Penyerahan Kewenangan Mengadili Kepada Mahkamah Internasional

Australia juga mengirim beberapa perwakilannya untuk melakukan diskusi dengan Jepang, tetapi tidak ada perubahan yang dilakukan terhadap program penelitian tersebut dengan Jepang tetap bersikeras bahwa yang ia lakukan adalah hanya untuk tujuan penelitian. Jepang didalam hal ini, bukan saja melanggar ketentuan ICRW, tetapi juga melanggar Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora “CITES” mengenai pengambilan sampel selain daripada keadaan yang memaksa dan mengenai perburuan paus bongkok yang dilindungi. 122 122 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, 1973 , 9033 UNTS 244, pasal 2 ayat 1 pasal 3 ayat 5.

2. Penyerahan Kewenangan Mengadili Kepada Mahkamah Internasional

Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan melalui jalur hukum atau yudisial. Penyelesaian ini biasanya ditempuh apabila tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian lewat jalur damai lainnya tetapi tidak menghasilkan apapun. Meskipun disebut penyelesaian hukum, hukum internasional sendiri tidak pernah menyatakan terdapat suatu keharusan bagi para pihak yang bersengketa untuk mengambil jalur diplomatik terlebih dahulu sebelum mengajukan sengketanya pada penyelesaian yudisial. Hal itu berarti para pihak yang bersengketa dapat mengajukan sengketa kepada penyelesaian yudisial tanpa harus melalui serangkaian penyelesaian diplomatik sebelumnya. Mahkamah Internasional terdiri dari lima belas hakim yang dinominasikan oleh kelompok nasional Panel Permanent Court of Arbitration yang kemudian calon tersebut dipilih melalui pemungutan suara secara terpisah oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Hakim-hakim tersebut selain dipilih berdasarkan kualifikasi yang ditetapkan juga berdasarkan sistem pembagian geografis yang adil. Universitas Sumatera Utara Yurisdiksi Mahkamah hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat persetujuan dari para pihak yang bersengketa. Apabila perkara telah diajukan oleh pihak yang bersengketa maka Mahkamah memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara tersebut yang pengajuan tersebut biasanya dilakukan dengan memberitahukan suatu perjanjian bilateral yang dinamakan compromise. Ketentuan tersebut bukan berarti Yurisdiksi Mahkamah hanya berlaku apabila penyerahan perkara diajukan oleh pihak yang bersengketa secara bersama-sama akan tetapi penyerahan sengketa dari salah satu pihak tanpa adanya suatu perjanjian khusus dianggap telah mencukupi apabila pihak lain yang bersengketa menyetujui perjajian tersebut. Artinya, tanpa adanya persetujuan dari kedua puhak yang bersengketa maka Mahkamah tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya walaupun terdapat rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB kepada pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui Mahkamah tidak menjadi dasar yang kuat dan cukup untuk memberlakukan yurisdiksi Mahkamah atas sengketa tersebut. Yurisdiksi mahkamah menjadi wajib apabila para pihak yang bersengketa terikat oleh traktat-traktat atau konvensi dimana mereka menyepakati bahwa Mahkamah memiliki yurisdiksi atas sengketa-sengketanya dan apabila para pihak yang bersengketa terikat oleh deklarasi yang dibuat menurut Klausula Opsional Optinonal Clauste. Klausula ini terdapat dalam statuta lama yang secara subtantial sama dengan yang ada dalam statuta yang berlaku sekarang. Apabila Mahkamah telah memiliki yurisdiksi wajib maka metode biasa memulai proses peradilan dijalankan melalui suatu permohonan tertulis sepihak yang ditujukan kepada panitera dengan menyatakan pokok sengketa serta pihak pihak lain dalam sengketa tersebut. Kemudian Panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada pihak atau para pihak lain dan memberitahu seluruh anggota PBB dan negara-negara lain yang berhak tampil di hadapan Mahkamah. Meski Mahakamah memiliki yurisdiksi wajib namun negara tetap diberi kebebasan untuk memilih cara penyelesaian sengketanya tanpa memerlukan persetujuan dari Mahakamh dengan mengumumkan begitu saja sebagai pernyataan perkara Universitas Sumatera Utara tersebut di hapus dari daftar Kepaniteraan Mahkamah dan dapat juga dengan pemberitahuan tertulis tentang penghentian proses perkara. Pelaksanaan yurisdiksi wajib oleh Mahkamah mengakibatkan negara-negara anggota PBB harus mematuhi seluruh keputusan Mahakamah dalam setiap kasus dimana ia menjadi pihak. Bagi para pihak yang lalai melaksanakan kewajiabn yang dibebankan kepadanya oleh Mahakamah, maka pihak lainnya dapat meminta Dewan Keamanan untuk mebuat rekomendasi-rekomendasi ataupun memutuskan tindakan yang harus dilakukan untuk memberlakukan keputusan tersebut. Akan tetapi tidak terdapat suatu ketentuan apapun yang memungkinkan Mahkamah memaksakan keputusannya dan hal tersebut yang menjadi kelemahan serius dari Mahkamah. Di dalam kasusnya, Australia mengajukan gugatan atas Jepang mengenai kewajiban yang dilanggarnya dibawah ICRW. Kasus ini menyangkut izin khusus untuk melakukan perburuan ikan paus yang diterapkan dalam program JARPA II. Jepang menyatakan bahwa program miliknya tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu izin khusus perburuan ikan paus dengant ujuan penelitian sesuai dengan Pasal 8 ICRW. Mahkamah Internasional sendiri, memeriksa terlebih dahulu apakah mereka mempunyai yurisdiksi atas hal ini atau tidak. Sesuai dengan pasal 36 ayat 2 dari statuta Mahkamah Internasional, dimana setiap pihak yang ingin berperkara di Mahkamah Internasional harus memberikan deklarasinya. Australia menyerahkan deklarasinya pada tanggal 22 Maret 2002 dengan isi deklarasinya yang berisikan : “Pemerintah Australia mendeklarasikan bahwa dirinya secara ipso facto 123 123 Ipso facto merupakan bahasa latin yang berarti “atas bukti itu sendiri”, dimana terjadinya suatu fenomena merupakan konsekuensi langsung dari tiundakan yang diambil, bukan merupakan hasil dari tindakan sebelumnya. dan tanpa persetujuan apapun, dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima obligasi yang sama, menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional sampai pada saat Sekjen PBB mencabut deklarasi ini. Namun, selama pencabutan belum dilakukan, maka hal ini berlaku.” Universitas Sumatera Utara Namun, deklarasi ini tidak berlaku terhadap segala sengketa yang berkaitan ataupun mengenai pembatasan zona laut, termasuk laut teritorial, zone ekononi eksklusif dan landas kontinen, ataupun segala hal yang menyangkut eksplotiasi diwilayah sengketa dan atau wilayah kelautan yang pembatasannya masih ditunda” Setelah Australia mendeklarasikan kesediaannya, Jepang juga sepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional dengan melakukan deklarasi pada tanggal 9 Juli 2007 yang berisikan : “Pemerintah Jepang mendeklarasikan bahwa dirinya secara ipso facto dan tanpa persetujuan apapun, dalam hubungannya dengan negara lain menerima obligasi dan kondisi yang sama sebagai bentuk balasan, menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional mengenai segala sengketa yang timbul setelah tanggal 15 September 1958 dengan situasi dan kondisi yang berkaitan dengan waktu tersebut dan tidak diselesaikan melalui penyelesaian damai lainnya.” Jepang di dalam balasannya, mendebatkan gugatan yang dilayangkan Australia ke Mahkamah Internasional, karena menurutnya itu merupakan urusan pribadi Australia, yang dengan hal ini menimbulkan balasan. Meskipun mengakui bahwa sengketa ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah zona kealutan, Jepang tetap bertahan mengatakan bahwa kasus ini menyangkut eksploitasi zona kelautan yang masih belum dilakukan pembatasan. Di dalam pandangannya, Jepang tetap bertahan bahwa kasus ini berkaitan dengan sengketa eksploitasi di dalam zona laut yang diklaim oleh Australia. Jepang mengatakan bahwa inilah penyebab terjadinya kasus karena JARPA II yang memiliki izin khusus penelitian dianggap sebagai celah untuk melakukan eksploitasi. Ada anggapan oleh Jepang terhadap Australia, bahwa negara tersebut berusaha melakukan klaim terhadap daerah antartika sebagai kawasan ekonomi eksklusifnya. Namun, hal ini dibantah oleh Australia dengan mengatakan bahwa hal tersebut hanyalah sengketa wilayah yang tumpang tindih dengan negara lain mengenai perbatasan dan hal ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Jepang. Universitas Sumatera Utara Australia juga memberikan penjelasan bahwa kasus perbatasan antara New Zealand dan Timor Leste tersebut akan diselesaikan dengan jalur negosisasi. Hal mengenai perbatasan sengaja dituliskan di dalam deklarasinya untuk mencegah salah paham antara negara negara yang bersengketa mengenai hal tersebut sehingga ada kejelasan. Mahkamah internasional juga mengatakan bahwa di dalam melakukan penafsiran, haruslah dilakukan secara natural dan sejalan dengan keinginan yang memang dituju. Seperti yang disampaikannya dalam kasus Anglo Iranian Oil Co. United kingdom v. Iran. Tiap negara boleh menitikberatkan apa yang sebernarnya ingin disampaikan serperti dalam kasus Fisheries Jurisdiction Spain v. Canada, Jurisdiction of The Court, Judgement, I.C.J. Reports 1998, p. 454, para. 48. Mahkamah Internasional juga mengatakan bahwa maksud dari negara yang menyatakan tidak hanya diambil dari pasal yang bersangkutan saja, melainkan juga dari seluruh klausa dan pemeriksaan bukti bukti mengenai persiapan dan maksud dari tujuannya. 124 Setelah kedua belah pihak sepaham bahwa kasus ini bukanlah kasus perbatasan laut teritorial. Fokus beralih ke JARPA II, dimana program tersebut dikategorikan eksploitasi yang berkaitan dengan perbatasan ataupun territori daerah tersebut. Di dekat Australia, terdapat daerah yang diberi nama Australian Antarctic Territory. Jepang juga mempermasalahkan hal ini. Namun, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa masalah laut teritorial yang kemukakan oleh Jepang sama sekali tidak memiliki tumpang tindih antara para pihak yang bersengketa dalam kasus ini sehingga persidangan dapat dilanjutkan. 125 Setelah hal tersebut selesai, dibicarakanlah hal utama yaitu program JARPA II milik Jepang apakah bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh ICRW dan hal yang berkaitan dengan wilayah perairan Australia diabaikan karena 124 Fisheries Jurisdiction Spain v. Canada, Jurisdiction of The Court, Judgement, I.C.J. Reports 1998,hal 454, paragraf ke 49 125 Territorial and Maritime Dispute Nicaragua v. Colombia, Judgement, I.C.J. Reports 2012 II, pp.674-675, para. 141. Universitas Sumatera Utara masalah batas dan kedaulatan tidak berhubungan dengan kegiatan Jepang terhadap kewajibannya di IWC. Mahkamah Internasional pada akhirnya menetapkan bahwa penolakan Jepang atas kewenangan Mahkamah Internasional mengenai kasus ini tidak bisa diterima sehingga kasus ini akan dilanjutkan. BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA

A. Gugatan Australia terhadap Jepang