Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan Analisis pelanggaran data tuturan diskusi kelas mahasiswa PBSI

bertutur santun kepada mitra tutur dan hal itu akan menambah solidaritas diantara keduanya sehingga tidak terjadi pertentangan sehingga diskusi bisa dilanjutkan dengan lancar.

4.2.2 Analisis pelanggaran data tuturan diskusi kelas mahasiswa PBSI

angkatan 2014 Universitas Sanata Dharma berdasarkan prinsip kesantunan

4.2.2.1 Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan

Tuturan harus membuat keuntungan bagi mitra tutur dan membuat kerugian mitra tutur sekecil mungkin, begitulah maksud dari maksim kebijaksanaan Leech. Leech beranggapan bahwa dengan menerapkan maksim tersebut, tuturan akan berjalan dengan lebih baik. akan tetapi pada kenyataannya masih sering dijumpai pelanggaran terhadap pandangan Leech ini, terlebih dalam lingkup sehari-hari dimana tuturan diujarkan secara spontan. Ujaran yang terjadi dalam percakapan sehari-hari terkesan wajar jika banyak pelanggaran terhadap maksim ini, akan tetapi di lingkup formal ternyata juga banyak dijumpai pelanggaran terhadap maksim ini, seperti halnya yang ditemukan peneliti di dalam proses pembelajaran diskusi kelas berikut ini: 23 Peserta diskusi : Lho lha itu sama kayak yang tadi memotong penjelasan penyaji Penyaji : Nggak, bisa saya teruskan dulu ? Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah diskusi kelas. Tuturan merupakan sanggahan dari penutur peserta diskusi terhadap penjelasan dari mitratutur penyaji yang dianggap sama seperti materi yang sudah dijelaskan sebelumnya ketika mitratutur penyaji masih menjelaskan materi. 24 Penyaji : Opo eneh ? Peserta diskusi : Responnya ? Penyaji : yo kui, responnya kita menangkap itu bo Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam diskusi kelas dalam sesi tanya jawab. Tuturan merupakan tanggapan dari penutur penyaji terhadap pertanyaan dari mitra tutur peserta diskusi yang belum puas akan jawaban dari penutur penyaji. 25 Penyaji : Menurut KBBI novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan Peserta Diskusi : Kurang cepat Penyaji : Ohh iya iyaa saya ulangi Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah diskusi kelas dalam sesi tanya jawab. Tuturan merupakan tanggapan dari penutur peserta diskusi saat mitra tutur penyaji menjelaskan materi diskusi. 26 Penyaji : Prosa berasal dari bahasa itali Peserta Diskusi 1 : Ssstt ssstt pinjem bolpen volume keras Peserta Diskusi 2 : Iya iya bentar Penyaji : Bisa dilanjutkan ? Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah diskusi kelas. Tuturan merupakan perkataan penutur peserta diskusi 1 terhadap mitra tutur peserta diskusi 2 ketika penyaji sedang menjelaskan materi. Data tuturan 23 dituturkan oleh salah seorang peserta diskusi ketika penyaji sedang menjelaskan materi diskusi kelas mata kuliah teologi moral kelas Q. Tuturan tersebut mengadung tindak tutur asertif yakni mengandung ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran tuturan yang diujarkan. Penutur menyatakan bahwa penjelasan dari mitra tutur penyaji sama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan kebenaran yang diyakini penutur peserta diskusi ketika penyaji masih menjelaskan materi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI diskusi. Tuturan tersebut bisa menimbulkan keraguan bagi peserta diskusi yang lain. Meragukan akan sesuatu hal dapat membuat seseorang menjadi emosi, kemudian bisa menyebabkan pertentangan antara penutur dan mitra tutur, selain itu memberikan jawaban sesuai dengan fakta itu bisa mengancam muka seseorang. Tuturan 23 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan Leech 1993: 168 yakni maksim kebijaksanaan, dimana penutur seharusnya membuat keuntungan bagi mitra tutur bukan sebaliknya, t uturan “Lho lha itu sama kayak yang tadi ”, dalam tuturan tersebut terlihat bahwa penutur peserta diskusi justru menimbulkan kerugian bagi mitra tutur penyaji, itu dibuktikan ketika mitra tutur penyaji belum selesai menjelaskan dan penutur peserta diskusi memotong pembicaraannya tanpa didahului dengan diksi halus, misalnya “maaf” atau nonverbal misalnya “mengacungkan jari”, selain itu juga akan menimbulkan keraguan bagi peserta diskusi yang lain. Hal itu juga menimbulkan efek buruk bagi mitra tutur penyaji yakni bisa membuat konsentrasinya terganggu dan tersingung itu dibuktikan dengan tanggapan dari penyaji yang menuturkan “nggak, bisa saya teruskan dulu ?” dengan nada agak keras dari sebelumnya yang menandakan bahwa mitra tutur penyaji merasa terganggu bahkan emosi dengan tuturan penutur peserta diskusi dan hal ini jelas bertentangan dengan maksim kebijaksanaan. Dilihat dari cara bertuturnya, penutur secara terang-terangan mengungkapkan pendapatnya secara langsung dengan memotong penjelasan dari penyaji yang belum selesai dengan begitu penutur jelas mengancam muka mitra tuturnya. Hal ini bertentangan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55, dimana penutur seharusnya menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan positif yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur. Namun, tuturan tersebut justru memperlihatkan bahwa penutur membuat mitra tuturnya terpojok dan menimbulkan keraguan bagi peserta diskusi yang lain dan terlihat bahwa penutur tidak menghargai atau memberikan simpati terhadap apa yang telah dilakukan oleh mitra tuturnya. Tuturan tersebut juga memperlihatkan bahwa penutur tidak menjaga muka mitra tuturnya, dengan begitu muka mitra tutur akan jatuh di mata dosen maupun peserta diskusi yang lain karena penutur secara terang- terangan menyanggah penjelasan dari mitra tuturnya, dengan begitu bisa memicu ketidaksepakatan dan pertentangan sehingga diskusi bisa menjadi kacau. Penutur boleh saja mengungkapkan pendapatnya namun tetap memperhatikan sopan santun dengan menghargai apa yang telah dilakukan mitra tuturnya yakni telah berusaha menjelaskan dan mempersiapkan materi diskusi. Data tuturan 24 dituturkan oleh seorang penyaji ketika diskusi kelas memasuki sesi tanya jawab pada mata kuliah fonologi kelas B. Tuturan tersebut mengandung tindak tutur direktif, yakni tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini berupa perintah, permohonan, pemesanan, dll. Penutur secara tidak langsung memerintah mitra tutur peserta diskusi untuk tidak kembali bertanya dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menerima penjelasan darinya, hal ini akan menimbulkan efek kerugian bagi mitra tutur peserta diskusi yakni tidak jadi melanjutkan pertannyannya dan merasa diremehkan atau direndahkan karena penutur menggunakan bahasa nonformal. Tuturan 24 telah melanggar prinsip kesantunan Leech 1993: 168 yakni maksim kebijaksanaan, dimana tuturan seharusnya menguntungkan mitra tutur dan membuat kerugian pada diri sendiri bukan sebaliknya, tuturan “opo eneh ? yo kui, responnya kita menangkap itu bo ” diucapkan dengan nada yang kurang enak didengar. Tuturan itu memperlihatkkan bahwa penutur penyaji justru merugikan mitra tutur peserta diskusi, mitra tutur peserta diskusi merasa jawabannya belum sepenuhnya terjawab dan ingin memperjelasnya, akan tetapi penutur penyaji mengatakan “opo eneh ? “ dan “yo kui ” dimana kedua diksi tersebut tidak halus dan tidak santun karena dalam lingkup formal dan dikatakan dengan nada yang kurang enak didengar tekanan naik, jadi bisa diartikan merendahkan mitra tutur peserta diskusi bahkan dapat memancing emosi mitra tutur. Hal ini menjadikan proses komunikasi terhenti, mitra tutur merasa tidak senang karena jawabannya tidak terjawab dan justru diberi tanggapan negatif dari penutur penyaji dan jelas bahwa tuturan tersebut tidak santun. Tuturan seperti itu dapat menjatuhkan muka mitra tutur dihadapan dosen maupun peserta diskusi yang lain. Cara bertutur dalam data tuturan 24 memperlihatkan bahwa penutur telah melanggar strategi kesantunan Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53-55, dimana penutur seharusnya berusaha menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan positif yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur, tetapi dalam tuturan tersebut jelas terlihat bahwa penutur tidak memberikan simpati kepada mitra tutur yang belum puas akan jawaban yang diberikan justru seperti mengejek mitra tutur dan penutur juga tidak berusaha membeuat persetujuan justru membuat pertentangan yang dapat memancing emosi mitra tuturnya. Seharusnya penutur dapat lebih bijak menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya agar tidak menimbulkan sakit hati dan memancing emosi karena situasi yang kondusif diperlukan agar diskusi bisa berjalan dengan baik. Data tuturan 25 dituturkan oleh seorang peserta diskusi ketika penyaji sedang menjelaskan materi diskusi pada mata kuliah teori sastra kelas B. Tuturan tersebut mengandung tindak tutur direktif yakni tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini berupa perintah, permohonan, pemesanan, dll. Penutur peserta diskusi mengatakan bahwa penjelasan dari penutur penyaji “kurang cepat ” yang sebenarnya tuturan tersebut dimaksudkan penutur untuk menyuruh mitra tutur penyaji menjelaskan materi dengan lebih pelan. Data tuturan 25 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan Leech 1993: 168 yakni maksim kebijaksanaan, tuturan seharusnya menguntungkan mitra tutur dan membuat kerugian pada diri sendiri, terlihat dalam tuturan “kurang cepat” dengan nada yang keras dan kurang enak didengar. Tuturan tersebut memperlihatkan bahwa penutur justru menimbulkan kerugian bagi mitra tutur penyaji, itu dibuktikan ketika mitra tutur penyaji sedang menjelaskan materi dan penutur peserta diskusi langsung berteriak “kurang cepat” tanpa didahului dengan diksi halus, misalnya “maaf” sehingga bagi penutur penyaji akan menimbulkan efek buruk yakni bisa membuat tersingung dan proses diskusi bisa menjadi kacau. Data tuturan 25 juga dimaksudkan untuk menyindir mitra tutur penyaji yang menjelaskan materi terlalu cepat dan hal itu bisa menjatuhkan muka mitra tutur dihadapan dosen dan peserta diskusi yang lain karena jika dilihat cara penutur menuturkannya, penutur telah melanggar strategi kesantunan Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55, dimana penutur seharusnya dapat menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan posirif yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur, dimana muka positif yaitu keinginan setiap orang untuk dihargai hal-hal yang dilakukannya. Tuturan seperti itu, membuat mitra tutur menjadi tertekan dan bisa terpancing emosinya karena penutur tiba-tiba menyela pembicaraanya tanpa didahului diksi yang mencerminkan kesantunan Pranowo 2012: 104, seperti ”maaf” atau “tolong” agar tidak menyakiti hati mitra tuturnya. Tuturan tersebut juga memperlihatkan bahwa penutur tidak menghargai atau memberikan simpati terhadap apa yang telah dilakukan oleh mitra tuturnya, penutur boleh saja berpendapat tetapi juga harus memperhatikan kesantunan agar tidak menyakiti dan terjadi pertentangan. Data tuturan 26 dituturkan oleh seorang peserta diskusi ketika penyaji sedang menjelaskan materi diskusi kelas mata kuliah retorika kelas A. Tuturan tersebut mengandung tindak tutur direktif, yakni tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini berupa perintah, permohonan, pemesanan, dll. Penutur peserta diskusi 1 meminta kepada mitra tutur peserta diskusi 2 untuk meminjamkannya bolpoin saat penyaji sedang menjelaskan materi dan dengan volume yang keras. Tuturan dari penutur peserta diskusi itu tentu menimbulkan kerugian bagi penyaji, itu dibuktikan ketika penyaji menjelaskan materi dan penutur justru mengatakan “pinjam bolpen” dengan volume yang dapat didengar oleh penyaji dan peserta diskusi yang lain. Mitra tutur penyaji merasa terganggu dengan hal tersebut dengan mengatakan “bisa dilanjutkan ?” yang dimaksudkan agar penutur peserta diskusi 1 tidak mengganggunya dengan tuturan seperti itu. Hal tersebut tentunya melanggar prinsip kesantunan Leech 1993: 168 terutama maksim kebijaksanaan, yakni tuturan seharusnya menguntungkan mitra tutur dan membuat kerugian pada diri sendiri sebesar mungkin, namun dalam tuturan ini justru sebaliknya, dalam tuturan “Ssstt ssstt pinjem bolpen ”, walaupun sebenarnya diksi itu masih dapat dikatakan santun, akan tetapi dikatakan pada saat penyaji masih berbicara memotong pembicaraan dan dengan volume yang keras sehingga hal itu jelas mengganggu jalannya diskusi yang menjadikan tuturan tersebut menjadi tidak santun. Penutur boleh saja meminjam sesuatu, tetapi harus memperhatikan konteks situasinya, misalnya pada saat jeda diskusi atau dengan volume yang lembut sehingga tidak terdengar sampai ke penyaji jadi penyaji tidak akan terganggu dengan tuturannya. Terlihat jika penutur menggagu mitra tuturnya seperti itu, jelas hal ini akan membuat muka mitra tuturnya terancam karena mengganggu dan dapat menyebabkan hilangnya konsentrasi untuk menjelaskan materi, hal itu juga membuat diskusi terhenti. Ketika bertutur seharusnya penutur memperhatikan strategi kesantunan dari Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55, dimana penutur seharusnya dapat menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan positif yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur. Pada tuturan tersebut, penutur terlihat tidak memberikan perhatian terhadap mitra tutur yang sedang menjelaskan materi di depan bahkan tidak memberikan simpati atas apa yang dilakukan mitra tutur yang telah susah payah mempersiapkan materi dan menjelaskan, penutur justru dengan santainya meminjam bolpoin ke temannya dengan volume yang keras dan membuat mitra tutur menghentikan penjelasannya bahkan menjadi emosi dengan penutur. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi saat diskusi kelas berlangsung karena akan sangat mengganggu dan membuat diskusi terhenti.

4.2.2.2 Pelanggaran Maksim Kedermawanan