sesuai dengan maksud dan tujuan dari konvensi ini sehingga diberikan diberi pengecualian dari moraturium perburuan paus untuk kepentingan komersial,
larangan berburu di cagar paus Antartika dan moraturium mengenai kapal pabrik. Di dalam pembukaannya, ICRW menetapkan bahwa tujuan utamanya ialah untuk
menjaga keberlangsungan eksistensi paus sehingga tetap bisa dieksploitasi secara berkelanjutan kedepannya. Jumlah paus yang ditangkap boleh ditambah apabila
hal tersebut tidak menganggu jumlah populasi yang ada sesuai dengan jenis-jenis paus yang telah ditentukan dan diperbolehkan untuk ditangkap. Tujuan dari ICRW
juga tertulis di di dalam paragraf akhir dari pembukaan yang berisi tentang konservasi yang sepantasnya bagi paus dan memungkinkan terjadinya kemajuan
industri paus yang terkontrol dengan baik.
2. Kepentingan Penelitian Scientific Research
Kata kepentingan penelitian “scientific research”, yang menjadi perdebatan utama antara Jepang dan Australia, tidak memiliki definisi di dalam ICRW. Australia,
melalui pakarnya, Mr.Mangel, mengatakan bahwa kepentingan penelitian dalam konteks ICRW memiliki 4 karakteristik utama, yaitu :
1. Hasil transparan yang mungkin tercapai sehingga dapat memberikan
sumbangsih dalam bentuk ilmu pengetahuan untuk konservasi dan pengelolaan paus.
2. Penggunaan cara yang mematikan, seperti membunuh paus tersebut hanya
dilakukan ketika tujuan dari penelitian tidak dapat dicapai dengan cara apapun lagi.
3. Pendapat dari negara anggota lainnya dan
4. Perhatian terhadap paus sehingga tidak muncul dampak yang negatif.
Di dalam point kedua yang dikemukakan oleh ahli perwakilan Australia, juga mengambil contoh dari resolusi tahun 1986-2, dimana dalam resolusi tersebut
menyatakan bahwa suatu kegiatan penelitian haruslah dilaksanakan secara transparan dan memany nyata mungkin dialkukan dengan cara cara yang tidak
Universitas Sumatera Utara
mengandung unsur pembunuhan di dalamnya dan juga cara cara mematikan seperti itu tidak perlu digunakan lagi karena data yang didapatkan dianggap tidak
memadai. Australia juga mengacu kepada resolusi 1995-9, yang merekomendasikan bahwa pembunuhan terhadap paus hanya boleh digunakan di
dalam keadaan tertentu saja untuk mendapatkan infromasi mengenai hal-hal yang tidak bisa didapatkan dengan cara cara yang lebih ramah terhadap paus.
Mahkamah Internasional sendiri tidak melihat adanya relevanasi antara tata cara penelitian secara umum yang dikemukakan oleh seorang ahli dengan penelitian
yang ada di dalam IWC karena kedua hal tersebut dianggap berbeda. Selain itu, Australia juga mengemukakan kepada Mahkamah Internasional bahwa
penafisran dari ketentuan pasal 8 ICRW harus sejalan dengan konvensi Wina mengenai hukum perjanjian
108
108
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, Pasal 31 Ayat a b.
. Isi dari pasal tersebut ialah suatu perjanjian haruslah ditafsirkan bersama oleh semua pihak yang bersangkutan dan
pelaksanaan nya merupakan ketentuan yang dihasilkan dari kesepakatan pihak- pihak terkait mengenai penafisrannya.
Jepang sendiri tidak memberikan makna dari kepentingan penelitian Scientific research dan mengatakan bahwa penafsiran seorang ahli tidak dapat pantas
dianggap sebagai arti sesungguhnya dari pasal pasal yang ada di ICRW. Jepang mengatakan bahwa segala resolusi oleh Australia merupakan hal yang bersifat
voluntir dan bukanlah kewajiban yang harus diikuti oleh Jepang. Jepang melihat cara-cara pembunuhan yang diterapkannya sebagai sesuatu yang diatur dan legal
di dalam pasal 8. Di dalama pelasanaannya, Jepang mengatakan abhwa ia tidak pernah menggunakan cara pembunuhan lebih dari apa yang ia butuhkan di dalam
melaksanakan program penelitiannya. Jepang mengganggap bahwa ia bisa dikritik dan diberi masukan oleh Australia terhadap metodenya pelaksanaan penelitiannya.
Namun, hal tersebut tergantung pada Jepang mau mengikutinya atau tidak karena itu bukan merupakan suatu keharusan dan hanya merupakan pengaturan umum
penelitian.
Universitas Sumatera Utara
New Zealand sendiri dalam kasus ini lebih kepada alasan dan tata cara pelaksanaan daripada izin penelitian itu sendiri. Paus hanya boleh dibunuh
apabilqa hal tersebut memang benar benar dibutuhkan untuk hasil penelitian yang jauh di atas penelitian biasa. Seperti Australia, New Zealand juga mengacu pada
ketetapan dan petunjuk IWC di dalam mengemukakan pendapatnya. Pasal 8 sebernarnya memperbolehkan penelitian dengan membunuh paus.
Mahkamah Internasional menggangap bahwa Australia dan New Zealand terlalu membesar-besarkan hal yang seharusnya bersifat sukarela dan hanya merupakan
referensi. Banyak pasal-pasal yang ditetapkan dalam IWC yang sebernarnya tidak disetujui oleh negara negara anggotanya, termasuk Jepang. Oleh karena itu, hal
tersebut tidak dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengartikan Pasal 8 ICRW yang dalam hal ini mengacu kepada konvensi Wina tentang hukum perjanjian
Internasional. Selain itu, di dalam pasal tersebut juga tidak mengatakan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum metode dengan cara
membunuh di perbolehkan. Meskipun ada perbedaan antar pihak pihak yang bersengeketa, Australia, Jepang dan New Zealand setuju bahwa suatu penelitian
yang dilakukan tidak boleh membawa dampak buruk kepada populasi paus. Di dalam perdebatan lanjutannya, Australia mengatakan bahwa segala hasil
sumber daya paus yang diambil melalui izin penelitian haruslah digunakan untuk penelitian, bukan dijual ke pasar untuk konsumsi masyarakat negara tersebut. Hal
ini menimbulkan pertanyaan terhadap Jepang apakah negara tersebut benar benar melakukan penelitian untuk murni tujuan penelitian. Jepang sendiri balik
menjawab dengan mengatakan bahwa penjualan daging paus dipasar merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap penelitian perikanan dan dana yang
didapatkan nantinya akan digunakan untuk medukung kinerja penelitian.
109
109
ICRW, Pasal 8 ayat 2.
Mahkamah Internasional justru tidak sependapat dengan pertanyaan Jepang, dimana penjualan daging paus dipasar untuk mendapatkan dukungan dana
terhadap penelitiannya tidak dapat dijadikan alasan. Selain itu, Mahkamah internasional masih mempertanyakan tentang pengambilan paus yang berlebihan
Universitas Sumatera Utara
dari kebutuhan penelitian sehingga kelebihan tersebut dapat dijual dan dipergunakan untuk membiayai penelitian utamanya karena hal ini tidak dapat
dibenarkan.
C. Sengketa Perburuan Paus Antara Jepang dan Australia 1. “