Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa antar mahasiswa Program Studi PBSID angkatan 2009-2011 Universitas Sanata Dharma.
UNIVERSITAS SANATA DHARMA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Disusun oleh:
Caecilia Petra Gading May Widyawari 091224015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2013
(2)
i
UNIVERSITAS SANATA DHARMA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Disusun oleh:
Caecilia Petra Gading May Widyawari 091224015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2013
(3)
(4)
(5)
Jika kamu ingin mengatakan sesuatu, katakanlah. Jika kamu ingin melakukan sesuatu,
lakukanlah. Jangan berpikir bahwa kamu akan jatuh dan sakit. Yang terpenting adalah
kamu selalu menggunakan hatimu (Mis Jul)
Kita tidak dapat melakukan hal-hal hebat, kita hanya bisa melakukan hal-hal kecil dengan
cinta yang berlimpah (Ibu Teresa)
(6)
v
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menjadi sahabat dan
pelindungku dalam setiap langkah dan keputusanku
Orang tua tercinta, Bapak Alexandre Suramto dan Ibu Theresia Nur Istiyani yang
selalu memberikan cinta, doa, dukungan, dan kesabaran yang begitu besar untukku
Mas dan adik tersayang, Gregorius Advent Gilang Arlingga dan Yohanes Febbry
Bagas Pamungkas yang selalu memberikan semangat, doa dan canda tawa serta
pertengkaran lucu setiap kita bertemu
Mbah Putri, Mbah Gumi, dan Om Kunto yang selalu mendukung, membantu dan
memberikan semangat, serta menemaniku selalu
Teman-
temanku ‘sepayung’, Rita
, Galuh, dan Melisa yang selama ini jatuh-bangun
dan berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi ini
(7)
(8)
(9)
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang dituturkan antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah mahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Instrumen penelitian berupa panduan wawancara (daftar pertanyaan), pertanyaan pancingan, dan pernyataan kasus. Metode pengumpulan data yakni, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Beberapa teknik tersebut diwujudkan peneliti dengan cara menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengklasifikasi. Dalam analisis data, peneliti mengutip data beserta konteksnya. Selanjutnya, peneliti menginterpretasi wujud, penanda dan makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik tuturan-tuturan yang telah dikutip dengan memerhatikan konteks yang melingkupi terjadinya tuturan itu. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kontekstual.
Simpulan hasil penelitian ini adalah: (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, c) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Saran penelitian ini untuk para mahasiswa adalah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau gambaran umum mengenai ketidaksantunan berbahasa, supaya para mahasiswa dapat mengurangi dan menghindari ketidaksantunan berbahasa itu. Lalu untuk peneliti berikutnya dapat memperdalam penelitian ketidaksantunan tentang cara orang melecehkan muka, mengancam muka dan menghilangkan muka serta tentang penanda ketidaksantunan dalam hal nonkebahasaan.
(10)
ix
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. 2013. Linguistic and Pragmatic Language
Impoliteness among PBSID Students of the Academic Year 2009—2011 in Sanata Dharma University. THESIS. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
This research discussed the forms of impoliteness utterance among PBSID students of the Academic Year 2009—2011 in Sanata Dharma University. The purposes of this research are: (1) describe a form of linguistic and pragmatic language impoliteness, (2) describe a sign of linguistic and pragmatic language impoliteness, and (3) describe the meaning of impoliteness among PBSID students of the Academic Year 2009—2011 in Sanata Dharma University.
Type of this research is descriptive qualitative. The data sources of this research were the PBSID students of the Academic Year 2009—2011 in Sanata Dharma University. The instruments used in this research are interview, elicitation, and cases studies using language impoliteness theory. The roundup data method used are grouping and interview. The collecting data method uses tapping method as a basic method, the continuation technique is direct interview and the last technique is written data recording. Interview technique is an elicitation technique as a basic technique. The follow up technique is direct interview and indirect interview. Both the techniques can be applied both in grouping and interview. The researcher can use those two techniques both in grouping and interview by inventoring, indentifying, and clarifying the data. In analyzing the data, the research cites the data and the spoken language. The final step done by the researcher is interpreting the meaning of the language. The data analysis used in this research is contextual analysis method.
The conclusions of this research are: (1) the linguistics impoliteness form can be seen from the spoken language used among students consisting aggravate, face-gratuitous, face-threaten, and face-loss. Then pragmatic impoliteness form can be observed based on contextual (speaker, receiver, situation, condition, verbal act, perlocutionary act, and purpose of speech). (2) the sign of linguistic impoliteness can be observed based on tone, stress, intonation, and diction. The sign of pragmatic impoliteness can be observed based on the context consists of speaker, receiver, situation, condition, verbal act, perlocutionary act, purpose of speech. (3) the meaning of impoliteness are (a) face-aggravate, taunt from the speaker to the receiver and it hurts the person. (b) Face expression which confuses the speaker and receiver and it is annoying. (c) face-gratuitous, intended jokes which cause a conflict. (d) face-loss, mortifies somebody in front of the people. (e) face-threatening which cause a threat to the person.
Suggestion of this research for students is the results of this study can be used as a reference or overview of language impoliteness, so that students can reduce and avoid impoliteness in language. Then for future researcher can deepen the research of impoliteness about how people do face-aggravate, face-threatening, and face-loss and about the sign of impoliteness in term of nonverbal action.
(11)
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga dengan berkat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma ini dengan baik. Sebagaimana
disyaratkan dalam Kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah (PBSID), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, penyelesaian skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah.
Kelancaran dan keberhasilan proses pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, dan selaku dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian telah mendampingi, membimbing, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis mulai dari proses awal hingga akhirnya penulis boleh menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Universitas Sanata Dharma.
4. Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., selaku dosen Pembimbing I yang dengan pengertian dan kesabaran, membimbing, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis mulai dari proses awal hingga akhirnya penulis boleh menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Segenap dosen Program Studi PBSID yang dengan penuh dedikasi mendidik, membimbing, memberikan dukungan, bantuan, dan arahan yang sangat bermanfaat bagi penulis dari awal kuliah sampai selesai.
6. Robertus Marsidiq sebagai karyawan sekretariat PBSID yang selalu sabar memberikan pelayanan dan membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan kuliah di PBSID sampai penyusunan skripsi ini.
(12)
xi selama menjalani masa kuliah.
8. Mbah putri Maryati, Mbah Gumi dan Om Kunto, yang telah memberi semangat, bantuan, dan doa bagi penulis.
9. Rita, Melisa dan Galuh, teman ‘sepayung’ dan seperjuangan yang sudah bersama-sama berjuang dengan skripsi ini.
10.Mas dan adik tersayang, Mas Gilang dan Febbry yang sudah memberikan semangat, doa dan perhatian dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Para mahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 USD Yogyakarta yang telah bersedia dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini.
12.Fajar, Asa, Tofan, Melisa, Woro yang telah berjuang belajar bersama dalam perkuliahan dan bersedia menemani, memberikan semangat, bantuan, dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13.Uli, Fina, dan Puput yang masih menjaga persahabatan dengan penulis dan tak lelah memberikan motivasi, semangat dan doa kepada penulis.
14.Teman-teman Mahasiswa PBSID Sanata Dharma Angkatan 2009 s.d. 2012; melalui kebersamaan selama berproses dan kuliah ini saya dapat merasakan bagaimana arti sebuah keakraban dan kesetiakawanan.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon maaf apabila laporan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik dari para pembaca. Penulis berharap agar laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta
(13)
Hal.
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Definisi Istilah ... 8
(14)
xiii
2.1 Penelitian yang Relevan ... 11
2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa ... 15
2.2.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ... 16
2.2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ... 19
2.2.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper ... 22
2.2.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi ... 24
2.2.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts .. 25
2.2.6 Rangkuman ... 27
2.3 Tindak Tutur ... 28
2.3.1 Tindak Lokusi ... 29
2.3.2 Tindak Ilokusi ... 30
2.3.3 Tindak Perlokusi ... 34
2.3.4 Rangkuman ... 36
2.4 Konteks Tuturan... 36
2.4.1 Penutur dan Lawan Tutur ... 40
2.4.1.1 ‘The utterer’ dan ‘The Interpteter’ ... 42
2.4.1.2 Aspek-aspek Mental ‘Language Users’ ... 43
2.4.1.3 Aspek-aspek Sosial dan Budaya‘Language Users’ ... 45
2.4.1.4 Aspek-aspek Fisik ‘Language Users’ ... 48
2.4.2 Konteks Sebuah Tuturan ... 50
2.4.3 Tujuan Sebuah Tuturan ... 51
(15)
2.4.6 Rangkuman ... 55
2.5 Bunyi Suprasegmental ... 56
2.5.1 Tinggi-Rendah (Nada, Tona, Pitch) ... 56
2.5.2 Keras-Lemah (Tekanan, Aksen, Stress) ... 57
2.5.3 Intonasi... 58
2.5.4 Rangkuman ... 59
2.6 Pilihan Kata ... 60
2.6.1 Bahasa Standar dan Nonstandar ... 62
2.6.2 Kata Ilmiah dan Kata-kata Populer ... 63
2.6.3 Jargon ... 64
2.6.4 Kata Percakapan ... 65
2.6.5 Kata Slang ... 66
2.6.6 Idiom ... 67
2.6.7 Bahasa Artifisial ... 67
2.6.8 Kata Seru... 67
2.6.9 Kata Fatis ... 68
2.6.10 Rangkuman ... 68
2.7 Kerangka Berpikir ... 70
BAB III METODE PENELITIAN ... 71
3.1 Jenis Penelitian... 71
(16)
xv
3.4 Instrumen Penelitian ... 74
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data... 74
3.6 Sajian Analisis Data ... 76
3.7 Trianggulasi Hasil Analisis Data ... 77
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 78
4.1 Deskripsi Data ... 78
4.2 Hasil Analisis Data ... 84
4.2.1 Melecehkan Muka... 84
4.2.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik... 86
4.2.1.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik... 87
4.2.1.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 88
4.2.1.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 89
4.2.1.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Melecehkan Muka ... 91
4.2.2 Memain-mainkan Muka ... 92
4.2.2.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik... 94
4.2.2.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik... 95
4.2.2.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 96
4.2.2.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 97
4.2.2.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Memain-mainkan Muka... 100
4.2.3 Kesembronoan yang Disengaja ... 100
4.2.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik... 103
(17)
4.2.3.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 105
4.2.3.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Berupa Kesembronoan yang Disengaja ... 107
4.2.4 Menghilangkan Muka ... 108
4.2.4.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik... 110
4.2.4.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik... 111
4.2.4.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 112
4.2.4.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 113
4.2.4.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Menghilangkan Muka ... 116
4.2.5 Mengancam Muka Sepihak ... 116
4.2.5.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik... 119
4.2.5.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik... 119
4.2.5.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 121
4.2.5.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 122
4.2.5.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Mengancam Muka ... 124
4.3 Pembahasan... 125
4.3.1 Melecehkan Muka... 125
4.3.2 Memain-mainkan Muka ... 142
4.3.3 Kesembronoan yang Disengaja ... 157
4.3.4 Menghilangkan Muka ... 171
(18)
xvii
5.1 Simpulan ... 201
5.2 Saran ... 206
DAFTAR PUSTAKA ... 208
LAMPIRAN... 211 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(19)
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1 Tuturan yang Melecehkan Muka ... 79
Tabel 2 Tuturan yang Memain-mainkan Muka ... 80
Tabel 3 Tuturan Kesembronoan yang Disengaja ... 81
Tabel 4 Tuturan yang Menghilangkan Muka... 82
(20)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi,
berinteraksi, dan bekerja sama satu sama lain. Peranan bahasa dalam kehidupan
manusia membuat bahasa penting untuk dikaji lebih dalam. Adapun ilmu yang
mempelajari mengenai bahasa adalah linguistik. Sosok linguistik sebagai ilmu
bahasa yang meneliti dan mengkaji seluk-beluk bahasa natural manusia, tidak saja
aspek-aspek internal tetapi juga bagian-bagian eksternalnya, di dalam
perkembangannya memiliki beberapa cabang atau ranting-ranting ilmu (Rahardi,
2007:9). Sebagai ilmu kajian bahasa, linguistik memiliki berbagai cabang ilmu
yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Secara umum,
linguistik menganalisis bahasa mengenai aspek yang berhubungan dengan struktur
kebahasaannya (fonologi, sintaksis, semantik, morfologi).
Percabangan ilmu bahasa menunjukkan bahwa pragmatik merupakan cabang
ilmu linguistik yang terakhir. Pragmatik merupakan studi tentang makna yang
disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau
pembaca) (Yule, 2006:3). Pendapat lain dikemukakan oleh Levinson (melalui
Nugroho, 2009:118), pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan
konteks yang digramatikalisasikan atau dikodekan di dalam struktur bahasa.
(21)
berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi
pemakaiannya.
Konteks penting dalam kajian pragmatik karena konteks digunakan untuk
memahami semua faktor yang berperan dalam produksi dan komprehensi tuturan
(Jumanto melalui Nugroho, 2009:123). Menurut Rahardi (2006:20) konteks tuturan
dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh
penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang
dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. Menurut
Leech (melalui Nugroho, 2009:119), konteks dalam pragmatik adalah aspek-aspek
yang terdapat di dalam situasi tuturan atau „speech situation‟ itu dapat dibedakan menjadi lima macam, yakni: (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3)
tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai tindak verbal, dan (5) tuturan sebagai produk
tindak verbal. Dengan demikian, konteks memiliki fungsi yang penting dan memang
harus ada untuk membuat sebuah tuturan benar-benar bermakna.
Penekanan konteks dalam pragmatik memberikan kejelasan mengenai analisis
perbedaan pragmatik dengan ilmu lain termasuk linguistik. Jika pada analisis
linguistik struktur yang dikaji adalah aspek yang berhubungan dengan struktur
kebahasaannya (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik) sedangkan pada kajian
pragmatik yang dikaji adalah situasi tutur yang dapat menimbulkan makna
(22)
dan pragmatik semakin memperjelas maksud penggunaan bahasa dalam
berkomunikasi (lisan maupun tulis).
Lebih dari itu, salah satu kajian pragmatik adalah mengupas mengenai
kesantunan dan ketidaksantunan penggunaan bahasa oleh para pemakainya.
Pembahasan mengenai kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa penting dilakukan
untuk membantu keberhasilan proses interaksi dan komunikasi penutur dan mitra
tuturnya. Memang sudah banyak peneliti yang mengkaji mengenai kesantunan
berbahasa, namun untuk masalah ketidaksantunan berbahasa masih jarang
peminatnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rahardi (2010) yang
mengemukakan bahwa sampai dengan tahun 2008, yakni tahun diterbitkannya buku
Impoliteness in Language oleh Bousfield et al (Eds.) yang sesungguhnya merupakan
salah satu wujud keprihatinan linguis khususnya yang berkecimpung dalam
pragmatik, ihwal ketidaksantunan berbahasa itu belum pernah dikaji secara
komperehensif dan mendalam. Hal ini menimbulkan ketimpangan kajian antara
kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa itu. Dengan kata lain, terdapat
ketidakseimbangan mengenai pembahasan dua kajian tersebut. Terlalu banyak
penelitian mengenai kesantunan berbahasa di berbagai ranah kehidupan tetapi belum
ada penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa.
Penelitian mengenai bahasa memang menarik untuk dilakukan terlebih
mengenai ketidaksantunan berbahasa. Salah satu alasan pokoknya bahasa merupakan
alat komunikasi, berkomunikasi merupakan interaksi antara penutur dengan mitra
(23)
karakter seseorang. Hal ini dapat dibuktikan dari penggunaan bahasanya baik lisan
maupun tulisan. Kesantunan berbahasa ditunjukkan dari penggunaan bahasa yang
lemah lembut, sopan, santun, teratur, sistematis, jelas dan lugas sehingga dapat
mencerminkan pribadi yang baik oleh penuturnya. Sebaliknya, ketidaksantunan
berbahasa ditunjukkan melalui penggunaan bahasa yang kasar, menghina, memaki,
memfitnah, mengejek atau melecehkan yang akan menggambarkan pribadi yang tidak
baik. Dengan demikian, sifat dan kepribadian seseorang dapat pula dicerminkan dari
penggunaan bahasanya itu.
Penggunaan bahasa dapat dilakukan di mana saja salah satunya di perguruan
tinggi. Pada prinsipnya perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan tertinggi
sebagai penghasil kaum intelektual muda yaitu mahasiswa yang cerdas, kreatif dan
kompetitif. Dalam hal ini, mahasiswa di perguruan tinggi dapat dikatakan sebagai
pelajar di ranah tertinggi pendidikan. Sebagai pelajar tertinggi, mahasiswa harus
dapat memiliki sikap yang berbeda dengan orang-orang yang masih memiliki tingkat
pendidikan di bawah perguruan tinggi bahkan dengan orang yang kurang
berpendidikan. Sikap berbeda itu terutama dalam hal berkomunikasi dengan orang
lain.
Bahasa yang dipakai dalam lingkungan perguruan tinggi tentu saja berbeda
dengan yang berada di luar lingkungan. Hal ini disebabkan perguruan tinggi menjadi
salah satu tempat interaksi sosial orang-orang berpendidikan. Orang-orang yang
(24)
satu alasan mengapa kesantunan berbahasa sangat diutamakan dalam lingkungan
perguruan tinggi. Sebagai orang yang memiliki pendidikan tinggi, mahasiswa harus
memahami dan menguasai kesantunan dalam berbahasa. Tujuannya selain untuk
menghormati orang lain, yang lebih hakiki adalah bahwa berlaku santun justru untuk
menjaga harkat dan martabat diri (mahasiswa) sebagai penutur bahasa (Pranowo,
2009:150). Ironisnya masih banyak mahasiswa yang kurang santun ketika berbicara.
Ketidaksantunan berbahasa yang dilakukan khususnya antarmahasiswa sering
kali terjadi baik di lingkungan perguruan tinggi maupun di luar. Ketidaksantunan
tersebut terjadi karena berbagai alasan yaitu adanya kedekatan antarmahasiswa,
kebiasaan berbahasa tidak santun, latar belakang keluarga, kurang adanya
pengetahuan mengenai bahasa yang santun, bahkan bahasa tidak santun digunakan
untuk bersosialisasi antarmahasiswa kelompok tertentu. Contoh kalimat yang
diutarakan Pie kabare cuk?, Bajingan, soal ujiane susah-susah. Hal-hal seperti ini
dapat berakibat fatal apabila sedang terjadi komunikasi, terlebih komunikasi yang
dilakukan dengan mitra tutur seperti orang-orang besar dan berpendidikan tinggi.
Pada dasarnya fenomena seperti di atas telah terjadi di berbagai lingkup ranah
pendidikan seperti halnya di perguruan tinggi. Penulis secara khusus memilih untuk
meneliti ketidaksantunan berbahasa para mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma yang notabene para mahasiswanya berasal dari berbagai pelosok daerah di
Indonesia yang juga memiliki tata karma dan cara berbahasa masing-masing. Hal
(25)
kekhasan tersendiri dalam berkomunikasi karena mereka lebih mendalami kajian
bahasa daripada mahasiswa program studi lain. Selain itu, kedekatan penulis dengan
para mahasiswa PBSID tersebut juga menjadi salah satu faktor utama pemilihan
subjek penelitian ini.
Berdasarkan fakta di atas, seharusnya para mahasiswa khususnya mahasiswa
PBSID dapat menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun baik dengan
sesama mahasiswa maupun dengan orang yang lebih tua bahkan berpendidikan
tinggi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mendeskripsikan ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik terutama dalam komunikasi antarmahasiswa di Program
Studi PBSID Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma.
1.1Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas, masalah-masalah yang akan
diteliti dalam penelitian ini meliputi:
a. Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa sajakah yang
digunakan antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma?
b. Wujud penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa
sajakah yang digunakan antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan
2009—2011 di Universitas Sanata Dharma?
c. Apa makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa
(26)
1.2Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah seperti di atas, maka tujuan penelitian ini
secara rinci sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa
yang digunakan antarmahasiswa Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma.
b. Mendeskripsikan wujud penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
berbahasa yang digunakan antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan
2009—2011 di Universitas Sanata Dharma.
c. Mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan
antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Terdapat dua
manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian sebagai berikut.
a. Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas
kajian serta memperkaya khasanah teoretis tentang ketidaksantunan dalam
berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru. Penelitian ini dapat dikatakan
(27)
dikemukakan oleh para ahli dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan
baru dan referensi untuk menghindari ketidaksantunan berbahasa dalam
berkomunikasi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan khususnya bagi mahasiswa dalam berkomunikasi untuk
menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun. Demikian pula,
penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi dalam bidang
pendidikan terutama bagi dosen, guru, mahasiswa, siswa, dan tenaga
kependidikan untuk mempertimbangkan adanya ketidaksantunan berbahasa
dalam komunikasi yang harus dihindari.
1.5 Batasan Istilah
a. Ketidaksantunan
Ketidaksantunan berbahasa menurut Culpeper (2008:3) adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.‟ Dengan kata lain
ketidaksantunan dapat dilihat dari penekanan pada fakta ‘face loss‟ atau fakta
‘kehilangan muka’.
b. Linguistik
Linguistik adalah ilmu tentang (aspek) bahasa, dalam arti salah satu ilmu yang
(28)
sebagai objek sasarannya atau ilmu yang mengkaji seluk beluk bahasa
(Kesuma melalui Sudaryanto, 1995:5)
c. Pragmatik
Pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan
konteksnya. Konteks yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkodifikasi
sehingga tidak pernah dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. (Levinson
melalui Rahardi, 2009:20)
d. Konteks
Konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan
(background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami
bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra
tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan
proses bertutur (Rahardi, 2006:20).
1.6 Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan penelitian dijabarkan beberapa hal, yang meliputi
pendahuluan, kajian teori, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan,
dan penutup.
Bab I adalah pendahuluan, yang berisi beberapa sub bab, yaitu (1) latar
belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5)
(29)
Bab II adalah kajian teori yang berisi tiga pokok bahasan yaitu (1) penelitian
yang relevan, (2) kajian pustaka, dan (3) kerangka berpikir.
Bab III metode penelitian yang berisi enam hal yaitu (1) jenis penelitian, (2)
subjek penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen
penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) hasil analisis data.
Bab IV hasil dan pembahasan yang berisi tiga hal yaitu (1) deskripsi data,
(2) hasil analisis data, dan (3) pembahasan. Bab V penutup yang berisi dua hal
yaitu (1) kesimpulan dan (2) saran. Selain beberapa bab di atas, peneliti juga
menyajikan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang mendukung penelitian
(30)
11 BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan ketidaksantunan berbahasa di Indonesia
masih belum ditemukan oleh peneliti. Hal ini disebabkan penelitian mengenai
ketidaksantunan berbahasa merupakan bahan kajian baru yang belum ditelaah
oleh para peneliti bahasa secara lebih mendalam. Sebaliknya, sudah banyak
ditemukan penelitian mengenai kesantunan berbahasa di berbagai ranah
kehidupan. Terlebih dalam ranah pendidikan, sudah banyak penelitian mengenai
kesantunan berbahasa yang dapat ditemukan salah satunya pada penelitian
mahasiswa PBSID Universitas Sanata Dharma. Selain itu, adanya fakta dalam
buku Impoliteness in Language oleh Bousfield et al. pada tahun 2008 yang
diterbitkan sebagai wujud keprihatinan linguis khususnya yang berkecimpung
dalam pragmatik, masalah ketidaksantunan berbahasa itu masih belum pernah
dikaji secara komperehensif dan mendalam. Fakta kebahasaan yang demikian itu
menunjukkan bahwa masih langkanya studi ketidaksantunan pragmatik khususnya
di dalam bahasa Indonesia.
Pada prinsipnya, penelitian mengenai kesantunan berbahasa ini dapat
dikatakan sebagai penelitian pionir dalam mengkaji ketimpangan kajian antara
kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan penelitian sejenis mengenai kesantunan berbahasa sebagai acuan
(31)
berbahasa. Peneliti menemukan empat penelitian mengenai kesantunan berbahasa
yang akan dipaparkan secara ringkas sebagai berikut.
Penelitian dilakukan oleh Weny Anugraheni (2011) dengan judul penelitian
“Jenis Kesantunan dan Penyimpangan Maksim Kesantunan dalam Tuturan Imperatif
Guru Kepada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Pringsurat Temanggung dalam Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia.”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik simak dan teknik catat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada dua jenis
kesantunan dalam tuturan imperatif yaitu kesantunan imperatif tuturan deklaratif dan
kesantunan imperatif tuturan imperatif. Kedua jenis tuturan tersebut masih dibagi lagi
menjadi bermacam-macam jenis sesuai dengan tuturan. Berdasarkan penelitian dapat
disimpulkan bahwa guru bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Pringsurat Temanggung
masih melakukan penyimpangan kaidah berbahasa kepada siswa. Hal ini disebabkan
oleh (1) tidak konsistennya keinginan guru dalam praktik pemakaian tuturan, (2)
kaidah kesantunan belum sepenuhnya dimiliki oleh guru, (3) guru bahasa belum
sepenuhnya memahami bagaimana pemakaian bahasa yang baik dan santun.
Penelitian lain dilakukan oleh Ayuningtyas Kusumastuti (2010) dengan judul
“Kesantunan Berbahasa Indonesia Pembawa Acara Stasiun Televisi Swasta Nasional.” Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak berupa
(32)
kelompok tuturan santun pembawa acara televisi, yaitu (1) tuturan yang menunjukkan
sikap menghargai terhadap mitra tutur, (2) tuturan yang menunjukkan sikap peduli terhadap mitra tutur, (3) tuturan yang mengandung upaya menarik minat pemirsa, (4) tuturan yang berisi nasihat, (5) tuturan yang menunjukkan prioritas terhadap mitra tutur berjarak paling jauh, dan (6) tuturan yang menunjukkan sikap rendah hati. Untuk mewujudkan keenam tuturan tersebut, ditemukan empat strategi yang
dapat digunakan para pembawa acara televisi, yaitu strategi bertutur dengan
kesantunan positif, strategi bertutur lugas, strategi bertutur samar-samar, dan strategi bertutur dengan kesantunan negatif. Ditemukan penanda bahasa verbal dan
nonverbal yang menunjukkan kesantunan berbahasa para pembawa acara televisi,
yaitu nomina pengacu dan nomina penyapa, adverbial modalitas, gaya bahasa,
interjeksi, jenis kalimat, serta bahasa nonverbal yang menyertai tuturan.
Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Oratna Sembiring (2011) berjudul
Bentuk-bentuk Tindak Tutur Imperatif dan Penanda Kesantunan Berbahasa Indonesia Studi Kasus di Komunitas Suster SCMM Pringwulung-Yogyakarta.
Penelitian ini ditinjau dari dua segi, dari segi metode penelitian ini termasuk
penelitian kualitatif naturalistik. Dari segi sumber data, penelitian ini merupakan studi
kasus. Penelitian ini mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk tindak tutur imperatif
dan penanda kesantunan berbahasa dalam bentuk tindak tutur imperatif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik rekam dan
teknik catat. Adapun hasil penelitian ini adalah ditemukannya bentuk-bentuk tindak
(33)
kesantunan berbahasa Indonesia di komunitas suster SCMM
Pringwulung-Yogyakarta. Bentuk-bentuk tindak tutur imperatif di Komunitas Suster SCMM
Pringwulung-Yogyakarta meliputi (1) bentuk tindak tutur imperatif langsnung literal,
(2) bentuk tindak tutur imperatif tidak langsung literal, (3) tindak tutur imperatif
langsung tidak literal, dan (4) tindak tutur imperatif tidak langsung tidak literal.
Penanda kesantunan berbahasa Indonesia di komunitas suster SCMM
Pringwulung-Yogyakarta meliputi (1) penanda kesantunan faktor kebahasaan dan (2) penanda
kesantunan faktor nonkebahasaan. Penanda kesantunan faktor kebahasaan meliputi
(1) diksi, (2) gaya bahasa, (3) penggunaan pronominal, (4) penggunaan kata
keterangan (modalitas), dan (5) bentuk tuturan. Penanda kesantunan faktor
nonkebahasaan meliputi (1) topik pembicaraan, (2) budaya, dan (3) konteks situasi
komunikasi.
Penelitian juga dilakukan oleh Rahardi (1999) dalam penelitiannya yang
berjudul Imperatif dalam Bahasa Indonesia: Penanda-penanda Kesantunan
Lingustiknya. Penelitian tersebut mendasari adanya empat pemarkah kesantunan
lingustik (linguistic politeness) tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia. Keempat
pemarkah tersebut adalah (1) panjang pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi
dan isyarat kinesik, (4) ungkapan-ungkapan penanda kesantunan.
Keempat penelitian di atas merupakan penelitian mengenai kesantunan
berbahasa. Ternyata dalam beberapa hasil penelitian tersebut dapat ditemukan pula
(34)
dilakukan misalnya oleh Weni Anugraheni (2011) yaitu jenis penelitian deskriptif
kualitatif dan metode pengumpulan data adalah teknik simak dan teknik catat,
membuat peneliti semakin yakin untuk menggunakan beberapa penelitian kesantunan
tersebut. Selain fakta dan kesamaan yang ditemukan penulis, berkaitan dengan
kelangkaan studi ketidaksantunan berbahasa ini, dipaparkan oleh Miriam A Locher
(2008) ‗enormous imbalance exists between academic interest in politeness phenomena as opposed to impoliteness phenomena.‘ Jadi, tidak saja ketimpangan dalam pengertian yang biasa saja, tetapi ‗enormous imbalance‘ itu berarti terdapat
ketimpangan besar sekali antara studi ketidaksantunan dan kesantunan dalam
berbahasa. Adanya kelangkaan studi ketidaksantunan tersebut menyebabkan sulitnya
menemukan sumber-sumber, referensi-referensi, bahkan penelitian-penelitian yang
relevan dengan kajian itu. Oleh karena itu, beberapa penelitian kesantunan berbahasa
yang telah dipaparkan tersebut dapat peneliti gunakan sebagai acuan dan pijakan
dalam mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa khususnya dalam ranah
pendidikan yang selama ini belum ada peneliti yang mengkaji lebih dalam.
2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa
Pada prinsipnya ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk pertentangan
dengan kesantunan berbahasa. Apabila kesantunan berbahasa berkaitan dengan
penggunaan bahasa yang baik, santun, dan sesuai dengan tatakrama,
ketidaksantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik,
(35)
santun banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara lisan maupun
tulisan. Lebih dari itu, penggunaan bahasa yang tidak santun tersebut tidak hanya
dilakukan oleh masyarakat tak berpendidikan, tetapi juga oleh masyarakat yang
berpendidikan (kaum intelektual). Adapun beberapa teori para ahli yang
mengemukakan ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut.
2.2.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
Menurut Miriam A Locher (2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa
dapat dipahami sebagai berikut, „…behaviour that is face-aggravating in a
particular context.‟ Perilaku ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada
perilaku ‗melecehkan‘ muka (face-aggravate) yang sesungguhnya lebih dari sekadar „mengancam‟ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987),
atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka
Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009).
Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap
ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku „melecehkan muka‟, melainkan perilaku yang „memain-mainkan muka‟. Tindakan bertutur sapa akan dikatakan sebagai tindakan yang tidak santun bilamana muka (face) dari mitra tutur
dipermainkan, atau setidaknya dia telah merasa bahwa penutur
(36)
bahwa ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher
adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan
muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‗aggravate‘ itu.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diperjelas
dengan contoh tuturan berikut.
Cuplikan 1
Mahasiswa 1: ―Tujuh puluh delapan pak‖ (diulang dua kali)
Mahasiswa 2: ―Nek ngomong jangan kayak orang kumur-kumur” (1)
Cuplikan 2
Mahasiswa 1: ―Eh ini soalnya ditulis nggak? Soalnya ditulis enggak pak?‖ Mahasiswa 2: ―Enggak, dimakan!‖ (2)
Informasi indeksal
Tuturan (1) pada contoh di atas dituturkan oleh seorang mahasiswa
laki-laki kepada teman mahasiswi di kelas ketika perkuliahan sedang berlangsung.
Pada saat itu, mahasiswi berusaha menyampaikan hasil koreksi kuis yang baru
saja dikoreksinya kepada dosen. Mahasiswi itu baru beberapa waktu
menggunakan behel sehingga masih kesusahan untuk berbicara. Tuturan (2)
dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada teman mahasiswa di dalam kelas.
Pada saat perkuliahan berlangsung diadakan sebuah kuis, seperti kebiasaan
dosen membacakan soal dan para mahasiswa mencatat soal tersebut.
Mahasiswa itu menanyakan soal yang dibacakan dosen kepada temannya
sehingga menimbulkan kegaduhan.
Tuturan (1) dan (2) merupakan bentuk ketidaksantunan berbahasa yaitu
(37)
mitra tutur secara langsung di depan mitra tutur. Tuturan (1) penutur
mengatakan dengan sindirannya bahwa mitra tutur berbicara seperti orang
yang berkumur secara langsung. Pernyataan tersebut dapat mengakibatkan
mitra tutur merasa dihina atau dilecehkan oleh penutur. Tuturan (2) penutur
mengatakan secara singkat sindirannya untuk memperingatkan mitra tutur
yang telah menimbulkan kegaduhan ketika kuis berlangsung. Tuturan (2) juga
dapat menimbulkan luka hati bagi mitra tuturnya.
Selain itu, Locher (2008) juga mendefinisikan bahwa ketidaksantunan
adalah bentuk memain-mainkan muka. Tuturan (3) pada bagian berikut dapat
memperjelas pernyataan ini.
Cuplikan 3
Mahasiswa 1: ―Hai nona, mau ngapain eh kamu?‖ Mahasiswa 2: ―Yauda sii biasa aja!‖ (3)
Informasi indeksal
Tuturan (3) dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada teman mahasiswa
lain. Tuturan terjadi ketika jeda kuliah, beberapa mahasiswa masuk ke dalam
kelas untuk mencari tempat duduk. Seorang mahasiswa menyapa dan
menggoda teman mahasiswa itu. Seperti kebiasaan, teman mahasiswa itu
selalu menanggapi godaan temannya dengan santai, tetapi saat itu dia tidak
bertingkah demikian. Tuturan tersebut termasuk bentuk ketidaksantunan yaitu
memain-mainkan muka karena tindakan teman mahasiswa yang biasa ramah
(38)
ketidakramahan tersebut dapat pula menimbulkan kebingungan dan bahkan
mengakibatkan luka hati bagi mitra tuturnya. Dengan demikian, tuturan (1),
(2), dan (3) merupakan contoh bentuk ketidaksantunan yaitu melecehkan
muka dan memain-mainkan muka. Tuturan melecehkan muka terjadi apabila
penutur tidak menyukai tindakan mitra tutur yang dirasa penutur tidak
nyaman, sedangkan memain-mainkan muka terjadi apabila tuturan yang tidak
biasa dikeluarkan atau dilontarkan kepada penutur, saat itu terjadi karena
adanya keadaan yang tidak disukai penutur terhadap mitra tutur. Tuturan yang
melecehkan dan memain-mainkan muka itu dapat pula menimbulkan luka hati
bagi mitra tuturnya.
2.2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield
Menurut Bousfield (2008:3), ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami
sebagai, ‗The issuing of intentionally gratuitous and conflictive
face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.‟ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi „kesembronoan‟ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu.
Jadi apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan
ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga
akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik,
atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan
kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas
(39)
Ada beberapa indikasi penentu kesembronoan yatiu tuturan dinyatakan
secara langsung, tuturan negatif, tuturan positif, tuturan mengandung
implikatur, dan kesantunan yang ditahan. Tuturan–tuturan pada bagian berikut akan memperjelas pernyataan ini.
Cuplikan 4
Mahasiswa 1: ―Potong model opo to kowe?‖ Mahasiswa 2: ―Kowe potong koyo pitik gering‖ (4)
Cuplikan 5
Mahasiswa 1: ―Pie laporan PPLmu?‖
Mahasiswa 2: ―Kurang tanda tangan guru pamong‖ Mahasiswa 1: ―Lha guru pamongmu neng ndi?‖ Mahasiswa 2: ―Palestina‖ (5)
Cuplikan 6
Mahasiswa 1: ―Mau kemana buk? Ngajar? (melihat mahasiswa 2
menggunakan baju rapi seperti layaknya guru ke perpustakaan memberi komentar sambil tertawa kecil)‖ (6)
Mahasiswa 2: ―Iya mau ngajar aku.‖
Cuplikan 7
Mahasiswa 1: ―Iya ini kuliah Psikolinguistik, kamu kuliah apa e mbak?‖ Mahasiswa 2: ―Kuliah sama kamu‖ (sambil tertawa kecil) (7)
Cuplikan 8
(8) Mahasiswa 1: ―Ni buat kamu‖ (sambil memberikan coklat) Mahasiswa 2: ―Oh iya.‖
Informasi indeksal
Tuturan (4) dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada teman mahasiswa
di depan ruang kelas saat menunggu kelas berikutnya dengan suasana santai
dan ramai. Penutur mengomentari model rambut mitra tutur yang baru secara
langsung dan sembrono. Tuturan (5) dituturkan oleh seorang mahasiswa
(40)
Tuturan tersebut merupakan tuturan yang sembrono pula. Kata palestina bisa
diartikan tidak santun apabila mitra tuturnya tidak memiliki relasi yang dekat
dan akrab dengan penutur, tetapi apabila penutur sedang mengharapkan
jawaban yang serius seperti dalam cuplikan 5 dapat pula terjadi konflik
sekalipun penutur dan mitra tutur berteman akrab. Tuturan (6) dituturkan oleh
mahasiswi kepada teman mahasiswi lain yang sedang memasuki
perpustakaan. Mahasiswi tersebut mengenakan baju rapi layaknya guru
sehingga menimbulkan komentar dari temannya. Komentar tersebut
dituturkan secara langsung dan sembrono di depan penutur. Tuturan (7)
dituturkan oleh seorang mahasiswa sebagai kakak tingkat kepada adik
tingkatnya di depan ruang kelas. Wujud kebahasaan tersebut disampaikan
secara langsung dan sembrono untuk menimbulkan gelak tawa. Tuturan (8)
dituturkan oleh mahasiswa kepada teman mahasiswinya ketika sedang
menunggu jeda kuliah. Mahasiswa tersebut memberikan coklat kepada
temannya. Penutur berasumsi bahwa mitra tutur akan mengucapkan terima
kasih ternyata mitra tutur tidak mengatakan hal tersebut. Tuturan tersebut
termasuk wujud ketidaksantunan karena dapat menimbulkan konflik di antara
keduanya.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) ini
lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh
(41)
tuturnya dengan tanggapan semaunya secara sengaja dan dapat
memungkinkan adanya konflik diantara penutur dan mitra tutur.
2.2.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper
Pemahaman Culpeper (2008:3) tentang ketidaksantunan berbahasa
adalah, ‗Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior
intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be
so.‟ Dia memberikan penekanan pada fakta „face loss‟ atau „kehilangan
muka‟—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep „kelangan rai‟ (kehilangan muka). Culpeper memberikan penekanan pada
fakta ‗face loss‟ atau fakta ‗kehilangan muka‘ untuk menjelaskan konsep
ketidaksantunan dalam berbahasa itu. Sebuah tuturan akan dianggap sebagai
tuturan yang tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang.
Setidaknya tuturan yang menghilangkan muka itu dirasakan oleh sang mitra
tutur sendiri.
Dengan demikian, ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu
merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk
membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya
orang tersebut „merasa‟ kehilangan muka.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diperjelas
(42)
Cuplikan 9
Mahasiswa 1: ―Menurut saya judul makalah Anda kurang spesifik, masih banyak variabel sehingga terkesan boros kata-kata jadi perlu diperbaiki.‖ Mahasiswa 2: ―Terima kasih atas masukannya, sebenarnya judul saya ini sudah direvisi oleh dosen. Jadi saya tidak mengubahnya lagi.‖ (9)
Cuplikan 10
Mahasiswa 1: ―Yah buka sepatu nih.‖ (sambil membuka sepatu) Mahasiswa 2: ―Ihh kakimu cantik ya kayak cewek.‖ (10)
Informasi indeksal
Tuturan (9) dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada teman mahasiswa di
dalam kelas. Pada saat perkuliahan berlangsung, terdapat sesi presentasi dan
pemberian tanggapan. Penutur sebagai pemakalah mendapat tanggapan dari
pembahas umum yaitu mitra tutur. Mitra tutur mengatakan bahwa judul
penutur kurang spesifik, lalu penutur memberikan konfirmasi dari tanggapan
tersebut. Konfirmasi penutur yang disampaikan secara langsung di depan
mitra tutur, teman satu kelas, dan dosen pengampu. Tuturan (10) dituturkan
oleh seorang mahasiswi kepada teman mahasiswa ketika akan memasuki
ruang laboratorium bahasa. Para mahasiswa harus melepas sepatu mereka
ketika masuk laboratorium bahasa. Mitra tutur mengomentari kaki penutur
dengan suara keras dan menimbulkan perhatian teman lain sehingga banyak
teman yang menertawakannya. Tuturan (9) dan (10) merupakan tuturan yang
termasuk ke dalam ketidaksantunan berbahasa yang menghilangkan muka
mitra tuturnya karena tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa dijatuhkan
(43)
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper ini lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh
penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya di
depan umum.
2.2.4 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi
Terkourafi (2008:3-4) memandang ketidaksantunan sebagai,
„impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative
to the context of occurrence; it threatens the addressee‟s face but no face
-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.‟ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra
tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face
threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka
itu dari mitra tuturnya.
Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan contoh berikut.
Cuplikan 11
Mahasiswa 1: ―Weh kertasku mana?‖ (sambil menyentuh badan mahasiswa 2) Mahasiswa 2: ―Apa lho kamu tu gak usah pegang-pegang! Asem kok.‖ (11)
Informasi indeksal
Tuturan (11) dituturkan oleh mahasiswi kepada teman mahasiswanya di
(44)
menunjukkan bahwa mahasiswa 1 berusaha meminta respon mahasiswa 2,
namun mahasiswa 1 meminta dengan cara yang membuat mahasiswa 2 tidak
nyaman dengannya yaitu dengan menyentuh badan mahasiswa 2. Mahasiswa
1 bertutur dengan intonasi tanya sedangkan mahasiswa 2 bertutur dengan nada
keras dan sinis. Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa 2
menanggapi dengan rasa kesal yang mengancam muka secara sepihak
mahasiswa 1. Hal tersebut membuat mahasiswa 1 sebagai mitra tutur merasa
terancam dan malu dengan tanggapan dari mahasiswa 2 dengan tuturan (11)
itu.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi (2008) ini lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh
penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra
tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya
menyinggung mitra tutur.
2.2.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts
Locher and Watts (2008:5) berpandangan bahwa perilaku tidak santun
adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked
behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan
peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate
(45)
berikut ini, „…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more
generally is as much as this negation as polite versions of behavior.‟ (cf. Lohcer and Watts, 2008:5).
Setiap daerah mempunyai norma atau peraturan yang mengatur perilaku
masyarakat. Peraturan itu bersifat wajib dan mengikat. Selain daerah atau
wilayah tertentu, suatu organisasi atau lembaga pendidikan pasti mempunyai
peraturan yang berfungsi mengatur perilaku atau tindakan semua warga yang
bernaung di lembaga tersebut. Universitas adalah salah lembaga pendidikan,
warga masyarakat di lembaga universitas adalah dosen, mahasiswa, dan
karyawan.
Norma yang telah ditetapkan itu adalah bentuk kesempakatan bersama
antara yang membuat norma dan pelaksana norma. Norma juga suatu bentuk
kerja sama antar hubungan sesama bila norma mampu direalisasikan dengan
baik tidak akan ada perselisihan. Namun, bila terjadi pelanggaran norma akan
terjadi pertengkaran – bentuk kebahasan ketidaksantunan – konflik antar penutur dan mitra tutur. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa
ini dapat diperjelas dengan contoh berikut.
Cuplikan 12
Mahasiswa 1: ―Udah dari tadi po rapate?
Mahasiswa 2: ―Udaa sekitar 15 menit yang lalu, sekarang giliran bendahara
laporan‖
Mahasiswa 1: ―Oohh gitu tha‖
Mahasiswa 3: ―Kamu gak inget apa kata ketua? Kita harus on time ee kamu
(46)
Mahasiswa 1: ―Hehehee lupaa, emang pada patuh ama omongan ketua po?!‖ (12)
Mahasiswa 3: ―Iyalaah itu kan udah komitmen panitia!‖ Informasi indeksal
Tuturan (12) disampaikan oleh mahasiswa 1 yang terlambat datang ke
rapat panitia dengan santai tanpa rasa bersalah membuat mahasiswa 2 dan 3
meresponnya dengan nada sinis dan jengkel. Dari percakapan di atas dapat
diketahui bahwa mahasiswa 1 tidak menghiraukan komitmen panitia yang
sudah disepakati bersama yaitu on time. Sebaliknya mahasiswa 1 tanpa
merasa bersalah menanggapi dengan tuturan (12). Tuturan tersebut merupakan
tuturan yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar
komitmen panitia yang menjadi sebuah norma dalam kelompok panitia
tersebut.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts (2008)
ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan
oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap
melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).
2.2.6 Rangkuman
Berdasarkan sejumlah teori ketidaksantunan yang disampaikan di bagian
(47)
1. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Miriam A. Locher sebagai
tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka
2. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku
berbahasa yang mengancam muka dilakukan secara sembrono
(gratuitous), hingga mendatangkan konflik
3. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper adalah perilaku
berbahasa untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face
loss), atau setidaknya orang tersebut „merasa‟ kehilangan muka
4. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi adalah perilaku
berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap
kehilangan muka, dan penutur tidak mendapatkan maksud ancaman muka
itu dari mitra tuturnya
5. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts adalah
perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, lantaran
melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Kelima teori ketidaksantunan berbahasa itu, semuanya akan digunakan
sebagai kacamata untuk melihat praktik berbahasa yang tidak santun
antarmahasiswa Progam Studi PBSID Angkatan 2009--2011 di Universitas
Sanata Dharma.
2.3 Tindak Tutur
(48)
mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi penutur
juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu.
Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan itu biasanya disebut tindak tutur.
Austin (1962) membedakan tiga jenis tindakan yang bekaitan dengan ujaran.
Ketiganya adalah tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak
perlokusioner atau singkatnya lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Searle melalui
bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language (dalam
Wijana, 2011:21) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya
ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni
tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak
perlokusi (perlocutionary act).
2.3.1 Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu
(Wijana, 2011:21). Tindak tutur ini dinamakan the act of saying
something. Konsep lokusi sendiri berkenaan dengan proposisi kalimat.
Kalimat di sini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri dari dua
unsur, yakni subjek/topik dan predikat/comment (Nababan, 1987:4
dalam Wijana:22). Sebagai satuan kalimat, pengidentifikasian tindak
lokusi cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan
yang tercakup dalam situasi tutur. Jadi, tindak tutur lokusioner adalah
tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang
(49)
atau menurut Yule (1996:83) tindak dasar tuturan atau yang
menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna.
Perhatikan contoh berikut.
(1) Aku pulang dulu ya. (2) Kamu cantik hari ini.
(3) Yogyakarta diguyur hujan malam tadi.
Kalimat (1) dan (2) dituturkan oleh penuturnya semata-mata
untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan
sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Pada kalimat
(1), informasi yang dituturkan adalah penutur pulang lebih dulu, dan
kalimat (2) mitra tutur cantik. Kalimat (3) juga berfungsi untuk
mengutarakan informasi, yaitu memberitahukan bahwa kota
Yogyakarta hujan tadi malam.
Berdasarkan contoh-contoh itu, dapatlah dilihat bahwa ihwal maksud
tuturan yang disampaikan oleh penutur tidak dipermasalahkan sama sekali.
Dengan demikian, tindak tutur lokusioner adalah tindak menyampaikan
informasi yang disampaikan oleh penutur.
2.3.2 Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan berfungsi untuk mengatakan atau menyampaikan
sesuatu dan untuk melakukan sesuatu. Tuturan yang berfungsi untuk
menyampaikan sesuatu disebut tindak lokusi, sedangkan tuturan yang
(50)
2011:23). Tindak tutur ini disebut the act of doing something. Tindak tutur
ilokusioner merupakan tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya. Tindak tutur
ilokusioner cenderung tidak hanya digunakan untuk menginformasikan
sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya
dipertimbangkan dengan seksama. Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
(4) Di sini dingin sekali ya. (5) Pemulung dilarang masuk.
(6) Baju kotormu sudah menumpuk di sana.
Kalimat (4) s.d (6) ini tidak saja memberi informasi tertentu
(sesuai isi kalimat itu) tetapi juga untuk melakukan sesuatu jika
dipertimbangkan situasi tuturnya berikut ini. Kalimat (4) bila
diutarakan oleh mahasiswa kepada temannya yang berada di ruang
ber-AC, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk
melakukan sesuatu, yakni bisa saja meminta untuk mengecilkan
ACnya. Informasi keinginan penutur dalam hal ini kurang begitu
penting karena besar kemungkinan mitra tutur sudah mengetahui hal
itu. Kalimat (5) yang biasa ditemui di bagian depan gang perumahan
tidak hanya berfungsi untuk membawa informasi, tetapi untuk
memberi peringatan kepada pemulung. Kalimat (6) bila diucapkan
oleh ibu kepada anaknya, mungkin berfungsi untuk menyatakan
(51)
Gambaran contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa tindak
ilokusi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus
mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana
tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Selain itu, tindak ilokusi
ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Itulah
sebabnya tindak ilokusi menjadi bagian yang sentral untuk memahami
tindak tutur.
Tindak tutur ilokusi sering menjadi kajian utama dalam bidang
pragmatik (Rahardi, 2009:17). Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan
Rahardi: 2005:36-37) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam lima
macam bentuk tuturan, yakni
(1) Asertif (assertives) atau representatif, yaitu bentuk tutur yang
mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan,
misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggeting),
membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim
(claiming).
(2) Direktif (direcitives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan
penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur
melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah
(commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan
(52)
(3) Ekspresif (expressives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk
menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap
suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thinking), memberi
selamat (congrangtulating), meminta maaf (pardoning),
menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa
(condoling).
(4) Komisif (cummissives) yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk
menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promosing),
bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).
(5) Deklarasi (declarations) yaitu bentuk tutur yang menghubungkan
isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning),
memecat (dismissing), membaptis (christening), memberi nama
(naming), mengangkat (appointing), mengucilkan
(excommuningcating), dan menghukum (sentencing)
Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini
(53)
Tabel : Lima Fungsi umum tindak tutur (menurut Searle, dalam Yule, 1996:95)
Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P = penutur; X = situasi
Deklarasi Kata mengubah dunia P menyebabkan X
Representatif Kata disesuaikan dengan dunia P meyakini X
Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X
Direktif Dunia disesuaikan dengan kata P menginginkan X
Komisif Dunia disesuaikan dengan kata P memaksudkan X
2.3.3 Tindak Perlokusi
Tuturan juga seringkali mempunyai daya pengaruh
(perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau
daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan
oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi (Wijana,
2011:24). Tindak tutur ini disebut the act of affecting something.
Perhatikan beberapa contoh berikut.
(7) Saya lapar, tapi uang saya habis. (8) Gelap sekali ruangan ini.
(9) Charger laptopku hilang.
Kalimat (7), (8), dan (9) mengandung lokusi dan ilokusi bila
dipertimbangkan konteks situasi tuturnya, serta perlokusi jika penutur
(54)
kalimat (7) diutarakan oleh seorang mahasiswa kepada teman
mahasiswanya, maka ilokusinya adalah secara tidak langsung meminta
uang kepada temannya itu. Adapun efek perlokusi yang mungkin
diharapkan agar mitra tutur meminjamkan uang atau mentraktir si
penutur. Bila kalimat (8) diutarakan oleh seorang dosen kepada
mahasiswanya yang baru saja masuk ke ruang kelas yang gelap,
kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk meminta menyalakan
lampu di ruangan tersebut, dan perlokusi (efeknya) yang diharapkan
adalah mitra tutur menyalakan lampu. Bila kalimat (9) diutarakan oleh
seseorang kepada temannya ketika di perpustakaan, kalimat ini tidak
hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa permintaan
untuk membantu menemukan chargernya yang hilang, dengan
perlokusi mitra tutur membantu mencari chargernya.
Tindak tutur perlokusioner mengandung daya pengaruh bagi
lawan tutur. Contoh lain yang dikemukakan Wijana (2011:25) adalah
(10) Baru-baru ini Walikota telah membuka Kurnia Department Store yang terletak di pusat perbelanjaan dengan tempat parkir yang cukup luas.
Kalimat (10) selain memberikan informasi, juga secara tidak langsung
merupakan undangan atau ajakan untuk berbelanja ke department
store bersangkutan. Letak department store yang strategis dengan
(55)
para pembacanya. Wacana seperti ini seringkali dijumpai pada bentuk
wacana iklan. Secara sepintas, wacana iklan seperti ini merupakan
berita, tetapi daya ilokusi dan perlokusinya sangat besar terlihat.
2.3.4 Rangkuman
Seperti yang telah dipaparkan oleh Searle (1983), tindak tutur dapat
dikategorikan menjadi tiga macam yang meliputi (1) tindak lokusi
dinamakan the act of saying something atau tindak tutur untuk
menyatakan sesuatu, (2) tindak ilokusi disebut the act of doing
something atau tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi
tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, dan (3) tindak
perlokusi disebut the act of affecting something atau tindak tutur untuk
mempengaruhi lawan tutur. Selanjutnya Searle (1983) juga
menggolongkan tindak tutur ilokusi menjadi lima macam yang meliputi
asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi yang kelima macam itu
memiliki fungsi komunikatif tersendiri.
2.4 Konteks Tuturan
Pada dasarnya di dalam penggunaan bahasa sehari-hari terdapat
unsur penting yang memengaruhi pemakaian bahasa itu. Unsur penting
yang dimaksud adalah konteks. Konteks sangat memengaruhi bentuk
bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Adanya teori mengenai
(56)
dan bagaimana sebuah tuturan atau kalimat itu muncul. Seperti yang
diketahui, dahulu konteks belum terlalu diperhatikan oleh ahli bahasa
sehingga penelitian mereka hanya mengkaji bahasa dari segi fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Hasil penelitian tersebut lazimnya
berupa sistem bahasa yang bentuknya gramatikal saja. Oleh karena itu,
sejak permulaan tahun 1970-an para ahli linguistik menyadari
pentingnya konteks dalam penafsirkan kalimat atau tuturan itu.
Jauh sebelum para pakar linguistik dan pragmatik lain, Malinowsky
pada tahun 1923, berbicara tentang konteks itu sendiri, khususnya
konteks yang berdimensi situasi atau ‗context of situation‟. Secara khusus Malinowsky mengatakan, seperti yang dikutip di dalam
Vershueren (1998:75), „Exactly as in the reality of spoken or written
languages, a word without linguistics context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue,
the utterance has no meaning except in the context of situation.‟ Dengan demikian, di dalam pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa
kehadiran konteks situasi menjadi penting dan mutlak untuk menjadikan
sebuah tuturan benar-benar bermakna.
Hymes (1974) berpendapat bahwa konteks terdiri dari latar fisik dan
psikologis (setting and scene), peserta tutur (participants), tujuan tutur
(ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur
(57)
Nugroho, 2009:119). Kedelapan komponen tutur dalam situasi tutur
tersebut sering disingkat menjadi SPEAKING yang semuanya itu dapat
memengaruhi tuturan seseorang.
Penjelasan agak panjang terkait konteks juga dikemukan Levinson.
Levison (1983:5) mengemukakan konteks dari definisi Carnap, yaitu
istilah yang dipahami yang mencakup identitas partisipan, parameter,
ruang dan waktu dalam situasi tutur, dan kepercayaan, pengetahuan,
serta maksud partisipan di dalam situasi tutur. Selanjutnya Levinson
(1983:22-23) menjelaskan bahwa untuk mengetahui sebuah konteks,
seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam
semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri
tuturan tersebut secara budaya dan linguistik yang berhubungan dengan
produksi dan penafsiran tuturan. Untuk mengetahui konteks, Levinson
mengambil pendapat Lyons yang membuat daftar prinsip-prinsip
universal logika dan pemakaian bahasa, yaitu seperti di bawah ini:
(1) Pengetahuan ihwal aturan dan status (aturan meliputi aturan dalam
situasi tutur seperti penutur atau petutur, dan aturan sosial,
sedangkan status meliputi nosi kerelativan kedudukan sosial);
(2) Pengetahuan ihwal lokasi spasial dan temporal;
(3) Pengetahuan ihwal tingkat formalitas;
(58)
(5) Pengetahuan ihwal ketepatan sesuatu yang dibahas; dan
(6) Pengetahuan ihwal ketepatan bidang wewenang (atau penentuan
domain register sebuah bahasa). (melalui Nugroho,
2009:119-120).
Mey (dalam Kunjana 1994:39), „… context is more than a matter of reference and of understanding what things are about, practically speaking. Context is also what gives our utterances their deeper meaning.‟ Pada bagian lain Mey (1994:40) menegaskan „the context is
also of paramaount importance in assigning a proper value to such phenomena as propositions, implicature, and the whole sets of context-oriented features …‟ Adanya kehadiran konteks itu, sebagaimana yang dimaksudkan Mey di atas, sangat dimungkinkan dipahami entitas
kebahasaan secara lebih komprehensif dan mendalam, bukan sekadar
menunjuk pada hal-hal yang sifatnya referensial. Memang secara
referensial sudah terlihat jelas penuturnya dan mitra tutur siapa, di mana
dan kapan peristiwa tutur itu terjadi tetapi lebih dari itu terdapat
pernyataan yang terkandung dalam sebuah tuturan, ada pula implikatur
dan segala hal yang melingkupi tuturan itu.
Yule (melalui Nugroho, 2009:120) membahas konteks dalam
kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi
referen-referan yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang
(1)
PARAMETER PENENTU KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
250
berhenti menimbulkan kejengkelan 3. Melecehkan Muka Tuturan
dikatakan dengan nada sedang (sinis, sindiran) dan nada tinggi (marah, kecewa) Tuturan dikatakan dengan tekanan sedang Intonasi berita (turun), intonasi tanya (naik), dan intonasi perintah (tinggi) Nonstandar Tempat terjadinya suatu tuturan: di mana saja Keadaan sekitar sesuatu/ dalam lingkungan sesuatu: santai dan serius
1. tindak verbal ekspresif dan tindak verbal direktif 2. tindak perlokusi: umumnya mitra tutur merespon tetapi terpaksa karena luka hati
A: “Pak ini
nyimpannya di mana sih pak? Dinilai gak Pak?”
B: “Ini latihan saja supaya kalian ingat lagi. Simpan saja di D, beri nama kalian masing-masing.” B: “Aah susah-susah bikin gak dinilai Pak!”
4. Mengancam Muka Tuturan dikatakan dengan nada tinggi (marah, kecewa) dan sedang (sindiran, sinis) Tuturan dikatakan dengan tekanan keras dan tekanan sedang Intonasi berita (turun), intonasi tanya (naik), dan intonasi perintah (tinggi) Nonstandar Tempat terjadinya suatu tuturan: di mana saja Keadaan sekitar sesuatu/ dalam lingkungan sesuatu: tegang, serius
1. tindak verbal ekspresif dan tindak verbal direktif 2. tindak perlokusi: umumnya mitra tutur melakukan sesuatu yang diminta penutur walaupun secara terpaksa
A: “Eh sik ngoreksi nggonamu aku lhoo” B: “Hoo po?”
A: “Hoo laah” B: “Neg entuk elek tak tuntut kowe!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(2)
251 5. Menghilangkan
Muka
Tuturan dikatakan dengan nada tinggi (marah, kecewa) dan nada sedang (sindiran)
Tuturan dikatakan dengan tekanan keras dan tekanan sedang
Intonasi berita (turun), intonasi tanya (naik), dan intonasi perintah (tinggi)
Nonstandar
Tempat terjadinya suatu tuturan: di mana saja
Keadaan sekitar sesuatu/ dalam lingkungan sesuatu: tegang, serius, dan santai
1. tindak verbal ekspresif dan tindak verbal direktif 2. tindak
perlokusi: umumnya mitra tutur merespon dan segera melakukan sesuatu
A: “Pak gak keliatan.” B: “Yang mana?” A: “Pak tulisannya gak jelas”
B: “Kalau kamu gak bisa liat jelas cepat maju sini! gak tahu diri.”
(3)
(4)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Caecilia Petra Gading May Widyawari, dilahirkan di Jepara
tanggal 19 Mei 1992. Ia menamatkan pendidikan tingkat
sekolah dasar di SD Negeri 2 Bugo, Jepara, Jawa Tengah. Ia
melanjutkan ke SMP dan menamatkan pendidikan sekolah
menengah pertama di SMP Negeri 1 Welahan, Jepara pada
tahun 2006. Tiga tahun kemudian menamatkan pendidikan sekolah tingkat
menengah atas di SMA Negeri 1 Jepara pada tahun 2009. Setelah lulus SMA,
ia menempuh studi di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia lulus dari Pendidikan Bahasa,
(5)
viii ABSTRAK
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011
Universitas Sanata Dharma. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang dituturkan antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah mahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Instrumen penelitian berupa panduan wawancara (daftar pertanyaan), pertanyaan pancingan, dan pernyataan kasus. Metode pengumpulan data yakni, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Beberapa teknik tersebut diwujudkan peneliti dengan cara menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengklasifikasi. Dalam analisis data, peneliti mengutip data beserta konteksnya. Selanjutnya, peneliti menginterpretasi wujud, penanda dan makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik tuturan-tuturan yang telah dikutip dengan memerhatikan konteks yang melingkupi terjadinya tuturan itu. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kontekstual.
Simpulan hasil penelitian ini adalah: (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: a) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, c) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Saran penelitian ini untuk para mahasiswa adalah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau gambaran umum mengenai ketidaksantunan berbahasa, supaya para mahasiswa dapat mengurangi dan menghindari ketidaksantunan berbahasa itu. Lalu untuk peneliti berikutnya dapat memperdalam penelitian ketidaksantunan tentang cara orang melecehkan muka, mengancam muka dan menghilangkan muka serta tentang penanda ketidaksantunan dalam hal nonkebahasaan.
(6)
ix
ABSTRACT
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. 2013. Linguistic and Pragmatic Language
Impoliteness among PBSID Students of the Academic Year 2009—2011 in
Sanata Dharma University. THESIS. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
This research discussed the forms of impoliteness utterance among PBSID students of the Academic Year 2009—2011 in Sanata Dharma University. The purposes of this research are: (1) describe a form of linguistic and pragmatic language impoliteness, (2) describe a sign of linguistic and pragmatic language impoliteness, and (3) describe the meaning of impoliteness among PBSID students of the Academic Year 2009—2011 in Sanata Dharma University.
Type of this research is descriptive qualitative. The data sources of this research were the PBSID students of the Academic Year 2009—2011 in Sanata Dharma University. The instruments used in this research are interview, elicitation, and cases studies using language impoliteness theory. The roundup data method used are grouping and interview. The collecting data method uses tapping method as a basic method, the continuation technique is direct interview and the last technique is written data recording. Interview technique is an elicitation technique as a basic technique. The follow up technique is direct interview and indirect interview. Both the techniques can be applied both in grouping and interview. The researcher can use those two techniques both in grouping and interview by inventoring, indentifying, and clarifying the data. In analyzing the data, the research cites the data and the spoken language. The final step done by the researcher is interpreting the meaning of the language. The data analysis used in this research is contextual analysis method.
The conclusions of this research are: (1) the linguistics impoliteness form can be seen from the spoken language used among students consisting aggravate, face-gratuitous, face-threaten, and face-loss. Then pragmatic impoliteness form can be observed based on contextual (speaker, receiver, situation, condition, verbal act, perlocutionary act, and purpose of speech). (2) the sign of linguistic impoliteness can be observed based on tone, stress, intonation, and diction. The sign of pragmatic impoliteness can be observed based on the context consists of speaker, receiver, situation, condition, verbal act, perlocutionary act, purpose of speech. (3) the meaning of impoliteness are (a) face-aggravate, taunt from the speaker to the receiver and it hurts the person. (b) Face expression which confuses the speaker and receiver and it is annoying. (c) face-gratuitous, intended jokes which cause a conflict. (d) face-loss, mortifies somebody in front of the people. (e) face-threatening which cause a threat to the person.
Suggestion of this research for students is the results of this study can be used as a reference or overview of language impoliteness, so that students can reduce and avoid impoliteness in language. Then for future researcher can deepen the research of impoliteness about how people do face-aggravate, face-threatening, and face-loss and about the sign of impoliteness in term of nonverbal action.