Kesantunan berbahasa dalam kegiatan diskusi kelas mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma angkatan 2014.

(1)

ABSTRAK

Prabowo, Fendi Eko.2016. Kesantunan Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014. Skirpsi.Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini membahas tentang kesantunan berbahasa di ranah pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk tuturan yang santun dan tidak santun berdasarkan prinsip kesantunan berbahasa, serta mendeskripsikan penanda kesantunan berbahasa mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 dalam kegiatan diskusi kelas.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi gambaran kesantunan berbahasa mahasiswa dalam kegiatan diskusi kelas yang diperoleh langsung di prodi PBSI Universitas Sanata Dharma angkatan 2014. Data diambil selama bulan Februari dan Maret tahun 2015. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik rekam dan catat. Data kemudian diidentifikasi dan dianalisis menggunakan prinsip kesantunan dari kaidah kesantunan Leech dan strategi kesantunan Brown dan Levinson.

Peneliti menemukan bentuk tuturan yang santun dan tidak santun dalam diskusi kelas mahasiswa PBSI angkatan 2014 berdasarkan prinsip kesantunan. Bentuk tuturan santun adalah tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni 22 pematuhan terhadap maksim Leech, dengan rincian 8 tuturan pada maksim kebijaksanaan, 5 tuturan pada maksim kedermawanan, 6 tuturan pada maksim pujian dan 3 tuturan pada maksim kesepakatan, dalam setiap pematuhan tersebut juga telah mematuhi strategi kesantunan Brown dan Levinson, dengan 21 tuturan mematuhi kesantunan positif dan 1 tuturan kesantunan negatif. Bentuk tuturan yang tidak santun adalah tuturan yang melanggar prinsip kesantunan, yakni 48 pelanggaran terhadap maksim Leech, dengan rincian 11 tuturan pada maksim kebijaksanaan, 9 tuturan pada maksim kedermawanan, 11 tuturan pada maksim pujian, 4 tuturan pada maksim kerendahan hati, 5 tuturan pada maksim kesepakatan dan 8 tuturan pada maksim kesimpatisan, dalam setiap pelanggaran tersebut juga terjadi pelanggaran terhadap strategi kesantunan Brown dan Levinson, strategi yang dilanggar adalah strategi kesantunan positif.

Dari tuturan yang telah dianalisis, peneliti menemukan bentuk-bentuk tuturan yang santun dan tidak santun kemudian menemukan penanda kesantunan berbahasa dalam kegiatan diskusi kelas mahasiswa PBSI angkatan 2014.

Kata kunci: kesantunan berbahasa, prinsip kesantunan berbahasa, bentuk tuturan santun, bentuk tuturan tidak santun, penanda kesantunan berbahasa


(2)

ABSTRACT

Prabowo, Fendi Eko. 2016. Language Politeness in Class Discussions of the PBSI Students of Sanata Dharma University, Class of 2014. Thesis.Yogyakarta. Indonesian Language and Literature Education Study Program,teachers’ Training and Education Faculty, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This research discussed language politeness in the realm of learning. This research was aimed to describe polite speeches an impolite speeches based on language politeness principles and to describe language politeness markers of PBSI students of Sanata Dharma University class of 2014 in class discussions.

The research was a descriptive qualitative research because this research was a description of students’ language politeness in class discussions taken directly in PBSI study program of Sanata Dharma University, class of 2014. The data were collected in February and March 2015. The research data were collected using recording and note-taking techniques. The recording technique was used to rewrite an object in the forms of speeches produced in class discussions. The note-taking technique was used to minimize the loss of data. Then, the data were identified and analyzed using Leech’s rules of politeness and Brown and Levinson’s politeness strategy.

The researcher found some polite and impolite speeches in class discussions of the PBSI students, class of 2014 based on the language politeness principles. Polite speeches were speeches that met the politeness principles, i.e. 22 adherences to the maxims of Leech, consisting of 8 speeches to the maxim of wisdom, 5 speeches to the maxim of generosity, 6 speeches to the maxim of compliment, and 3 speeches to the maxim of agreement. Each adherence was in accordance with the Brown and Levinson’s politeness strategy in which 21 speeches were in positive politeness and 1 speech was in negative politeness. Impolite speeches were speeches that did not meet the politeness principles, i.e. 48 misuses to the maxim of Leech consisting of 11 speeches to the maxim of wisdom, 9 speeches to the maxim of generosity, 11 speeches to the maxim of compliment, 4 speeches to the maxim of humility, 5 speeches to the maxim of agreement, and 8 speeches to the maxim of sympathy. Each misuse was in accordance with the misuse of the Brown and Levinson’s politeness strategy, in which the strategy broken was the strategy of positive politeness.

From the analyzed speeches, the researcher found kinds of polite speeches and impolite speeches and then found the language politeness markers in PBSI students’ class discussions, class of 2014.

Keywords: language politeness, language politeness principles, kinds of polite speeches, kinds of impolite speeches, language politeness markers.


(3)

i

KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KEGIATAN DISKUSI KELAS MAHASISWA PBSI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

ANGKATAN 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh :

Fendi Eko Prabowo 111224075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

iii SKRIPSI


(6)

iv MOTO

Tak Ada yang Perlu Kau Kalahkan Kecuali Dirimu Sendiri.

(Archer-Fate Stay Night)

Jika Kamu Takut Membuat Dirimu Berisiko, maka Kamu Takkan

Mampu Menciptakan Masa Depan untuk Dirimu.


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada

orang tua dan keluargaku.


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Februari 2016 Penulis,


(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Fendi Eko Prabowo

Nomor Mahasiswa : 111224075

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KEGIATAN DISKUSI KELAS MAHASISWA PBSI UNIVERSITAS SANATA DHARMA ANGKATAN

2014”

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 26 februari 2016

Yang menyatakan,


(10)

viii ABSTRAK

Prabowo, Fendi Eko.2016. Kesantunan Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014. Skirpsi.Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini membahas tentang kesantunan berbahasa di ranah pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk tuturan yang santun dan tidak santun berdasarkan prinsip kesantunan berbahasa, serta mendeskripsikan penanda kesantunan berbahasa mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 dalam kegiatan diskusi kelas.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi gambaran kesantunan berbahasa mahasiswa dalam kegiatan diskusi kelas yang diperoleh langsung di prodi PBSI Universitas Sanata Dharma angkatan 2014. Data diambil selama bulan Februari dan Maret tahun 2015. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik rekam dan catat. Data kemudian diidentifikasi dan dianalisis menggunakan prinsip kesantunan dari kaidah kesantunan Leech dan strategi kesantunan Brown dan Levinson.

Peneliti menemukan bentuk tuturan yang santun dan tidak santun dalam diskusi kelas mahasiswa PBSI angkatan 2014 berdasarkan prinsip kesantunan. Bentuk tuturan santun adalah tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni 22 pematuhan terhadap maksim Leech, dengan rincian 8 tuturan pada maksim kebijaksanaan, 5 tuturan pada maksim kedermawanan, 6 tuturan pada maksim pujian dan 3 tuturan pada maksim kesepakatan, dalam setiap pematuhan tersebut juga telah mematuhi strategi kesantunan Brown dan Levinson, dengan 21 tuturan mematuhi kesantunan positif dan 1 tuturan kesantunan negatif. Bentuk tuturan yang tidak santun adalah tuturan yang melanggar prinsip kesantunan, yakni 48 pelanggaran terhadap maksim Leech, dengan rincian 11 tuturan pada maksim kebijaksanaan, 9 tuturan pada maksim kedermawanan, 11 tuturan pada maksim pujian, 4 tuturan pada maksim kerendahan hati, 5 tuturan pada maksim kesepakatan dan 8 tuturan pada maksim kesimpatisan, dalam setiap pelanggaran tersebut juga terjadi pelanggaran terhadap strategi kesantunan Brown dan Levinson, strategi yang dilanggar adalah strategi kesantunan positif.

Dari tuturan yang telah dianalisis, peneliti menemukan bentuk-bentuk tuturan yang santun dan tidak santun kemudian menemukan penanda kesantunan berbahasa dalam kegiatan diskusi kelas mahasiswa PBSI angkatan 2014.

Kata kunci: kesantunan berbahasa, prinsip kesantunan berbahasa, bentuk tuturan santun, bentuk tuturan tidak santun, penanda kesantunan berbahasa


(11)

ix ABSTRACT

Prabowo, Fendi Eko. 2016. Language Politeness in Class Discussions of the PBSI Students of Sanata Dharma University, Class of 2014. Thesis.Yogyakarta. Indonesian Language and Literature Education Study Program,teachers‟ Training and Education Faculty, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This research discussed language politeness in the realm of learning. This research was aimed to describe polite speeches an impolite speeches based on language politeness principles and to describe language politeness markers of PBSI students of Sanata Dharma University class of 2014 in class discussions.

The research was a descriptive qualitative research because this research

was a description of students‟ language politeness in class discussions taken

directly in PBSI study program of Sanata Dharma University, class of 2014. The data were collected in February and March 2015. The research data were collected using recording and note-taking techniques. The recording technique was used to rewrite an object in the forms of speeches produced in class discussions. The note-taking technique was used to minimize the loss of data. Then, the data were

identified and analyzed using Leech‟s rules of politeness and Brown and Levinson‟s politeness strategy.

The researcher found some polite and impolite speeches in class discussions of the PBSI students, class of 2014 based on the language politeness principles. Polite speeches were speeches that met the politeness principles, i.e. 22 adherences to the maxims of Leech, consisting of 8 speeches to the maxim of wisdom, 5 speeches to the maxim of generosity, 6 speeches to the maxim of compliment, and 3 speeches to the maxim of agreement. Each adherence was in

accordance with the Brown and Levinson‟s politeness strategy in which 21

speeches were in positive politeness and 1 speech was in negative politeness. Impolite speeches were speeches that did not meet the politeness principles, i.e. 48 misuses to the maxim of Leech consisting of 11 speeches to the maxim of wisdom, 9 speeches to the maxim of generosity, 11 speeches to the maxim of compliment, 4 speeches to the maxim of humility, 5 speeches to the maxim of agreement, and 8 speeches to the maxim of sympathy. Each misuse was in

accordance with the misuse of the Brown and Levinson‟s politeness strategy, in

which the strategy broken was the strategy of positive politeness.

From the analyzed speeches, the researcher found kinds of polite speeches and impolite speeches and then found the language politeness markers in PBSI

students‟ class discussions, class of 2014.

Keywords: language politeness, language politeness principles, kinds of polite speeches, kinds of impolite speeches, language politeness markers.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rakmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kesantunan Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi Kelas

Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014”. Penyusunan

skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini memberikan bantuan, bimbingan, nasihat, motivasi, dorongan, dukungan doa, dan kerja sama yang tidak ternilai harganya dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku dekan FKIP Universitas Sana Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Kaprodi PBSI yang telah memberikan

motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

3. Prof Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, kesabaran, dan motivasi selama membimbing penulis.

4. Seluruh dosen PBSI yang telah memberikan banyak ilmu penegtahuan dan wawasan kepada penulis selama belajar di Prodi PBSI, sehingga penulis memiliki bekal menjadi pengajar yang cerdas, humanis, dan professional. 5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan

buku-buku sebagai penunjang penulis menyelesaikan skripsi.

6. Karyawan sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam hal meneyelesaikan skripsi.


(13)

xi

7. Orang tua saya, Bapak Tohar dan Ibu Sugiyanti yang telah memberikan doa, semangat, dan memotivasi penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi.

8. Sahabat-sahabatku, Wahyu Krisna, Petrus Danang, Yunus Bayu, Andi Marwanto yang telah memberikan motivasi, semangat, dan kerjasamanya. 9. Teman-teman PBSI angkatan 2011 yang banyak memberikan masukan,

informasi, serta dukungan kepada penulis.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis sampai menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan bagi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi kajian yang bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 26 Februari 2016 Penulis,


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Ruang Lingkup... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Batasan Istilah ... 7

1.7 Sistematika Penyajian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Penelitian yang Relevan ... 9

2.2 Kajian Teoretis 2.2.1 Kesantunan Berbahasa ... 10

2.2.1.1 Pragmatik ... 10


(15)

xiii

2.2.1.1.2 Tindak Tutur ... 15

2.2.1.1.3 Kaidah Kesantunan Berbahasa ... 22

1. Grice ... 23

2. Brown dan Levinson ... 27

3. Geoffrey Leech ... 31

2.2.1.2 Diskusi ... 42

2.3 Kerangka Berfikir ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1 Jenis Penelitian... 49

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 50

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.4 Instrumen Penelitian ... 51

3.5 Teknik Analisis Data... 52

3.6 Triangulasi Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Deskripsi Data ... 55

4.2 Analisis Data ... 57

4.2.1 Analisis Pematuhan Data Tuturan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Angkatan 2014 Berdasarkan Prinsip Kesantunan ... 57

4.2.1.1 Pematuhan Maksim Kebijaksanaan ... 57

4.2.1.2 Pematuhan Maksim Kedermawanan ... 66

4.2.1.3 Maksim Pujian ... 72

4.2.1.4 Maksim Kesepakatan ... 78

4.2.2 Analisis Pelanggaran Data Tuturan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Angkatan 2014 Berdasarkan Prinsip Kesantunanan ... 82

4.2.2.1 Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan ... 82

4.2.2.2 Pelanggaran Maksim Kedermawanan ... 90

4.2.2.3 Pelanggaran Maksim Pujian ... 97

4.2.2.4 Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati ...102


(16)

xiv

4.2.2.6 Pelanggaran Maksim Kesimpatisan ...110

4.3 Pembahasan...119

4.3.1 Tuturan Santun ...120

4.3.2 Tuturan Tidak Santun ...128

4.3.3 Penanda Ketidaksantunan berbahasa ...139

4.3.4 Penanda Tuturan Santun ...146

BAB V PENUTUP ...152

5.1 Simpulan ...152

5.2 Saran ...154

DAFTAR PUSTAKA ...156

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...158

Lampiran 1. Transkrip Tuturan Diskusi Kelas ...159

Lampiran 2. Data Triangulasi Prinsip Kesantunan Berbahasa ...191


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pematuhan Prinsip Kesantunan Berbahasa dan Strategi

Kesantunan... 56 Tabel 2. Penyimpangan Prinsip Kesantunan Berbahasa dan Strategi


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan sarana manusia untuk berkomunikasi. Dengan begitu, bahasa mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu berinteraksi dengan sesamanya. Sesuai dengan fungsinya, bahasa memiliki peran sebagai penyampai pesan antara manusia satu dengan lainnya. Dalam berkomunikasi, menurut Hendrikus (1991: 40) manusia melakukan proses pengalihan makna antar pribadi atau tukar-menukar berita dalam sistem informasi, dengan demikian manusia seharusnya menggunakan bahasa yang santun, karena dalam proses komunikasi tidak hanya satu pihak yang terlibat. Dengan berbahasa santun, seseorang mampu menjaga harkat dan martabat dirinya dan menghormati mitra tutur sehingga proses komunikasi bisa berjalan dengan lancar. Sebenarnya santun tidaknya tuturan dapat diketahui dari pilihan kata dan gaya bahasanya. Lebih spesifik Leech membuat penanda yang dapat dijadikan penentu santun tidaknya pemakaian bahasa. Penanda tersebut terlihat pada prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech dalam Rahardi (2005: 59-65) yakni maksim kebijaksanaan “tact

maxim”, maksim kedermawanan “generosity maxim”, maksim penghargaan

“approbation maxim”, maksim kesederhanaan “modesty maxim”, maksim


(19)

Dalam tuturan bahasa Indonesia, sebenarnya tuturan sudah dianggap santun jika penutur menggunakan kata-kata yang santun, tuturannya tidak mengandung ejekan secara langsung, tidak memerintah secara langsung, serta menghormati orang lain. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa ini perlu dikaji guna mengetahui seberapa banyak kesalahan atau penyimpangan kesantunan berbahasa pada manusia ketika berkomunikasi satu sama lain. Kesalahan-kesalahan atau penyimpangan dalam berbahasa secara santun sering terjadi dalam kehidupan manusia, karena manusia selalu melakukan komunikasi dan berinteraksi satu sama lain dengan bahasa sebagai sarana. Komunikasi dan interaksi tersebut bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, baik lingkup formal maupun nonformal. Terlebih di perguruan tinggi yang merupakan lingkungan pendidikan masih sering dijumpai kesalahan atau penyimpangan dalam berbahasa santun, hal itu dapat dilihat dalam proses pembelajaran di dalam kelas.

Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang ketika sedang berkomunikasi atau berinteraksi. Penutur bisa beranggapan bahwa tuturannya sudah santun, padahal bagi mitra tutur belum tentu tuturan itu santun. Kasus – kasus seperti inilah yang membuat kesantunan berbahasa menjadi penting untuk dikaji dan diketahui agar komunikasi berjalan lancar dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Dalam kegiatan perkuliahan, keterampilan berbicara tentu sangat diperlukan karena setiap mahasiswa haruslah dapat berbicara dengan baik agar proses pembelajaran di kelas berjalan lancar, selain itu berbicara juga merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai setiap mahasiswa terlebih


(20)

jurusan bahasa Indonesia. Dalam perkuliahan, tentunya kesempatan berbicara diberikan kepada mahasiswa lebih banyak, dibandingkan waktu di sekolah dasar atau menengah. Kegiatan pembelajarannya pun banyak yang berhubungan dengan berbicara, seperti berdiskusi, debat, wawancara, mengungkapkan atau menyanggah gagasan, dsb. Dilihat dari hal tersebut jelas terlihat pentingnya keterampilan berbicara bagi mahasiswa.

Salah satu permasalahan yang ditemukan dalam perkuliahan terkait keterampilan berbicara yakni diskusi. Menurut Parera (1988: 183) diskusi merupakan satu bentuk pembicaraan secara teratur dan terarah, dimana terjadi proses saling bertukar pikiran secara lisan. Akan tetapi, pada kenyataanya sering muncul penggunanan bahasa-bahasa yang kurang santun dalam mengemukakan atau menyanggah gagasan. Apalagi dalam lingkup perkuliahan tentu banyak mahasiswa dengan latar belakang dan budaya yang berbeda. Jadi sering dijumpai penggunanan bahasa yang dikira santun oleh penutur tetapi justru sebaliknya oleh mitra tutur. Oleh sebab itu, dalam kegiatan perkuliahan yang mayoritas dosen menggunakan teknik berdiskusi ketika pembelajaran, diperlukan cara berdiskusi yang santun dan pilihan kata yang tepat atau santun ketika berbicara kepada orang lain, agar bisa saling menghormati dan kegiatan berdiskusi berjalan lancar tidak menjurus ke arah debat karena kedua hal tersebut berbeda.

Berdasarkan pengamatan dan wawancara beberapa dosen, pada saat kegiatan perkuliahan terutama ketika berdiskusi, masih sering dijumpai kesalahan atau penyimpangan dalam berbahasa mahasiswa. Ketika kegiatan berdiskusi dimulai ternyata masih banyak yang tidak memperhatikan kesantunan berbahasa,


(21)

meskipun ada beberapa yang memperhatikannya. Di dalam proses diskusi, biasanya terdapat dua kelompok yakni yang menyajikan masalah yang akan dibahas dan yang menanggapi (peserta diskusi). Kenyataanya, kedua kelompok ini justru kurang saling menghargai. Masih banyak dijumpai tuturan yang tidak santun, bahkan ada yang berupa sindiran, ejekan atau bantahan yang kasar dan membuat diskusi tidak berjalan dengan semestinya forum formal.

Berdasarkan pengamatan terhadap mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma angkatan 2014, jurusan ini dapat digunakan sebagai objek penelitian. Mahasiswa masih sering menggunakan bahasa yang tidak santun ketika terjadi proses diskusi, diskusi adalah keterampilan berbicara yang harus dikuasai mahasiswa jurusan ini, karena berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Namun, penelitian yang akan dilakukan cenderung ke mahasiswa angkatan baru, hal ini dikarenakan ketidaktahuan tata cara berdiskusi yang santun dan tuturan yang santun. Apalagi mahasiswa angkatan baru tentu masih terbawa suasana sekolah dan mudah terpengaruh ragam bahasa yang tidak santun dan rentang umur yang masih muda, jadi mereka akan lebih mudah terpenngaruh. Oleh karena itu, peneliti akan menganalisis penggunaan dan penyimpangan prinsip-prinsip kesantun berbahasa pada kegiatan diskusi kelas, khususnya pada keterampilan berbicara teknik diskusi.


(22)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah “Kesantunan Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014”. Berdasarkan rumusan masalah utama tersebut, disusun submasalah sebagai berikut:

a) Bagaimanakah kesantunan berbahasa dalam tuturan kegiatan diskusi kelas mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 berdasarkan prinsip kesantunan ?

b) Apa sajakah penanda kesantunan berbahasa yang ada dalam tuturan kegiatan diskusi kelas mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma angatan 2014 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Mendiskripsikan kesantunan berbahasa dalam tuturan mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 pada kegiatan diskusi kelas.

b) Mendiskripsikan penanda kesantunan berbahasa dalam tuturan mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 pada kegiatan diskusi kelas.

1.4 Ruang Lingkup


(23)

a) Penelitian ini hanya mendiskripsikan kesantunan berbahasa dan penyebab ketidaksantunan berbahasa dalam tuturan mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 pada kegiatan diskusi kelas.

b) Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

c) Kegiatan diskusi kelas yang diteliti hanya mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma angkatan 2014

d) Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu februari – maret 2015

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai kesantunan berbahasa dalam suatu lingkungan atau forum formal seperti kegiatan diskusi kelas pada mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan untuk lebih memehami bidang pragmatik khususnya mengenai kesantunan berbahasa. Penelitian ini juga dapat menjadi acuan dalam penelitian-penelitian bidang pragmatik.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat digunakan untuk melatih keterampilan berbicara, khususnya berbahasa secara santun dalam proses komunikasi di lingkup formal (pembelajaran), serta memberikan gambaran mengenai diskusi yang lebih baik.


(24)

1.6 Batasan Istilah a. Tuturan

Tuturan adalah semua bentuk bahasa lisan yang diucapkan ketika terjadi proses komunikasi. Penutur dan mitra tutur dalam bahasa lisan disini adalah mahasiswa.

b. Pematuhan kesantunan berbahasa

Pematuhan kesantunan berbahasa adalah bentuk sebuah tuturan yang dianggap santun dengan didasarkan pada prinsip kesantunan.

c. Pelanggaran kesantunan berbahasa

Pelanggaran kesantunan berbahasa adalah bentuk sebuah tuturan yang dianggap tidak santun dengan didasarkan pada prinsip kesantunan.

d. Indikator kesantunan berbahasa

Indikator kesantunan berbahasa dalam Pranowo (2012: 100) penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak. Penanda-penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan maupun non kebahasaan.

e. Diskusi kelas

Diskusi kelas merupakan kegiatan bertukar pendapat yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang melibatkan para siswa. Tujuan kegiatan diskusi ini adalah untuk memecahkan suatu masalah secara bersama-sama.


(25)

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian ini terdiri dari Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, Bab V, dan Daftar Pustaka. Bab I yaitu mengenai pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II yaitu kajian pustaka yang menguraikan kerangka teori.

Bab III yaitu metodologi penelitian. Bab ini berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan metode dalam penelitian, yaitu (1) jenis penelitian, (2) sumber data, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, (6) triangulasi data.

Bab IV yaitu hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini berisi tentang analisis data dan pembahasan. Bab ini menguraikan deskripsi data dan pembahasan hasil data sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan. Bab V berisi kesimpulan, implikasi, dan saran.


(26)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, konteks, tindak tutur, teori kesantunan, dan uraian tentang diskusi. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah.

2.1Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung proses pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan, terdapat dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oktafiana Kurniawati yang berjudul Analisis Pemanfaatan Prinsip Kesantunan Berbahasa Pada Kegiatan Diskusi Kelas Siswa Kelas XI SMAN 1 Sleman. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini Oktafiana mendiskripsikan pemakaian prinsip kesantunan berbahasa dan pemanfaatannya dalam kegiatan diskusi siswa kelas 2 SMA. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada pengkajian kesantunan berbahasa, sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitiannya. Penelitian dari Oktafiana ini bersumber pada tuturan dari siswa kelas 2 SMA, sedangkan penelitian saya bersumber pada tuturan dari mahasiswa angkatan 2014, dari uraian di atas membuktikan bahwa penelitian


(27)

ini belum pernah dikaji dan penelitian ini layak untuk diangkat sebagai penelitian.

Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian dari Puspa Rinda Silalahi yang berjudul Analisis Kesantunan Berbahasa Siswa/i Di Lingkungan Sekolah SMPN 5 Binjai. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini, Puspa mendeskripsikan semua tuturan yang terjadi di lingkungan sekolah baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada pengkajian kesantunan berbahasa, sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitiannya. Penelitian dari Puspa bersumber dari semua tuturan yang terjadi di SMPN 5 Binjai baik di kelas maupun di luar kelas, sedangkan penelitain saya bersumber dari tuturan diskusi yang terjadi di dalam kelas.

2.2Kajian Teoritis

2.2.1 Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu bidang kajian dalam pragmatik, dimana pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Dari hal tersebut, maka ketika seseorang mengkaji mengenai kesantunan berbahasa berarti juga membicarakan mengenai pragmatik.

2.2.1.1Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) atau dapat dikatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Thomas


(28)

mendefinisikan pragmatik sebagai makna dalam interaksi. Menurutnya suatu makna bukanlah yang melekat pada suatu kata, tetapi merupakan proses dinamis yang melibatkan penutur dan petutur, konteks tuturan, dan makna potensial dari suatu tuturan (1996: 22). Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkondifikasikan sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya. Karena yang dikaji adalah makna bahasa, pragmatik dapat dikatakan sejajar dengan semantik.

Akan tetapi, kedua disiplin ilmu ini memiliki perbedaan yang mendasar. Semantik menelaah makna sebagai relasi dua segi (diadic relation), sedangkan pragmatik menelaah makna sebagai relasi tiga segi (triadic relation). Makna yang dikaji semantik adalah makna linguistik (linguistic meaning) atau makna semantik (semantic sense), sedangkan makna yang dikaji pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning) atau (speaker sense) Parker dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 3).

Analisis tuturan (1) dan (2) di bawah ini mengilustrasikan pernyataan tersebut.

(1) “Rokok saya habis.” (2) “Joko, helmnya di mana?”

Dilihat secara struktural, kedua tuturan itu masing-masing adalah tuturan berita dan pertanyaan. Secara semantis, tuturan (1) bermakna

‟seseorang yang kehabisan rokok‟ dan tuturan (2) bermakna ‟helmnya berada di mana‟. Tuturan (1) menginformasikan sesuatu kepada lawan tutur,


(29)

sedangkan penutur dalam tuturan (2) ingin mendapatkan informasi dari mitra tuturnya. Kedua tuturan itu bila dianalisis secara pragmatis dengan mencermati konteks pemakaiannya akan didapatkan hasil yang berbeda. Misalnya, tuturan (1) dituturkan oleh seorang pemuda kepada temannya yang sama-sama perokok sewaktu akan merokok. Tuturan tersebut dituturkan bukan semata-mata untuk menginformasikan sesuatu, tetapi dimaksudkan untuk meminta sebatang rokok kepada temannya. Demikian pula halnya bila tuturan (2) dituturkan oleh seorang bapak kepada anaknya, tuturan itu tidak dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dari lawan tutur, melainkan dimaksudkan untuk menyuruh mitra tutur mengambilkan helm.

Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melakukan studi pragmatik, seseorang harus mengupayakan maksud dari penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat di balik tuturan, juga konteks yang terjadi saat tuturan berlangsung. Konteks diperlukan oleh pragmatik. Tanpa konteks, analisis pragmatik tidak akan berjalan, karena daya pragmatik itu bergantung pada konteks yang berlangsung pada waktu tuturan diujarkan dalam sebuah peritiwa tutur. 2.2.1.1.1 Konteks

Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi (Mulyana: 2005: 21). Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa. Pentingnya konteks dalam pragmatik ditekankan oleh Wijaya (1996: 2) yang


(30)

menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks, dan oleh Searle, Kiefer dan Bierwich dalam Nadar (2009: 5) yang menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way in which the interpretation of syntactically defined expression depend on the particular conditions of their use in the context (Pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi unkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaa ungkapan tersebut dalam konteks). Jadi dalam melakukan studi pragmatik ataupun bidang kajian pragmatik, harus diperhatikan antara penutur, mitra tutur dan konteks. Dimana ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan dalam studi pragmatik. Ringkasnya, Leech (1993: 8) mendefinisikan pragmatik sebagai

“studi makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar”.

Leech (1993: 19–21) mengungkapkan bahwa situasi ujar/tutur terdiri atas beberapa aspek.

1. Penutur dan mitra tutur

Aspek-aspek yang perlu dicermati dari penutur dan mitra tutur adalah jenis kelamin, umur, daerah asal, tingkat keakraban, dan latar belakang sosial budaya lainnya yang dapat menjadi penentu hadirnya makna sebuah tuturan. 2. Konteks tuturan

Konteks tuturan dalam penelitian linguistik mencakup semua aspek fisik dan seting sosial yang relevan dari sebuah tuturan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Dalam kerangka pragmatik, konteks merupakan semua latar belakang


(31)

pengetahuan yang diasumsikan dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung untuk menginterpretasikan maksud penutur dalam tuturannya.

3. Tujuan tuturan

Bentuk-bentuk tuturan muncul karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dengan kata lain, penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Secara pragmatik, satu bentuk tuturan dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Sebaliknya, satu maksud atau tujuan tuturan akan dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan

Pragmatik menangani bahasa dalam suatu tingkatan yang lebih konkret dibandingkan dengan gramatika. Tuturan disebut sebagai suatu tindakan konkret (tindak tutur) dalam suasana tertentu. Segala hal yang berkaitan dengannya, seperti jati diri penutur dan mitra tutur yang terlibat, waktu, dan tempat dapat diketahui secara jelas.

5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan pada dasarnya adalah hasil tindak verbal dalam aktivitas bertutur sapa. Oleh sebab itu, tuturan dibedakan dengan kalimat. Kalimat adalah entitas produk struktural, sedangkan tuturan adalah produk dari suatu tindak verbal yang muncul dari suatu pertuturan.


(32)

2.2.1.1.2 Tindak Tutur

Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan itu (Yule, 2006: 81). Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut tindak tutur.

Tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindak saling berhubungan. (1) Tindak lokusi, yang merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna. (2) Tindak ilokusi, ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Kita membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam pikiran. Misalnya, kita menuturkan untuk membuat suatu pertanyaan, tawaran, penjelasan atau maksud-maksud komunikatif lainnya dari kalimat atau ujaran yang kita sampaikan kepada lawan tutur kita. (3) Tindak perlokusi merupakan akibat dari tuturan yang memiliki fungsi dari penutur, dengan bergantung pada keadaan, penutur berasumsi bahwa mitra tutur atau pendengar akan mengenali akibat yang ditimbulakan (misalnya untuk menerangkan aroma, atau meminta pendengar untuk meminum kopi yang telah dibuat).

Menurut George Yule (2006: 92-94), jenis-jenis tindak tutur ada 5 jenis yaitu, deklarasi, resentatif, ekspresif, direktif, dan komisif.

1. Deklarasi


(33)

Contoh:

Wasit : "Anda ke luar!".

Contoh di atas menggambarkan, penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu mengubah deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

2. Representatif

Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan (termasuk dalam modus berita). Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.

Contoh: "Chomsky tidak menulis tentang kacang".

Pernyataan di atas merupakan pernyataan suatu fakta dan penegasan, bahwa Chomsky diyakini oleh penutur tidak menulis tentang kacang. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

3. Ekspresif

Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan.

Contoh: "Sungguh saya minta maaf".

Pada contoh tersebut, tindak tutur itu disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuannya menyangkut


(34)

pengalaman penutur. Pada waktu menggunakan ekspresif penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya).

4. Direktif

Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, yang bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif.

Contoh: Dapatkah anda meminjami saya sebuah pena?

Contoh di atas merupakan permohonan dari penutur terhadap mitra tutur. Pada waktu menggunakan direktif penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar).

5. Komisif

Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk meningkatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan lain sebagainya. Tindak tutur ini dapat ditampilakan sendiri oleh penutur sebagai anggota kelompok.

Contoh: "Saya akan kembali".

Contoh di atas merupakan tindak tutur yang berupa janji. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).


(35)

Sejalan dengan itu Searle dalam Leech (1993: 163) mengklasifikasikan tindakan ilokusi berdasarkan pada berbagai kriteria. Secara garis besar, kategori Searle dalam Leech (1993: 164-165) ialah sebagai berikut.

1. Asertif

Pada ilokusi ini penutur terikan pada kebenaran tuturan yang diujarkan. Tuturan ilokusi ini misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.

2. Direktif

Ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur. Ilokusi ini misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasehat.

3. Komisif

Pada ilokusi ini penutur sedikit banyak terikan pada suatu tindakan di masa depan. Ilokusi in misalnya, menjajikan, menawarkan, berkaul.jenis ilokusi ini tidak mengacu pada kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan petutur.

4. Ekspresif

Ilokusi ini berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Ilokusi ini misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.


(36)

5. Deklarasi

Jika pelaksanan ilokusi ini berhasil maka akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi tuturan dengan kenyataan. Ilokusi ini misalnya, mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai) dan sebagainya.

Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya terangkum dalam tabel berikut Yule (2006: 94-95).

Tabel 1

5 Fungsi Umum Tindak Tutur

Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P=penutur X=situasi

Deklarasi Kata mengubah dunia P menyababkan X

Ref\presentatif/ Asertif Kata disesuaikan dengan dunia P menyakini X Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X Direktif Kata disesuaikan dengan kata P menginginkan X Komisif Kata disesuaikan dengan kata P memaksudkan X

Terdapat 3 bentuk struktural, yakni : deklaratif, interogatif, dan imperatif. Selain itu juga terdapat tiga fungsi komunikasi, yakni : pernyataan, pertanyaan, perintah. Jika terdapat hubungan antara struktur dengan fungsi, maka terdapat suatu tindak tutur langsung dan apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dengan fungsi maka terdapat suatu tindak tutur tidak langsung (Yule, 2006: 92-94).


(37)

Contoh:

Konteks : Kamar Putri begitu kotor, terlihat kertas-kertas berserakan dan lantai yang berdebu.

1. Bersihkan kamarmu! (tindak tutur langsung)

2. Apa tidak malu jika nanti temanmu datang ke kamar? (tindak tutur tidak langsung)

3. Biasanya kamar anak perempuan selalu bersih. (tindak tutur tidak langsung) Putu Wijana dan Rohmadi (2009: 28-30) membagi tindak tutur berdasarkan kesesuaian maksud pembicara dengan makna kata-kata yang menyusunnya, yang dimaksud disini adalah tindak tutur literal dan non literal :

1. Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya (makna secara semantis).

2. Tindak tutur nonliteral adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.

Contoh tindak tutur literal:

Konteks : Ketika melewati rumah Reno, Siti melihat mobil Reno yang telah selesai dicucinya.

Wahyu : wah, mobilmu bersih sekali. Contoh tindak tutur nonliteral:

Konteks : Reno mengendarai mobilnya saat hujan turun dan melewati jalanan yang becek.


(38)

Terdapat beberapa macam tindak tutur lainnya yang timbul karena adanya persinggungan atau keterkaitan antara tindak tutur langsung-tidak langsung dengan tindak tutur literal-tidak literal. Bentuk-bentuk tindak tutur tersebut antara lain:

1. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang modus tuturan (berkaitan dengan jenis kalimat yang digunakan) memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

Contoh :

Konteks : Didalam kelas, para siswa membuat gaduh saat pelajaran berlangsung.

Guru : Anak-anak diam!

2. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur.

Contoh :

Konteks : Nia dan Riri akan melakukan perjalanan menuju rumah Reno, padahal cuaca saat itu mendung dan angin berhembus sangat kencang. Nia : Ri, dengan cuaca yang seperti ini, tidak mungkin kita melakukan perjalanan.


(39)

3. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

Contoh:

Konteks : Riri dan Reno sedang duduk berdua di kantin. Riri sedang serius menghabiskan makanannya, tetapi Reno asik mencurahkan isi hatinya kepada Riri.

Riri : Bicara saja terus!

4. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

Tindak tutur tidak langsung tidak literal merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.

Contoh :

Konteks: Pukul 07:30 WIB, Nia baru sampai kelas. Padahal pelajaran sudah dimulai pukul 07:00 WIB.

Dosen : Sekarang jam berapa ?

2.2.1.1.3 Kaidah Kesantunan Berbahasa

Ada berbagai ukuran untuk menilai atau mengukur apakah sebuah tuturan dinilai santun atau tidak. Selain unsur bahasa, unsur di luar bahasa sangat berpengaruh dalam penentuan kesantunan berbahasa ini. Pranowo (2012: 51) mengungkapkan beberapa alasan mengapa fenomena kesantunan


(40)

dan ketidaksantunan terus terjadi di masyarakat, antara lain (1) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (2) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, (3) ada yang mahir menggunakan kaidah kesantunan tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan dan (4) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir dalam kesantunan.

Kaidah dalam kesantunan memang sulit dibuat, karena jika kaidah kesantunan disusun, dalam praktiknya akan banyak dilanggar sehingga kaidah menjadi tidak efektif dan tidak fungsional. Kelaziman yang dipakai oleh para pakar pragmatik untuk menyebut istilah kaidah digunakan istilah lain, seperti prinsip (Grice,1975), keteraturan (Brown dan Levinson,1978), maksim (Leech, 1983).

Beberapa parameter yang dibuat para pakar pragmatik untuk mengetahui kesantunan tersebut akan diuraikan pada bagian di bawah ini. 1. Prinsip Kerja Sama Grice

Agar tuturan dapat diterima secara efektif, peserta tutur patut mempertimbangkan secara seksama aspek-aspek pragmatik yang terlibat atau mungkin terlibat dalam suatu proses komunikasi. Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti yang dikemukakan oleh Grice dalam Chaer (2010: 34). Dalam kajian pragmatik, prinsip itu disebut maksim, yakni berupa pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur diharapkan untuk menaati empat maksim kerjasama, yaitu maksim kuantitas


(41)

(maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim cara (maxim of manner).

Grice menjabarkan prinsip kerja sama menjadi empat maksim dan beberapa submaksim seperti di bawah ini.

1. Maksim kuantitas: Berilah jumlah informasi yang tepat. (a) Buatlah sumbangan Anda seinformatif mungkin.

(b) Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif daripada yang diinginkan.

2. Maksim kualitas: Cobalah membuat sumbangan atau kontribusi Anda merupakan suatu yang benar.

(a) Jangan katakan apa yang Anda yakini salah. (b) Jangan katakan apa yang Anda tidak tahu persis. 3. Maksim relasi: Jagalah kerelevansian.

4. Maksim cara: Tajamkanlah pikiran. (a) Hindarilah ketidakjelasan ekspresi. (b) Hindarilah ketaksaan (ambiguitas).

(c) Berilah laporan singkat (hindarilah laporan yang bertele-tele). (d) Tertib dan rapilah selalu.

Berikut uraian maksim-maksim kerja sama satu per satu oleh Chaer (2010: 34-38).

1) Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menjelaskan bahwa setiap penutur diharapkan memberi informasi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tutur.


(42)

Bagian-bagian tuturan yang sama sekali tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur akan dapat menandai pelanggaran maksim ini bila dipaksa untuk disampaikan. Jadi, jangan berlebihan.

Contoh:

A : Ayam saya sudah bertelur

B : Ayam saya yang betina telah bertelur

Tuturan A di atas telah menaati maksim kuantitas, sedangkan tuturan B tidak, karena berlebihan. Dengan adanya kata betina pada tuturan B yang sebenarnya tidak perlu, karena semua ayam yang bertelur sudah pasti betina. Jadi, kata betina pada tuturan itu memberi informasi yang tidak perlu.

2) Maksim Kualitas

Maksim kualitas menjelaskan bahwa setiap peserta tutur diharapkan menyampaikan sesuatu yang benar-benar nyata atau hal yang sebenarnya, hal yang sesuai dengan data dan fakta.

Contoh:

1) A: Coba kamu Ahmad, kota Makassar ada di mana ? B: Ada di Sulawesi selatan, Pak.

2) A: Deny, siapa presiden pertama Republik Indonesia ? B: Jendral Suharto, Pak!

A: Bagus, kalau begitu Bung Karno adalah presiden kedua, ya.

Tuturan (1) sudah menaati maksim kualitas karena kata Makassar memang berada di Sulawesi Selatan. Namun, pada tuturan (2) A memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas dengan mengatakan Bung Karno


(43)

adalah presiden kedua Republik Indonesia. Karena dengan kontribusi A yang melanggar itu, kemudian B secara cepat akan mencari jawaban mengapa A membuat pernyataan yang salah itu.

3) Maksim Relevansi

Maksim relevansi menjelaskan bahwa setiap peserta percakapan hendaknya memberikan kontribusi yang relevan dengan sesuatu yang sedang dipertuturkan.

(1) A: Bu, ada telepun untuk ibu ! B: Ibu sedang di kamar mandi, Nak.

(2) A: Pak, tadi ada tabrakan bajaj dan bemo di depan apotek B: Mana yang menang ?

Pada tuturan (1) sepintas jawaban B tidak berhubungan, namun bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban (1) B mengimplikasikan atau menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi. Maka B secara tidak langsung meminta agar si A menerima telpon itu. Bandingkan dengan komentar (2) B terhadap si A tidak ada relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua pihak sama-sama mengalami kerugian.

4) Maksim Cara

Maksim cara menjelaskan bahwa setiap peserta percakapan hendaknya selalu bertutur sapa secara langsung, secara jelas, tidak berlebih-lebihan, dan runtut.


(44)

Contoh:

(1) A: Kamu datang ke sini mau apa ? B: Mengambil hak saya.

(2) A: Barusan kamu dari mana ? B: Dari belakang, habis b-e-r-a-k

Pada tuturan (1) tidak menaati maksim cara karena bersifat ambigu. Kata hak saya bisa mengacu pada hak sepatu bisa juga pada sesuatu yang menjadi miliknya. Sedangkan pada tuturan (2) termasuk menaati maksim cara yaitu dengan mengeja huruf demi huruf kata berak. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.

Leech dalam Nadar (2008: 28) berpendapat bahwa prinsip kerja sama yang ditawarkan oleh Grice (1975) tidak selalu dapat menjawab pertanyaan mengapa dalam penuturan peserta tutur cenderung menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyatakan apa yang mereka maksudkan, sehingga tidak mengindahkan maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice tersebut. Melihat hal tersebut, ada beberapa pakar linguis yang menelaah, tetapi tidak berteori, tentang ilokusi tidak langsung itu dalam kaitannnya dengan kesantunan berbahasa. Linguis yang mengaitkan dan berteori tentang kedua hal tersebut adalah Brown dan Levinson (1978) dan Leech (1983). 2. Teori kesantunan Brown dan Levinson

Teori kesantunan berbahasa menurut Brown dan Levinson dalam Chaer (2010: 49) berkisar atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional mempunyai muka (tentunya dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga,


(45)

dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Muka di dalam pengertian kiasan ini dikatakan terdiri atas dua wujud, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu pada citra diri seseorang bahwa segala yang berkaitan dengan dirinya itu patut dihargai (yang kalau tidak dihargai, orang yang bersangkutan akan dapat kehilangan mukanya). Muka negatif mengacu pada citra diri seseorang yang berkaitan dengan kebebasan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemauanya (jika dihalangi, orang yang bersangkutan dapat kehilangan muka).

Menurut Brown dan Levinson dalam Chaer (2010: 51), sebuah tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak tutur seperti ini oleh Brown dan Levinson disebut sebagai face-threatening act (FTA), yang menyebabkan penutur (yang normal, rasional dan sehat pikiran) harus memilih strategi dengan mempertimbangkan situasi atau peritiwa tuturnya, yaitu kepada siapa ia bertutur, dimana, tentang apa, untuk apa, dan sebgainya.

Penutur menentukan strategi ini dengan “menghitung” tingkat

keterancaman muka berdasarkan jarak sosial penutur-penutur, besarnya perbedaan kekuasaan antara keduanya, serta status relativ jenis tindak tutur yang diujarkan penutur di dalam budaya yang bersangkutan. Penutur menentukan strategi ini dengan mempertimbangkan skala atau parameter kesantunan seperti yang akan diuraikan dalam subbab di bawah. Strategi kesantunan positif dirinci ke dalam lima belas subkategori. Brown dan Levinson dalam Chaer (2010: 53-55) mengilustrasikan semua strategi tersebut dengan tuturan-tuturan di bawah ini.


(46)

1) Memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan pendengar

Contoh: “Aduh…baru potong rambut ya.”

2) Melebihkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada pendengar

Contoh: “Wah…vas bunganya bagus sekali ya. Beli di mana?”

3) Mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta

Contoh: “Saya turun tangga, dan tahu apa yang aku lihat....semua

berantakan.”

4) Menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek,jargon atau slang)

Contoh: “Gimana Sam? Jadi ngikut nggak?”

5) Mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian atau seluruh tuturan.

Contoh: A: “Panasnya bukan main ya…”

6) Menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju, persetujuan yang semu, menipu untuk kebaikan, pemagaran opini

Contoh: A: “Besok tolong ini diselesaikan semua ya?”

B: “Baik.”(Padahal sebenarnya tidak mau menyelesaikan)

7) Menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi

Contoh: “Gimana, kemarin kamu nonton tinju, kan?” 8) Menggunakan lelucon


(47)

9) Menyatakan paham atas keinginan pendengar

Contoh: “Aku tahu kamu tidak menyukai pesta. Tapi yang ini sangat luar

biasa…datang ya.”

10)Menawarkan, berjanji

Contoh: “Aku pasti akan mengirimkannya minggu depan. Jangankuatir.”

11)Bersikap optimis

Contoh: “Nggak masalah. Semua ini akan dapat diatasi dengan baik.” 12)Melibatkan penutur dan petutur dalam aktivitas

Contoh: “Sebaiknya, kita istirahat dahulu.”

13)Memberi atau meminta alasan

Contoh: “Mengapa kamu nggak jadi datang ke rumahku?”

14)Menyatakan huhbungan secara timbal balik

Contoh: “Aku akan menyelesaikan ini untukmu, kalau kamu mau

membuatkan aku masakan yang lezat.”

15)Memberi hadiah kepada petutur

Contoh: “Saya akan membantumu pada setiap waktu.

Strategi kesantunan negatif dirinci ke dalam delapan subkategori. Brown dan Levinson dalam Chaer (2010: 52-53) mengilustrasikan semua strategi tersebut dengan tuturan-tuturan di bawah ini

1) Menggunakan ujaran tidak langsung

Contoh: Bolehkah saya minta tolong Ibu mengambilkan buku itu ? 2) Pertanyaan kalimat berpagar


(48)

Contoh: Saya sejak tadi bertanya-tanya dalam hati, apakah Bapak mau menolong saya?

3) Bersikap pesimis

Contoh: Saya ingin minta tolong, tetapi saya takut Bapak tidak bersedia. 4) Meminimalkan paksaan

Contoh: Boleh saya mengganggu Bapak sebentar ? 5) Memberi penghormatan

Contoh: Saya memohon bantuan Ibu, saya tahu Ibu selalu berkenan membantu orang.

6) Meminta maaf

Contoh: Sebelumnya saya minta maaf atas kenakalan anak saya ini, tetapi.. 7) Pakailah bentuk impersonal yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan

lawan tutur.

Contoh: Tampaknya meja ini perlu dipindahkan.

8) Menyatakan tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum.

Contoh: Penumpang tidak diperkenankan merokok di dalam bus. 3. Kaidah Kesantunan Leech

Berbeda dengan Grice, Brown dan Levinson, Leech (1993: 161) melihat sopan santun dari sudut pandang petutur dan bukan dari sudut pandang penutur. Leech (1993: 166) menyatakan bahwa tuturan yang sopan bagi petutur atau pihak ketiga bukan merupakan tuturan yang sopan bagi penutur, begitu pula sebaliknya. Prinsip kesantunan Leech berhubungan dengan dua


(49)

pihak, yaitu pihak diri dan lain. Diri ialah penutur dan lain adalah petutur, dalam hal ini lain juga dapat menunjuk kepada pihak ketiga baik yang hadir maupun yang tidak hadir dalam situasi tutur Leech (1993: 206). Leech merumuskan prinsip kesantunannya dalam enam maksim. Keenam maksim tersebut adalah sebagai berikut.

1. Maksim kebijaksanaan (tact maxim)

a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin 2. Maksim Kedermawanan (Generosty Maxim)

a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin 3. Maksim Pujian (Approbation Maxim)

a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin 4. Maksim Kerandahan Hati (Modesty Maxim)

a. Pujilah diri sendiri sedikit mungkin b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin 5. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)

a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin

b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan lain terjadi sebanyak mungkin


(50)

a. Kurangi rasa antipati antara diri dan lain hinggga sekecil mungkin b. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain. Berikut uraian setiap maksim kesopanan itu.

1) Maksim kebijaksanaan

Maksim kebijaksanaan mengharuskan penutur untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan orang lain. Maksim ini dilaksanakan dengan bentuk tuturan impositif dan komisif. Tuturan impositif adalah bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan perintah. Tuturan komisif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji, penawaran, dll. Berkaitan dengan itu, Leech (1993: 168) mencontohkan beberapa tuturan di bawah ini secara berurutan berdasarkan tingkat kesantunannya.

Ketaklangsungan Kurang Sopan (1) Answer the phone.

(Angkat telepon)

(2) I want you to answer the phone. (Saya ingin kamu angkat telepon?) (3) Will you answer the phone? (Maukah Anda mengangkat telepon?) (4) Can you answer the phone?

(Dapatkah Anda mengangkat telepon?) (5) Would you mind answering the phone? (Apakah Anda keberatan mengangkat


(51)

telepon?)

(6) Could you possibly answer the phone? (Apa mungkin Anda mengangkat

telepon?)

Lebih Sopan Keenam tuturan itu digunakan untuk memerintah mitra tutur mengangkat telepon. Namun, tuturan (6) memiliki kadar kesantunan tertinggi daripada kelima tuturan lainnya. Penutur telah meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain melalui pemilihan tuturan tersebut.

2) Maksim Kedermawanan

Maksim kedermawanan mengharuskan penutur untuk meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Maksim ini diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif. Sebagai ilustrasi atas pernyataan itu, Leech (1993: 210) memberikan contoh tuturan berikut.

(1) Could I borrow this electric drill?

„Dapatkah saya pinjam bor listrik ini?‟

(2) Could you lend me this electric drill?

„Dapatkah kamu meminjamkan bor listrikmu kepada saya?‟

Tuturan (1) lebih santun daripada tuturan (2). Tuturan (1) secara halus telah menghilangkan acuan pada kerugian mitra tutur dengan menggunakan kata saya daripada kata kamu. Hal itu disebabkan oleh berpusatnya maksim ini kepada konsep diri atau penutur.


(52)

3) Maksim Pujian

Maksim pujian mengharuskan penutur untuk meminimalkan kecaman terhadap orang lain, tetapi harus memaksimalkan pujian kepada orang lain itu. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Sebagai ilustrasi, Leech (1993: 212) memberikan contoh tuturan di bawah ini.

(1) What a marvellous meal you cooked.

„Masakanmu enak sekali‟.

(2) What an owful meal you cooked.

„Masakanmu sama sekali tidak enak‟.

Tuturan (1) dianggap lebih sopan daripada tuturan (2). Tuturan (1) mengungkapkan sebuah pujian, sedangkan tuturan (2) mengecam kepada mitra tuturnya.

Contoh dalam bahasa Indonesia dapat dipertimbangkan melalui tuturan (3). Tuturan ini diungkapkan seorang istri kepada suaminya yang telah membantu untuk memasak.

(3) “Bapak memang tidak hanya pandai mengasuh anak-anak, tetapi juga pandai membantu ibu di dapur.”

4) Maksim Kerendahan Hati

Maksim kerendahan hati mengharuskan penutur untuk meminimalkan pujian kepada dirinya, tetapi harus mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Seperti halnya maksim pujian, maksim ini juga


(53)

diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Untuk itu, Leech (1993: 214) mencontohkan dengan tuturan berikut.

(1) Please accept this small as a token of our esteem.

„Terimalah hadiah yang kecil ini sebagai tanda penghargaan kami‟.

Tuturan (1) sesuai dengan maksim ini karena penutur telah meminimalkan pujian atau kemurahan hati diri sendiri. Hal ini dapat dibandingkan dengan contoh dalam bahasa Indonesia berikut.

(2) “Maaf Pak, semoga Bapak sudi menerima kenang-kenangan yang tidak berharga dari kami semua yang merasa berhutang budi atas kebaikan Bapak membimbing kami selama ini.”

Tuturan (2) dituturkan seorang kepala desa kepada wakil dari rombongan penyuluh pertanian. Peristiwa itu terjadi saat rombongan penyuluh akan meninggalkan desa tempat mereka berpraktik.

5) Maksim Kesepakatan

Maksim kesepakan mengharuskan seseorang untuk memaksimalkan kesepakatan dengan orang lain dan meminimalkan ketidaksepakatan dengan orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan asertif. Leech (1993: 217) memberikan contoh sebagai ilustrasi maksim ini.

(1) A : It was an interesting exhibition, wasn’t it?

„Pamerannya menarik, bukan?‟

B : No, it was very uninteristing.


(54)

Jawaban (B) terasa kurang santun karena melanggar maksim kesepakatan yang menggariskan agar memaksimalkan kesepakatan dengan orang lain. Hal ini dapat dipertimbangkan dengan contoh berikut.

(2) A : “Ujiannya tadi sulit sekali, ya?”

B : “Betul, kepalaku sampai pusing.”

Jawaban (B) telah mematuhi maksim ini dengan cara memaksimalkan kesepakatan dengan (A).

6) Maksim Kesimpatian

Maksim kesimpatian mengharuskan penutur dan mitra tutur memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati di antara mereka. Maksim ini diperlukan untuk mengungkapkan suatu kesantunan karena setiap orang perlu bersimpati terhadap prestasi yang dicapai atau musibah yang melanda orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan asertif. Leech (1993: 219) mencontohkan ucapan selamat berikut untuk menunjukkan kepatuhan terhadap maksim simpati.

(1) I’m delighted to hear about your cat.

„Saya senang sekali mendengar tentang kucingmu‟.

Penutur mengucapkan selamat atas kemenangan kucing temannya yang menjuarai kontes kucing. Contoh dalam bahasa Indonesia dapat dipertimbangkan tuturan berikut.

(2) “Sabar dan tawakal, ya. Kami yakin pada ujian tahun depan


(55)

Tuturan (2) merupakan ucapan simpati dari penutur kepada salah seorang temannya yang gagal ujian masuk perguruan tinggi.

Dengan melihat paparan di atas, kini dalam menentukan santun tidaknya suatu tuturan dapat diketahui, yakni dengan melihat kaidah kesantunan dari Grice, Brown dan Levinson juga Leech. Akan tetapi, dalam kenyataannya prinsip-prinsip kerjasama Grice tidak selalu dapat menjawab pertanyaan mengapa dalam penuturan peserta tutur cenderung menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyatakan apa yang mereka maksudkan dan juga prinsip nosi muka (face) dari Brown dan Levinson masih kurang terperinci jadi tidak mudah untuk dipahami. Melihat hal tersebut, maka kaidah kesantunan berbahasa dari Leech masih dianggap yang paling lengkap, paling mapan dan relatif paling komprehensif.

Dengan menerapkan kaidah kesantunan dari Leech, maka diharapkan suatu tuturan dapat menjadi lebih santun dan proses komunikasi pun dapat berjalan dengan lebih baik. Sejalan dengan ukuran untuk menentukan kesantunan berbahasa, Leech kembali membuat ukuran kesantunan yang dinamakan dengan skala kesantunan. Dalam Rahardi (2005: 66-68) dijelaskan bahwa dalam model kesantunan Leech, setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan, berikut penjelasan mengenai skala kesantunan dari Leech:

1. Cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan


(56)

diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.

2. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun.

3. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. 4. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.


(57)

5. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

Selain menggunakan kaidah dan skala kesantunan untuk mengukur suatu tuturan, seperti halnya bidang kajian lain dalam menentukan kesantunan berbahasa juga diperlukan indikator-indikator, terutama mengenai penggunaan kata (diksi). Pranowo (2009 :104) memberikan saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa santun, misalnya:

1) Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.

2) Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan

menyinggung perasaan lain.

3) Gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan

orang lain.

4) Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain

melakukan sesuatu.

5) Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati. 6) Gunakan kata “bapak/ibu” untuk menyapa orang ketiga.


(58)

Dengan adanya indikator kesantunan dalam berkomunikasi, maka diharapkan kajian mengenai kesantunan dapat dilakukan dengan mengimplementasikannya ke dalam bidang lain seperti halnya pendidikan, karena pada dasarnya bidang kajian kesantunan berbahasa bahkan pragmatik jarang diimplementasikan ke dalam bidang pendidikan padahal pengaruhnya akan baik. Implementasi indikator kesantunan dalam berkomunikasi digunakan agar kegiatan berbahasa dapat mencapai tujuan. Lebih jelasnya Pranowo (2009: 110) menguraikan hal-hal yang perlu diperhatikan agar komunikasi dapat mencapai tujuan, yakni sebagai berikut.

1) Perhatikan situasinya. 2) Perhatikan mitra tuturnya.

3) Perhatikan pesan yang disampaikan. 4) Perhatikan tujuan yang hendak dicapai. 5) Perhatikan cara menyampaikan.

6) Perhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat. 7) Perhatikan ragam bahasa yang digunakan.

8) Perhatikan relevansi tuturannya.

9) Jagalah martabat atau perasaan mitra tutur.

10) Hindari hal-hal yang kurang baik bagi mitra tutur (konfrontasi dengan mitra tutur).

11) Hindari pujian untuk diri sendiri. 12) Berikan keuntungan pada mitra tutur. 13) Berikan pujian pada mitra tutur.


(59)

14) Ungkapkan rasa simpati pada mitra tutur.

15) Ungkapkan hal-hal yang membuat mitra tutur menjadi senang. 16) Buatlah kesepahaman dengan mitra tutur.

Berdasarkan kaidah, skala dan indikator kesantunan yang telah dijelaskan di atas, maka kesantunan dapat diukur atau diketahui, begitu halnya dengan kegiatan pembelajaran diskusi kelas, karena dalam proses diskusi terdapat interaksi dan tuturan serta konteks sehingga dapat dianalisis mengenai kesantunan berbahasa (tuturan santun dan tidak santun) dan penanda kesantunan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran yakni diskusi kelas. 2.2.1.2 Diskusi

Diskusi merupakan sarana untuk bertukar pikiran, dengan melibatkan beberapa atau bahkan banyak orang. Menurut Sukiat (1979: 6) diskusi adalah suatu percakapan terarah dengan tujuan untuk bertukar pendapat, atau pandangan-pandangan dan pengalaman-pengalaman terhadap suatu permasalahan, dimana pendapat yang berbeda-beda itu dapat berpadu menjadi satu menuju pada pemecahan masalah yang dihadapi. Diskusi banyak dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran, karena dengan diskusi dapat menambah pengetahuan, informasi, meluaskan pengalaman bahkan membuka pendangan baru para peserta diskusi yang terlibat.

Disamping itu, dengan diskusi dapat menjadi tempat peserta diskusi untuk berkoordinasi karena adanya kontak dan komunikasi. Dengan adanya kontak dan komunikasi, maka dalam diskusi diharapkan para peserta yang telibat dapat menggunakan tuturan yang santun, agar proses diskusi dapat


(60)

berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan kesalahpahaman yang mengakibatkan perpecahan. Akan tetapi, masih saja banyak dijumpai tuturan yang tidak santun pada saat diskusi sehingga proses diskusi menjadi kacau dan tidak terarah. Pemilihan kata dan gaya bahasa dalam tuturan menjadi sangat penting untuk diperhatikan bagi penutur dan mitra tutur. Agar diskusi bisa berlajan lebih santun, dapat digunakan pendapat dari Pranowo (2012: 59-67) berikut.

1) Penutur berbicara wajar dengan akal sehat.

Bertutur secara santun tidak perlu dibuat-buat, tetapi sejauh penutur berbicara secara wajar dengan akal sehat, tuturan akan terasa santun. Tuturan

dapat dikatakan santun karena penutur berbicara secara “prasaja”, tidak

dilebih-lebihkan dan tidak ada motivasi untuk menggurui, mendikte, apalagi menyinggung perasaan orang lain.

2) Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan.

Setiap bertutur, penutur hendaknya selalu mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, kalimat tidak perlu berputar-putar agar pokok masalah tidak kabur. Tuturan menjadi santun jika penutur ketika mengemukakan pokok masalah memang hanya khusus yang berkaitan dengan pokok masalah. 3) Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur.

Komunikasi akan selalu berkadar santun jika penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur, sehingga tidak ada alasan bagi penutur akan menjatuhkan mitra tuturnya.


(61)

Komunikasi akan terasa santun jika penutur berbicara secara terbuka dan seandainya menyampaikan kritik disampaikan secara umum, tidak ditujukan secara khusus pada person tertentu. Dengan demikian, komunikasi yang santun tidak harus menghindari penyampaian kritik.

5) Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas.

Komunikasi dapat dinyatakan secara santun jika penutur menggunakan bentuk tuturan yang lugas, tidak perlu ditutup-tutupi, meskipun kadang-kadang mengandung sindiran.

6) Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.

Komunikasi masih akan terasa santun jika penutur mampu membedakan tuturan sesuai dengan situasinya. Meskipun masalah yang dibicarakan bersifat serius, tetapi jika penutur mampu menyampaikan tuturan itu dengan nada bercanda, komunikasi menjadi lancar dan masih santun.

Dengan memperhatikan pendapat dari Pranowo di atas, diharapkan proses diskusi yang terjadi dalam pembelajaran akan lebih santun dibandingkan sebelum-sebelumnya. Dengan demikian proses diskusi akan berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan perdebatan. Apabila semua yang terlibat dalam diskusi dapat menggunakan hal tersebut, maka diskusi secara santun bisa terjadi dan hal ini akan sangat membantu proses pembelajaran tersebut karena hal ini juga sejalan dengan prinsip kesantunan. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa dalam berdiskusi tidak hanya melibatkan satu orang, dan orang-orang tersebut memiliki perannnya


(62)

masing-masing. Menurut Henrikus (1991: 96), setidaknya dalam diskusi ada pemimpin diskusi (moderator), dan peserta diskusi, di mana setiap dari mereka memiliki tugas dan aturan tersendiri. Tugas dan aturan tersebut sebutkan dalam Parera (1988: 186-188), yakni :

1. Tugas dan aturan pemimpin diskusi (moderator) Tugas dari pemimpin diskusi (moderator):

1. Menjelaskan tujuan dan maksud diskusi.

2. Menjamin pelangsungan diskusi secara teratur dan tertib. 3. Memberikat stimulasi, anjuran, ajakan, agar setiap peserta

benar-benar mengambil bagian dalam diskusi tersebut. 4. Menyimpulkan dan merumuskan setiap pembicaraan, serta

kelak membuat beberapa kesimpulan persepakatan dan persetujuan bersama.

5. Mempersiapkan laporan kelak.

Adapun aturan dari pemimpin diskusi (moderator), yaitu: 1. Berkepribadian.

2. Mempunyai pengertian dan simpati terhadap orang lain. 3. Mempunyai sensitivitas (mengerti dan merasakan). 4. Tidak memihak.

5. Mempunyai perasaan humor, melucu.

6. Inteligen dan berkemampuan untuk memutuskan. 7. Mempunyai bakat untuk menjiwai sesuatu. 8. Berbakat berbicara dan mendengarkan.


(63)

2. Tugas dan aturan peserta diskusi, yaitu: Tugas dari peserta diskusi:

1. Menunjukkan solidaritas dan partisipasi.

2. Menjaga suasana yang nyaman dan segar untuk diskusi. 3. Membuat beberapa usul dan sugesti (saran).

4. Memberikan pendapat dan informasi.

5. Meminta pendapat dan informasi sebanyak mungkin. 6. Mengajukan pertanyaan dan meminta dasar pendirian

seseorang.

7. Mengajukan keberatan dan mengajukan contoh serta bukti. 8. Mengusulkan kesimpulan, meminta kesimpulan, dan juga

dapat menyimpulkan bersama.

9. Memusatkan perhatian dalam diskusi. Adapun aturan dari peserta diskusi :

1. Peserta diskusi tidak boleh bersikap agresif dan reaksioner. 2. Peserta diskusi tidak boleh bersikap menutup diri, takut

mengeluarkan pendapat.

3. Peserta diskusi tidak boleh terlalu banyak bicara, berbelit-belit atau bicara berbisik-bisik dengan teman atau rekan samping.

4. Menunjukkan sikap acuh tak acuh.

Dari tugas dan aturan yang telah disebutkan di atas, jika dicermati maka keterampilan berbicara amatlah diperlukan, baik bagi pemimpin diskusi


(64)

(moderator) maupun peserta diskusi. Jika salah satu dari keduanya atau bahkan keduanya berbicara sesuka hatinya, maka kegiatan berdiskusi dapat gagal atau tidak berjalan dengan lancar. Itulah yang sering terjadi dalam proses diskusi, terlebih diskusi di dalam kelas (pembelajaran). Dengan kata lain, kesantunan dalam berdiskusi sangatlah dibutuhkan, agar arah pembicaraan bisa jelas dan saling menghargai satu sama lain.

2.3 Kerangka Berpikir

Penelitian Penggunaan dan Penyimpangan Prinsip Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi Kelas Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2014 ini menganalisis penggunaan dan penyimpangan prinsip kesantunan berbahasa pada kegiatan diskusi kelas, mahasiswa angkatan 2014. Data berupa tuturan percakapan yang terjadi pada saat kegiatan diskusi kelas yang melanggar dan mematuhi maksim-maksim kesantunan. Ada pengukur kesantunan yang digunakan untuk menentukan tuturan pada pelaksanaan kegiatan diskusi, yakni maksim-maksim kesantunan berbahasa dari Leech dan strategi kesantunan Brown dan Levinson.


(65)

Kesantunan Berbahasa dalam Diskusi Kelas Mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata

Dharma Angkatan 2014

Tuturan yang terjadi pada saat diskusi kelas, mahasiswa PBSI angkatan 2014

Kajian pragmatik

Kaidah kesantunan Leech

Strategi kesantunan Brown & Levinson

Pematuhan dan pelanggaran

Tuturan Santun Tututran Tidak santun

Kesantunan berbahasa dalam diskusi kelas mahasiswa PBSI angkatan 2014 Universitas Sanata Dharma


(66)

49 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam metode penelitian ini akan dibahas mengenai lima hal, (1) jenis penelitian, (2) sumber data penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data. Kelima hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian kesantunan berbahasa pada kegiatan diskusi kelas mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014 ini, menggunakan jenis penelitian yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif, yaitu metode paparan hasil temuan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan dari lapangan. MenurutCatherine Marshal dalam Sarwono (2006: 193) penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia.

Sejalan dengan hal ini, Moleong (2006: 6) berpendapat bahwa penelitian kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, tidakan, dll secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pendekatan deskriptif kualitatif yang diamksud adalah penelitian yang akan memberikan berbagai penggunaan tuturan dan kesantunan berbahasa, serta


(1)

310 Strategi kesantunan positif o Membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur

penyaji. diskusi yang ining

mengajukan

pertanyaan. Peserta diskusi tersebut bahkan belum berkata apapun, tetapi penutur langsung mengatakan hal yang bisa

dianggap

merendahkan dan mengejeknya. Jelas hal tersebut tidak mencerminkan kesantunan.

o Cara bertutur seperti itu jelas dapat menjatuhkan muka mitra tutur dan berlawanan dengan strategi kesantunan, dimana penutur seharusnya dapat menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan positif, yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mitra tutur. Tuturan yang demikian,


(2)

311 Triangulator


(3)

312


(4)

(5)

(6)

tanggal 20 April 1993. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar di SD Negeri 1 Kalirejo, Kledung, Temanggung pada tahun 2004. Kemudian, ia melanjutnya studinya di SMP N 2 Kledung dan tamat pada tahun 2007. Pendidikan tingkat menengah atas ditempuhnya di SMA Negeri 4 Temanggung pada tahun 2010. Setelah menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutnya studi S1 Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2016 dengan menyelesaikan skripsi Kesantunan

Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014