under Date of December 2, 1946
The Contracting Governments to the International Convention for the Regulation of Whaling signed at Washington under date of 2nd December, 1946 which Convention is hereinafter referred to as the 1946 Whaling Convention, desiring to extend the application of that Convention to helicopters and other aircraft and to include provisions on methods of inspection among those Schedule provisions which may be amended by the Commission, agree as follows:
(6)
Article I
Subparagraph 3 of the Article II of the 1946 Whaling Convention shall be amended to read as follows:
“3. ‘whale catcher’ means a helicopter, or other aircraft, or a ship, used for the purpose of hunting, taking, killing, towing, holding on to, or scouting for whales.”
Article II
Paragraph 1 of Article V of the 1946 Whaling Convention shall be amended by deleting the word “and” preceding clause (h), substituting a semicolon for the period at the end of the paragraph, and adding the following language: “and (i) methods of inspection”.
Article III
1. This Protocol shall be open for signature and ratification or for adherence on behalf of any Contracting Government to the 1946 Whaling Convention.
2. This Protocol shall enter into force on the date upon which instruments of ratification have been deposited with, or written notifications of adherence have been received by, the Government of the United States of America on behalf of all the Contracting Governments to the 1946 Whaling Convention.
3. The Government of the United States of America shall inform all Governments signatory or adhering to the 1946 Whaling Convention of all ratifications deposited and adherences received.
4. This Protocol shall bear the date on which it is opened for signature and shall remain open for signature for a period of fourteen days thereafter, following which period it shall be open for adherence.