Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati

4.2.2.4 Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati

Maksim kerendahan hati menuntut kesediaan penutur untuk meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. Pelaku yang dapat menaati maksim ini akan dianggap sebagai pribadi yang rendah hati dan tidak sombong. Komunikasi haruslah dapat memaksimalkan maksim ini agar tidak dinilai sombong dan disukai banyak orang, jika dalam tuturan sehari-hari dapat memaksimalkan maksim ini maka proses komunikasi dapat menjadi santun dan terhindar dari sifat antipati. Ketika bertutur, seseorang haruslah suka merendah atau mengecam dari pada memuji diri sendiri dengan begitu maka pandangan orang lain akan baik. Tentulah sulit untuk merendah bahkan mengecam diri kita sendiri, apalagi jika kita mendapatkan suatu prestasi atau keberhasilan. Sebagai manusia tentulah seseorang ingin terlihat lebih baik daripada yang lain dan hal tersebut dapat dinilai sombong oleh orang lain. Ketika percakapan sehari- hari tentulah jarang ditemukan seseorang yang bertutur dengan mengecam atau merendahkan diri sendiri kecuali untuk mereka yang mempunyai jabatan tinggi baik dalam lingkup formal maupun non formal, dalam lingkup formal misalnya pelanggaran terhadap maksim ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran diskusi kelas seperti di bawah ini: 54 Penyaji : Apakah ada yang masih mau bertanya ? ngak ada ya ? woow bagus berarti presentasi dari kelompok kami ya. Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam suatu diskusi kelas. Tuturan merupakan pernyataan dari penutur penyaji kepada seluruh mitra tutur peserta diskusi mengenai presentasi yang sudah dilakukan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55 Penyaji : Sebentar jawaban dari mas ato masih kami cari Peserta diskusi: Pertanyaan saya bagus jadi sulit ditemukan jawabannya Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam suatu diskusi kelas. Tuturan merupakan tanggapan penutur peserta diskusi terhadap pernyataan yang diutarakan mitra tutur penyaji. Data tuturan 54 dituturkan oleh seorang penyaji ketika akan membuka sesi tanya jawab dalam mata kuliah fonologi kelas B. Tuturan tersebut mengandung tindak tutur ekspresif yakni bentuk tindak tutur yang menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Penutur menyatakan bahwa presentasi dari kelompoknya bagus setelah melihat tidak ada peserta diskusi yang bertanya lagi. Tuturan semacam itu dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan Leech 1993: 214 yaitu maksim kerendahan hati, dimana tuturan seharusnya memuji diri sendiri sedikit mungkin , terlihat dalam tuturan “woow bagus berarti presentasi dari kelompok kami ya ”, tuturan tersebut sebenarnya tidak salah tetapi karena tuturan tersebut memuji kelompok penutur penyaji itu sendiri jadi tuturan tersebut menjadi kurang santun, seharusnya tuturan itu tidak memuji diri sendiri melainkan memuji mitra tutur agar tuturan menjadi lebih santun. Tuturan yang seperti itu dapat menimbulkan kesan sombong dari para peserta diskusi. Presentasi dari kelompoknya sebenarnya belum tentu bagus, hanya karena tidak ada yang bertanya jadi dikatakan bagus oleh penutur sendiri, bahkan tidak ada yang bertanya mungkin karena penjelasan dari kelompok penyaji yang tidak jelas jadi peserta diskusi bingung mau bertanya apa. Cara bertutur yang seperti itu, justru akan menjatuhkan muka penutur itu sendiri karena penutur terkesan sombong, dan sifat sombong itu akan memberikan kesan negatif bagi penutur itu sendiri, seharusnya penutur dapat menyelamatkan mukanya sendiri dihadapan dosen dan peserta diskusi yang lain dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53- 55. Penutur seharusnya bisa menjaga muka positif dirinya sendiri dengan menggunakan kesantunan positif yakni melebihkan perhatian, persetujuan dan simpati. Tuturan yang demikian justru akan menjatuhkan muka positifnya sendiri karena bersikap sombong, seharusnya penutur lebih memperhatikan mitra tuturnya dan berfikir mengapa tidak ada yang bertanya atau mungkin apa yang dijelaskannya kurang dapat dipahami sehingga tidak ada yang bertanya bukannya malah dengan bangga mengakui presentasinya sendiri bagus seperti itu. Penutur seharusnya dapat memberikan perhatian juga mencari persetujuan dan simpati mitra tuturnya misalnya penutur bisa bertanya apakah presentasinya sudah dimengerti atau belum, dengan begitu pasti ada beberapa mitra tutur yang akan menjawab dan proses diskusi pun tidak terhenti. Beberapa hal tersebut memperlihatkan bahwa tuturan dari penutur itu tidak sejalan dengan strategi kesantunan dari Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55, selain itu juga melanggar maksim kerendahan hati karena berlaku sombong dan jelas tuturan tersebut dapat dikategorikan tidak santun dan dapat menimbulkan pertentangan dalam diskusi. Data tuturan 55 dituturkan oleh seorang peserta diskusi ketika diskusi memasuki sesi tanya jawab dalam mata kuliah fonologi kelas B. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif yakni bentuk tindak tutur yang menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Penutur mengatakan bahwa pertanyaan yang dia ajukan sangatlah bagus sehingga sulit ditemukan jawabannya oleh mitra tutur penyaji. Tuturan seperti itu, dipandang sebagai tuturan yang kurang santun karena penutur cenderung memuji dirinya sendiri. Hal ini jelas melanggar maksim kerendahan hati Leech 1993: 214 yakni tuturan seharusnya memuji diri sendiri sedikit mungkin, terlihat dalam tuturan “Pertanyaan saya bagus jadi sulit ditemukan jawabannya”, dalam tuturan tersebut penutur peserta diskusi merasa pertanyaan yang dia ajukan itu bagus dan secara terang-terangan mengatakannya, dengan begitu bisa menimbulkan rasa tidak senang dari para peserta diskusi lain bahkan dinilai sombong. Mitra tutur penyaji bisa saja memang kesulitan menjawab pertanyaan tersebut tapi alangkah lebih baik jika penutur peserta diskusi tidak menanggapinya secara berlebihan, karena dengan begitu kesannya menjadi tidak santun. Cara bertutur dalam tuturan tersebut juga mencerminkan bahwa penutur tidak menggunakan strategi kesantunan dari Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55. Entah secara sadar atau tidak, dengan tuturan yang seperti itu penutur justru menjatuhkan mukanya sendiri dihadapan dosen maupun peserta diskusi yang lain, karena mereka beranggapan bahwa penutur itu sombong tidak hebat seperti yang dikatakannya sendiri. Citra diri penutur dihadapan mitra tuturnya akan tercoreng karena sifat sombong tidak disenangi banyak orang. Penutur seharusnya bisa menjaga muka positif dirinya sendiri dengan menggunakan kesantunan positif yakni melebihkan perhatian, persetujuan dan simpati. Tuturan yang demikian memperlihatkan bahwa penutur tidak memberikan simpati kepada penyaji yang sedang berusaha mencari jawabannya dan mengusahakan persetujuan dengan penyaji agar tidak terjadi pertentangan. Lebih baik merendahkan diri daripada menyombongkan diri apalagi hal ini di dalam lingkup formal diskusi jadi sikap seperti itu bisa membuat diskusi kacau karena dalam diskusi seharusnya ada rasa saling mengerti dan simpati agar terjadi kesepakatan bersama.

4.2.2.5 Pelanggaran Maksim Kesepakatan