Penutur mengancam keselamatan muka mitra tutur berarti penutur telah melanggar strategi kesantunan dari Brown dan Levinson dalam Chaer 2010:
53-55, dimana penutur seharusnya dapat menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan positif yakni membesar-besarkan perhatian,
persetujuan dan simpati kepada mita tutur. Tuturan yang demikian, memperlihatkan bahwa penutur tidak berusaha mengusahakan persetujuan
dengan mitra tutur bahkan tidak memberikan simpati terhadap mitra tutur yang sudah berusaha menjawab pertanyaan dengan sebaik mungkin. Penutur
memang boleh berbeda pendapat dalam sebuah diskusi kelas, akan tetapi tetap harus menghargai pendapat orang lain dan dapat menerimanya, apabila
tidak setuju haruslah disampaikan dengan tuturan yang lebih santun agar tidak terjadi pertentangan, bagaimanapun diskusi adalah wadah untuk
bertukar pikiran agar mencapai suatu kesepakatan bersama. Penutur boleh saja tidak sependapat dengan mitra tutur, tetapi dalam
mengungkapkannya perlu diperbaiki lagi dalam memilih diksi dan notasi karena bisa jadi mitra tutur akan sakit hati atau tertekan dengan tuturan yang
seperti itu dan akan dipandang tidak santun oleh mitra tutur yang lain terlebih bagi muka mitra tuturnya.
4.2.2.6 Pelanggaran Maksim Kesimpatisan
Simpati dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang merasakan perasaan senang,susah dsb orang lain. Seseorang yang dapat bersimpati
terhadap orang lain dipandang sebagai seseorang yang dapat memahami PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perasaan orang lain. Rasa simpatik juga harus diperhatikan ketika proses komunikasi berlangsung agar proses komunikasi antara penutur dan mitra
tutur dapat berjalan dengan lancar dan terasa santun. Leech mempunyai gagasan agar bertutur santun dengan memperhatikan rasa simpatik seseorang
yakni maksim kesimpatisan. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif, dalam maksim ini penutur diharapkan dapat mengurangi rasa
antipati antara diri dan orang lain dan meningkatkan rasa simpati sebanyak mungkin. Melihat hal tersebut diharapkan dalam bertutur baik penutur
maupun mitra tutur saling memahami perasaan satu sama lain sehingga tuturan menjadi santun.
Maksim kesimpatisan mengharuskan penutur dan mitratutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati di antara
mereka. Maksim ini diperlukan untuk mengungkapkan suatu kesantunan karena setiap orang perlu bersimpati terhadap prestasi atau musibah yang
melanda orang lain. Kenyataanya orang sulit untuk memperlihatkan rasa simpati terhadap prestasi atau musibah orang lain, padahal sikap simpati
dapat menjadi indikator bahwa seseorang memiliki sikap santun terhadap mitra tutur. Rasa simpati perlu di terapkan dalam proses komunikasi sehari-
hari agar komunikasi dapat berjalan dengan lebih baik dan sebagai makhluk sosial seseorang haruslah peduli terhadap sesamanya, akan tetapi pelanggaran
terhadap maksim ini masih sering dijumpai baik di lingkup formal maupun non formal. Dalam lingkup formal pelanggaran terhadap maksim ini masih
sering dijumpai, salah satunya dalam proses pembelajaran diskusi kelas seperti di bawah ini:
63
Peserta Diskusi : Hahaha, eaa, eaa, itunya di klik, eaaa
Penyaji : Nahh, ininya gak mau
Peserta Diskusi : Aaa ininya gak mau menirukan Penyaji
: Sebentar sebentar Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah diskusi
kelas. Tuturan merupakan tanggapan dari peserta diskusi mitra tutur saat media powerpoint mengalami gangguan tidak dapat di
klik di tekan tombol next.
64 Penyaji : Ya selanjutnya adalah alur, alur adalah rang....
rang... diam Peserta Diskusi: Hasyah hasyah hyaaa hyaaaa
Penyaji : Rangkaian, iya rangkaian jalan cerita dan disusun berdasarkan ururtan waktu.
Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah diskusi kelas. Tuturan merupakan tanggapan dari mitra tutur peserta
diskusi ketika penutur penyaji lupa dalam menjelaskan materi.
65 Penyaji 1
: Ya selamat siang teman-teman, ya kami dari kelompok 6 akan mempresentasikan tentang unsur-unsur ekstrinsik
drama, sebelumnya kami ingin perkenalan dulu dari yang paling kanan
Penyaji 2 : Oke yang pertama saya akan menjelaskan tentang Peserta Diskusi: Hahahahahhahaha perkenalan perkenalan
Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah diskusi kelas. Tuturan merupakan tanggapan dari mitra tutur peserta
diskusi atas kekeliruan yang dilakukan oleh penutur penyaji ketika akan memulai jalannya diskusi kelas.
66 Penyaji
: Lalu apa sih hubungan antara bunuh diri dengan moral hidup ? ini sebelumnya moral, moral itu apa ? moral sendiri
berasal dari bahasa latin yakni moremm, eh morest ..... Peserta Diskusi : Hahaha morem opo morest ? hahahaha
Konteks: Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah diskusi kelas. Tuturan merupakan tanggapan dari mitra tutur peserta
diskusi atas kesalahan yang dilakukan oleh salah sorang penyaji ketika menyebutkan istilah latin.
Data tuturan 63 dituturkan oleh beberapa peserta diskusi ketika diskusi akan dimulai oleh kelompok penyaji dalam mata kuliah retorika kelas A.
Tuturan tersebut merupakan bentuk tindak tutur ekspresif yakni tindak tutur yang menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Penutur
peserta diskusi mengutarakan sikapnya ketika mengetahui mitra tutur penyaji mengalami kesusahan ketika mempersiapkan presentasi dengan
mengucapkan “Hahaha, eaa, eaa, itunya di klik, eaaa” yang dapat diartikan mengejek mitra tutur penyaji tersebut dan hal itu juga mencerminkan
bahwa penutur peserta diskusi tidak mempunyai rasa simpati kepada yang dialami mitra tutur penyaji.
Data tuturan 63 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan Leech 1993: 219 yakni maksim kesimpatisan, dimana penutur
tidak meningkatkan rasa simpati kepada mitra tutur. Tuturan yang dianggap kurang santun tercermin dari tuturan “ hahaha, eaa, eaa, itunya di klik,
eaa... ”, hal itu akan menimbulkan perasaan negatif kepada penutur penyaji
yakni bisa membuat grogi, tidak tenang dan panik yang bisa membuat proses diskusi menjadi tidak lancar. Tidak hanya itu mitra tutur peserta diskusi
juga menirukan perkataan dari penutur “aaa ininya gak mau” dengan nada mengejek dan justru tidak membantu untuk memperbaiki powerpointnya, hal
itu juga mencerminkan bahwa mitra tutur peserta diskusi tidak memberikan simpati kepada penutur penyaji yang sedang mengalami kesusahan dan
denagn cara bertutur seperti itu, penutur telah mengancam muka mitra tuturnya karena dapat membuat mitra tutur kehilangan fokus dan diskusi bisa
menjadi kacau. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cara bertutur seperti itu berlawanan dengan strategi kesantunan yang dikemukakan Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55, dimana
penutur seharusnya dapat menjaga muka positif mitra tuturnya dengan menggunakan kesantunan positif yakni membesar-besarkan perhatian,
persetujuan dan simpati kepada mita tutur, akan tetapi dalam tuturan tersebut penutur justru mengejek mitra tutur yang sedang mengalami kesusahan
sehingga mengancam muka mitra tutur karena bias dianggap tidak mempersiapkan presentasi dengan sebaik mungkin oleh dosen maupun
peserta diskusi yang lain. Tuturan yang demikian memperlihatkan bahwa penutur membuat mitra tuturnya kehilangan muka di hadapan dosen dan
para peserta diskusi yang lain. Penutur seharusnya tidak bertutur seperti itu, karena mitra tutur sudah
berusaha mempersiapkan materi begitu juga dengan powerpoint untuk diskusi kelas akan tetapi kesalahan itu sebenarnya adalah kesalahan teknis
dan bisa menimpa siapa saja bahkan tidak disengaja oleh mitra tutur. Seharusnya penutur dapat menjaga muka mitra tuturnya agar terlihat
santun dan diskusi bisa berjalan dengan lancar misalnya dengan membantu mitra tutur bukan malah mengejeknya. Bercanda atau bergurau memang
tidak disalahkan akan tetapi harus melihat kontek situasi yang tepat jika tidak, bisa terjadi seperti tuturan di atas yakni mengancam muka mitra
tuturnya. Data tuturan 64 dituturkan oleh beberapa peserta diskusi ketika penyaji
sedang menjelaskan materi diskusi dalam mata kuliah teori sastra kelas A. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tuturan tersebut mengandung tindak tutur ekspresif yakni tindak tutur yang menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Penutur
peserta diskusi menyatakan sikapnya ketika mengetahui penutur penyaji lupa akan materi yang akan dijelaskan
dengan mengucapkan “hasyah hasyah hyaaa hyaaa
” yang berarti mengejek penutur penyaji tersebut dan hal itu mencerminkan bahwa mitra tutur peserta diskusi tidak memberikan simpati
kepada penutur penyaji yang melakukan kesalahan. Hal tersebut jelas melanggar prinsip kesantunan Leech 1993: 219 yakni
maksim kesimpatisan, dimana tuturan seharusnya terdapat rasa simpati sebanyak-banyaknya dan dapat dikatakan kurang santun. Tuturan yang
dianggap kurang santun itu tercermin dari tuturan “ hasyah hasyah hyaaa
hyaaa ”, selain dengan diksi yang tidak santun tuturan tersebut juga akan
menimbulkan perasaan negatif kepada penutur penyaji yakni bisa membuat grogi, tidak tenang, panik dan lupa akan materi yang seharusnya dijelaskan
yang bisa membuat proses diskusi menjadi tidak lancar. Seharusnya ketika mengetahui mitra tutur penyaji membuat kesalahan, penutur peserta
diskusi seharusnya membantu jika bisa atau lebih baik diam agar mitra tutur penyaji tenang dan dapat mengingat materinya kembali, namun disini
penutur justru mengejek mitra tutur. Cara bertutur dalam data tuturan 64 dapat mengancam keselamatan
muka mitra tutur dan penutur telah melanggar strategi kesantunan Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55, dimana penutur seharusnya dapat
menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan positif PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur. Tuturan yang demikian, memperlihatkan bahwa penutur tidak
memberikan simpati terhadap apa yang dialami mitra tutur. Seharusnya ketika mitra tutur lupa akan materi yang akan dijelaskan, penutur tidak
mengganggunya karena manusia bisa saja lupa apalagi mengenai materi yang akan dijelaskan karena harus menghafal banyak materi dan akan lebih baik
jika penutur bisa membantunya mengingat bukannya mengejek seperti tuturan di atas yang semakin membuatnya grogi dan tidak tenang, dengan
begitu muka mitra tutur bisa jatuh di mata dosen maupun peserta diskusi karena dianggap tidak menguasai materi dan mengganggu jalannya proses
diskusi. Data tuturan 65 dituturkan oleh seorang peserta diskusi ketika diskusi
akan dimulai oleh kelompok penyaji dalam mata kuliah teori sastra kelas B. Tuturan tersebut mengandung tindak tutur ekspresif yakni tindak tutur yang
menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Penutur peserta diskusi menunjukkan sikapnya ketika mengetahui mitra tutur
penyaji melakukan kekeliruan kerika akan memulai jalannya diskusi, mitra tutur penyaji langsung menjelaskan materi padahal disuruh anggota yang
lain untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu, melihat hal tersebut penutur peserta diskusi justru menertawakannya sehingga mitra tutur penyaji
menjadi malu dan hal ini mengganggu jalannya diskusi kelas. Data tuturan 65 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip
kesantunan Leech 1993: 219 yakni maksim kesimpatisan dimana tuturan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seharusnya memperbanyak rasa simpati kepada orang lain. Penutur peserta diskusi justru tidak memberikan simpati terhadap kekeliruan yang dilakukan
oleh mitra tutur penyaji dan malah menertawakannya. Hal ini menimbulkan efek negatif bagi mitra tutur penyaji yakni menjadi malu bahkan
menundukkan kepala dan hal ini agak menghambat jalannya diskusi karena penutur sempat diam beberapa saat sampai mitra tutur peserta diskusi lain
berhenti tertawa. Tuturan “hahahahaha” bukanlah tuturan yang salah, tetapi karena
tertawanya cenderung mengejek apresiasi negatif dan dengan konteks situasi yang tidak tepat maka terasa kurang santun karena menertawakan
kekeliruan orang lain di depan banyak orang dan jelas itu dapat menjatuhkan muka mitra tutur, hal ini mengganggu jalannya diskusi kelas karena menjadi
terhenti, meskipun hanya tertawa namun jika dilihat hal itu bisa mengancam muka mitra tuturnya karena mengakibatkan rasa malu bahkan sampai
tertunduk. Tertawa bukanlah hal yang salah jika dalam konteks dan situasi yang tepat misalnya saat bercanda akan tetapi hal ini terjadi di saat diakusi
kelas yang seharusnya meminimalkan bercanda dan lebih serius. Cara bertutur seperti ini jelas dapat menjatuhkan muka mitra tutur dan
berlawanan dengan strategi kesantunan Brown dan Levinson dalam Chaer 2010: 53-55, dimana penutur seharusnya dapat menjaga muka positif mitra
tutur dengan menggunakan kesantunan positif yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur.
Tuturan yang seperti itu, memperlihatkan bahwa penutur tidak memberikan simpati terhadap apa yang dialami mitra tutur dan seharusnya
ketika mitra tutur melakukan kesalahan tidak langsung ditertawakan karena hal terebut akan merugikan mitra tutur. Mitra tutur mungkin kurang fokus
sehingga langsung menjelaskan materi bukannya memperkenalkan diri terlebih dahulu seperti yang diminta, akan tetapi bukan berarti penutur bisa
menertawakannya karena menjatuhkan muka penutur dimata dosen dan peserta diskusi yang lain bahakn sampai mitra tutur tertunduk malu dan jelas
hal yang demikian tidak mencerminkan kesantunan atau solidaritas. Selanjutnya data tuturan 66 dituturkan oleh seorang peserta diskusi
ketika penyaji sedang menjelaskan materi diskusi dalam mata kuliah teologi moral kelas P. Tuturan tersebut mengandung tindak tutur ekspresif yakni
tindak tutur yang menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Penutur peserta diskusi mengutarakan sikapnya ketika mengetahui
mitra tutur
penyaji melakukan
kesalahan dengan
mengatakan “hahaha....morem opo morest ?” yang berarti menyindir mitra tutur penyaji
tersebut dan hal itu juga mencerminkan bahwa penutur peserta diskusi tidak memberikan simpati kepada mitra tutur penyaji yang melakukan
kesalahan. Data tuturan 66 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip
kesantunan Leech 1993: 219 yakni maksim kesimpatisan, dimana tuturan seharusnya memperbanyak rasa simpati kepada orang lain. Tuturan yang
dianggap kurang santun itu terlihat dari tuturan “ hahaha....morem opo morest
? haha ”, dimana hal itu dapat menimbulkan perasaan negatif kepada mitra
tutur penyaji yakni bisa membuat keraguan bagi mitra tutur dan kehilangan konsentrasi, bahkan bisa tidak tenang dan panik sehingga bisa memancing
emosi yang bisa membuat proses diskusi menjadi tidak lancar dan menjadi tidak santun.
Cara bertutur dalam tuturan 66 jelas dapat menjatuhkan muka mitra tutur dan berlawanan dengan strategi kesantunan dari Brown dan Levinson
dalam Chaer 2010: 53-55, dimana penutur seharusnya dapat menjaga muka positif mitra tutur dengan menggunakan kesantunan positif yakni membesar-
besarkan perhatian, persetujuan dan simpati kepada mita tutur. Tuturan yang demikian, memperlihatkan bahwa penutur tidak memberikan simpati atau pun
perhatian terhadap apa yang dialami mitra tutur. Seharusnya ketika mitra tutur lupa akan materi yang dijelaskan, penutur tidak mengejeknya bahkan lebih
baik diam agar mitra tutur kembali berkonsentrasi dan ingat akan materi yang dijelaskan sehingga proses diskusi tidak terhenti dan berjalan lancar samapai
akhir, dengan begitu pertentangan pun dapat diminimalkan dan akan ada rasa saling menghargai satu sama lain yang membuat diskusi menjadi efektif
untuk bertukar pikiran.
4.3 Pembahasan