dipelajari dengan pengertian yang sudah dipumyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan Suparno1997: 61. Ini berati bahawa
kegiatan belajar adalah kegiatan aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari dan
bertanggungjawab atas hasil belajarnya. Dalam hal belajar mengajar matematika, perlu diketahui
karakteristik matematika. Dengan mengetahui karakteristik matematika, maka seharusnya dapat pula diketahui bagaimana belajar dan mengajar
matematika. Karakteristik matematika yang dimaksud adalah objek matematika bersifat abstrak, materi matematika disusun secara hirarkis,
dan cara penalaran matematika adalah deduktif. Objek matematika bersifat abstrak, maka belajar matematika
memerlukan daya nalar yang tinggi. Demikian pula dalam mengajar matematika guru harus mampu mengabstraksikan objek-objek matematika
dengan baik sehingga siswa dapat memahami objek matematika yang diajarkan.
Materi matematika disusun secara hirarkis artinya suatu topik matematika akan merupakan prasyarat bagi topik berikutnya. Oleh karena
itu, untuk mempelajari suatu topik matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar
mengajar matematika tersebut. Ini berarti proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar
bila belajar itu sendiri dilakukan secara kontinyu. Karena dalam belajar matematika memerlukan materi prasyarat untuk memahami materi
berikutnya, maka
dalam mengajar
matematika guru
harus mengidentifikasikan materi-materi yang menjadi prasyarat suatu topik
mata pelajaran matematika.
4. Proses Belajar Matematika di SD Menggunakan Model Kooperatif Teknik Jigsaw
Siswa Sekolah Dasar umumnya berumur antara 6 atau 7 tahun samapi 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget dalam Heruman, 2007: 1,
mereka berada dalam fase operasional kongkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk
mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat terikat dengan objek yang bersifat kongkret.
Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek kongkret yang dapat ditangkap oleh panca indera. Dalam
pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan
disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa.
Pada proses penanaman konsep dasar, yang dalam hal ini pada proses pengenalan, guru hendaknya menggunakan media atau alat peraga
dalam rangka membantu pola pikir siswa. Hal ini dimaksudkan agar menjadi jembatan untuk menghubungkan kearah kemampuan kognitif
siswa dari yang kongkret kearah konsep ayang abstrak Heruman, 2007:1. Setelah proses penanaman konsep dilalui, maka dapat dilanjutkan pada
pembelajaran dalam rangka pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan.
Jigsaw didesain selain meningkatkan rasa tanggung jawab siswa
secara individu juga dituntut saling ketergantungan yang positif saling membantu terhadap teman sekelompoknya. Pada akhir pembelajaran
diberkan tes pada siswa secara individual. Materi yang diteskan meliputi materi yang telah dibahas.
Kunci pembelajaran
kooperatif teknik
jigsaw adalah
interdependensi setiap siswa terhadap anggota kelompok yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat
mengerjakan tes dengan baik.
B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa hasil penelitian yang relevan.
Ari Trisnawati Dalam penelitian yang berjudul ”Peningkatan Prestasi Belajar Menggunakan
Model Cooperative Learning teknik Jigsaw Dalam Mata Pelajaran IPS siswa kelas IV B SDN Denggung Sleman Tahun Pelajaran 20092010”
mendeskripsikan hasil sebagai berikut : Pada siklus I penulis membagi siswa dalam kelompok setiap
kelompok terdiri dari 6 orang. Kemudian guru menerapkan model pembelajaran cooperative learning dengan teknik jigsaw. Dari hasil ulangan
siswa pada siklus I diperoleh nilai di atas KKM sebanyak 17 siswa atau
mencapai 58,62 dari 29 siswa. Sebanyak 12 siswa masih memperoleh nilai ulangan di bawah KKM atau 41,37. Hal ini disebabkan karena beberapa
siswa masih kurang antusias dan bersemangat mengikuti diskusi. Tetapi hasil tes pada akhir siklus I nilai rata-rata ulangan siswa mencapai 67,93.
Pada siklus II telah dilaksanakan cooperative learning teknik jigsaw
dengan pembagian setiap kelompok terdiri dari 4 siswa. Pada akhir siklus II siswa yang memperoleh nilai ulangan di atas KKM sebanyak 19
siswa atau mencapai 65,51 dari 29 siswa. Sebanyak 10 siswa masih memperoleh nilai ulangan di bawah KKM atau 34,48. Jadi peningkatan
untuk siswa yang tuntas dari akhir siklus I ke siklus II mencapai 6,89. Sedangkan nilai rata-rata ulangan yang diperoleh pada akhir siklus II telah
mencapai indikator keberhasilan keberhasilan akhir siklus kedua maka siklus tidak dilanjutkan.
Dari hasil penelitian di atas dapat dilihat terjadi peningkatan prestasi siswa yang ditandai dengan naiknya nilai rata-rata ulangan siswa dari
kondisi awal 58,00 ke siklus I mecapai 67,93 dan dari siklus I ke siklus II mencapai 75,86. Dengan demikian, hasil penelitian di atas membuktikan
hipotesis bahwa penggunaan cooperative learning teknik jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar dalam mata pelajaran IPS.
Agung Priyono, St. Suwarsono, dan Th. Sugiarto dalam penelitian yang berjudul “Peningkatan Keaktifan Belajar Matematika Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Jigsaw I pada siswa kelas VI A SDN 01 Manis Rejo Kecamatan Taman, Kota Madiun Tahun Pelajaran 20082009”